Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Sahabat. Show all posts
Showing posts with label Sahabat. Show all posts

Hampir sebagian besar kalangan Sunni menuduh golongan Syiah sebagai kaum Kafir karena mereka mengkritik, mencela, memaki, mengkafirkan para sahabat. Jika demikian?… terserah anda. Namun yang jadi masalah adalah apakah hukum ini berlaku juga bagi Nabi atau para sahabatnya sendiri? karena dalam kitab Hadith maupun tarikh terdapat pula kritikan, teguran, celaan, permusuhan antar sahabat bahkan membunuh sahabat lainnya . Apakah kita harus menghapus riwayat-riwayat yang mengandung kekerasan itu di seluruh kitab-kitab ataukah mengubah hukum dalam mengkritik atau mencela sahabat ?


Hampir sebagian besar kalangan Sunni menuduh golongan Syiah sebagai kaum Kafir karena mereka mengkritik, mencela, memaki, mengkafirkan para sahabat. Jika demikian?… terserah anda. Namun yang jadi masalah adalah apakah hukum ini berlaku juga bagi Nabi atau para sahabatnya sendiri? karena dalam kitab Hadith maupun tarikh terdapat pula kritikan, teguran, celaan, permusuhan antar sahabat bahkan membunuh sahabat lainnya.

Apakah kita harus menghapus riwayat-riwayat yang mengandung kekerasan itu di seluruh kitab-kitab ataukah mengubah hukum dalam mengkritik atau mencela sahabat, mis celaan tersebut menjadi doa atau rahmat baginya, sebagai ijtihad yang salah, boleh mengkritik mencela para sahabat yang tidak sesuai atau ada jalan lain?…terserah anda, aku hanya menyebarkan riwayat sejarah yang ditulis pada zaman dulu.
Berikut ini adalah sebagian riwayat tersebut:

>> Sahabat2 utama; Ali, Aisyah, Umar dengan Abu Hurairah.
Ibnu Qutaibah menulis: ‘Dan mengherankan sikap mereka (para ahli hadis)? mereka menyebut Abu Hurairah sebagai pembohong tetapi mereka tidak menulis mengenai Abu Hurairah sesuai dengan kesepakatan para ahli hadis. Yahya bin Mu’in dan Ali Ibnu al­Madini dan orang­orang seperti mereka menolak Hadis Abu Hurairah, tapi anehnya orang tetap saja berhujah dengan hadis Abu Hurairah yang tidak akur dan serasi dengan seorang pun dari para sahabat dan telah dianggap sebagai pembohong oleh Umar, Utsman dan Aisyah.’.

Ibnu Qutaibah melukiskan hubungan Aisyah dengan Abu Hurairah: ‘Engkau menyampaikan hadis yang tidak kudengar dari Nabi saw’. Demikianlah kata­kata Aisyah yang ditujukan kepada Abu Hurairah. Abu Hurairah menjawab dengan jawaban yang tidak beradab dan tanpa hormat, seperti diriwayatkan oleh Bukhari, Ibnu Sa’ad, Ibnu Katsir dan lain­lain: ‘Engkau (terlalu) sibuk dengan cermin dan tempat celak!’. Dan di bagian lain ia berkata kepada Aisyah: ‘Aku tidak disibukkan oleh cermin dan tempat celak serta pewarna, tetapi aku melihat Anda demikian’. Dan diriwayatkan oleh Dzahabi bahwa Aisyah berkata kepada Abu Hurairah: ‘Keterlaluan Abu Hurairah, berlebihan yang engkau sampaikan tentang Rasul Allah!’. Dan Abu Hurairah menjawab: ‘Aku tidak disibukkan oleh cermin dan tidak oleh tempat celak dan tidak juga dengan alat pemoles (yang menjauhkan aku dari Rasul Allah)!’.

Dan Aisyah menjawab: ‘Engkaulah yang sibuk mengurus perutmu, dan kerakusanmu membuat engkau terbirit-­birit pergi dari Rasul Allah dan bergegas (bersembunyi) di belakang orang­orang, mengetuk rumah meminta­minta makanan untuk memenuhi perutmu yang lapar sehingga mereka lari dan menjauhimu. Kemudian engkau jatuh pingsan di depan kamarku dan orang mengira engkau gila dan mereka menginjak­injak lehermu.

Di samping itu Umar memecatnya dari kedudukannya sebagai gubernur Bahrain karena menuduhnya sebagai pencuri. Ibnu Abd Rabbih menulis pada bagian awal jilid pertama bukunya ‘Iqd al­Farid. “Umar kemudian memanggil Abu Hurairah dan berkata kepadanya: ‘Aku tahu tatkala aku mengangkatmu jadi gubernur di Bahrain, sandal pun engkau tidak punya. Kemudian sampai berita kepadaku bahwa engkau membeli kuda­kuda seharga seribu enam ratus dinar’. Abu Hurairah: ‘Kami memiliki kuda kemudian beranak-pinak dan aku mendapat hadiah beruntun’. Umar: ‘Aku telah perhitungkan penghasilanmu dan rizkimu dan kelebihan ini harus kau kembalikan!’. Abu Hurairah: ‘Kamu tidak berhak untuk mengambilnya!’. Umar: ‘Ya, demi Allah aku harus ambil! Dan aku akan pukul punggungmu!’ Kemudian ia mengambil pecut dan memukulnya sampai berdarah! “Kemudian Umar berkata: ‘Bawa kemari uang itu!’ Abu Hurairah: ‘Aku menganggap harta yang engkau ambil itu di jalan Allah!” Umar: ‘Ya, kalau engkau mengambil itu dari yang halal dan engkau laksanakan di jalan yang benar! Apakah engkau datang dari Bahrain mengambil pajak untuk dirimu dan bukan karena Allah dan bukan untuk kaum Muslimin? Kau tidak punya keahlian apa­apa kecuali mengangon unta!’ Di bagian lain Abu Hurairah meriwayatkan dalam buku yang sama: ‘Abu Hurairah menerangkan: ‘Ketika aku diberhentikan oleh Umar dari Bahrain, Umar berkata kepadaku: ‘Ya musuh Allah dan musuh Kitab­Nya, engkau mencuri harta Allah? Aku menjawab: ‘Aku bukan musuh Allah dan musuh KitabNya! Tapi aku adalah musuh yang memusuhimu! Dan aku tidak mencuri harta Allah!’ Umar: ‘Dari mana engkau kumpulkan uang yang sepuluh ribu?’ Abu Hurairah: ‘Kuda beranak pinak dan aku telah mendapat hadiah beruntun dan keuntungan susul menyusul, Umar menyitanya dariku! Dan setelah shalat subuh aku mintakan pengampunan untuk Amirul mukminin!’.

>> Asy’ats bin Qais al­Kindi.
Asy’ats bin Qais al­Kindi, yang dinamakan munafik tingkat tinggi nomor dua sesudah Abdullah bin Ubay bin Salut oleh Muhammad ‘Abdu. Ia menjadi murtad tatkala RasulAllah saw wafat, yaitu tatkala Abu Bakar jadi khalifah. Pemberontakan terjadi di kawasan Hadhramaut. Pemberontak akhirnya terkepung dalam benteng An­Nujair. Suatu malam secara sembunyi­sembunyi Asy’ats bin Qays keluar benteng menemui Ziyad dan Muhajir yang mengepung benteng itu, dan bersekongkol dengan mereka bahwa apabila mereka memberi perlindungan kepada sembilan orang keluarganya, maka ia akan membuka benteng itu.

Mereka menerima ketentuan itu dan meminta ia menuliskan nama kesembilan anggota yang dimaksud. Ia khilaf dan tidak menuliskan namanya sendiri. Ia lalu menyelinap masuk ke dalam benteng dan mengatakan kepada penghuni benteng bahwa ia telah mendapatkan perlindungan bagi mereka dan supaya pintu benteng dibuka. Alangkah kaget teman­temannya tatkala Ziyad menunjukkan sembilan nama yang disepakati Asy’ats bin Qays. Asy’ats juga terkejut karena namanya tidak tercantum dalam daftar yang ia tulis. Asy’ats bin Qays tidak dibunuh. Ia minta bertemu Abu Bakar dan diluluskan. Sepanjang perjalanan ke Madinah, sekitar seribu kaum wanita yang juga dibelenggu mengutuknya sebagai pengkhianat dan penjerumus kaumnya. Sekitar delapan ratus orang dibunuh dalam benteng itu karena perbuatannya. Setelah tiba di Madinah, Abu Bakar bukan saja tidak membunuhnya malah mengawinkannya dengan adik perempuannya Umm Farwah binti Abi Quhafah yang kemudian melahirkan tiga orang anak, yaitu Muhammad , Ismail dan Ishaq. Asy’ats bin Qays ini juga yang bersekongkol dalam pembunuhan Imam Ali di kemudian hari. Putrinya, Ja’dah binti Asy’ats, membunuh Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib, suami nya sendiri. Mu’awiyah menjanjikan seratus ribu dinar dari Mu’awiyah dan akan dikawinkan dengan Yazid bila Ja’dah meracuni suaminya, yang kemudian dilakukannya. Puteranya dari Farwah binti Abi Quhafah di atas, yaitu Muhammad bin Asy’ats bin Qays terkenal karena mencurangi Muslim bin Aqil yang diutus Husain ke Kufah dan turut dalam pembunuhan Imam Husain di Karbala. Meskipun demikian ia termasuk di antara orang-­orang yang meriwayatkan hadis­hadis oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah.

>>Ali vs Abu Bakar, Umar cs
Kedua surat dibawah ini dimuat Nashr bin Muzahim dalam Kitabnya Waq’ah Shiffin dan Mas’udi dalam kitabnya Muruj adz­Dzahab dan telah diisyaratkan oleh Thabari dan Ibnu Atsir sebagai surat yang ditulis tahun 36 Hijriah, yaitu tatkala Muhammad bin Abu Bakar menjadi Gubernur di Mesir di zaman kekhalifahan Ali. Thabari melaporkan peristiwa ini dengan tidak menyebutkan isi surat dibawah ini dengan alasan “supaya orang banyak tidak resah mendengarkannya”.

Yang menarik dari kedua surat ini adalah kritik Mu’awiyah terhadap pembaiatan Abu Bakar di Saqifah. Mu’awiyah berkeyakinan bahwa Abu Bakar dan Umar mengetahui betul tuntutan Ali. Di pihak lain yang membuat kedua surat ini lebih menarik adalah pernyataan Muhammad bin Abu Bakar tentang Ali sebagai pemegang wasiat dan pewaris Rasul yang tidak dibantah Mu’awiyah.

Berikut isi Surat tersebut:

Surat Muhammad bin Abu Bakar kepada Mu’awiyah:
Bismillahirrahmanirrahim.
Dari Muh ammad bin Abu Bakar.
Kepada si tersesat Mu’awiyah bin Shakhr.
Salam kepada penyerah diri dan yang taat kepada Allah!
Amma ba’du, sesungguhnya Allah SWT, dengan keagungan dan kekuasaan-Nya, mencipta makhluk­Nya tanpa main­main. Tiada celah kelemahan dalam kekuatan­Nya. Tidak berhajat Ia terhadap hamba­Nya. Ia mencipta mereka untuk mengabdi kepada­Nya.

Ia menjadikan mereka orang yang tersesat atau orang yang lurus, orang yang malang dan orang yang beruntung.
Kemudian, dari antara mereka, Ia Yang Mahatahu memilih dan mengkhususkan Muhammad saw dengan pengetahuan ­Nya. Ia jualah yang memilih Muhammad saw berdasarkan ilmu­Nya sendiri untuk menyampaikan risalah­Nya dan mengemban wahyu­Nya. Ia mengutusnya sebagai Rasul dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.

Dan orang pertama yang menjawab dan mewakilinya, menaatinya, mengimaninya, membenarkannya, menyerahkan diri kepada Allah dan menerima Islam sebagai agamanya ­adalah saudaranya dan misannya Ali bin Abi Thalib­ yang membenarkan yang ghaib. Ali mengutamakannya dari semua kesayangannya, menjaganya pada setiap ketakutan, membantunya dengan dirinya sendiri pada saat­saat mengerikan, memerangi perangnya, berdamai demi perdamaiannya, melindungi Rasul dengan jiwa raganya siang maupun malam, menemaninya pada saat­saat yang menggetarkan, kelaparan serta dihinakan. Jelas tiada yang setara dengannya dalam berjihad, tiada yang dapat menandinginya di antara para pengikut dan tiada yang mendekatinya dalam amal perbuatannya.

Dan saya heran melihat engkau hendak menandinginya! Engkau adalah engkau! Sejak awal Ali unggul dalam setiap kebajikan, paling tulus dalam niat, keturunannya paling bagus, isterinya adalah wanita utama, dan pamannya (Ja’far) syahid di Perang Mu ’tah. Dan seorang pamannya lagi (Hamzah) adalah penghulu para syuhada perang Uhud, ayahnya adalah penyokong Rasul Allah saw dan isterinya.

Dan engkau adalah orang terlaknat, anak orang terkutuk. Tiada hentinya engkau dan ayahmu menghalangi jalan Rasul Allah saw. Kamu berdua berjihad untuk memadamkan nur Ilahi, dan kamu berdua melakukannya dengan menghasut dan menghimpun manusia, menggunakan kekayaan dan mempertengkarkan berbagai suku. Dalam keadaan demikian ayahmu mati. Dan engkau melanjutkan perbuatannya seperti itu pula.
Dan saksi­saksi perbuatan Anda adalah orang­orang yang meminta-­minta perlindungan Anda, yaitu dari kelompok musuh Rasul yang pemberontak, kelompok pemimpin­pemimpin yang munafik dan pemecah belah dalam melawan Rasul Allah saw.

Sebaliknya sebagai saksi bagi Ali dengan keutamaannya yang terang dan keterdahuluannya (dalam Islam) adalah penolong­penolongnya yang keutamaan mereka telah disebut dalam Al­ Qur’an, yaitu kaum Muhajirin dan Anshar. Dan mereka itu merupakan pasukan yang berada di sekitarnya dengan pedang­pedang mereka dan siap menumpahkan darah mereka untuknya. Mereka melihat keutamaan pada dirinya yang patut ditaati, dan malapetaka bila mengingkarinya.

Maka mengapa, hai ahli neraka, engkau menyamakan dirimu dengan Ali, sedang dia adalah pewaris (warits ) dan pelaksana wasiat (Washi) Rasul Allah saw, ayah anak­anak (Rasul), pengikut pertama dan yang terakhir menyaksikan Rasul, teman berbincang, penyimpan rahasia dan serikat Rasul dalam urusannya. Dan Rasul memberitahukan pekerjaan beliau kepadanya, sedang engkau adalah musuh dan anak dari musuh beliau.
Tiada peduli keuntungan apa pun yang kau peroleh dari kefasikanmu di dunia ini dan bahkan Ibnu ’l­Ash menghanyutkan engkau dalam kesesatanmu, akan tampak bahwa waktumu berakhir sudah dan kelicikanmu tidak akan ampuh lagi. Maka akan jadi jelas bagimu siapa yang akan memiliki masa depan yang mulia. Engkau tidak mempunyai harapan akan pertolongan Allah, yang tidak engkau pikirkan.
Kepada­Nya engkau berbuat licik. Allah menunggu untuk menghadangmu, tetapi kesombonganmu membuat engkau jauh dari Dia.
Salam bagi orang yang mengikuti petunjuk yang benar.

Jawaban Mu’awiyah kepada Muhammad bin Abu Bakar:
Dari Mu ’awiyah bin Abu Sufyan.
Kepada Pencerca ayahnya sendiri, Muhammad bin Abu Bakar .
Salam kepada yang taat kepada Allah.
Telah sampai kepadaku suratmu, yang menyebut Allah Yang Mahakuasa dan Nabi pilihan­Nya dengan kata­kata yang engkau rangkaikan. Pandanganmu lemah. Engkau mencerca ayahmu. Engkau menyebut hak Ibnu Abi Thalib dan keterdahuluan serta kekerabatannya dengan Nabi Allah saw dan bantuan serta pertolongannya kepada Nabi pada tiap keadaan genting.
Engkau juga berhujah dengan keutamaan orang lain dan bukan dengan keutamaanmu. Aneh, engkau malah mengalihkan keutamaanmu kepada orang lain.
Di zaman Nabi saw, kami dan ayahmu telah melihat dan tidak memungkiri hak Ibnu Abi Thalib. Keutamaannya jauh di atas kami.
Dan Allah SWT memilih dan mengutamakan Nabi sesuai janji­Nya. Dan melalui Nabi Ia menyampaikan dakwah­Nya dan memperoleh hujah­Nya. Kemudian Allah mengambil Nabi ke sisi­Nya.

Ayahmu dan Faruq­nya (Umar ) adalah orang­orang pertama yang merampas haknya (ibtazza). Hal ini diketahui umum.
Kemudian mereka mengajak Ali membaiat Abu Bakar tetapi Ali menunda dan memperlambatnya. Mereka marah sekali dan bertindak kasar. Hasrat mereka bertambah besar. Akhirnya Ali membaiat Abu Bakar dan berdamai dengan mereka berdua.
Mereka berdua tidak mengajak Ali dalam pemerintahan mereka. Tidak juga mereka menyampaikan kepadanya rahasia mereka, sampai mereka berdua meninggal dan berakhirlah kekuasaan mereka.

Kemudian bangkitlah orang ketiga, yaitu Utsman yang menuruti tuntunan mereka. Kau dan temanmu berbicara tentang kerusakan­kerusakan yang dilakukan Utsman agar orang­orang yang berdosa di propinsi­propinsi mengembangkan maksud­maksud buruk terhadapnya dan engkau bangkit melawannya. Engkau menunjukkan permusuhanmu kepadanya untuk mencapai keinginan-­keinginanmu sendiri.
Hai putra Abu Bakar, berhati­hatilah atas apa yang engkau lakukan. Jangan menempatkan dirimu melebihi apa yang dapat engkau urusi. Engkau tidak akan dapat menemukan seseorang yang mempunyai kesabaran yang lebih besar dari gunung, yang tidak pernah menyerah kepada suatu peristiwa. Tak ada yang dapat menyamainya.

Ayahmu bekerja sama dengan dia dan mengukuhkan kekuasaannya. Bila kaum katakan bahwa tindakanmu benar, (maka ketahuilah) ayahmulah yang mengambil alih kekuasaan ini dan kami menjadi sekutunya. Apabila ayahmu tidak melakukan hal ini, maka kami tidak akan sampai menentang anak Abu Thalib dan kami akan sudah menyerah kepadanya.

Tetapi kami melihat bahwa ayahmu memperlakuk an dia seperti ini di hadapan kami, dan kami pun mengikutinya; maka cacat apa pun yang akan kau dapatkan, arahkanlah itu kepada ayahmu sendiri, atau berhentilah dari turut campur.
Salam bagi dia yang kembali.

>> Abu Dzar dengan Uthman.
Tatkala Abu Dzar memprotes kemewahan hidup Muawiyah di Syria. Muawiyah lapor ke Uthman dan Uthman pun “memanggil” Abu Dzar ke Madinah disertai tentara dan menunggang unta yang pelananya tidak diberi alas. Ketika Uthman melihat Abu Dzar, ia langsung memprotes kegiatan sahabat nabi ini. Abu Dzar menjawab, Saya mengharapkan kebaikan bagi anda, tetapi anda malah menipu saya. begitu pula, saya mengharapkan kebaikan teman anda (Mu’awiyah) tetapi ia pun menipu saya.

Uthman berkata, engkau pembohong, engkau hendak menimbulkan kerusuhan. engkau menghasut seluruh rakyat Syria menentang kami.
Abu Dzar menjawab, Anda harus mengikuti langkah-langkah Abu Bakar dan Umar. apabila anda berbuat demikian tak akan ada orang yang mengatakan sesuatu terhadap anda.

Uthman menjawab, Semoga ibumu mati! Apa hubungan anda dengan urusan ini?
Abu Dzar menjawab, Sepanjang menyangkut diri saya, tak ada pilihan selain menyuruh manusia berbuat baik dan mencegah mereka dari kejahatan.
Tak bisa membendung amar makruf nahi munkar Abu Dzar, Uthman akhirnya kemudian membuang Abu Dzar ke Rabadzah, daerah tandus yang tidak dihuni manusia, hewan, maupun ditumbuhi tanaman. Ia juga melarang masyarakat menyaksikan kepergiannya. Orang tak berani mengantarnya, kecuali lima orang; Ali, Aqil, Hasan, Husein, serta Ammar bin Yasir.

>> Aisyah dengan Uthman.
Dalam perjalanan pulang ke Madinah, Aisyah bertemu dengan Abd ibn Abi Salma, keluarga jauh dari pihak ibunya, yang menginformasikan kematian Uthman dan naiknya Ali sebagai Khalifah. Ibn Abi Salma menceritakan bahwa masyarakat Madinah telah menunggu selama delapan hari setelah kematian Uthman, sebelum mereka dengan bijak semua sepakat atas Ali bin Abi Thalib. Aisyah berseru, Langit akan runtuh ke bumi sebelum masalah ini diputuskan bagi sahabatmu (Ali). Bawa aku kembali ke Makkah! Ia kemudian menyatakan, Demi Allah, Uthman terbunuh secara tidak sah! Dan aku pasti akan menuntut balas atas darahnya. Ibn Abi Salma mengingatkannya bahwa Aisyahlah yang pertama menghasut masyarakat menentang Uthman dengan mengatakan, Bunuhlah Na’tsal (yaitu orang tua Yahudi berjenggot)itu, karena ia telah membuang iman / kafir. Aisyah menyatakan bahwa masyarakatlah, setelah membuat Uthman bertobat, yang kemudian membunuhnya secara tidak sah. Aku berbicara dan mereka berbicara, lanjutnya, tetapi ucapanku yang terakhir lebih baik daripada ucapanku yang pertama. lelaki itu menukas, Kamu memerintahkan kami membunuh imam dan kami menaatimu dan kami membunuhnya. namun, kami yakin bahwa pembunuhnya yang sebenarnya adalah orang yang memerintahkannya.”.

>> Abd Rahman bin Awf dengan Uthman.
ketika terjadi penyelewengan dalam kekhalifahan Uthman, kaum muhajirin dan anshar dengan marah menuduh Abd Rahman bin Auf atas perilaku Uthman yang tidak dapat dipahami. kemudian Ibn Awf mencela Uthman dengan mengatakan, Aku mengutamakanmu dengan syarat bahwa kamu memperlakukan kami sesuai dengan praktik Abu Bakar dan Umar. namun, kamu berlawanan dengan keduanya, dan lebih menyukai keluarga dekatmu dan menempatkan mereka di leher kaum muslim. Uthman menjawab, Umar menjauhkan keluarga dekatnya demi ridha Tuhan, dan aku memberikan hadiah yang dermawan kepada keluarga dekatku juga demi ridha Tuhan. Abd Rahman menukas marah, Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku tidak akan berbicara kepadamu setelah ini. Karena itulah, ketika Uthman menengoknya di ranjang kematiannya, ibn Awf memalingkan wajahnya ke tembok dan menolak berbicara dengan Uthman.

>> Abdullah bin Mas’ud dengan Uthman.
Ketika terjadi ketidakberesan pada kekhalifahan Uthman bin Affan. Ia banyak mengeritik kebijakan Uthman. misalnya, ia pernah berkata, “Di mata Allah, Uthman tidak berharga walaupun sebesar bulu lalat.” Walid bin Uqbah, Gubernur Kufah memberitahukan hal tersebut kepada Uthman, lalu Uthman memanggil Ibn Mas’ud ke Madinah. Ibn Mas’ud sampai di Madinah pada Jumat malam. ketika Uthman mengetahui kedatangannya, ia menyuruh rakyat berkumpul ke masjid lalu ia berkata, Lihatlah, sedang menuju kalian seekor binatang hina (kadal), yang menginjak-injak makanan, muntahan dan kotorannya. Ibn Mas’ud berkata, saya tidak seperti itu. Yang pasti saya adalah seorang sahabat Nabi saw. saya bersama beliau dalam perang Badar dan ikut serta dalam bayt Ridwan. Aisyah berteriak dengan keras dari rumahnya, Uthman! engkau mengucapkan kata-kata seperti itu kepada sahabat Nabi! Orang lain juga tidak menyukai kata-kata Uthman itu dan menyatakan kemarahannya. Atas perintah Uthman, para pegawainya dan budaknya mengusir Ibn Mas’ud keluar masjid dengan cara yang sangat kasar. mereka menyeretnya ke gerbang masjid dan melemparkannya ke tanah. lalu mereka memukulnya sehingga ia mengalami patah tulang, dan dari situ ia digotong ke rumahnya seperti orang yang sudah meninggal. selain itu Uthman juga menghentikan pemberian tunjangan yang biasa diterimanya dari baitul mal, memutus segala sumber rezekinya serta melarang orang menjenguknya. Pada saat akhirnya, Abdullah bin Mas’ud berpesan kepada Ammar supaya Uthman tidak melakukan solat jenazah ke atasnya nanti.

>> Ammar dengan Uthman.
Diriwatakan bahwa ada kotak di baitul mal yang berisi perhiasan dan permata. Uthman mengambil perhiasan tersebut dari baitul mal dan memberikannya kepada salah seorang istrinya. masyarakat merasa keberatan atas tindakan Uthman itu dan mengeritiknya dengan keras sehingga Uthman menjadi berang. Kepada jamaah ia berkata di atas mimbar, Saya akan mengambil apa saja yang saya sukai dari harta rampasan perang dan saya tidak peduli bila ada yang tidak menyukainya. Atasnya Ali berkata, kalau begitu, anda akan dicegah dari berbuat begitu dan sebuah dinding akan didirikan antara anda dan baitul mal. Ammar berkata, Ya Allah saksikanlah bahwa saya adalah orang pertama yang tidak menyukai penyelewengan ini. Kemudian uthman berkata, hai Ammar, alangkah beraninya engkau berbicara melawan saya! tangkap dia!.

Tiba-tiba Marwan berdiri seraya berkata kepada Uthman, Wahai Amirul Mukminin! Budak ini telah menghasut rakyat menentang anda. bila anda membunuhnya maka orang lain akan mendapat pelajaran. Ammar kemudian dipukuli ramai-ramai oleh tongkat Uthman dan anggota Bani Umayyah kemudian melemparkannya ke jalan saat tengah hujan lebat.

>> Thalhah bin Ubaidillah dengan Uthman
pada suatu kesempatan Ali mendatangi Thalhah dan melihat sekumpulan pemberontak berkumpul di sekelilingnya. Ia merasa bahwa Thalhah memegang peranan penting dalam pengepungan rumah Uthman dan berniat membunuhnya. Ali menegurnya, Wahai Thalhah! Apa yang anda lakukan kepada Uthman. Ali juga berusaha mencegah Thalhah melakukan kegiatannya namun Thalhah menolak nasihatnya. Ali kemudian pergi ke baitul mal hendak membukanya, tetapi tidak ada kuncinya. maka pintu baitul mal itu dibongkar atas perintahnya lalu ia membagi-bagikan semua uang yang ada disana kepada orang-orang yang dikumpulkan Thalhah untuk membunuh Uthman. Tatkala Uthman mengetahui peristiwa ini dia sangat senang dan menyadari bahwa tak seorang pun yang setulus, sesimpatik dan semahir Ali dalam menyelesaikan permasalahan muslimin.

Kemudian Thalhah mendatangi Uthman dan meminta maaf, lalu berkata, “Saya bertobat di hadapan Allah. Saya telah bertekad melakukan sesuatu tetapi Allah menggagalkannya”. Uthman berkata, “Anda datang ke sini bukan sebagai orang yang bertobat, melainkan sebagai orang yang menjadi tak berdaya. semoga Allah menghukum anda!.”.

>> Abd Rahman bin Abu Bakar dengan Marwan bin Hakam
Ketika Marwan menjadi gubernur Muawiyah di Hijaz, ia meminta rakyat untuk membaiat Yazid. Abd Rahman bin Abu Bakar memprotes Marwan sambil berkata, Kalian menginginkan kekuasaan ini seperti kekuasaan Heraclius! Marwan marah dan menyuruh orang menangkap Abd Rahman. Ia lari ke kamar Aisyah, saudaranya. Marwan berkata, ayat al-Qur’an alladzi qala liwalidayhi uffin lakum turun tentang Abd Rahman. Mendengar tersebut, Aisyah berkata di balik hijab menolak asbab nuzul ayat tersebut.(riwayat ini disebutkan di sahih Bukhari dengan mengaburkan perkataan Abd Rahman ke Marwan dalam kitab al-Tafsir bab alladzi qala liwalidayhi uff (surah al-Ahqaf)).

>> Aisyah, Thalhah, Zubair dengan Usman bin Hunaif
Ketika Aisyah dengan pasukan jamalnya memaksa masuk Basrah pada suatu malam. mereka membunh banyak orang di masjid. kemudian mereka masuk ke rumah Usman bin Hunaif (gubernur Basrah) dan memperlakukannya dengan sangat buruk.

Thalhah dan Zubair sangat menyesali perlakuan pasukannya kepada Usman bin Hunaif karena dia pun salah seorang sahabat Nabi saw. Mereka menghadap Aisyah dan menyatakan kesedihan mereka atas kejadian tersebut. Sebagai jawabnya, Aisyah menginstruksikan supaya Usman bin Hunaif dibunuh. Tatkala perintah tersebut hampir dilaksanakan, seorang wanita berteriak histeris, Wahai ummu al-Mukminin! Demi Allah, kasihanilah anak Hunaif. hormatilah kedudukannya sebagai sahabat Nabi. Aisyah berpikir sejenak lalu berkata, “Baiklah, jangan bunuh dia, tetapi jadikan dia tawanan.”

Namun salah seorang tentara Aisyah berkata, Pukullah dia keras-keras dan cabutlah janggutnya. para tentara kemudian memukulnya tanpa belas kasihan, mencabut rambut kepalanya, janggutnya, bulu matanya dan alisnya lalu memenjarakannya.

>> Khalid bin Walid dengan Umar.
Singkat cerita Khalid membunuh Malik bin Nuwairi untuk memperoleh harta rampasan dan melecehkan kehormatan istrinya yang sangat cantik. tatkala kabar tersebut sampai kepada Abu Bakar, khalifah waktu itu merasa sedih dan mengucapkan, “Harta rampasan perang telah membuat orang-orang Arab serakah dan Khalid telah melanggar perintah saya.”.

Ketika Khalid menghadap Abu Bakar, ia membawa tiga anak panah di serbannya. Ketika Umar melihatnya, ia berkata, “wahai Musuh Allah! semua perbuatanmu ini adalah perbuatan munafik. Demi Allah, bila aku menguasaimu maka aku akan merajammu sampai mati. Ia lalu merenggut anak panah yang ada di serban Khalid lalu mematahkannya. Khalid tidak berani bicara apa-apa karena ia mengira bahwa Umar bertindak sesuai dengan perintah Abu Bakar.

Kemudian Khalid menemui Abu Bakar dan mengajukan dalih kepadanya. Abu Bakar percaya dan menerima alsan Khalid. Ketika mendengar berita ini, ia mendorong Abu Bakar untuk menghukum Khalid atas pembunuhan Malik. Abu Bakar berkata, “Wahai Umar! sebaiknya anda diam. Khalid bukan orang pertama yang melakukan kesalahan dalam masalah hukum.”
dan banyak lagi riwayat lainnya, terutama sejak masa kekhalifahan Uthman. Semoga Tuhan merahmati kita semua.

Ghibah Yang Diperbolehkan Dalam islam.


Sejarah adalah memori kolektif umat. Memori kolektif ini kemudian membentuk kepribadian, dan mengejawantah menjadi aqidah yang menyatu dalam praktik kerberagamaan umat itu sendiri.
Saya pribadi memandang bahwa telaah kritis terhadap sejarah Islam sangat penting untuk membentuk pemahaman keIslaman kita. Sunnah nabiullah SAWW yang selalu kita coba untuk ikuti dengan sempurna tidak bisa lepas dari telaah sejarah yang ada, terkhusus sejarah sahabat yang merupakan sumber sekunder yang melaluinya kita bisa menerima pemahaman mengenai sunnah Nabi. Sebab lain adalah bahwa dari sahabat pula kita bisa mengambil ibrah atau teladan seperti apa seharusnya kita menafsirkan sunnah Nabi tersebut. Melalui riwayat yang disampaikan dan juga perilaku sahabat itu lah kita mencoba mendalami Sunnah. Apalagi, saudara-saudara seiman yang bermazhab wahabi dan salafi mengikutikan tambahan penafsiran lain mengenai sunnah, bukan saja sunnah nabi, tapi juga sunnah sahabat, tabi’in, tabi’-tabi’in dan ulama salaf. Jadi, pembahasan mengenai perilaku sahabat menjadi sangat krusial dalam mempelajari agama.
Itulah sebabnya, pokok bahasan mengenai perilaku atau “keadilan” para rijal dalam kronik Islam sangat sering mengemuka, karena alasan-alasan di atas. Dalam pokok pembelajaran mengenai hadist, kita sangat menekankan pentingnya mengenali sanad dari sebuah periwayatan hadist. Satu saja periwayat yang dianggap pernah berbuat yang tidak semestinya, maka hadist itu bisa saja tertolak tanpa melihat matannya. Saya pernah membaca bagaimana Imam Bukhari pernah menolak satu hadist hanya karena melihat sang periwayat “membohongi” ayam peliharaannya dengan menggerak-gerakkan tangan seakan-akan ada biji jagung di dalamnya, demi untuk menangkap ayam tersebut.

Ahlul hadist (atau mazhab Sunni) menyatakan bahwa definisi sahabat nabi adalah seseorang yang berjumpa dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam keadaan mukmin dan meninggal dalam keadaan Islam. Ini definisi yang sangat general, perilaku mereka ketika hidup, terutama sepeninggal Rasulullah SAWW kita ketahui terjadi banyak perselisihan di antara mereka. Kalau dikatakan bahwa sahabat itu semua “tidak tercela, tidak boleh dicela”, lantas apakah itu berarti kita membenarkan perilaku sahabat yang tidak sesuai sunnah Nabi?

Perlu dicermati disini bahwa mengkritisi perilaku sahabat, tidak serta merta berujung pada pencelaan dan pengkafiran para sahabat. Saya tidak tahu dari mana sumber tuduhan yang menyatakan bahwa kaum Syiah itu mengkafirkan sahabat. Sepanjang saya membaca literatur dari ulama Syiah (mazhab Imamiah Itsna Asy’ariah)  yang terpercaya, tidak pernah ada ungkapan bahwa mereka menganggap para sahabat, seperti Khalid bin Walid, Abu Hurairah, Abu Sofyan, Muawiyah itu kafir. Kecuali ada nash yang menyatakan bahwa sahabat2 tersebut mengingkari kenabian Muhammad SAWW atau ketauhidan, yang menyebabkan seseorang dianggap kufur dari Islam. Sekira boleh, adakah referensi buku ulama Syiah yang mengkafirkan para sahabat2 itu? – kalau bisa dinukil dari sumber primer, bukan sumber sekunder atau hanya nukilan dari seseorang penulis yang memang bertujuan melakukan distorsi pemahaman terhadap syiah.

Mencela Sahabat tentu tak boleh, tapi melakukan studi kritis dalam rangka mencari hikmah di balik kisah tentu tak diharamkan, sebagaimana sudah dipraktekkan ulama-ulama salaf yang menghasilkan banyak buku sejarah, seperti yang dilakukan Ibnu Katsir, Haikal dan lain-lain.

Jangan kalian mencela Sahabatku, seandainya salah seorang di antara kalian menginfaqkan emas sebesar Gunung Uhud maka tidaklah menyamai satu mud mereka atau setengahnya.” (HR. Bukhari: 3470 dan Muslim: 2540).

Artinya: “Siapa yang mencela Sahabatku, atasnya laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya.” (HR. Thabarani dalam Mu’jamul Kabir 12/142, dihasankan oleh al-Albani dalam Silsilah Ahadits ash-Shahihah: 2340).

Konon (saya tak menemukan sumber primer dari riwayat munculnya hadist ini), sebab munculnya hadis ini disebutkan bahwa Khalid bin Walid mencaci ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Kalau mengikuti konteks hadist ke-2 di atas, maka Laknat Allah tertimpa kepada Khalid bin Walid?

Sekira bahwa sahabat adalah seseorang yang pernah bertemu Rasulullah SAWW dalam keadaan mukmin dan meninggal dalam keadaan Islam. Dan bagi yang mencela sahabat, akan dikenakan hukum Laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya atasnya. Lantas, bagaimana sekira seorang sahabat mencela sahabat nabi lainnya? Apakah kemudian sahabat itu kena hukum laknat Allah juga?

1. Dalam Sunan Ibnu Majah Tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi 1/45 no 121 terdapat hadis riwayat Sa’ad berikut:  
Ali bin Muhammad menceritakan kepada kami yang berkata Abu Muawiyah menceritakan kepada kami yang berkata Musa bin Muslim menceritakan kepada kami dari Ibnu Sabith dan dia adalah Abdurrahman dari Sa’ad bin Abi Waqash yang berkata ”Ketika Muawiyah malaksanakan ibadah haji maka Saad datang menemuinya. Mereka kemudian membicarakan Ali lalu Muawiyah mencelanya. Mendengar hal ini maka Sa’ad menjadi marah dan berkata ”kamu berkata seperti ini pada seseorang dimana aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda ”barangsiapa yang Aku adalah mawlanya maka Ali adalah mawlanya”. Dan aku juga mendengar Rasulullah SAW berkata kepada Ali ”Kamu disisiKu sama seperti kedudukan Harun disisi Musa hanya saja tidak ada Nabi setelahKu”. Dan aku juga mendengar Rasulullah SAW berkata kepada Ali ”Sungguh akan Aku berikan panji hari ini pada orang yang mencintai Allah dan RasulNya”. Hadis ini telah dinyatakan Shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no 98.

2. Ibnu Katsir dalam Al Bidayah Wan Nihayah 7/204 telah membawakan riwayat bahwa mereka yang mengepung Usman berada dibawah pimpinan Abdurrahman bin Udais.
Abu Tsawr Al Fahmy berkata ”Aku mendatangi Usman, ketika aku berada di tempat Beliau ternyata orang-orang Mesir kembali ke Madinah maka aku mendatangi Usman dan memberitahukannya. Ia bertanya ”bagaimana kamu lihat keadaan mereka?”. Aku menjawab ”Aku melihat ada niat jahat yang tergambar di wajah mereka, mereka di bawah pimpinan Ibnu Udais”. Kemudian Ibnu Udais menaiki mimbar Rasulullah SAW dan mengimami shalat Jum’at serta mencela Usman di dalam khutbahnya.

Tentang sosok Ibn Udais, Ibnu Abi Hatim berkata dalam Al Jarh Wat Ta’dil juz 5 no 1182: Abdurrahman bin Udais Al Balawi adalah seorang Sahabat Nabi”.

Dalam Al Isabah 4/334 no 5167 Ibnu Hajar menuliskan biografi Ibnu Udais dan mengutip dari Ibnu Sa’ad, Ibnu Sa’ad berkata “Ia seorang Sahabat Nabi SAW dan mendengar dari Beliau”

3. Rasulullah memperingatkan sahabat tentang Kaum Munafik.
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Aswad bin Amir yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah bin Hajjaj dari Qatadah dari Abi Nadhrah dari Qais yang berkata “saya pernah bertanya kepada Ammar, bagaimana pendapatmu tentang perang terhadap Ali? Atau bagaimana pesan yang disampaikan Rasulullah SAW kepadamu?. Ammar menjawab “Rasulullah SAW tidak pernah menyampaikan pesan kepada kami suatu pesan yang tidak Beliau sampaikan juga kepada orang-orang”. Saya diberitahu oleh Huzaifah dari Nabi SAW yang bersabda “Di kalangan Sahabatku ada dua belas orang munafik. Di antara mereka ada delapan orang yang tidak akan masuk surga sampai unta masuk ke lubang jarum”. Delapan orang diantara mereka akan mendapat Dubailah, sedangkan empat lainnya aku tidak hafal yang dikatakan Syu’bah tentang mereka. [Shahih Muslim 4/2143 no 2779 (9) tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi].

Belum lagi soal kisah sahabat Thalhah, Zubair, Ummul Mukminin Aisyah ra, Muawiyah, Amr bin Ash dan lain-lain yang pernah berperang melawan Imam Ali bin Abi Thalib. Bukan saja mereka mencela, tapi berperang melawan beliau.

Mari juga kita simak hadist tentang nubuwat sahabat dari Abu Said dalam Musnad Ahmad 3/28 no 11236 yang dinyatakan shahih oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth:
Dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa Nabi SAW bersabda “Aku berkata “SahabatKu, SahabatKu,” maka dikatakan kepadaku “Sesungguhnya Engkau tidak mengetahui apa yang sudah mereka ubah sepeninggalMu”. Lalu aku berkata “Jauh, jauh” atau berkata “celakalah celakalah mereka yang mengubah sepeninggalKu”.

Apa kira-kira maksud hadist ini? Apa yang telah diubah oleh para sahabat Nabi? Agama kah, sunnah kah?
Saya sepakat bahwa kita tidak perlu mengungki-ungkit kekeliruan yang dilakukan sahabat, juga tidak perlu dicela, karena memang mencela itu perbuatan buruk. Namun mempelajari perilaku sahabat,  juga tidak terlarang karena sama-sama kita pahami bahwa sahabat tidak maksum, dan guna nya adalah untuk mencari sumber Islam paling shahih.

Sebagaimana yang disampaikan di awal tulisan ini, mempelajari sejarah Islam terutama di masa-masa awal termasuk perbedaan pendapat diantara sahabat, demi untuk mengambil hikmah bahwa perbedaan itu wajar tanpa perlu berujung kepada pengkafiran sebagaimana yang sering kita saksikan diantara sesama Muslim saling mengkafirkan karena hanya berbeda mazhab.

Wallahu ‘alam bis shawab.

Inilah Ghibah yang Dibolehkan.

Menag: Ada Enam Alasan Ghibah Bisa Dilakukan.
- Menyitir pendapat Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi (penulis kitab Riyadhus Shalihin, red), Menteri Agama (Menag) mengungkapkan enam alasan atau tujuan diperbolehkan sebuah ghibah. Ghibah sendiri adalah informasi yang menjelekkan orang lain, dan menyiarkan kejelekan tersebut.

Pertama, mengadukan seseorang pada penguasa (polisi, red) karena melakukan perbuatan aniaya. Pengaduan tersebut mengharuskan menyampaikan keburukan terlapor. Kedua, minta tolong pada orang atau ahli yang diharapkan mampu untuk mengubah atau menghilangkan keburukan seseorang. Sehingga menyampaikan keburukan dengan harapan mengembalikan ke jalan yang benar.

Ketiga, ketika meminta fatwa atau nasehat (sehingga menyampaikan keburukan) untuk sebuah kebaikan. Keempat, memberi peringatan atau nasehat kepada kaum muslimin agar tidak terjerumus atau mencontoh perbuatan atau sifat buruk.

Kelima, memberi penjelasan atau pengertian tentang seseorang agar jelas, misalnya mengatakan ‘yang bisu itu’ atau ‘yang buta itu’. Keenam ketika dibutuhkan misalnya untuk keperluan mengetahui kepribadian calon istri atau calon pemimpin yang akan dipilih atau perawi (pembawa) hadist.
“Perkecualian atas ghibah yang dibolehkan di atas, juga telah disepakati oleh para ulama,” tegas Suryadarma saat ditemui di Kantor PPP, Jl. Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (11/1).

Bukti bolehnya ghibah ketika meminta bantuan untuk merubah kemungkaran adalah seluruh nash yang menyebutkan tentang perintah amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan berbuat baik dan melarang dari kemungkaran). Di antaranya firman AllahJalla Jalaluhu,

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104).

Dan perintah Nabi terhadap pemimpin-pemimpin yang jahat, “Siapa yang melawan dengan tangannya maka dia seorang mukmin, dan siapa yang melawannya dengan lisannya dia seorang mukmin, dan siapa yang melawannya dengan hatinya dia seorang mukmin. Dan tidak ada iman sekecil apapun sesudah itu.” (HR. Muslim).

Dalil ghibah yang dibenarkan dalam mengadukan kezhaliman seseorang atas dirinya terdapat dalam firman Allah Ta’ala,

لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا

Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Nisa’: 148) .

Dia boleh mendoakan orang yang mezhaliminya dan mengadukannya tanpa berbohong, namun demikian memaafkan adalah lebih utama dan lebih dekat dengan takwa.

Orang yang mazhlum (teraniaya) boleh menceritakan dan mengadukan kezaliman orang yang menzhaliminya kepada seorang penguasa atau hakim atau kepada orang yang berwenang memutuskan suatu perkara dalam rangka menuntut haknya.

Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 148:
“Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nisa’ : 148).

Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang teraniaya boleh menceritakan keburukan perbuatan orang yang menzhaliminya kepada khalayak ramai. Bahkan jika ia menceritakannya kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan, kekuatan, dan wewenang untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, seperti seorang pemimpin atau hakim, dengan tujuan mengharapkan bantuan atau keadilan, maka sudah jelas boleh hukumnya.

Tetapi walaupun kita boleh mengghibah orang yang menzhalimi kita, pemberian maaf atau menyembunyikan suatu keburukan adalah lebih baik. Hal ini ditegaskan pada ayat berikutnya, yaitu Surat An-Nisa ayat 149:
“Jika kamu menyatakan kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.” (QS. An-Nisa: 149).

“Ghibah adalah membicarakan orang dengan sesuatu yang tidak dia suka ketika dia tidak ada. Sedangkan asal al-bahtu adalah membicarakan keburukan orang lain yang tidak ada padanya. Keduanya diharamkan. Tapi dibolehkan ghibah untuk tujuan syar’i dengan enam sebab berikut ini:

1. Al-Tazhallum (mengadukan kezhaliman).
Boleh bagi orang yang dizhalimi untuk mengadukan kezhaliman yang menimpa dirinya kepada penguasa, qadhi, atau yang memiliki otoritas hukum ataupun pihak yang berwajib lainnya. Ia dapat menuntut keadilan ditegakkan atas orang yang mezhaliminya dengan mengatakan, “Si Fulan telah melakukan kezhaliman terhadapku dengan cara seperti ini dan itu.”.

rang yang mazlum (teraniaya) boleh menceritakan dan mengadukan kezaliman orang yang menzaliminya kepada seorang penguasa atau hakim atau kepada orang yang berhak memutuskan suatu perkara dalam rusaha menuntut haknya. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 148:

لَّا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَن ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا﴿١٤٨﴾

Allah tidak menyukai Ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

Ucapan buruk sebagai mencela orang, memaki, menerangkan keburukan-keburukan orang lain, menyinggung perasaan seseorang, dan sebagainya.

2. Permintaan bantuan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran dengan mengatakan kepada orang yang diharapkan mampu melakukannya, “Si Fulan telah berbuat begini, selamatkah dia darinya.”
Meminta bantuan untuk menyingkirkan kemungkaran dan agar orang yang berbuat maksiat kembali ke jalan yang benar.

Pembolehan ini adalah untuk mencegah kemungkaran dan mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang benar. Selain itu, ia juga merupakan kewajipan manusia untuk beramar ma’ruf nahi munkar. Setiap muslim hendaklah saling bahu-membahu menegakkan kebenaran dan meluruskan jalan orang-orang yang menyimpang dari hukum-hukum Allah.

3. Permintaan fatwa (al istifta’). Misal seseorang mengatakan kepada seorang mufti (pemberi fatwa), si fulan atau ayahku atau saudaraku atau suamiku telah menzhalimiku dengan cara begini.
Apakah dia berhak berbuat seperti itu? Lalu apa yang harus aku perbuat agar aku selamat darinya dan terhindar dari kezhalimannya? Atau pernyataan apapun yang semacam itu. Maka ini hukumnya boleh jika diperlukan. Tapi lebih baik dia mengatakan, “Bagaimana pendapat Anda tentang seseorang, atau seorang suami, ayah, anak yang telah memperbuat hal seperti ini? Namun demikian menyebutkan secara rinci tetap boleh berdasarkan hadits Hindun dan aduannya, “Sesungguhnya Abu Sufyan seorang laki-laki yang pelit.”
Istifta’ (meminta fatwa) berkaitan sesuatu masalah. Walaupun kita diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang untuk meminta fatwa, untuk lebih berhati-hati, ada baiknya kita hanya menyebutkan keburukan orang lain sesuai yang ingin kita adukan, tidak lebih daripada itu.

4. Memperingatkan kaum muslimin dari keburukan. Hal ini memiliki beberapa bentuk, di antaranya:
- Menyebutkan keburukan orang yang buruk (jarh majruhin) dari kalangan perawi hadits, saksi ataupun pengarang. Semua itu boleh berdasarkan ijma’, bahkan wajib sebagai langkah melindungi syari’at.
- Membeberkan aibnya ketika bermusyawarah untuk menjalin hubungan dengannya (bisa dalam bentuk, kerjasama, pernikahan dan lainya-pent).
- Apabila melihat seseorang membeli sesuatu yang cacat atau membeli seorang budak yang suka mencuri, berzina, mabuk-mabukan, atau semisalnya. Engkau boleh memberitahukannya kepada pembelinya jika ia tidak tahu dalam rangka memberi nasihat bukan untuk menyakiti atau merusak.
- Apabila engkau melihat seorang pelajar (santri) yang sering bertandang kepada orang fasik atau ahli bid’ah untuk menuntut ilmu, dan engkau khawatir dia terpengaruh dengan sikap negatifnya, maka wajib engkau memerinya nasihat dengan menjelaskan keadaan orang tersebut semata-mata untuk menasihati.
- Seseorang yang memiliki kedudukan namun tidak melaksanakan dengan semestinya karena bukan ahlinya atau karena kefasikannya, maka boleh melaporkannya kepada orang yang memiliki jabatan di atasnya agar dia memperoleh kejelasan tentang keadaanya supaya dia tidak tertipu olehnya dan mendorongnya untuk istiqamah.

Memperingatkan kaum muslimin dari beberapa kejahatan seperti apabila ada perawi, saksi, atau pengarang yang cacat sifat atau kelakuannya, menurut ijma’ ulama kita boleh bahkan wajib memberitahukannya kepada kaum muslimin. Ia dilakukan untuk memelihara kebersihan syariat. Ghibah dengan tujuan seperti ini jelas haruskan, bahkan diwajibkan untuk menjaga kesucian hadits. Apalagi hadits merupakan sumber hukum kedua bagi kaum muslimin setelah Al-Qur’an.

5. Seseorang yang melakukan kefasikan (kemaksiatan) atau kebid’ahan dengan terang-terangan, seperti minum-minuman keras, merampas harta orang (memalak), mengambil pungutan liar, dan melakukan perbuatan batil lainnya.
Maka boleh menyebut (membicarakan)nya karena dia melakukan kejahatan dengan terang-terangan. Adapun yang selain itu, tidak boleh kecuali ada sebab yang lain.
Menceritakan kepada khalayak tentang seseorang yang berbuat fasik atau bid’ah seperti, minum-minuman keras, merampas harta orang secara paksa. Ketika menceritakan keburukan itu kita tidak boleh menambah-nambaha dan sepanjang niat melakukan hal itu hanya untuk kebaikan agar menghindari pergaulan dengan orang tersebut. Kerana bergaul dengan orang fasik atau pun ahli bid’ah bisa membahayakan agama kita.

6. Untuk mengenalkan. Apabila dia terkenal dengan panggilanal-A’masy (orang yang kabur penglihatannya), pincang, al-Azraq (yang berwarna biru), pendek, buta, buntung tangannya, dan semisalnya maka boleh memperkenalkannya dengan menyebut hal itu.
Namun tidak boleh menyebutnya (membicarakannya) karena menghina. Dan jika bisa memperkenalkannya dengan sebutan yang lain tentu itu lebih baik.Bila seseorang telah dikenal dengan julukan si pincang, si pendek, si bisu, si buta, atau sebagainya, maka kita boleh memanggilnya dengan gelaran di atas agar orang lain boleh memahami. Tetapi jika tujuannya untuk menghina, maka haram hukumnya. Jika ia mempunyai nama lain yang lebih baik, maka lebih baik memanggilnya dengan nama lain tersebut.


OKT20;
“Bagaimana dan dengan logika apa kita dapat menyamakan di antara seluruh sahabat dan menyebut keduanya adalah sahabat? Misalnya antara Malik bin Nuwairah dan orang yang membunuhnya dengan keji dan pada malam itu juga seranjang dengan istrinya! Sekali-kali tidak dapat dibenarkan peminum khamar seperti Walid bin Uqbah hanya karena statusnya sebagai sahabat kemudian kita bela. Atau menyokong dan membela yang menjadikan pemerintahan Islam seperti sebuah kekuasaan diktator dan membunuh orang-orang shaleh dalam umat dan mengangkat senjata berperang melawan imam dan khalifah sah (Ali bin Abi Thalib)? Apakah dapat dibenarkan kita memandang sama antara Ammar Yasir dan kepala kelompok pemberontak hanya karena keduanya sahabat padahal Rasulullah Saw bersabda: “Ammar akan dibunuh oleh kelompok tiran dan pemberontak.”

Di antara perkara yang menjadi sasaran tudingan Syiah semenjak dahulu hingga kini (sebagaimana yang diklaim oleh musuh-musuh Syiah) adalah bahwa Syiah memendam dendam dan kusumat kepada sahabat. Tatkala kita mengkaji tudingan secara realistis dan jauh dari segala sikap puritan maka kita akan jumpai tudingan ini sama sekali jauh dari kenyataan yang ada. Lantaran Syiah sangat menghormati Rasulullah Saw dan para sahabatnya.
Bagaimana mungkin Syiah memendam kusumat kepada sahabat sementara mereka memandang sahabat sebagai penyebar syariat dan cahaya Tuhan untuk kemanusiaan?
Mereka adalah sandaran dan pembela Rasulullah Saw. Orang-orang yang berjihad di jalan Allah! Bagaimana mungkin Syiah membenci mereka sementara Allah Swt memuji mereka dan berfirman tentang mereka, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang terhadap sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, dan tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Qs. Al-Fath [48]:29).

Mereka adalah orang-orang yang menolong Allah dan Rasul-Nya. Menghidupkan agama-Nya dan membangun dasar pemerintahan Islam serta mengeliminir jahiliyyah.[i]

Imam dan pemimpin kaum Syiah, Baginda Ali bersabda ihwal para sahabat Rasulullah Saw: “Aku telah melihat para sahabat Muhammad Saw, tetapi aku tak menemukan seseorang yang menyerupai mereka. Mereka mengawali hari dengan debu di rambut dan wajah (dalam kesukaran hidup) serta melewatkan malam dalam sujud dan berdiri dalam salat. Kadang-kadang mereka letakkan (sujudkan) dahi mereka, dan terkadang pipi mereka. Dengan ingatan akan kebangkitan, mereka nampak seakan berdiri di atas bara menyala. Nampak seakan di antara mata mereka ada tanda-tanda seperti lutut kambing, akibat sujud yang lama. Bilamana nama Allah disebutkan, air mata mereka mengalir deras hingga kerah baju mereka basah. Mereka gemetar karena takut akan hukuman dan harapan akan pahala, seperti pohon gemetar pada hari angin topan.”[ii]

Demikian juga, Baginda Ali As menandaskan, “Saudara-saudaraku yang mengambil jalan (yang benar) dan melangkah dalam kebenaran? Di manakah ‘Ammar? Di manakah Ibn at-Tayyihan? Di mana Dzusy-Syahadatain? Dan di manakah yang lain-lain seperti mereka di antara para sahabat tnereka yang telah membaiat sampai mati dan yang kepalanya (yang tertebas) dibawa kepada musuh yang keji? Kemudian Amirul Mukminin menggosokkan tangannya ke janggutnya yang mulia lalu menangis dalam waktu lama, kemudian ia melanjutkan: Wahai! saudara-saudaraku yang membaca Al-Qur’an dan mengeluarkan hukum berdasarkan al-Qur’an, memikirkan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Tuhan kepada mereka dan menunaikannya, menghidupkan sunah dan menghancurkan bidah. Ketika mereka dipanggil untuk berjihad, mereka menyambut dan mempercayai pemimpin mereka lalu mengikutinya.”[iii]

Imam Sajjad As juga dalam Shahifah Sajjadiyah mendoakan para sahabat Rasulullah Saw, “Ya Allah! di antara penghuni bumi para pengikut rasul dan yang membenarkan mereka secara gaib ketika para pembangkang melawan mereka dengan pembohongan mereka merindukan para rasul dengan hakikat keimanan (tatkala orang-orang mendustakan dan menentangnya). Pada setiap zaman dan masa ketika Engkau mengutus seorang rasul memberikan petunjuk dan jalan kepada manusia sejak Adam sampai Muhammad Saw para imam pembawa petunjuk pemimpin ahli takwa sampaikan shalawat kepada mereka semua. Kenanglah mereka dengan ampunan dan keridhaan! Ya Allah! Khususnya para sahabat Muhammad yang menyertai Nabi dengan persahabatan sejati yang menanggung bala yang baik dalam membelanya menjawab seruannya ketika ia memperdengarkan hujjah risalahnya. Meninggalkan istri dan anak-anak untuk menegakkan kalimahnya. Memerangi bapak-bapak dan anak-anak untuk meneguhkan nubuwahnya dan memperoleh kemenangan karenanya. Mereka yang dipenuhi kecintaan kepadanya mengharapkan perdagangan yang tidak pernah merugi dalam mencintainya. Mereka yang ditinggalkan keluarga karena berpegang kepada talinya. Mereka yang diusir oleh kerabatnya ketika berlindung dalam naungan kekeluargaannya. Ya Allah! Jangan lupakan mereka apa yang telah mereka tinggalkan karena-Mu dan di jalan-Mu. Ridhoilah mereka dengan ridho-Mu. Karena telah mendorong manusia menuju kepada-Mu dan bersama rasul-Mu mereka menjadi para dai yang menyeru kepada-Mu. Balaslah dengan kebaikan pelarian mereka dan kepergian mereka dari kaumnya menuju-Mu. Meninggalkan kesenangan menuju kesempitan. Balaslah dengan kebaikan kepada mereka yang teraniaya karena menegakkan agama-Mu. Ya Allah! Sampaikan pahala terbaik kepada para pengikut mereka dalam kebaikan yang berkata, “Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang mendahului kami dalam iman.” [iv]

Demikian juga para juris Syiah meyakini kedudukan dan derajat para sahabat. Syahid Shadr berkata, “Sahabat adalah manifestasi iman dan penerang, terbaik dan model orang shaleh terbaik bagi kemajuan umat Islam. Sejarah umat manusia tidak akan mengenang sebuah generasi dengan keyakinan lebih unggul, lebih utama, lebih jenius, lebih suci daripada para penolong yang dididik oleh nabi.”[v]

Benar kita memiliki perbedaan dengan Ahlusunnah. Hal itu dikarenakan kami membagi sahabat Rasulullah Saw dan orang-orang yang hidup dengannya dengan mengambil inspirasi dari ayat-ayat al-Qur’an menjadi beberapa bagian:
01Kelompok orang-orang terdahulu: “Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (Qs. Al-Taubah [9]:100).

02Kelompok yang memberikan baiat di bawah pohon: “Sesungguhnya Allah telah rida terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berbaiat kepadamu di bawah pohon. Allah mengetahui keimanan dan kejujuran yang ada dalam hati mereka. Oleh karena itu, Dia menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (Qs. Al-Fath [48]:18).

03Kelompok yang berinfak dan berjihad sebelum kemenangan: “Tidak sama orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang sebelum tercapai kemenangan (dengan orang yang menginfakkannya setelah kemenangan tercapai). Mereka memiliki derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Tapi Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-Hadid [57]:10).

Sebagai kebalikan model-model utama dan pribadi-pribadi atraktif, al-Qur’an menyebutkan kelompok-kelompok lainnya yang sangat berseberangan secara diametral dengan model-model di atas:
1. Orang-orang munafik.[vi]
2. Orang-orang munafik yang tersembunyi dan Rasulullah Saw tidak mengenal mereka.[vii]
3. Orang-orang yang lemah iman dan sakit hatinya.[viii]
4. Orang-orang (lemah) yang mendengarkan dengan seksama ucapan-ucapan orang yang suka membuat fitnah.[ix]
5. Orang-orang yang di samping mengerjakan kebaikan pada saat yang sama juga mengerjakan keburukan.[x]
6. Orang-orang yang cenderung murtad.[xi]
7. Orang-orang fasik yang berbeda antara ucapan dan perbuatannya.[xii]
8. Orang-orang yang iman belum lagi masuk ke dalam hati-hati mereka.[xiii] Dan sifat-sifat tercela lainnya yang disebutkan sebagian dari mereka.

Di samping itu, di antara para sahabat terdapat orang-orang yang bermaksud membunuh Rasulullah Saw pada sebuah malam yang dilakukan oleh Uqbah.
Karena itu kita dapat menyimpulkan pandangan Syiah terkait dengan sahabat: Dalam mazhab Ahlulbait As sahabat seperti orang lain artinya di antara mereka terdapat orang yang adil dan tidak adil. Dalam pandangan Syiah tidak semua sahabat itu adil. Sepanjang perilaku dan perbuatan Rasulullah Saw tidak menjelma dalam kehidupan mereka maka status mereka sebagai sahabat tidak memiliki peran dalam keadilannya.

Dengan demikian, kriteria dan pakemnya adalah perilaku dan perbuatan praktis. Barang siapa yang perbuatan dan perilakunya sejalan dengan kriteria dan pakem agama Islam maka ia adalah seorang yang adil. Selainnya tidak adil. Sebagaimana yang telah kami katakan bahwa pandangan ini selaras dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.

Bagaimana dan dengan logika apa kita dapat menyamakan di antara seluruh sahabat dan menyebut keduanya adalah sahabat? Misalnya antara Malik bin Nuwairah dan orang yang membunuhnya dengan keji dan pada malam itu juga seranjang dengan istrinya! Sekali-kali tidak dapat dibenarkan peminum khamar seperti Walid bin Uqbah hanya karena statusnya sebagai sahabat kemudian kita bela. Atau menyokong dan membela yang menjadikan pemerintahan Islam seperti sebuah kekuasaan diktator dan membunuh orang-orang shaleh dalam umat dan mengangkat senjata berperang melawan imam dan khalifah sah (Ali bin Abi Thalib)? Apakah dapat dibenarkan kita memandang sama antara Ammar Yasir dan kepala kelompok pemberontak hanya karena keduanya sahabat padahal Rasulullah Saw bersabda: “Ammar akan dibunuh oleh kelompok tiran dan pemberontak.”[xiv]

Apakah ada orang yang berakal akan berbuat demikian? Dengan asumsi kita melaukan hal seperti ini apakah masih ada yang tersisa dari Islam tatkala kita senantiasa berupaya menjustifikasi perbuatan-perbuatan para pejuangnnya dan orang-orang tiran hanya karena mereka sahabat?

Pada hakikatnya Islam lebih mulia dan agung dari tindakan ingin mencampur aduk dengan kejahatan orang-orang jahat dan menyimpang pada setiap ruang dan waktu!! Inilah keyakinan kami. Kami tidak berbasa-basi dengan siapa pun. Lantaran kebenaran lebih layak untuk dijelaskan dan diikuti.Kami ingin bertanya kepada saudara-saudara Sunni apakah kalian memandang sama antara Khalifah Ketiga Utsman dan orang yang membunuhnya?Apabila keduanya adalah sama lalu mengapa serangan banyak dilancarkan kepada Ali As dan dengan dalih menuntut darah Utsman api peperangan Jamal dan Shiffin bisa meletus? Dan apabila dua kelompok ini tidak sama, orang-orang yang menentang dan orang-orang yang mendukung dalam pembunuhanya – apatah lagi orang-orang yang membunuhnya – mereka diperkenalkan sebagai orang-orang yang keluar aturan dan syariat maka hal itu adalah tiadanya keadilan pada sahabat! Lantas mengapa ada serangan kepada Syiah sementara pandangan mereka sama dengan pandangan yang lain?

Karena itu, dalam pandangan Syiah kriterianya adalah keadilan, berpegang teguh kepada sirah Rasulullah Saw dan menjalankan sunnah beliau semasa hidupnya dan pasca wafatnya. Barang siapa yang berada di jalan ini maka, dalam pandangan Syiah, ia harus dihormati dan jalannya diikuti serta didoakan semoga rahmat Tuhan baginya melimpah dan memohon supaya ditinggikan derajatnya. Namun orang-orang yang tidak berada di jalan ini kami tidak memandangnya sebagai orang adil. Sebagai contoh dua orang sahabat mengusung lasykar disertai dengan salah seorang istri Rasulullah Saw lalu berhadap-hadapan dengan khalifah legal Rasulullah Saw Ali bin Abi Thalib As menghunus pedang di hadapannya di perang Jamal. Mereka memulai perang yang menelan ribuan korban jiwa kaum Muslimin. Izinkan kami bertanya apakah angkat senjata dan menumpahkan darah orang-orang tak berdosa ini dapat dibenarkan? Atau orang lain yang disebut sebagai sahabat Rasulullah Saw dan menghunus pedang pada sebuah peperangan yang disebut sebagai Shiffin. Kami berkata perbuatan ini bertentangan dengan syariat dan memberontak kepada imam dan khalifah legal. Perbuatan-perbuatan ini tidak dapat diterima dengan membuat justifikasi bahwa mereka adalah sahabat. Demikianlah poin asasi perbedaan pandangan antara Syiah dan yang lainnya. Jelas bahwa di sini yang mengemuka bukan pembahasan mencela dan melaknat sahabat.

Rujukan :
[i]. ‘Adâlah Shahâbi, hal. 14, Majma’ Jahani Ahlulbait As.
[ii]. Nahj al-Balâghah, hal. 144, Khutbah 97.
[iii]. Nahj al-Balâghah, hal. 164, Khutbah 97, riset oleh Subhi Shaleh.
[iv]. Shahifah Sajjadiyah, hal. 42, Doa Imam untuk Para Pengikut Para Nabi.
[v]. Majmu’e Kâmilah, No. 11, Pembahasan ihwal Wilayah, hal. 48.
[vi]. “Dan infakkanlah sebagian rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, lalu ia berkata, “Ya Tuhan-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku barang sekejap sehingga aku dapat bersedekah dan termasuk orang-orang yang saleh?” (Qs. Al-Munafiqun [63]:10).
[vii]. “Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah ada sekelompok orang yang keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (Qs. Al-Taubah [9]:101).
[viii] . “(Ingatlah) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawah (kota)mu (sehingga mereka mengepung kota Madinah), dan ketika penglihatan(mu) terbelalak (lantaran takut) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. Di situlah diuji orang-orang yang beriman dan mereka diguncangkan dengan guncangan yang sangat.” (Qs. Al-Ahzab [32]:10-11).
[ix]. “Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu. Karena itu, mereka selalu bimbang dalam keragu-raguan mereka. Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu. Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka. Maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka, “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal (anak-anak kecil, orang-orang tua, dan orang-orang yang sedang menderita penyakit) itu.” Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah bagimu selain kerusakan dan keraguan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu untuk menyulut fitnah (dan kekacauan) di antaramu; sedang di antara kamu ada orang-orang (lemah iman) yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Taubah [9]:45-47).
[x]. “Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Taubah [9]:102).
[xi]. “Kemudian setelah kamu berduka cita, Allah menurunkan kepadamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan darimu, sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri (dan tidak mengantuk); mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah. Mereka berkata, “Apakah kita memiliki suatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?” Katakanlah, “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya berada di tangan Allah.” Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata, “Sekiranya kita memiliki suatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.” Katakanlah, “Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.” Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” (Qs. Ali Imran [3]:154.
[xii]. “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan, lalu kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Qs. Al-Hujurat [49]:6); “Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik? Mereka tidak sama.” (Qs. Al-Sajdah [32]:18).
[xiii]. Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk’ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. Jika kamu taat kepada Allah dan rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Hujurat [49]:14).
[xiv]. Silahkah lihat, Fushul al-Muhimmah, Abdulhusain Syarafuddin, hal. 189.

FAKTA BUKTI BAHWA SYIAH DALAM KEBENARAN


Oleh: Rudi Suriyanto

MEREKA BILANG JANGAN MAU PELAJARI SYIAH,,!!!
SEBAB SYIAH ITU AGAMA YANG KOTOR YANG MENGAJARKAN ORANG UNTUK MEMBENCI SATU SAMA LAINYA,,

padahal..
Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus,[49:7].

TERLEBIH SYIAH ITU MENGAJARKAN UNTUK MEMBENCI PARA SAHABAT,,
padahal sahabat itu dibenci karena..
Ada sahabat munafik (QS;At-Taubah;101)
ada sahabat munafik yang dikenal (QS;Al-Munafiqun;1)
ada sahabat yang mencampur amal shaleh dengan keburukan (QS;At-Taubah;102)
ada sahabat penebar fitnah & ragu-ragu (QS;At-Taubah;45-47)
ada sahabat yang berburuk (sangka kepada Alloh SWT tanpa hak.Nyaris murtad) (QS;Al-Imran;154)
ada sahabat yang lari dari peperangan [terjadi di saat perang uhud&hunain]
(QS;Al-Imran;153)
ada sahabat fasiq [sahabat yang berkata&berlaku tidak benar] (QS;Al-Hujurat;6)
ada sahabat yang telah bersumpah namun berdusta (QS;At-Taubah;56)
ada sahabat yang mendebat RosulAlloh Sawa &benci jihad [suka dunia&benci akhirat] (QS;Al-Anfal;5,6,7,8)
ada sahabat yang menghindari jihad dalam perang badar (QS;An-nisa';77)
ada sahabat yang lebih suka kehidupan dunia daripada akhirat (At-Taubah;38)
ada sahabat yang melarikan diri dari jihad (At-Taubah;25)
ada sahabat yang berdusta (At-Taubah;43)
ada sahabat yang berbalik dari jihad & melanggar janji dengan RosulAlloh (QS;Al-Ahzab;15)

MEREKA BILANG SYIAH ITU BERBEDA,,TIDAK PANTAS DISEBUT ISLAM,JIKA INGIN AMAN,BUAT AGAMA BARU DAN JANGAN HUBUNGKAN SYIAH ITU DENGAN ISLAM,,

padahal..
4 MAZHAB BERBEDA MEREKA ,,HANAFI,HAMBALI,SYAFII,MALIKI SALING BERTENTANGAN-SALING KAFIR-KAFIRAN DAN SALING BUNUH-BUNUHAN,,TAPI TETAP SAJA DIANGGAP SEBAGAI ISLAM DENGAN ALASAN PERBEDAAN ADALAH RAHMAT..

MEREKA . . T I D A K . . A D I L . . P A D A . . S Y I A H . .
padahal..
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.[ 5:8 ]

MEREKA MENYESATKAN SYIAH..
padahal..
Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk.[6:117]-[16:125]-[53:30]
kasihan juga ya menjadi seorang syiah,,

padahal..
untuk mengenal syiah tidaklah sulit,bisa dimulai dari buku ini ''SAQIFAH BANI SAIDAH SUKSESI WAFAT RASULULLAH SAW-O.HASHEM'.PDF >> http://u.to/7SV9Aw

Benarkah Al Quran meramalkan mayoritas sahabat kelak berbalik ke belakang (pasca wafat Nabi) berdasar Surat ali-‘Imran (3) ayat: 144 ?

Asbâbun Nuzûl Surat ali-‘Imran (3) ayat: 144;
144. Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? . Siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
 
 
Imâm Jalâludin as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 4, 3/ali-‘Imran) dengan menisbahkan kepada Ibnu al-Mundzîr dalam Tafsîr Ibn al-Mundzirnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu al-Mundzîr yang bersumber dari Umar bin al-Khatthab. Umar bin al-Khatthab berkata: “Kami (para sahabat) terpisah dari Rasulullah SAW. pada perang Uhud, lalu kami (para sahabat) naik gunung mendengar orang-orang Yahudi berteriak: “(Nabi) Muhammad telah terbunuh!”. Saya pun berteriak: “Telingaku tidak mau mendengar seorang pun yang berkata (Nabi) Muhammad terbunuh, dia pasti kupancung lehernya”. Lalu saya (Umar bin al-Khatthab) melihat Rasulullah SAW. dan orang-orang yang mendampingi Beliau kembali ke posnya masing-masing.
 
Maka turunlah ayat:
144. Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? . Siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.
 
 
Imâm Jalâludin as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 4, 3/ali-‘Imran) dengan menisbahkan kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Abî Hâtim yang bersumber dari ar-Rabi’. Ar-Rabi’ berkata: “Ketika orang-orang Islam terkena musibah, yaitu luka-luka parah di perang Uhud, mereka menyebut-nyebut Nabiyullah (Muhammad SAW.), sementara ada yang berteriak: “Dia (Nabi Muhammad) telah terbunuh”. Sebagian lagi berkata: “Kalau dia (Nabi Muhammad) seorang Nabi dia (Nabi Muhammad) tidak akan terbunuh”. Yang lain berkata: “Berperanglah mengikuti jejak Rasulullah SAW. sehingga mendapat kemenangan atau mati syahid bersama Beliau (Nabi Muhammad). Maka Allah SWT  menurunkan ayat:
 
144. Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? . Siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.
 
 
Imâm Jalâludin as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 4, 3/ali-‘Imran) dengan menisbahkan kepada al-Baihaqî dalam kitab ad-Dalâilnya:
“Dikemukakan oleh al-Baihaqî yang bersumber dari Abî Nâjih, bahwa ada seorang lelaki dari kaum Muhajirin bertemu dengan seorang lelaki kaum Anshar yang sedang berlumuran darah segar, dan berkatalah ia (seorang lelaki dari kaum Muhajirin): “Tahukah engkau bahwa (Nabi) Muhammad SAW. telah terbunuh?”. Lelaki Anshar tersebut menjawab: “Seandainya (Nabi) Muhammad terbunuh, maka ia (Nabi Muhammad) telah sampai kepada tujuan sebaik-baiknya. Maka berperanglah kamu untuk membela agamamu”. Maka turunlah ayat:
 
144. Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? . Siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.
 
 
Imâm Jalâludin as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 4, 3/ali-‘Imran) dengan menisbahkan kepada Ahmad bin Rahawaih dalam Musnad Ahmad Ibn Rahawaihnya:
“Dikemukakan oleh Ahmad bin Rahawaih yang bersumber dari az-Zuhrî, bahwa Setan berteriak-teriak pada waktu perang Uhud: “Bahwa (Nabi) Muhammad telah terbunuh!”. Berkatalah Ka’b bin Malik: “Aku lah orang pertama kali mengenali Rasulullah SAW. dari balik topi besinya, lantas ia (Ka’b bin Malik) berteriak sekuat tenaganya: “Ini dia Rasulullah SAW!”. Maka Allah SWT. menurunkan ayat:
 
144. Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? . Siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.
 
 
KETERANGAN:
Kata Imâm Jalâludin as-Suyûthî: “Hadis-hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas Hasan”.
 
Di bab lain, tatkala membicarakan Perang Hudaibiyah, Bukhari meriwayatkan dari al’ Ala’ bin Musayyib dari ayahnya ( Bukhari, Shahih,jilid 3, hlm. 30 dalam bab Ghaswah Hudaibiyah.) yang berkata: Aku bertemu alBarra’ bin ‘Azib dan aku berseru: ‘Selamat bagi Anda, Anda beruntung jadi sahabat Nabi dan Anda telah membaiat Rasul di bawah pohon, ‘bai’ah tahta syajarah!’. Ia menjawab: “Wahai anak saudaraku, engkau tidak tahu, apa yang kami lakukan sesudah Rasul wafat.!” Dan dalam bab lain Bukhari meriwayatkan yang berasal dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi saw: (Bukhari, Shahih, jilid 2, hlm. 154, bab yang menerangkan ayat “Dan Allah menjadikan Ibrahim kesayanganNya” (QS 4:125) dalam Kitab Bad’ul Khalq ) .

mengenai sahabat Al-Mughirah bin Syu’bah.Al-Mughirah bin Syu’bah tidak diragukan lagi bahwa beliau adalah seorang shahabat NabiTolong mas jelaskan kontradiksi ini berdasarkan hadits berikut; Dari Ziyad bin Alaqah dari Pamannya bahwa Mughirah bin Syu’bah telah menghina Ali bin Abi Thalib kemudian Zaid bin Arqam berdiri dan berkata ”Hai Mughirah bukankah kamu tahu bahwa Rasulullah SAW melarang untuk menghina orang yang sudah mati jadi mengapa kamu menghina Ali setelah kematiannya”.( Hadis Riwayat Al Hakim dalam Mustadrak As Shahihain juz 1 hal 541 hadis no 1419 ) .
 
Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan RasulNya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan” (QS Al Ahzab:57)“.
 
Al-Qur’an juga menyematkan atribut dan sifat-sifat negatif terhadap sebagian kaum muslimin yang sezaman dengan Nabiullah Muhammad saww. Thalhah  mengancam  mau  menikahi   isteri  isteri  Nabi  SAW  lalu  turunlah  ayat  “….Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.” (QS. al Ahzâb[33];53) .
 
Al-Qur’an menginformasikan kepada kita ada dari mereka yang sezaman dengan Nabi sebagai orang-orang munafik, yang keterlaluan dalam kemunafikannya (Qs. At-Taubah: 101), berpenyakit dalam hatinya, tidak memiliki keteguhan iman, dan berprsangka jahiliyah terhadap Allah swt (Qs. Ali-Imran: 154), sangat enggan berjihad (Qs. An-Nisa’: 71-72 dan At-Taubah ayat 38), melakukan kekacauan dalam barisan (Qs. At-Taubah: 47), lari tunggang langgang ketika berhadapan dengan musuh (Qs. Ali-Imran: 153 dan At-Taubah : 25), bahkan sebagian mereka lebih memilih perdagangan dan permainan daripada mendengarkan Nabiullah Muhammad saww berkhutbah, “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki.” (Qs. Al-Jumu’ah: 11).

As-Sabiqun Al-Awwalun, yaitu  sebagian  diantara orang  orang  yang paling awal masuk Islam dari Muhajirin dan Anshar. (QS At-Taubah 100)… yang dipuji bersyarat, tidak berlaku umum .

Al-Mubayi’un Tahta Asy-Syajarah, yaitu   sebagian  diantara  orang orang  yang berbaiat di bawah pohon (QS Al-Fath 18)…. yang dipuji bersyarat, tidak  berlaku umum .

sebagian  diantara  Ash- Habul Fath (QS Al-Fath 29), QS. al-Mujadilah (58) : 22,  Qs. Al-     Muhajirin (QS Al-Hasyr  9-10 ), QS 53:2  yang  dipuji  bersyarat.. Tidak  berlaku umum       karena mana mungkin ’sahabat  sahabat ′ saling berbunuhan atau bermusuhan, kan mereka      sedang ’saling berkasih sayang’ seperti firman Allah dlm surah al fath:29′.
 
Jika saya membenci sebagian para sahabat, karena tingkah lakunya memang pantas di benci.. Saya pun mencintai sahabat yang setia kepada nabinya seperti Abu dzar, Salman, Ammar bin Yasir, Miqdad, Muhamamad bin Abu Bakar karena memang mereka pantas dicintai. Mereka lah syiah Ali yang telah dijanjikan surga… sahabat besar inilah yang paling setia membela Imam Ali hingga wafatnya.
 
Syi’ah membagi Sahabat menjadi 3 golongan sesuai dengan firman-Nya dalam al-Fathir : 32 , Kemudian Kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang amat besar”.
 
Konon begitu tulus cinta sebagian Ahlusunnah pada Ahlulbait sampai sampai membunuh Cucu cucu Nabi yang suci pun dianggap Ijtihad dan dapat pahala. Bahkan pembunuhnya pun dianggap sebagai orang yang mendapat petunjuk, dan merampas kekhalifahan dari Imam Hasan pun dianggap sah-sah saja.
IMAM HASAN DAN IMAM HUSAIN SAJA YANG SUDAH TERJAMIN KESUCIANNYA OLEH AL-QUR’AN BISA DIBUNUH DENGAN KEJI TANPA PERASAAN. YANG BUNUH NGAKU PULA SEBAGAI KHALIFAH ISLAM (koq bisa, ya??) Yang paling bisa kita lakukan khanyalah setiap saat bersalawat kepada mereka (Ahlulbait) dalam shalat dengan konsisten dan mengambil ajaran dari mereka walaupun banyak ajaran mereka telah dimusnahkan oleh “konon” Khalifah Islam.

IMAM HASAN AS. TERBUNUH OLEH RACUN JA’DAH BINTI AL-ASY’AT KARENA PERINTAH KHALIFAH MUAWIYYAH BIN ABI SUFYAN DENGAN IMING2 100.000 DINAR DAN AKAN DIKAWINKAN DENGAN ANAKNYA (YAZID BIN MUAWIYAH). Kemudian wanita itu mendatangi Muawiyah menagih janjinya, Muawiyah hanya membayar 100.000 Dinar tapi menolak untuk menikahkannya. Dan  IMAM HUSAIN TERBUNUH DI KARBALA OLEH BALA TENTARA YAZID BIN MUAWIYAH YANG DIPIMPIN OLEH IBNU ZIYAD. (Begitulah kesaksian kitab Ulama anda seperti; Tarikh Al-Balazzuri, Tabaqat Ibnu Sa’at, Tarikh Ibnu Atsir, dan beberapa kitab lainnya).

Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan RasulNya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan” (QS Al Ahzab:57)“ …maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahNya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”(QS An Nur: 63) “Dan barangsiapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah jahanam, kekal dia di dalamnya dan Allah murka atasnya dan melaknatnya serta menyediakan baginya azab yang berat” (QS An Nisa’: 93) “Dan janganlah seperti orang-orang yang berpecah belah dan berselisih sesudah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan siksa yang berat” (QS Ali Imran: 105).

‘Kutukan’  terhadap Imam Ali dalam khotbah khotbah Jum’at selama lebih dari delapan puluh tahun oleh kekuatan politik yang menyusul kemudian, serta permusuhan dan penindasan terhadap para pengikutnya, hampir menghilangkan sama sekali buah pikiran ‘Ali dalam aliran ini. Aliran ini makin melembaga dan kemudian dikenal sebagai Ahlus Sunnah . Harapan kita pada kaum Sunni, jangan lagi menutup-nutupi kenyataaan sejarah demi mempercantik wajah mazhabnya dan berbohong untuk memperjelek wajah mazhab lain.

Zaman sekarang informasi sudah sangat mudah didapat, jadi makin banyak kalian menulis dusta tentang Syiah maka makin membuat orang lari dari mazhab Sunni lalu bergabung dengan Syiah. Ini adalah Fakta…. Amalkan kitab Sahih Muslim dengan konsisten, didalamnya tetulis bahwa umat tidak akan tersesat bila berpedoman pada Kitabullah dan Ahlulbait . Dan saya temukan hampir semua argumen yang dibangun oleh Syiah ada dan sahih menurut hadis riwayat Muslim juga riwayat Bukhari.

lihat berapa banyak SUNI MENGAMBIL RIWAYAT DARI AHLUL BAIT .
 
Mungkinkah Allah akan memuliakan hamba-Nya yang ‘tanpa kehendaknya (ikhtiyar)’telah terlahir di zaman Rasul hatta mereka  telah berani menentang sebagian perintah Ilahi, dibanding seorang hamba yang berilmu dan bertakwa namun dia ditakdirkan untuk terlahir di zaman yang jauh dari kehidupan Rasul?
Renungkanlah bukankah “merenung” sesaat itu lebih baik daripada beribadah bertahun-tahun ? , Jangan sampai kalian kembali mendahulukan Sunnah Sahabat daripada ayat al-Qur’an dan Sabda Rasul-Nya , hanya berdasarkan Ijma para Ulama kalian atau bahkan Fatwa para Ulama kalian yang bertentangan dengan Nash.
 
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Ismail telah menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Mughirah dari Abi Wail yang berkata Abdullah berkata Nabi SAW bersabda “Aku akan mendahului kalian sampai di Al Haudh dan akan dihadapkan kepadaku banyak orang dari kalian. kemudian ketika aku memberi minum mereka, mereka terhalau dariku maka Aku bertanya “Wahai RabbKu bukankah mereka itu sahabat-sahabatKu?. Dia menjawab “Engkau tidak tahu apa yang mereka perbuat sepeninggalmu”. [Shahih Bukhari 9/46 no 7049].
Bicara soal hadis, pernah dengar tidak hadis shahih bukhari dan muslim bahwa banyak para sahabat yang diusir dari Haudh karena telah mengada ada kan hal yang baru setelah Nabi SAW wafat. Bukhari ( Bukhari, Shahih, jilid 4, Bab alHaudh [alHaudh, nama Telaga di Surga], akhir Bab arRuqab, hlm. 94. )  meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi telah bersabda: Tatkala aku sedang berdiri, muncullah serombongan orang yang kukenal dan muncul pula seorang lelaki di antara diriku dan rombongan itu. Lelaki itu berkata: “Ayo!” Aku bertanya: “Kemana?” Ia menjawab ‘Ke neraka, demi Allah!” Aku bertanya: “Ada apa dengan mereka?” Ia menjawab: “Mereka berbalik  setelah engkau wafat.”.

“Halumma”, logat orang Hijaz, kata panggil untuk lelaki atau perempuan, tunggal, dua orang maupun jamak. Dalam kalimat ini yang dipanggil adalah serombongan orang, ‘zumrah’… irtaddu (   lihat  Al Qur’an 12:96; 2:217.).

Dan apa kata Rasulullah SAWW tentang Sahabatnya :

  1. Rasulullah SAW tidak menjamin surga kepada Abubakar. Setelah beliau bersaksi tentang  para syuhada di perang uhud. Rasul saw kemudian berkata kepada Abubakar : “Sungguh aku   tidak tahu apa yang akan kau lakukan sepeninggalku”. Dan kemudian Abubakar menangis” (Referensi  Ahlusunnah : Imam Malik, dalam “Al-Muwatta’”, kitab “Jihad”)
  2. Nabi SAWW bersabda , “Sesungguhnya ada dua belas orang pada sahabatku yang tergolong munafik” (Sahih Muslim 4/2143 hadis ke-2779)
  3. Dari Abdullah bahwa Nabi SAWW bersabda : Aku akan mendahului kalian di Haudh dan sebagian dari kalian akan dibawa ke hadapanku. Kemudian mereka akan dipisahkan jauh dariku. Aku akan berkata : wahai Tuhanku! Mereka itu adalah para sahabatku (ashabi). Maka dijawab: Sesungguhnya engkau  tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka setelah engkau meninggalkan mereka (inna-ka la tadri ma ahdathu ba‘da-ka) (Shahih Bukhori Hadis no.578.)
  4. Dari ‘Aisyah berkata:Aku telah mendengar Nabi SAWW bersabda ketika beliau berada di kalangan para sahabatnya(ashabi-hi):Aku akan menunggu mereka di kalangan kalian yang akan datang kepadaku. Demi Allah! Mereka akan ditarik menjauh dariku. Maka aku akan bersabda: Wahai Tuhanku! Mereka adalah dari(para sahabat)ku dan dari umatku. Dijawab: Sesungguhnya kamu tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka selepas kamu meninggalkan mereka (inna-ka la tadri ma ‘amilu ba‘da-ka).Mereka sentiasa kembali ke belakang(kembali kepada kekafiran)(Ma zalu yarji‘un ‘ala a‘qabi-him). (Shahih Muslim Hadis no.28.(2294))
[Saudara kita Ahlus Sunnah wal Jamaah telah menetapkan bahwa seorang Muslim Fasik dijaman Rasulullah SAWW adalah lebih Mulia daripada seorang Muslim Bertaqwa diakhir zaman].
 
Kenapa bisa seperti itu ?, karena mereka telah menetapkan untuk mengamalkan hukum-hukum Sahabat (Ahkamu-hum) dan Sirah-sirah mereka adalah menjadi Sunnah Ahlus Sunnah (al-Baghdadi, al-Farq baina l-Firaq, hlm. 309) bahkan lebih jauh mereka mengatakan bahwa Kami tidak dapati hari ini golongan umat ini yang bersetuju atau mendukung semua Sahabat selain dari Ahlu s-Sunnah wa l-Jama’ah (Ibid, hlm.304).
 
Renungkanlah bagaimana mungkin pahaman kalian bahwa wajib untuk patuh  kepada semua Sahabat (Sa’ira Ashab al-Nabi) (al-Asy’ari, al-Ibanah, hlm. 12).

MAZHAB ASWAJA SUNNi AKAN BERANTAKAN BiLA KiTAB KiTAB HADiS BEREDAR SESUAi DENGAN VERSi ASLiNYA, OLEH KARENA ITU ULAMA KALiAN PERLU UNTUK MERUBAH TEKS, MERiNGKAS MATAN NYA DAN MEMBERSiHKAN SEBAHAGiAN HADiS YANG MENGHANTAM AKiDAH SUNNi

Tatkala al-Mutawakil (847-864) berkuasa, ia melihat bahwa posisinya sebagai khalifah perlu mendapatkan dukungan mayoritas. Sementara, setelah peristiwa mihnah terjadi mayoritas masyarakat adalah pendukung dan simpatisan Ibn Hanbal. Oleh karenanya al-Mutawakil membatalkan paham Mu’tazilah sebagai paham negara dan menggantinya dengan paham Sunni. Pada saat itulah Sunni mulai merumuskan ajaran-ajarannya. Salah seorang tokohnya, al-Shafi’i munyusun ‘Ushul al-Fiqh yang di dalamnya mengandung ajaran tentang Ijma’ dan Qiyas. Dalam bidang Hadith lahir tokoh Bukhari dan Muslim.

Dalam bidang Tafsir, lahir al-Tabbari dan Ibn Mujahid. Pada masa inilah kaum Sunni menegaskan sikapnya terhadap posisi Uthman dan ‘Ali dengan mengatakan bahwa masyarakat terbaik setelah nabi adalah Abu Bakar, Umar, Uthman dan ‘Ali.

Berbeda dengan Mu’tazilah, pertikaian antara Sunni (Ahl al-Hadith) dan Shi’ah selalu diwarnai demensi politik..
Secara umum, pemikiran kelompok Sunni menekankan pada ketaatan absolut terhadap khalifah yang sedang berkuasa secara singkat dapat dikatakan bahwa pemikiran politik Sunni pertama kali muncul sebagai respon reaktif terhadap pemikiran-pemikiran Shi’ah dan Khawarij pada masa khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib.

Dalam proses pembentukannya, ideologi Sunni ternyata tidak dapat dilepaskan dari pemikiran keagamaan mereka dan adanya ketegangan-ketegangan dengan golongan lain untuk memperoleh pengakuan dari penguasa. Dalam masa formal ideologi Sunni tersebut, misalnya telah terjadi polemik intelektual antara al-Syafi’I dengan ulama-ulama Khawarij dan Mu’tazilah, dan perebutan mencari pengaruh politik dari para khalifah yang sedang berkuasa.

Diperlukan waktu hampir beberapa abad untuk sampai pada proses terbentuknya pemikiran politik Ahl al-Sunnah ini, terhitung sejak mulai diperkenalkannya pada masa awal Islam, sahabat, tabi’in sampai pada pengukuhannya dalam Risalah al-Qadiriyyah.

Istilah ini (ahl al-Sunnah wa-Jama’ah) awalnya merupakan nama bagi aliran Asy’ariyah dan Maturidiah yang timbul karena reaksi terhadap paham Mu’tazilah yang pertama kali disebarkan oleh Wasil bin Ato’ pada tahun 100 H/ 718 M dan mencapai puncaknya pada masa khalifah ‘Abbasiyah, yaitu al-Ma’mun (813-833 M), al-Mu’tasim (833-842 M) dan al-Wasiq (842-847 M). Pengaruh ini semakin kuat ketika paham Mu’tazilah dijadikan sebagai madzab resmi yang di anut negara pada masa al-Ma’mun.

Jika ada perbedaan pokok antara teman-teman syi’ahdengan kalangan Islam yang lain, maka hal itu terletak dalam sikap yang mereka kembangkan terhadap tradisi Islam klasik tersebut.

Sikap syi’ah adalah tidak mengabaikan sama sekali khazanah intelektual Islam klasik sunni, tetapi juga tidak menganggapnya sebagai “benda suci” yang tak boleh diutak-utik. Banyak pandangan yang dikemukakan oleh sarjana Islam di masa lampau yang masih tetap relevan dengan keadaan sekarang; tetapi tak sedikit pula yang sudah kehilangan relevansi sama sekali sehingga kami tak segan-segan untuk menafsirkannya kembali.
Dengan kata lain, sikap yang dikembangkan oleh syi’ah adalah hendak membaca kembali tradisi intelektual Islam klasik secara kritis. Jika kami mengkaji kembali pemikiran Al-Mawardi, Ibn Taymiyah, Ibn Rushd, al-Ghazali, dll., maka bukan berarti kami hendak menerima gagasan mereka apa adanya, tanpa kritik atau interpretasi ulang.

Setiap generasi memiliki tantangannya masing-masing, dan ia akan dituntut untuk merumuskan jawaban sesuai dengan tantangan itu.
Sekarang, umat Islam hidup dalam konteks sejarah yang sudah berbeda dengan generasi al-Mawardi, dan kerena itu tantangan yang dihadapinya sudah sama sekali berbeda. Mengutip pendapat al-Mawardi tanpa memperhatikan konteks sejarah dan tantangan yang berbeda itu sama saja dengan terjatuh pada anakronisme sejarah.

Tentu warisan intelektual Islam dari generasi masa lampau sunni  penting untuk dijadikan sebagai sumber ilham guna merumuskan jawaban untuk tantangan yang dihadapi umat saat ini. Tetapi warisan itu tak boleh dianggap sebagai hal yang sakral sehingga harus disungkup rapat-rapat agar kedap dari segala bentuk kritik.
SEBAGIAN kalangan dalam Islam ada yang beranggapan bahwa sarjana Islam sunni di masa lampau telah mencapai suatu “maqam” atau tingkat kecanggihan intelektual yang sangat tinggi yang sulit ditandingi oleh generasi sekarang.

Ulama masa lampau juga telah menulis apa saja yang dibutuhkan oleh umat Islam berkenaan dengan ajaran Islam. Tugas umat Islam sekarang hanya sekedar melaksanakan apa yang sudah ditulis oleh mereka itu. Sebuah ungkapan terkenal menggambarkan sikap hormat pada masa lampau secara berlebihan ini: “ma taraka al-awa’ilu li al-awakhiri syai’an” (generasi lampau tak meninggalkan ruang sedikitpun bagi generasi belakangan).

Jika ada seseorang yang berani mengkritik pendapat ulama masa lampau, orang bersangkutan akan didamprat dengan sebuah argumen yang sangat khas, “Emangnya siapa kamu kok berani mengkritik pendapat ulama klasik? Apakah kamu memiliki ilmu yang setara dengan mereka?

Sikap semacam ini, menurut saya, sama sekali tidak tepat. Sikap seperti ini, dalam bentuk yang ekstrem, akan terjatuh pada “pengkultusan” ulama masa lampau, seolah-olah pendapat mereka begitu sucinya sehingga tak boleh dikritik atau ditafsirkan ulang.

Masalah yang dihadapi oleh umat Islam saat ini begitu banyak dan kompleks, dan karena itu menantang generasi sekarang untuk merumuskan jawaban baru yang sama sekali berbeda. Terlalu banyak masalah yang dihadapi oleh umat Islam saat ini yang tak akan kita temukan solusinya dalam karya-karya ulama masa lampau.

Contoh sederhana adalah bentuk negara Iran  modern yang menempatkan semua warga negara dalam kedudukan yang sama, tanpa memandang perbedaan agama, suku, atau latar-belakang budaya. Ini adalah fenomena baru yang tak pernah ada presedennya dalam praktek bernegara pada masa lampau, sejak zaman Nabi hingga runtuhnya kekhilafahan Usmaniah pada abad 20.

Konsep “warga negara” dan “kewarganegaraan” (muwathana, citizenship) sebagaimana kita kenal dalam konteks negara modern saat ini, misalnya, tak pernah kita temukan presedennya dalam praktek bernegara di masa lampau, baik dalam seharah Islam atau sejarah bangsa-bangsa lain.

Tentu saja, karya-karya mengenai fiqh politik yang ditulis oleh sarjana Islam klasik seperti al-Mawardi, al-Baqillani, al-Haramain, Ibn Taymiyah, dll. bisa dijadikan sebagai sumber ilham untuk merumuskan jawaban atas tantangan baru yang dihadapi oleh umat Islam saat ini.

Tetapi, secara umum, seluruh karya sarjana klasik itu ditulis dalam konteks sejarah yang berbeda sehingga tidak semua yang mereka tulis masih relevan dengan keadaan sekarang.

————————————————————————————-
Teori proyeksi dalam studi hadis sunni :  bahwa banyak hadis sebetulnya muncul dan “dibuat” belakangan sebagai bagian dari debat-debat di kalangan ulama sunni, kemudian dinisbahkan ke belakang (projected back) kepada Nabi.

teori proyeksi hanya mungkin akan benar -sebagian- untuk hadis-hadis yang memang tidak punya syahid, tapi kalau sebaliknya (punya syahid, apalagi banyak) teori proyeksi agak kesulitan untuk diterapkan.
Sebagian materi hadits  mempunyai persamaan di kalangan kelompok-kelompok Islam, seperti Sunni  dan Syi’ah  Imamiyyah;
padahal, kelompok ini telah memisahkan diri dari kelompok Ahlus Sunnah sejak wafatnya Nabi saw. Tidak hanya itu saja, kelompok-kelompok tersebut juga saling berperang dalam rentang waktu yang cukup lama, dan saling menuduh kelompok lain telah menyimpang dari Islam.

Abu Hanifah, salah seorang ahli hukum Islam paling terkemuka, bahkan boleh dikatakan sering mengabaikan hadith dalam menulis hukum Islam. Padahal, koleksi hadith tersedia. Kenapa? Kekhawatiran yang sama , hadith sunni terlalu rentan dipalsukan!”

Hadis hadis TENTANG  SEMUA  SAHABAT  ADiL, hadis hadis jaminan surga kepada 3 khalifah, hadis hadis pujian kepada  Mu’awiyah  dan sejenisnya hanyalah  hadis hadis  politik REKAYASA  PENGUASA  dan ulama penjilatnya.

masalah hadis-hadis politik, tinggal bagaimana kearifan kita dalam memahaminya. iya to!  alias tak seluruhnya dr turats klasik kita itu BAIK. jangan hanya “taken for granted”
bahwa hadist yg diriwayatkn oleh Imam Bukhari yg sejak kita belajar Islam sudah ditanamkan bahwa itu hadist sahih- sulit rasanya menerima pandangan yg sebaliknya. Karena suatu hal yg ditanamkan ratusan atau bahkan ribuan tahun, sebagai kebenaran hampir mutlak, butuh keberanian intelektual utk menerima kekritisan cara berpikir yg berbeda dgn pendapat umum Ummat Islam. Karena salah-salah kita bisa dianggap keluar dari millah ini, ujung-ujungnya dikafirkan, ngeri coy.

Letakkan sebuah kursi di tengah ruangan. Panggil 10 orang duduk mengitari kursi itu. Suruh mereka menulis tentang kursi satu itu. Maka akan muncul 10 cerita yang berbeda. Tidak seorangpun boleh mengatakan ceritanya yang paling benar dan yang lain salah. Orang lain yang akan memilih, cerita mana yang paling masuk akal. Kita tidak perlu saling memaki karena semua orang punya hak untuk berpendapat dan untuk memilih.

hadits dibukukan jauh setelah sumber aslinya wafat. jelas saja menyisakan ruang untuk berbagai kemungkinan dan kepentingan. disinilah kemudian terletak sumber kontroversi yang juga dipicu penggolongan derajat hadits dan munculnya kelompok-kelompok dengan pendekatan berbeda terhadap kekyatan hukum sebuah hadits.

Minimal syi’ah beragama dengan Iman dan Akal yg Sehat.
justru menurut saya metode sanad itu lebih memiliki banyak kelemahan mas. bukannya untuk menentukan jujur ato tidak seseorang akan sangat sulit, subyektifitas pasti bermain di sini. misal, perawi A dianggap jujur sama Z, tapi belum tentu dia dianggap jujur ama X. Nah kalo gitu, bukannya yang muncul malah ilmu mencari2 kesalahan orang lain, asal menemukan sedikit kecacatan, maka dianggap riwayatya lemah. Saya kira menilai dari sisi matan, dan membandingkannya degan nilai2 universal dari Al-quran akan lebih bagus untuk menilai sebuah hadits. At least lebih obyektif.

hal yg sangat wajar jika kita rajin menelaah hadist2 suni bahkan yg muktabar sekalipun, dimana akan banyak kontradiksi di dalam masalah penghukumannnya (ta’dil wa jarh ).
contoh saja: salah seorang perawi sahih Buhori, Haritz bin Uthman jelas dia adalah pendukung bani Umayah, ia melaknat Imam Ali 70x di pagi hari dan 70x di sorenya secara rutin…namun apa juga yg dikatakan Ahmad bin Hambal:”haritz bin uthman adalah Tsiqot!”.

kemudian dalam soheh Muslim pun diceritakan bahwa Muawiyah La. memerintahkan Sa’ad bin Abi waqos untuk menghina dan mencerca Imam Ali a
Hadith sangat rentan untuk dipalsukan. Patut dicatat bahwa dengan metode mirip-mirip beginilah agama tauhid yang dibawa Muhammad  dimetamorfosis menjadi mazhab sunni  yang pro oknum  sahabat  zalim..
Yang menjadi teka-teka saya selama ini adalah hadis-hadis politik  sunni  itu kok “klop” benar dengan kepentingan penguasa Mu’awiyah dan Abbasiyah zaman itu. Kalau memang hadis ini sudah ada dari “sono“-nya, kenapa tidak dikutip pada saat situasinya relevan, yaitu waktu Usman diberontak oleh penduduk Mesir? Kenapa hadis-hadis itu tidak dikutip Abu Bakar waktu perang melawan kaum pembangkang zakat? Kenapa hadis itu tak dipakai oleh Ali untuk menghadapi perlawanan Mu’awiyah? Dst. dst.

verifikasi hadis melalui metode sanad  sunni juga tidak bisa memberikan kepastian apapun, kebalikan dari yang diyakini oleh banyak sarjana hadis selama ini. Sebab, kalau kita telaah proses verifikasi sanad, akan kelihatan sekali bahwa fondasinya cenderung subyektif.

Fondasi sanad adalah pendapat seseorang bahwa si A atau si B yang menjadi perawi hadis bisa dipercaya karena dia seorang yang baik (‘adl, bukan fasik), hafalannya bisa dipercaya (dhabth), dan pernah bertemu langsung dengan perawi sebelumnya (muttashil).

Menurut saya, fondasi seperti ini mengandung banyak soal, meskipun sebagai sebuah “temuan”, metode itu cemerlang dan pantas kita hormati. Poin saya, metode itu tidak memberikan fondasi sekukuh seperti dikira oleh banyak orang selama ini. Sebab, dasar pokok dari metode sanad adalah penilaian seseorang atas “kualitas” orang lain yang menjadi rawi. Hadis  sunni  datang kepada kita bukan karena ada dokumen tertulis yang ada sejak dari zaman Nabi.

hadis dirawat melalui ingatan para rawi, sejak zaman sahabat hingga ke generasi para kolektor hadis. Sebagaimana kita tahu, aktivitas awal untuk mencatat hadis baru dimulai secara sporadis pada abad kedua Hijriyah, artinya satu abad lebih setelah Nabi wafat. Imam Bukhari, kolektor yang paling bertanggung jawab atas kodifikasi hadis itu, meninggal pada 870 M. Nabi meninggal pada 632 M. Anda bisa hitung sendiri jarak antara keduanya.

Dalam metode sanad sunni, perawi hanya mengungkapkan apa yang ia dengar/lihat  sehingga like-dislike.
Bagaimanapun, penilaian seseorang sudah tentu mengandung unsur-unsur subyektif. Dan ingatan manusia, seberapapun sempurnanya, tentu mengandung kemungkinan meleset.
Pendapat yang pernah dikemukakan oleh Mahmud Abu Rayyah dalam “Adhwa’ ‘Ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah” (Telaah Atas Sunnah Muhammad) patut dipertimbangkan di sini. Dia mengatakan dalam buku itu yang membuat saya terkesima saat membacanya pertama kali dan selalu saya ingat hingga sekarang: menurut informasi dari Imam Bukhari sendiri, dia menyeleksi dari sekitar 300 ribu hadis untuk menyusun kitab koleksi hadisnya yang dianggap sebagai paling otoritatif oleh umat Islam itu. Sebagaimana kita tahu, Sahih Bukhari hanya memuat sekitar 2600an hadis.

Kata Abu Rayyah: bayangkan, Imam Bukhari menyuling 2600an hadis yang dianggap valid dari 300 ribuan hadis. Apa yang bisa disimpulkan dari fakta ini? Kata Abu Rayyah: dengan rasio 300.000:2600an, kita bisa mengatakan bahwa hadis pada umumnya adalah palsu atau lemah. Yang valid hanyalah perkecualian saja. Tentu, kita berbicara mengenai era Imam Bukhari. Dengan kata lain, pada zaman itu, betapa pervasif dan luas sekali persebaran hadis-hadis palsu atau minimal lemah. Begitu luasnya persebaran hadis palsu sehingga Abu Rayyah membuat semacam hukum: hadis yang palsu adalah “norm“, sementara hadis yang shahih adalah “exception“.

Tentu pendapat Abu Rayyah ini disanggah banyak sarjana, antara lain yang paling kondang adalah Muhammad ‘Ajaj al-Khatib melalui bukunya yang sekarang sudah menjadi klasik, “Al-Sunnah Qabl al-Tadwin” (Sunnah Nabi Sebelum Era Kodifikasi, terbit pertama kali 1963).

Saya tidak memihak salah satu kubu dalam perdebatan ini. Belum tentu kritik-kritik Abu Rayyah benar sepenuhnya, begitu juga sanggahan lawan-lawannya belum tentu menjawab dengan memuaskan keberatan-keberatan yang diajukan oleh Abu Rayyah. Yang bisa dipelajari dari perdebatan ini hanya satu: validitas hadis memang masih mengandung masalah di sana-sini. Pangkal masalahnya satu: hadis tidak pernah direkam dalam dokumen tertulis sejak pada masa Nabi yang bisa diverifikasi langsung. Hadis datang ke kita melalui sebuah ingatan. Sebagaimana setiap ingatan, sudah tentu ada masalah di sana menyangkut seberapa jauh validitas ingatan itu dan bagaimana mengeceknya. Seberapapun kuatnya sebuah ingatan, ia tetap sangat “precarious” dan rentan.

Di sinilah saya mengajukan sejumlah pertanyaan mengenai hadis yang sangat populer dan dianggap valid selama ini, yaitu hadis yang berbunyi, “Taraktu fikum amrain ma in tamassaktum bihima lan tadhillu abadan, Kitaballahi wa sunnata rasulihi” (Sabda Nabi SAW: Aku tinggalkan bagi kalian dua hal, jika kalian memegangnya erat-erat, kalian tak akan pernah sesat, yaitu Kitab Tuhan dan sunnah rasul-Nya).
Pertama, teks hadis ini tidak seragam seperti ini. Ada beberapa versi redaksi untuk hadis ini (saya sudah tak ingat persis). Ini menandakan bahwa ingatan sangat rentan mengalami distorsi (meskipun ulama hadis umumnya mengatakan bahwa “riwayat al-hadith bi al-ma’na” diperbolehkan, alias meriwayatakan hadis tidak secara harafiah seperti diucapkan Nabi, sebaliknya hanya menceritakan “the gist” atau pengertian umumnya saja).

Kedua, hadis ini di kalangan Syi’ah memiliki redaksi yang sama sekali lain. Di kalangan mereka, “dua hal” yang ditinggalkan Nabi itu adalah Kitab Tuhan, alias Quran, dan keluarga Nabi (ahl al-Bait). Dalam pandangan saya, redaksi kalangan Syi’ah ini lebih masuk akal ketimbang redaksi kalangan Sunni. Alasan saya adalah berikut ini.

Jika Nabi menghendaki umat Islam untuk berpegang pada sunnah Nabi, ini sulit diterima secara rasional, sebab sunnah Nabi tidak pernah dibukukan secara relatif baku seperti Quran. Jika Nabi menghendaki berpegang pada sunnah, apa yang sebetulnya disebut sunnah dalam benak Nabi sendiri? Sebab pada masa Nabi sama sekali belum ada koleksi hadis yang relatif standar dan bisa diikuti oleh umat Islam. Sunnah, pada era Nabi, sahabat, dan tabi’in, masih merupakan kategori yang cair sekali. Hadis sunni tidak sekokoh Quran karena yang terakhir ini lebih solid sebagai sebuah teks, dan konon sudah dicatat dalam dokumen tertulis sejak pada masa Nabi (meskipun sekali lagi, dokumen itu sudah tak ada sekarang, antara lain karena, konon, dihancurkan oleh khalifah Usman, sehingga sulit pula kita lakukan verifikasi ulang).

Yang menarik, Nabi sendiri melarang penulisan hadis, sebagaimana dapat kita baca melalui sabdanya, “La taktubu ‘anni ghair al-Quran” (Janganlah kalian mendokumentasikan dari diriku sesuatu selain Quran). Larangan penulisan hadis juga dipraktekkan secara keras oleh khalifah Umar. Khalifah kedua ini gampang naik pitam jika ada seseorang dengan mudah meriwayatkan hadis. Dia pernah mendamprat Abu Hurairah karena sedikit-sedikit meriwayatkan hadis. “Rationale” di balik larangan ini sangat masuk akal: jika sunnah Nabi didokumentasikan, ada kekhawatiran ia akan campur-baur dengan Quran. Biarlah yang didokumentasikan Quran saja, sementara hadis tetap menjadi “living tradition” yang tak tercatat.
Kesimpulan saya: amat mustahil memegangi sesuatu yang tak jelas sosoknya seperti sunnah pada zaman itu. Yang lebih masuk akal, Nabi memerintahkan umat Islam untuk berpegang pada Quran yang sebagai teks lebih solid dan bisa dirujuk bersama-sama, plus keluarga Nabi yang juga bisa dirujuk bersama-sama. Dengan demikian, redaksi kalangan Syi’ah untuk hadis di atas lebih masuk akal. Perintah untuk “berpegang” pada keluarga Nabi masih mengandung pengertian  artinya harus menjadikan keturunan Nabi sebagai khalifah sepeninggal Nabi.

Teori proyeksi dalam studi hadis:
sayang sekali pemikiran-pemikiran seperti ini hanya bisa dijumpai di blog. Kalau saja pemikiran-pemikiran seperti ini muncul di masjid, musholla, atau langgar, saya yakin sedikit banyak akan mengubah paradigma kita dalam memahami hadis.

Inti teori ini adalah bahwa banyak hadis sebetulnya muncul dan “dibuat” belakangan sebagai bagian dari debat-debat di kalangan ahli fikih perdana, kemudian dinisbahkan ke belakang (projected back) kepada Nabi. Kasus kongkretnya adalah: misalkan saja seorang ahli fikih sedang berdebat tentang suatu hukum. Lalu ia “menciptakan” sebuah hadis guna memberikan legitimasi dan otoritas pada pedapatnya itu, dan menisbahan hadis “buatan”-nya itu kepada Nabi.

Praktek “membuat hadis” palsu sangat luas terjadi dalam sejarah Islam perdana, terutama di kalangan para “da’i” dan penceramah yang disebut “al-qash-shash“. Agar ceramahnya menarik perhatian umat dan diperhatikan, seorang qash-shash sengaja menciptakan sebuah hadis dan dinisbahkan kepada Nabi.
Taha Husain di tahun 30an pernah menerbitkan sebuah buku, “Fi al-Shi’r al-Jahili” yang kontroversial yang berisi studi kritis atas syair-syair Arab pra -Islam. Menurut studi dia, banyak syair Arab yang selama ini dianggap sebagai syair pra-Islam atau jahiliyyah, sejatinya dibuat jauh setelah Islam datang sebagai bagian dari tradisi eksegesis atau penafsiran Quran.

Sebagaimana kita tahu, salah satu metode tafsir yang berkembang pada fase awal adalah dengan cara menerangkan sejumlah kosa-kata yang artinya ambigu dalam Quran dengan merujuk kepada syair-syair pra-Islam. Menurut Taha Husain, syair-syair ini diciptakan belakangan lalu diproyeksikan ke belakang, yakni ke masa jahiliyyah.

Tetapi, teori proyeksi ini membantu kita dalam memahami beberapa hadis secara lebih proporsional.
Yang menarik, hadis-hadis politik itu muncul dan beredar di masyarakat jauh setelah khalifah empat (al-khulafa’ al-rashidun) berlalu. Hadis-hadis ini muncul setelah sarjana Islam mulai menulis literatur yang sering disebut sebagai “fiqh al-Siyasah” atau fikih politik.

Salah satu penulis penting di bidang ini adalah Abu al-Hasan ‘Ali al-Mawardi (w. 450 H/1058 M), seorang juris penting dari lingkungan mazhab Syafii. Sebagaimana kita tahu, al-Mawardi hidup kira-kira empat abad lebih sepeninggal Nabi. Al-Mawardi hidup pada masa dinasti Abbasiyah, terutama pada fae awal saat imperium ini berada di tangan orang-orang Saljuk. Oleh beberapa sarjana, buku al-Mawardi yang terkenal, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, dianggap sebagai semacam cara untuk memberikan legitimasi pada dinasti Abbasiyah berhadapan dengan lawan-lawannya, seperti dinasti Fatimiyyah di Mesir.

Observasi lain yang relavan mengenai hadis-hadis “politik” adalah sebagai berikut: kenapa hadis-hadis ditu cocok dan pas benar dengan kondisi politik yang berkembang pada era kedinastian Islam?
Hadis riwayat Hisyam b. ‘Urwah dari Abi Shalih dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda: “Sayalikum ba’di wulatun fayalikum al-barru bi birrihi wa al-fajiru bi fujurihi fa-sma’u lahum wa athi’u fi kulli ma wafaqa al-haqqa, fa in ahsanu fa lakum wa in asa’u fa lakum wa ‘alaihim.”
Artinya: Setelah aku meninggal, kalian akan diperintah oleh penguasa yang baik dengan kebaikannya dan penguasa yang jahat dengan kejahatannya. Kalian harus patuh mendengarkan dan menaati mereka dalam hal-hal yang sesuai dengan kebenaran. Jika mereka berbuat baik, maka kebaikan itu akan berguna buat kalian. Tetapi jika mereka berbuat jahat, kalian tak rugi apa-apa, sebaliknya yang rugi adalah mereka sendiri.

Logiskah?
Nabi memerintahkan umat Islam untuk taat kepada seorang penguasa, tak peduli apakah mereka adil atau tiran, sebagaimana terbaca dalam hadis yang kedua.
Yang lebih mengagetkan adalah sabda Nabi berikut ini, “Fa in ahsanu falakum wa in asa’u falakum wa ‘alaihim“. Sesuai dengan sabda ini, jika seorang penguasa bertindak adil, maka yang diuntungkan adalah rakyat; jika penguasa bertindak lalim, maka rakyat tak dirugikan apapun; kelaliman itu hanya merugikan penguasa bersangkutan.

Saya nyaris tak percaya bahwa Nabi mengeluarkan statemen seperti ini. Bagaimana mungkin penguasa yang tiran tidak merugikan rakyat? Apakah masuk akal Nabi mengeluarkan statemen seperti ini?
Jika hadis ini memang benar-benar pernah diucapkan oleh Nabi, kenapa beberapa sahabat memberontak pada Usman, khalifah ketiga, saat ia dituduh mempraktekkan kebijakan-kebijakan yang “nepotistik” dan meresahkan banyak masyarakat, hingga akhirnya dia terbunuh?
Apakah sahabat melanggar perintah Nabi untuk tunduk pada penguasa, baik penguasa adil ataupun jahat?

Kontradiksi-kontradiksi historis semacam ini tidak pernah dijawab secara memuaskan dalam literatur fikih siyasah, dan sebaliknya ditutup rapat-rapat melalui doktrin “al-shahabi ‘udul“, para sahabat adalah adil. Pokoknya diandaikan saja bahwa generasi sahabat pasti benar, tak mungkin mereka berbuat salah. Kalau pun mereka berbuat sesuatu yang tampaknya salah, itu adalah hasil ijtihad mereka. Ijtihad yang salah tetap mendapat pahala. Solusi semacam ini hanyalah melarikan diri dari masalah, bukan menghadapinya dengan “jantan”.

 Riwayat Muslim dari Abu Hazim, ia berkata: “Selama lima tahun aku bersahabat dengan Abu Hurairah dan aku pernah mendengarnya menceritakan sebuah hadis dari Nabi, “Kanat banu Isra’ila tasusuhum al-anbiya’ kullama halaka nabiyyun khalafahu nabiyyun, wa innahu la nabiyya ba’di, wa satakunu khulafa’u fa taktsuru.” Qalu: Fama ta’muruna? Qala, “Fu bi bai’at al-awwali fa al-awwali wa a’thuhum haqqahum fi inna l-Laha sa’iluhum ‘amma istar’ahum.”
Artinya: Bangsa Israel dulu diperintah oleh para nabi; setiap satu nabi meninggal, maka nabi lain akan menggantikannya. Sementara itu tak ada nabi lagi sepeninggalku, yang ada hanyalah para khulafa’/pengganti, dan mereka akan banyak jumlahnya. Para sahabat bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepada kami untuk menghadapi mereka. Nabi berkata: Berikanlah dan penuhilah ba’iat kalian kepada khalifah pertama, lalu yang berikutnya, dan seterusnya. Berikanlah hak mereka, sebab Allah akan meminta pertanggungjawaban kelak mengenai segala hal yang menjadi tanggung-jawab mereka.
Di sana kita temukan suatu kesejajaran antara nabi dengan khalifah. Khalifah pada masa Islam sama kedudukannya dengan nabi-nabi pada bangsa Israel. Karena tak ada nabi lagi sepeninggal Nabi Muhammad, maka yang muncul sebagai “penguasa” yang melanjutkan misi Nabi adalah para khalifah. Oleh karena itu, seperti kita baca dalam penutup hadis itu, umat Islam diperintahkan untuk memberikan hak kepada para khalifah itu. Yang disebut dengan hak di sini adalah ketaatan.
Sekali lagi, hadis ini tak pernah diungkit-ungkit saat terjadi pembangkangan atas Usman, dan juga Ali, khalifah keempat.

Apa kesimpulan yang hendak saya capai dengan observasi ini? Saya menduga dengan kuat, bahwa hadis-hadis politik ini adalah hadis palsu yang “diciptakan” belakangan untuk menjustifikasi penguasa-penguasa dalam dinasti Islam. Sebagaimana kita tahu, banyak sekali khalifah Islam yang bertindak tiranik dan despotik. Hadis-hadis politik ini jelas menguntungkan mereka secara politik, sebab menekankan ketaatan rakyat, walaupun seorang penguasa menempuh kebijakan yang tak menguntungkan mereka.

Saya hampir tak bisa percaya bahwa Nabi mengatakan bawa seorang penguasa yang zalim tak membawa kerugian apa-apa bagi rakyat. Hadis semacam ini kemungkinan besar dibuat belakangan dan “dinisbahkan” atau “diproyeksikan” ke belakang sebagai sabda Nabi.

Verifikasi hadis hanya dengan metode sanad atau mata rantai transmisi sebagaimana selamaini ditempuh oleh kesarjanaan Islam tradisional sama sekali tak memadai. Metode proyeksi ini membantu kita untuk melakukan verifikasi dengan metode non-sanad.

Sebetulnya metode ini sudah dibuka kemungkinannya dalam studi hadis sendiri. Sebagaimana kita tahu, dalam studi ilmu-ilmu hadis (mushthalah al-hadith) kita kenal dua metode kritik (naqd), yaitu kritik sanad dan kritik matan atau teks hadis. Kritik sanad sudah dikembangkan dengan canggih oleh sarjana Islam, tetapi kritik matan kurang banyak dicoba. Metode proyeksi bisa masuk dalam kritik matan itu.

etelah sekian lama hilang, propaganda untuk meruntuhkan otoritas hadis sunni  mulai dicuatkan oleh sarjana-sarjana barat, seperti Ignaz Goldziher, Snouck Hurgronje, dan sebagainya. Ignaz Goldziher, misalnya, meragukan otentitas hadits Nabi saw sebagai sumber hukum Islam.

Hanya saja, propaganda mereka belum dianggap mampu meruntuhkan otoritas hadis sunni sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran secara ilmiah. Baru setelah terbit dua buah buku karya Prof Joseph Schacht, yakni The Origins of Muhammadan Jurisprudence, pada tahun 1950, dan buku An Introduction to Islamic Law, pada tahun 1960, kaum orientalis mengklaim telah berhasil meruntuhkan otoritas sunnah Nabi saw sebagai sumber hukum secara obyektif-ilmiah. Bahkan, mereka menyakini telah berhasil menemukan sebuah teori yang bisa membuktikan bahwa hadits-hadits hukum yang terdapat di dalam kitab-kitab fikih mu’tabar adalah buatan ulama-ulama fikih abad kedua dan ketiga hijriyyah.

Teori ini dibangun di atas sebuah asumsi bahwa selama abad kedua dan ketiga hijriyah, para ulama fikih terbiasa memproyeksikan pendapat-pendapat mereka sendiri kepada ucapan Nabi saw melalui sanad-sanad yang mereka buat sendiri. Berdasarkan asumsi ini, kaum orientalis berkesimpulan; hampir-hampir, tidak ada hadits hukum dari Nabi saw yang dianggap otentik. Keseluruhannya adalah kreasi ulama-ulama fikih abad kedua dan ketiga Hijriyyah, bukan benar-benar berasal dari Nabi saw.

Di dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Joseph Schacht menyatakan bahwa; system isnaad (rantai periwayatan) yang digunakan untuk membuktikan keotentikan hadits sunni sama sekali tidak didukung oleh sumber-sumber sejarah. Masih menurut Schacht, system ini dibuat oleh para ulama fikih abad kedua dan ketiga Hijriyyah secara bohong untuk menisbatkan pendapat-pendapat mereka sendiri ke belakang kepada sumber-sumber sebelumnya [perbuatan, ucapan dan persetujuan Nabi saw].

Dengan kata lain, Schact ingin kita mempercayai bahwa praktek hukum di abad kedua dan ketiga hijriyyah adalah palsu dan buatan ahli fikih abad tersebut, bukan benar-benar berasal dan bersumber dari praktek Nabi saw dan para shahabat. Ia menyatakan bahwa praktek hukum abad kedua dan ketiga hijriyyah ada terlebih dahulu sebelum adanya hadits Nabi dan isnaad (system periwayatan). Hadits Nabi beserta isnaad (system periwayatan) hanyalah alat yang sengaja dibuat ahli fikih abad kedua dan ketiga Hijriyyah untuk mengesankan bahwa pendapat pribadi mereka berasal dan bersumber dari praktek Nabi saw.

Benarkah praktek hukum abad kedua hijriyyah adalah pendapat pribadi ahli fikih abad itu yang kemudian dinisbahkan ke belakang sampai kepada sunnah Nabi saw? Benarkah hadits-hadits hukum yang terdapat di dalam kitab-kitab fikih mu’tabar adalah kreasi ulama fikih abad kedua dan ketiga Hijriyyah?
Pihak  syi’ah  hanya  MENERiMA   SEBAGiAN  HADiS  SUNNi, sebagian lagi  ditolak !!
Orientalis  tidak  sepenuhnya  benar.

Memang benar, tidak semua hadits sunni  yang sampai di tangan kita, keseluruhannya adalah shahih. Ada hadits yang sengaja dibuat-buat (dipalsukan) untuk memperkuat posisi kelompok atau madzhab tertentu, atau untuk membela rejim tertentu; ada hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang memiliki reputasi ilmiah dan personalitas yang buruk, dan lain sebagainya. Namun, kita juga tidak boleh menyatakan bahwa seluruh hadits Nabi itu palsu dan dibuat-buat. Rasanya sulit diterima oleh akal sehat, bahwa seluruh praktek hukum yang ada di abad kedua dan ketiga Hijriyyah adalah kreasi ulama fikih abad itu, dan sama sekali tidak bersumber dari praktek hukum Nabi.

Pasalnya, ada hadits-hadits Nabi saw yang sampai ke tangan kita melalui periwayatan yang akurat dan dituturkan oleh perawi-perawi yang memiliki kredibilitas ilmu dan personalitas. Selain itu, gejala dan praktek pemalsuan hadits sudah disadari sepenuhnya oleh ulama-ulama kaum Muslim, terutama ulama hadits. Oleh karena itu, sejak dini, mereka telah mencurahkan tenaga untuk meneliti dan mengklasifikasi hadits; mana yang shahih, mana yang dlaâif, mana yang dibuat-buat (palsu), dan sebagainya. Tidak hanya itu saja, mereka juga menggariskan metodologi penelitian terhadap hadits  baik sanad maupun matan– yang lebih kokoh dan komprehensif. Upaya tersebut mereka lakukan demi menjaga sunnah Nabi saw dari pemalsuan, sekaligus menjamin bahwa prinsip keyakinan dan praktek hukum yang mereka jalankan benar-benar bersumber dari Nabi saw.

Pada dasarnya, al-Quran sendiri telah menjelaskan prinsip-prinsip dasar ilmu hadits. Al-Quran menyatakan, “hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu [TQS Al Hujuurat (49): 6].

banyak materi hadits hukum (matnu al-hadits) yang mempunyai persamaan di kalangan kelompok-kelompok Islam, seperti Sunni  dan Syi’ah  Imamiyyah;
padahal, kelompok ini telah memisahkan diri dari kelompok Ahlus Sunnah sejak wafatnya Nabi saw. Tidak hanya itu saja, kelompok-kelompok tersebut juga saling berperang dalam rentang waktu yang cukup lama, dan saling menuduh kelompok lain telah menyimpang dari Islam.
Seandainya pemalsuan hadits hukum terjadi pada abad kedua dan ketiga Hijriyyah, tentunya, tidak ada satupun hadits hukum yang secara bersamaan terdapat dalam kitab kelompok-kelompok Islam tersebut. Namun, kenyataan justru menunjukkan; sebagian materi hadits hukum yang memiliki persamaan dan keterkaitan di tengah-tengah kelompok-kelompok Islam tersebut.
tuduhan Schacht bahwa sanad-sanad hadits telah diduplikasi sedemikian rupa oleh ulama abad kedua dan ketiga Hijriyyah dengan memakai nama orang lain, agar pendapat mereka bisa dinisbahkan kepada sumber pertama, yaitu Rasul, shahabat, dan tabi’in  tidak sepenuhnya benar.

Mazhab Sunni akan berantakan jika kitab hadis sunni beredar sesuai dengan versi aslinya !
Oleh karena itu ulama sunni  perlu mengedit teks, meringkas matan dan membersihkan sebagian hadis yang menghantam doktrin sunni agar mazhabnya tetapa tegak
Sebagian Hadis hadis sunni tidak akan kami terima karena bertentangan satu sama lain dan tidak sesuai dengan Al Quran.

Dalam konteks Islam, proses semacam ini bisa kita lihat dengan jelas. Pada zaman Nabi sendiri, kita tidak pernah menjumpai akidah yang disebut sebagai Ahlussunnah wal Jamaa’h atau dogma Sunni. Kelompok ini pun muncul jauh setelah generasi Nabi. Pada zaman Nabi, banyak hal yang berkaitan dengan agama masih bersifat “bahan mentah”. Bahan mentah itu tercermin dalam teks-teks sebagaimana kita jumpai dalam Quran atau ucapan Nabi. Bahan mentah itu kita jumpai pula dalam contoh dan teladan yang pernah diberikan oleh Nabi, apa yang sering disebut sebagai “sunnah” atau tradisi.

Teks-teks itu mengandung banyak kemungkinan interpretasi. Oleh karena itu, dari teks yang sama, bisa muncul pelbagi pandangan, pendapat, dan aliran. Dengan prosedur tertentu, kelompok yang disebut Sunni merumuskan dogma tertentu yang dianggap benar. Itulah yang disebut sebagai “dogma kelompok yang selamat” (‘aqidat al-firqa al-najiya).

Tetapi, ortodoksi tidaklah bersifat tunggal. Dalam setiap agama selalu ada banyak ragam ortodoksi. Setiap kelompok berusaha merumuskan sejumlah dogma yang mereka anggap tepat dan benar. Dalam Islam, agama yang saya ketahui dengan baik, kita jumpai banyak ragam ortodoksi. Ada ortodoksi yang dikembangkan oleh kelompok Sunni, Syi’ah, Mu’tazilah, Khawarij, dan seterusnya. Apa yang dianggap benar dalam dogma Sunni belum tentu benar dalam pandangan orotodksi yang lain, misalnya Syi’ah atau Mu’tazilah.

Yang perlu kita lihat juga, apa yang disebut sebagai ortodoksi tidak sebatas pada dogma yang berkaitan dengan aspek-aspek teologis. Ortodoksi juga berlaku dalam hal-hal yang berkenaan dengan ritual (‘ibadah) atau cara bertindak yang benar menurut agama (moralitas). Dalam Islam, kita kenal suatu disiplin kajian yang disebut dengan fiqh, yaitu hukum yang mengatur tindakan sehari-hari seorang yang beriman. Sebagaimana ada banyak ragam ortodoksi pada level akidah atau dogma, begitu juga ada banyak ragam ortodoksi pada level fiqh. Dari teks yang sama, yaitu Quran dan hadis, muncul banyak interpretasi dalam bidang hukum. Masing-masing mazhab mencoba melakukan standardisasi atas pelbagai ragam pendapat itu dengan cara menyeleksi mana pendapat yang sesuai dengan standar tertentu dan mana yang tidak. Lahirlah sejumlah mazhab dalam Islam. Sekurang-kurangnya, kita kenal lima mazhab yang populer di masyarakat Islam sekarang ini: mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali dan Ja’fari. Dalam masing-masing mazhab, terdapat ortodoksi tertentu. Belum tentu pendapat yang dianggap ortodoks dalam mazhab tertentu adalah benar alias ortodoks dalam mazhab yang lain.

Setiap aliran dan mazhab tentu berpandangan bahwa dogma dan pendapat yang mereka kemukakan adalah konsisten dengan teks fondasional dalam agama, yakni, dalam konteks Islam, Quran dan sunnah. Sebagaimana sudah saya katakan, dari teks yang sama dalam sebuah agama, bermunculan interpretasi yang berbeda. Suatu interpretasi tertentu boleh saja dianggap tak konsisten atau malah menyimpang dari teks fondasional, tetapi kelompok yang mengajukan interpretasi itu sudah tentu tak setuju dengan anggapan tersebut. Kelompok itu akan berpendapat bahwa interpretasi yang ia ajukan sesuai dengan teks agama yang ada. Kenapa teks yang sama melahirkan interpretasi yang berbeda, tentu hal ini disebabkan oleh banyak hal. Salah satu sebab yang relevan di sini adalah konteks sosial atau metode interpretasi yang berbeda. Karena konteks sosial dan metode yang dipakai berbeda, maka muncul mazhab fikih yang berbeda di kawasan Kufah, Madinah dan Irak, misalnya.

Contoh berikut ini menarik kita simak. Hingga abad kedua Hijriyah, kedudukan sunnah atau hadis Nabi sebagai sumber hukum Islam masih diperdebatkan dengan keras. Imam Syafii (w. 204 H/820 M) menulis karya yang terkenal , “Al-Risalah“, sebagai sebentuk sanggahan terhadap kelompok-kelompok lain yang tak menganggap sunnah sebagai sumber otoritatif dalam penetapan hukum. Dalam “al-Umm“, karya Imam Syafii yang lain, kita jumpai polemik yang cukup hangat antara dia dengan penduduk Madinah, yakni mereka yang mengikuti pendapat Imam Malik. Polemik ini berkisar pada kedudukan sunnah sebagai sumber yang otoritatif. Berkat Imam Syafii-lah kemudian sunnah pelan-pelan diakui sebagai dasar yang mantap untuk menetapkan hukum. Karena itu, ia disebut sebagai “pembela sunnah Nabi”, atau nashir al-sunnah.

Umat Islam yang hidup setelah Imam Syafii dengan mudah melihat sunnah secara taken-for-granted sebagai sumber yang otorittaif dalam Islam. Padahal keadaannya tidak demikian sebelum periode Imam Syafii. Sebelum itu, banyak pihak dalam Islam yang menganggap sumber-sumber lain di luar Quran sebagai lebih otoritatif ketimbang sunnah Nabi. Para sarjana hukum Islam dari kawasan Irak lebih cenderung memakai “pendapat” atau “akal” sebagai sumber yang lebih otoritatif ketimbang sunnah. Penduduk Madinah di bawah kepemimpinan Imam Malik menganggap bahwa tradisi masyarakat Madinah lebih otoritatif ketimbang sunnah Nabi.

Sementara itu, di luar lingkungan “sarjana agama”, kedudukan sunnah juga masih dipersoalkan. Sebuah anekdot yang menarik layak kita sebut di sini, yakni tentang Ibrahim ibn Sayyar al-Nazzam (w. 840 M), salah seorang tokoh penting dalam sekte Mu’tazilah dari aliran Basrah. Al-Nazzam adalah salah satu pemikir Islam klasik yang sangat orisinal dan kreatif, meskipun karya-karyanya tak satupun yang sampai ke tangan kita. Pendapat-pendapatnya bisa kita baca melalui buku-buku doksografi (buku tentang sejarah seke dan aliran dalam Islam), seperti al-Milal wa al-Nihal karya al-Syahrastani (w. 1153 M), atau karya-karya muridnya sendiri, yaitu al-Jahiz (w. 869 M), seperti “Al-Bayan wa al-Tabyin” dan “Kitab al-Hayawan“.
Al-Nazzam adalah seorang rasionalis tulen yang tidak dengan mudah menerima sebuah hadis begitu saja. Di mata dia, hadis-hadis yang kita terima dari Nabi harus ditimbang dengan akal. Jika hadis-hadis itu bertentangan dengan akal, dia tak segan-segan untuk menolaknya. Karena itu, dia, misalnya, menolak sejumlah hadis yang memuji-muji kucing (al-sinnaur) dan meremehkan anjing (al-kalb). Sebuah hadis terkenal memuji kucing sebagai binatang yang gemar “menggelendot” pada manusia (innahunna min al-tawwafati ‘alaikum), dan karena itu air yang dijilat oleh kucing tidak dianggap kotor atau najis. Sementara itu, anjing dianggap kotor dan najis, bahkan bejana yang dijilat anjing haruslah dicuci hingga tujuh kali menurut sebuah hadis yang terkenal.

Al-Nazzam tidak menerima hadis seperti ini karena, menurut dia, berlawanan dengan akal. Dia, antara lain, mengatakan bahwa manfaat anjing lebih besar ketimbang kucing; kenapa kucing mesti lebih dipuji ketimbang anjing. Kucing gemar memangsa burung yang menjadi mainan anak-anak, sementara anjing justru bisa menjadi binatang pemburu yang bermanfaat bagi manusia. Kucing kerap memangsa binatang dan serangga yang kotor, seperti ular, kalajengking, dan kelelawar. Dengan makanan yang kotor seperti itu, bagaimana mungkin air liur kucing dianggap tidak kotor dan najis? Sementara makanan anjing justru lebih baik dan bersih ketimbang kucing, tetapi air liurnya dianggap najis. Ini jelas tak masuk akal. Kesimpulannya: anjing lebih memiliki manfaat dan gaya hidup yang lebih baik ketimbang kucing. Karena itu, menurut al-Nazzam, hadis yang memuji-muji kucing dan meremehkan anjing ia tolak karena tak masuk akal. (Baca Ahmad Amin, Duha al-Islam, vol. 3, hal. 87, edisi Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Libanon, 2004).

Anekdot tentang al-Nazzam ini saya kutip sekedar untuk memberikan gambaran bahwa kedudukan sunnah dan hadis Nabi tidak sekukuh seperti yang dibayangkan umat Islam saat ini. Ada suatu fase dalam sejarah Islam di mana kedudukan sunnah masih diperdebatkan dengan sengit. Posisi sunnah menjadi mantap karena proses yang berjalan secara berangsung-angsur dan tidak mendadak begitu saja. Dengan metode dan argumen tertentu sebagaimana dikemukakan oleh Imam Syafii, sunnah pelan-pelan menjadi bagian dari doktrin ortodoks Sunni. Tidak semua kelompok dalam Islam tentu menerima argumen Imam Syafii tersebut.
Ortodoksi, sekali lagi, tidak muncul mendadak dan sekali jadi. Ia lahir dalam suatu proses pelan-pelan. Apa yang kita anggap sebagai dogma dalam ajaran Islam saat ini, belum tentu merupakan dogma yang ‘angker’ pada masa-masa awal Islam. Contoh yang baik adalah sejumlah dogma yang dianggap sebagai salah satu kriteria untuk menentukan apakah seseorang menjadi bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah atau tidak.

Ambillah contoh karya ‘Abd al-Qahir ibn Thahir ibn Muhammad al-Baghdadi (w. 1037 M), Al-Farq Bain al-Firaq. Al-Baghdadi adalah salah satu sarjana penting dalam aliran Asy’ariyah. Ia mencoba merumuskan sejumlah dogma standar yang harus dipercayai oleh seorang pengikut sekte Sunni. Ada lima belas dogma standar menurut al-Baghdadi yang harus diimani oleh seluruh umat Islam. Mereka yang tak mempercayai dogma ini adalah sesat. Banyak di antara dogma-dogma itu yang menarik kita telaah kembali. Misalnya, ia mengatakan bahwa seorang Muslim harus percaya bahwa alam raya adalah baru, dalam pengertian diciptakan dalam konteks waktu kronologis (temporally created), atau, memakai istilah yang sering dipakai dalam teologi Islam, “hadits” (Baca Al-Farq, hal. 283, edisi Dar al-Ma’rifah, Beirut, cet. ke-3, 2001).
Dogma lain: seorang Muslim harus mengetahui sifat-sifat Tuhan dengan prosedur penetapan dan argumen seperti dikenal dalam tradisi teologi Islam, terutama tradisi Asy’ariyah. Seorang yang mengingkari sama sekali sifat-sifat bagi bagi Tuhan, sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh kelompok Mu’tazilah, Jahmiyyah atau para filosof, adalah sesat dalam standar dogma Sunni sebagaimana dirumuskan oleh al-Baghdadi.

Sebagaimana kita tahu, al-Baghdadi hidup pada ke-11 Masehi atau ke-5 Hijriyah. Pada saat ia hidup, doktrin Asy’ariyah sudah mapan, dan tugas seorang teolog seperti al-Baghdadi adalah mempertahankan dogma itu dari lawan-lawan doktrinalnya. Dogma Sunni yang ia rumuskan jelas sangat dipengaruhi oleh doktrin teologis yang ia anut. Belum tentu dogma yang ia rumuskan ini disepakati oleh sarjana Islam yang lain. Dogma-dogma ini beberapa tahun kemudian dikritik keras oleh Ibn Rushd (w. 1198 M), sebagaimana bisa kita lihat dalam karyanya, al-Kashf ‘An Manahij al-Adillah. Dalam pandangan Ibn Rushd, seorang Muslim hanya dituntut untuk beriman dengan metode yang sederhana seperti terdapat dalam Quran dan sunnah Nabi. Metode pembuktian Tuhan yang sangat rumit sebagaimana dirumuskan oleh kaum Asy’ariyyah bukanlah bagian dari dogma agama. Orang yang beriman tidak dengan cara Asy’ariyah bukan berarti sesat. Metode dan argumentasi teologis yang dipakai oleh kaum Asy’ariyah, dalam pandangan Ibn Rushd, sama sekali tak ada dalam Quran dan sunnah.

Dengan kata lain, apa yang dianggap ortodoks oleh al-Baghdadi tidaklah demikian di mata Ibn Rushd. Kedua sarjana itu mempunyai perspektif yang berbeda mengenai dogma pokok dalam masalah teologi. Kalau kita telaah dengan cermat, kelima-belas dogma yang ia rumuskan itu adalah “temuan belakangan”, bukan sesuatu yang sudah ada pada zaman Nabi sendiri. Boleh jadi sudah ada embrio yang mengarah kepada dogma-dogma itu dalam teks-teks agama, yaitu Quran dan sunnah. Tetapi sebagai dogma resmi dengan rumusan ketat sebagaimana kita lihat dalam bukunya al-Baghdadi, jelas ia adalah “invensi” atau temuan yang dirumuskan belakangan.

Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai dogma ortodoks adalah suatu konstruksi atau susunan yang diciptakan sendiri oleh manusia dengan suatu penalaran tertentu. Dogma itu tidak mesti ada dalam sumber asli. Sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, sumber asli dalam agama mirip dengan sebuah “bahan mentah”. Dari sumber yang sama, pengikut agama bersangkutan bisa melakukan proses “manufaktur” dan melahirkan hal-hal baru yang sebelumnya tak ada dalam teks awal.

Kesimpulan pokok yang hendak saya tuju adalah bahwa selain ortodoksi lahir dalam sebuah proses dan dibuat oleh manusia, suatu dogma menjadi ortodoks juga karena ada orang-orang tertentu yang membuatnya menjadi ortodoks. Dogma-dogma yang dirumuskan oleh al-Baghdadi sebagai ortodoks bukanlah dogma ortodoks pada zaman Nabi dan sahabat sesudahnya. Dogma-dogma itu dianggap ortodoks karena dibuat demikian oleh seorang teolog, yaitu al-Baghdadi, dan kemudian diikuti oleh orang-orang lain yang sepakat dengan dia.

Dengan kata lain, sebuah ortodoksi bukan semata-mata kata benda, tetapi juga kata kerja. Ia bukan sekedar “ortodoks”, tetapi juga sekaligus “ortodoksifikasi“, jika saya boleh memakai istilah ini, yakni proses suatu dogma menjadi ortodoks. Karena itu, apa yang disebut sebagai ortodoksi adalah sesuatu yang terus mengalami evolusi. Ia tidak ada, kemudian ada, kemudian juga bisa tidak ada lagi. Suatu ortodoksi kerapkali berkaitan dengan konteks tertentu. Ketika konteks itu sudah berlalu, bukan mustahil dogma yang semula dianggap ortodoks itu akan pelan-pelan meleleh, memudar, dan bahkan hilang sama sekali. Sejumlah dogma Sunni yang dirumuskan oleh al-Baghdadi dalam penghukungAl-Farq Bain al-Firaq itu, jika kita baca dalam konteks sekarang, sudah kelihatan “old-fashioned“, atau ketinggalan zaman, dan sama sekali tak nyambung dengan tantangan kontemporer yang diahadapi oleh umat Islam saat ini. Oleh karena itu, umat Islam bisa merumuskan kembali ortodoksi baru, sebab tantangan dan konteks zaman yang mereka hadapi sudah berbeda sama sekali.

Catatan penutup yang layak saya kemukakan adalah berkaitan dengan karakter ortodoksi itu sendiri. Di mana-mana, selalu ada watak inheren dalam ortodoksi yang mengarah kepada “closure” dan “enclosure“, alias ketertutupan dan sekaligus juga penutupan diri. Ortodoksi selalu cenderung eksklusif. Hasil akhir praktis yang muncul dari sana sangat khas, yaitu sikap mudah memandang kelompok yang berasal dari ortodokasi lain sebagai sesat, kafir, murtad, dsb. Dalam terminologi klasik, kita kenal istilah “ahl al-ahwa‘”, yakni orang-orang yang mengikuti “whim” atau kemauan mereka sendiri yang sifatnya subyektif. Kelompok-kelompok yang berpandangan di luar kerangka ortodoksi disebut dengan orang-orang heterodoks yang hanya mengikuti hawa nafsu mereka sendiri. Mereka tak mengikuti standar tertentu yang obyektif sebagaimana dianut oleh pengikut ortodoksi tertentu. Kelompok yang dituduh demikian akan menuduh balik lawannya sebagai pengikut hawa nafsu pula. Terjadilah proses saling menilai yang kadang-kadang berujung pada konflik. Ini semua berasal dari kecenderungan ortodoksi yang selalu mengarah pada penutupan diri.


Seorang suku Kurdi Sunni Iran memegang tasbih sambil duduk di situs bersejarah di kota Sanandaj, provinsi Kordistan, 763 km barat laut Teheran.

Dimanakah letak perbedaan dua mazhab besar Islam, Sunni dan Syiah ?  Ternyata, menurut Ketua Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jalaluddin Rahmat, terletak dasar hadits yang digunakan kedua aliran besar itu.
“Sunni memiliki empat mazhab Hambali, Syafi’i, Maliki dan Hanafi. Apakah ajaran keempat mazhab itu sama? Tidak ada yang berbeda,” katanya dalam seminar dan deklarasi Majelis Sunni Syiah Indonesia (MUHSIN) di Masjid Akbar, Kemayoran, Jakarta, Jumat (20/5/2012).

Jalaluddin mengatakan perbedaan keduanya hanya terletak pada hadits.  Jika hadits Sunni paling besar berasal dari sahabat nabi seperti Abu Hurairoh, maka hadtis Syiah berasal dari Ahlul Bait (Keluarga Nabi Muhammad SAW).
“Jadi bukan berarti ajaran Sunni itu salah, dan Syiah sebaliknya,” katanya.

Hal senada diutarakan Duta Besar Iran untuk Indonesia  Mahmoud Farazandeh, yang menyebut “Perbedaan Sunni dan Syiah di Iran lebih bermuatan politik.
===============================================
HADITS sunni :
Al Muwatho’
Shohih Bukhori
Shohih Muslim
Al Mustadrok
Sunan Abu Daud
Sunan Nasa’i
Sunan Tirmidzy
Sunan Daruquthny
Sunan Ahmad
Sunan Syafi’i
Sunan Abdur Rozaq
Sunan Ibnu Majah
.
TAFSIR
Versi  syi’ah, didalam  ALQURAN tidak ada satupun ayat  yang menyatakan  “sahabat Nabi  SAW yang  menentang imamah Ali  dijamin surga !!”

Tafsir Ibnu Katsir 
Tafsir Qurtuby  
Tafsir Thobary 
Tafsir Jalalain
Tafsir Baidhowi

Tidakkah anda heran kenapa kitab kitab hadis sunni edisi lengkap sengaja disembunyikan ???

Datanglah ke pesantren , adakah barang tersebut ???
Tidakkah anda heran kenapa kitab kitab hadis banyak diedit dan diringkas ???
Tidakkkah anda heran kenapa banyak hadis disembunyikan ulama ??
Sehingga anda terkejut kejut, kok hadis ini ada padahal dulu tidak dinamppakkan para ustad..
Motifnya : motif politik agar mazhab sunni tetap tegak…
Jika kitab hadis beredar sesuai asli, maka akan nampak kontradiksi dan pertentangan antar hadis
Jika kitab hadis beredar sesuai asli, maka akan nampak  kebenaran syi’ah..
Ini bukan fitnah apalagi provokasi.

Syi’ah dan Sunni sepakat tentang keorisinilan Al Quran. Syi’ah tidak sepakat tentang keorisinilan semua hadis sunni yang “berlabel shahih”. Logika : Bukhari mengumpulkan 600.000 hadis   tetapi Cuma 7000 yang dia anggap orisinil pasca seleksi ? Nah dari 7000 itulah syi’ah menseleksi dan meninjau ulang mana hadis yang orisinil dan mana hadis yang dibuat buat !
Tidak ada kesepakatan sunni – syi’ah tentang keorisinilan semua hadis Nabi SAW, ini berbeda dengan masalah ayat ayat Al Quran.

Karena hadis sunni tidak dihapal dan tidak dicatat sejak awal secara sistematis, maka ahlul hadis sunni kebingungan untuk memastikan mana hadis yang betul betul berasal dari Nabi (orisinil) dan mana hadis yang dibuat buat…

Bukhari mengumpulkan 600.000 hadis   tetapi Cuma 7000 yang dia anggap orisinil pasca seleksi..
Nah dari 7000 itulah syi’ah menseleksi dan meninjau ulang mana hadis yang orisinil dan mana hadis yang dibuat buat  antek antek  raja zalim !!
Pertanyaan :
  1. Apakah Bukhari maksum sehingga kitab hadisnya 100% benar ?
  2. Ada hadis hadis dalam kitab Bukhari yang saling bertentangan, Apakah masuk akal Nabi SAW mengucapkan sabda sabda yang saling saling berlawanan alias plin plan ??? Ingat, Nabi SAW itu maksum (infallible)
Legenda :
1. Imam Ahmad bin Hanbal yg hafal 1.000.000 hadits (1 juta hadits)
tapi  hanya sempat menulis sekitar 20.000 hadits saja, maka 980.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman ????????????? Apakah yang hilang itu benar benar hilang atau cuma mitos legenda ???
2. Bukhari hafal 600.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya dimasa mudanya, namun beliau hanya sempat menulis sekitar 7.000 hadits saja pada shahih Bukhari dan beberapa kitab hadits kecil lainnya, dan 593.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman ?????? Apakah yang hilang itu benar benar hilang atau cuma mitos legenda ???
Syi’ah dan Sunni sepakat tentang keorisinilan Al Quran. Syi’ah tidak sepakat tentang keorisinilan semua hadis sunni yang “berlabel shahih”. Logika : Bukhari mengumpulkan 600.000 hadis   tetapi Cuma 7000 yang dia anggap orisinil pasca seleksi ? Nah dari 7000 itulah syi’ah menseleksi dan meninjau ulang mana hadis yang orisinil dan mana hadis yang dibuat buat !
3. Albani bukan pula Hujjatul Islam, yaitu gelar bagi yg telah hafal 300.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya, bagaimana ia mau hafal 300.000 hadits, sedangkan masa kini jika semua buku hadits yg tercetak itu dikumpulkan maka hanya mencapai kurang dari 100.000 hadits.

AL Imam Nawawi itu adalah Hujjatul islam, demikian pula Imam Ghazali, dan banyak Imam Imam Lainnya juga gemar mengedit dan meringkas ringkas hadis…. Kenapa hadis sunni diedit dan diringkas ??? ya agar mazhab sunni tetap tegak, segala bau syi’ah dibuang dari hadis.

Bukhari manusia super ??? 16 tahun adalah 8.409.600 menit, jika dalam tempo 16 tahun Bukhari mampu mengumpulkan 600 ribu hadis saja berarti Bukhari adalah manusia super yang mampu mencari, menyeleksi dan menshahihkan 1 hadis dalam tempo 14 menit !!! itu belum dipotong waktu makan – shalat – tidur – perjalanan… Wow !!
60 minit x 24 jam x365hari x 16 tahun =8.409.600 minit (16 tahun)
hadis yang dikumpul 600,000 dalam tempoh 16 tahun.
8.409.600 dibahagi 600.000 =14,016 minit untuk 1 hadis
adakah imam bukhari mampu mencari,menyeleksi dan mensahihkan hadith itu dalam tempoh 14,016 minit?
itu belum ditolak waktu tidur,makan,solat,aktiviti memanah dan lain lain.jika ditolak waktu itu mungkin masanya lagi kurang mungkin sekitar 7 minit saja masa yang tinggal.
belum dikira lagi masa perjalanan dari kota ke kota lain dalam mencari hadith.
kita selalu diberikan angka angka ini untuk mewujudkan kekaguman kepada imam bukhari.tapi adakah angka ini betul setelah dikira berasaskan matematik

Bukhari lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy.

Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah lepasan Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah.

Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu beliau mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).
Bersama gurunya Syekh Ishaq, Bukhari menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya.
Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim).

Penelitian Hadits.
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.

Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami’ as-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.

Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, “perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu” sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan “Haditsnya diingkari”. Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Beliau berkata “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan”.

Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.



Setelah kitab Shahih Bukhari tersusun, muncullah segelintir ulama hadits yang mengkritik isi kitab tersebut. Diantaranya Al-Daaraqutni (wafat 385 H), Abu Ali Al-Ghassani (wafat 365 H), dan lain-lain. Kritikan para ulama ini (yang tertuju tidak lebih dari 100 hadits) dari sudut pandang ilmu-ilmu hadits, yang menurut mereka, terdapat juga di dalamnya hadits yang dhoif.

Yang perlu kita cermati, terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara kritik ulama terdahulu dengan yang datang kemudian. Ulama terdahulu mengkritik dengan mengacu kepada ilmu-ilmu hadits, sedangkan pengkritik setelahnya dan terutama akhir-akhir ini, hanya berdasarkan logika atau juga akal mereka masing-amsing. Diakui ataupun tidak, baik secara langsung maupun tidak, sedikit banyak mereka terpengaruh dengan para orientalis atau pola pikir mereka.

Bukhari manusia super ??? 16 tahun adalah 8.409.600 menit, jika dalam tempo 16 tahun Bukhari mampu mengumpulkan 600 ribu hadis saja berarti Bukhari adalah manusia super yang mampu mencari, menyeleksi dan menshahihkan 1 hadis dalam tempo 14 menit !!! itu belum dipotong waktu makan – shalat – tidur – perjalanan… Wow !!

Syi’ah dan Sunni sepakat tentang keorisinilan Al Quran. Syi’ah tidak sepakat tentang keorisinilan semua hadis sunni yang “berlabel shahih”. Logika : Bukhari mengumpulkan 600.000 hadis   tetapi Cuma 7000 yang dia anggap orisinil pasca seleksi ? Nah dari 7000 itulah syi’ah menseleksi dan meninjau ulang mana hadis yang orisinil dan mana hadis yang dibuat buat !

Tidak ada kesepakatan sunni – syi’ah tentang keorisinilan semua hadis Nabi SAW, ini berbeda dengan masalah ayat ayat Al Quran.
Karena hadis sunni tidak dihapal dan tidak dicatat sejak awal secara sistematis, maka ahlul hadis sunni kebingungan untuk memastikan mana hadis yang betul betul berasal dari Nabi (orisinil) dan mana hadis yang dibuat buat…

Bukhari mengumpulkan 600.000 hadis   tetapi Cuma 7000 yang dia anggap orisinil pasca seleksi
Pertanyaan :
  1. Apakah Bukhari maksum sehingga kitab hadisnya 100% benar ?
  2. Ada hadis hadis dalam kitab Bukhari yang saling bertentangan, Apakah masuk akal Nabi SAW mengucapkan sabda sabda yang saling saling berlawanan alias plin plan ??? Ingat, Nabi SAW itu maksum (infallible)
Legenda :
1. Imam Ahmad bin Hanbal yg hafal 1.000.000 hadits (1 juta hadits)
tapi  hanya sempat menulis sekitar 20.000 hadits saja, maka 980.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman ????????????? Apakah yang hilang itu benar benar hilang atau cuma mitos legenda ???
2. Bukhari hafal 600.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya dimasa mudanya, namun beliau hanya sempat menulis sekitar 7.000 hadits saja pada shahih Bukhari dan beberapa kitab hadits kecil lainnya, dan 593.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman ?????? Apakah yang hilang itu benar benar hilang atau cuma mitos legenda ???
Syi’ah dan Sunni sepakat tentang keorisinilan Al Quran. Syi’ah tidak sepakat tentang keorisinilan semua hadis sunni yang “berlabel shahih”. Logika : Bukhari mengumpulkan 600.000 hadis   tetapi Cuma 7000 yang dia anggap orisinil pasca seleksi ? Nah dari 7000 itulah syi’ah menseleksi dan meninjau ulang mana hadis yang orisinil dan mana hadis yang dibuat buat !
3. Albani bukan pula Hujjatul Islam, yaitu gelar bagi yg telah hafal 300.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya, bagaimana ia mau hafal 300.000 hadits, sedangkan masa kini jika semua buku hadits yg tercetak itu dikumpulkan maka hanya mencapai kurang dari 100.000 hadits.

AL Imam Nawawi itu adalah Hujjatul islam, demikian pula Imam Ghazali, dan banyak Imam Imam Lainnya juga gemar mengedit dan meringkas ringkas hadis…. Kenapa hadis sunni diedit dan diringkas ??? ya agar mazhab sunni tetap tegak, segala bau syi’ah dibuang dari hadis.

Bukhari manusia super ??? 16 tahun adalah 8.409.600 menit, jika dalam tempo 16 tahun Bukhari mampu mengumpulkan 600 ribu hadis saja berarti Bukhari adalah manusia super yang mampu mencari, menyeleksi dan menshahihkan 1 hadis dalam tempo 14 menit !!! itu belum dipotong waktu makan – shalat – tidur – perjalanan… Wow !!

60 minit x 24 jam x365hari x 16 tahun =8.409.600 minit (16 tahun)
hadis yang dikumpul 600,000 dalam tempoh 16 tahun.
8.409.600 dibahagi 600.000 =14,016 minit untuk 1 hadis
adakah imam bukhari mampu mencari,menyeleksi dan mensahihkan hadith itu dalam tempoh 14,016 minit?
itu belum ditolak waktu tidur,makan,solat,aktiviti memanah dan lain lain.jika ditolak waktu itu mungkin masanya lagi kurang mungkin sekitar 7 minit saja masa yang tinggal.
belum dikira lagi masa perjalanan dari kota ke kota lain dalam mencari hadith.
kita selalu diberikan angka angka ini untuk mewujudkan kekaguman kepada imam bukhari.tapi adakah angka ini betul setelah dikira berasaskan matematik

Bukhari lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy.


Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah lepasan Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah.

Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu beliau mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).
Bersama gurunya Syekh Ishaq, Bukhari menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya.
Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim).

Penelitian Hadits.
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.

Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami’ as-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.

Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, “perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu” sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan “Haditsnya diingkari”. Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Beliau berkata “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan”.

Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.

Sesuai  dengan fitrahnya yang selalu ingin mendapatkan yang terbaik untuk dirinya dan selalu ingin bersama kebenaran kapanpun dan dimanapun ia berada, manusia dalam mengarungi kehidupannya selalu berfikir dan merenungi fenomena-fenomena yang terjadi di planet bumi ini. Proses tersebut menumbuhkan benih-benih pemikiran yang dapat membuahkan sesuatu yang bernama ilmu. Tetapi yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah, apakah ilmu itu sebenarnya? Lebih dalamnya lagi, apakah hakikat ilmu itu sebenarnya? Kemudian bagaimanakah cara untuk mendapatkan ilmu tersebut? dan apa konsekuensi yang muncul setelah mendapatkan ilmu tersebut? Apa yang akan dicapai manusia dengan ilmu yang telah diperolehnya? dan pertanyaan terakhir adalah, buah ilmu yang sebenarnya itu apa? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang selalu dicari jawabannya oleh setiap manusia.

Ilmu dan hakikat ilmu 
Jikalau kita ingin mengetahui sesuatu, maka yang pertama kali harus kita lakukan  adalah menganalisa objek yang ingin kita ketahui tersebut, mulai dari keberadaannya, sifat-sifat yang disandangnya, keistimewaan dan kekurangannya, dan begitu seterusnya sampai pada pertanyaan terakhir apakah buah yang dapat dihasilkan oleh pengetahuan terhadap objek tersebut. Adalah sesuatu yang pasti bahwasanya hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah dan dapat di lakukan oleh setiap manusia, hanya mereka yang mencintai pengetahuan serta mau berjalan seiring dengan kodrat yang ditentukan oleh Yang Maha Kuasa pada dirinya, dan yang mau menggerakkan fasilitas kodrat tersebut sebagai jalan untuk mencapai hakikat sajalah yang dapat melakukannya, sehingga pada akhirnya proses tersebut dapat mengantarkannya kepada kebahagian dunia dan akhiratnya kelak.

Kita beranjak dari pertanyaan yang pertama, apakah ilmu itu, dengan kata lain apakah hakikat ilmu itu? Untuk menjawab pertanyaan pertama ini, kita membutuhkan kepada beberapa analisa masalah. Jika kita menengok kembali peradaban manusia mulai dari Nabi Adam as hingga sekarang, maka kita akan menemukan begitu banyak persepektif tentang ilmu dari para ilmuwan yang hidup sepanjang sejarah.
Terlepas dari siapakah ilmuwan tersebut, sebagian mereka mengungkapkan bahwa ilmu adalah kebisaan seseorang untuk melakukan suatu hal, sebagian yang lain menyatakan bahwa ilmu adalah suatu kekuatan yang dapat mengantarkan manusia pada tujuannya dan sebagian lagi meyakini bahwa ilmu adalah ruh yang dapat menghidupkan manusia. Masih banyak lagi persepektif lainnya tentang definisi ilmu tersebut, sampai pada masa kejayaan Yunani kuno, di mana kejayaan tersebut berhasil menembus dunia Islam yang pada akhirnya melahirkan tokoh-tokoh filosof ternama.

Apabila kita masuk kepada wilayah filosofis, yang mana akar-akar pemikirannya banyak bergantung pada akal murni (Logical Knowledge), maka di situpun kita akan menemukan berbagai persepektif dalam mendefinisikan ilmu yang satu sama lain berbeda. Namun sampai sekarang ini kalau kita kembali merujuk pada buku-buku logika, maka kita akan menemukan definisi yang kurang lebih baku tentang ilmu, definisi tersebut mengatakan ilmu yaitu hadirnya suatu gambaran ke dalam benak manusia, akan tetapi definisi ini masih bisa kita diskusikan dan kita pertanyakan kembali, apakah gambaran yang masuk ke dalam benak manusia itu merupakan hakikat ilmu itu sendiri, atau hanya sekedar bentuk dzhohirinya ilmu saja?
Kalu kita melihat literatur khazanah Islam, maka di situ kita akan menemukan bahwa Islam itu sendiri membagi ilmu menjadi dua bagian, yaitu ada hakikat (asli), dengan kata lain dzat ilmu itu sendiri, dan ada pula dzohir atupun far’i (cabang), nah jika yang dimaksud hadirnya gambaran sesuatu di atas tadi adalah hakikat ilmu itu sendiri, maka konsekuensinya adalah gambaran yang masuk ke benak tadi akan membawa manusia tersebut kepada kesempurnaan maknawi, yang mana kesempurnaan tersebut dapat diaplikasikan di berbagai sisi kehidupan manusia. Akan tetapi kita menemukan begitu banyak maklumat yang masuk ke benak manusia, yang saking  banyaknya sampai-sampai tidak dapat kita hitung dengan angka nominal, tetapi gambaran (ilmu) tersebut tidak bisa mengantarkan manusia kepada kesempurnaan, bahkan sebaliknya gambaran (ilmu) tersebut justru mengantarkan manusia pada jurang kehancuran.

Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa gambaran yang masuk ke dalam benak manusia bukanlah hakikat ataupun dzat ilmu,  melainkan bentuk dzohiri ataupun kulit ilmu  itu sendiri, karena Islam menjelaskan bahwa ilmu memiliki jauhar (substansi), dan jauhar tersebutlah yang memberi arti pada ilmu sehingga manusia dengan ilmunya dapat menjadi manusia seutuhnya yang dapat berbakti pada sesama manusia dan meyampaikannya pada puncak kesempurnaan. Apabila jauhar tadi hilang, maka ilmu tersebut tidaklah berarti lagi dan tidak ada bedanya dengan kebodohan, sebagaimana Imam Ali (as) menjelaskan hal ini dalam kata mutiara beliau:
“Berapa banyak orang alim, akan tetapi kebodohannya telah membunuhnya dan ilmu yang bersamanya tidaklah bermanfaat sama sekali”.

Dari pernyataan beliau bisa kita ambil kesimpulan bahwa ilmu adalah sesuatu dan hakikat ilmu sesuatu yang lain. Akan tetapi apabila manusia dapat mengaplikasikan kulit atau gambaran ilmu tersebut dengan baik maka melalui sebuah proses maknawiah, manusia tersebut akan sampai kepada hakikat ilmu, sekarang apa sebenarnya hakikat ilmu itu? Bagaimana mungkin seseorang yang sudah menuntut ilmu puluhan tahun bahkan seumur hidup tapi yang di dapat hanya kulitnya dan sama sekali tidak pernah merasakan intisarinya!

Hakikat dan buah ilmu dalam perspektif Islam.
Untuk mendapatkan definisi ilmu yang hakiki, maka kita harus merujuk pada Sohib hakikat yang mengetahui dzohir dan batinnya segala sesuatu, yang ilmunya tidak akan pernah salah dan tidak terbatas, karena jika kita mengkaji ilmu mantiq (logika) kita akan menemukan bahwa sampai saat ini bahkan sampai hari kiamat nanti, tidak ada satu manusiapun baik ia pakar logika ataupun filosof yang dapat mendefinisikan sesuatu dengan definisi yang hakiki kecuali para manusia suci yang merupakan pengejawantahan ilmu Ilahi. Hal ini tidak lain dikarenakan keterbatasan manusia dalam pengetahuan, oleh karena itulah mereka membuat suatu konsep dengan berbagai penjelasan dan perinciannya yang sesuai dengan daya faham yang mereka miliki dan tidak lebih dari itu! Jika kita kembali pada nas (baik itu ayat ataupun riwayat), maka kita akan menemukan definisi hakiki dari ilmu itu sendiri.

Kita sering mendengar hadis dari Rasulullah saww yang mana beliau bersabda:  “Ilmu adalah cahaya yang Allah swt letakkan di hati hamba-Nya yang Ia iginkan.”

Jadi hakikat ilmu menurut paling sempurnanya manusia di alam jagat raya ini adalah sebuah cahaya dan bukan gambaran sesuatu yang masuk ke dalam benak manusia, sebagimana kita ketahui bahwa cahaya adalah suatu zat yang suci, dan hal yang suci tidak akan bertemu dengan dengan sesuatu yang kotor, oleh karena itu dalam proses penerimaan cahaya diperlukan tata cara yang khusus dan tidak semua orang mempunyai potensi untuk hal itu.

Adapun gambaran-gambaran yang masuk ke dalam benak manusia merupakan salah satu perantara untuk menerima cahaya tersebut, yang kemudian gambaran-gambaran tersebut direnungkan dan difahami serta diamalkan dengan baik dan ikhlas sehingga pada akhirnya sampai pada cahaya itu sendiri, jikalau gambaran-gambaran yang masuk ke benak manusia adalah hakikat ilmu itu sendiri maka kita tidak akan menemukan kefasadan (kerusakan) serta kehancuran di muka bumi ini, akan tetapi sangat disayangkan bahwa mayoritas manusia hanya bisa mengambil gambaran ilmu tersebut tanpa bisa merealisasikannya hingga menjadi cahaya kesempurnaan.

Dari sinilah kita harus bisa menerima realitas dan janganlah kita terkejut jikalau kita menemukan manusia yang bertahun-tahun menuntut ilmu, bahkan sampai orang terkagum-kagum dengan hasil penemuannya, dan mereka mampu menciptakan berbagai teori yang manusia di zamannya tidak dapat mencernanya dengan baik, akan tetapi perilakunya tidak sesuai dengan norma-norma kemanusian, dengan berbagai macam teori dan konsep yang ia ketahui ia berani melanggar ketetapan-ketetapan agama, bahkan sampai berani mengorbankan status sosialnya hanya karena ingin mencapai tujuan dan manfaat pribadinya.

Kondisi yang lebih memprihatinkan kita adalah, realitas tersebut justru menimpa mereka yang memiliki status sebagai pelajar agama, mereka yang memiliki peran begitu besar untuk membangun kondisi spiritualitas bangsa dan negara, kehadiran mereka sebagai pelita-pelita yang dapat menerangi kegelapan, kemanapun mereka pergi maka di situ akan terpancarkan cahaya sehingga manusia yang ada di sekitarnya tidak lagi merasa kegelapan dan pada akhirnya mereka dapat menyampaikan manusia yang berada di sekelilingnya tersebut pada tujuan mereka.

Akan tetapi apa daya dan upaya kita, ternyata realitas berbicara lain, kita melihat dan menemukan dengan mata kepala kita sendiri bahwa begitu banyak orang-orang yang mengaku sebagai pecinta ilmu dan berstatus sebagai pewaris para Nabi dalam menyampaikan misi-misi suci Ilahi, ternyata telah menyelewengkan fungsi ilmu itu sendiri. Mereka mempelajari khazanah ilmu-ilmu Islam akan tetapi mereka tidak mengamalkan apa yang mereka dapatkan selama masa belajarnya. Mereka memperdalam ilmu tapi bukan untuk mencapai keridhoan Ilahi melainkan demi mencapai tujuan dan manfaat pribadi.

Mereka pintar dan dapat mengagumkan setiap orang dalam berargumen akan tetapi pada saat yang sama mereka melupakan jati diri mereka, karena kepintaran mereka bukan semata-mata untuk membimbing orang lain menuju ke jalan Allah melainkan mereka ingin mendapatkan posisi yang sesuai dengan kecerdasan yang mereka miliki. Jika Islam mengajarkan untuk tidak memandang kemuliaan manusia hanya dari banyak dan lamanya ia belajar, maka  hari ini realitas itu telah barubah, mereka mengukur kemuliaan manusia hanya dari kuantitas dan lamanya ia belajar, walaupun sering sekali kita menemukan orang-orang yang banyak dan lama belajar cenderung meremehkan orang lain dan menganggap orang lain tidak tahu apa-apa dan menganggap merekalah yang paling bisa.

Mereka tidak lagi memperhatikan ucapan dan garak gerik mereka yang bertentangan dengan akhlak islami, hal inilah yang dari jauh-jauh hari telah diperingatkan oleh Imam Shodiq as:
” Bukanlah ilmu itu dikarenakan banyaknya belajar, sesungguhnya ilmu adalah cahaya yang mana Allah swt meletakkannya di dalam hati hamba-Nya yang Ia inginkan”.

Hal ini merupakan khayalan orang-orang yang menganggap bahwa mereka sudah berilmu, padahal mereka telah lalai akan hakikat dan buahnya ilmu itu sendiri. Ilmu hakiki tidaklah membuahkan sesuatu yang lain kecuali rasa takut pada Allah swt, sebagimana Allah menerangkan dalam Al-qur’an bahwa buah dari ilmu yang hakiki adalah rasa takut kepada-Nya.

” Sesungguhnya hanya dari hamba-hamba-Nya yang berilmu yang takut kepada-Nya”(Al-Fathir:28)

Dan jika kita merujuk kembali kepada nas, maka di situ makna hakikat ilmu dan siapa saja yang menyandang hakikat tersebut, serta bagaimana kriteria orang-orang yang menyandang ilmu hakiki akan semakin jelas, sehingga kita bisa membedakan mana orang yang benar-benar berilmu dengan orang yang berkhayal bahwa ia berilmu. Wahai para pecinta ilmu! Marilah kita merenungi kembali apa sebenarnya hakikat ilmu itu, sehingga kita ataupun mereka yang mengaku pecinta ilmu dan pecinta kebenaran tidak terjerumus ke dalam jurang kehancuran yang akibat dari semua itu adalah murka Allah swt, Rasul-Nya dan para penerusnya yang di sucikan oleh Allah swt dari segala dosa dan kesalahan.[]

Syi’ah dan Sunni sepakat tentang keorisinilan Al Quran. Syi’ah tidak sepakat tentang keorisinilan semua hadis sunni yang “berlabel shahih”. Logika : Bukhari mengumpulkan 600.000 hadis   tetapi Cuma 7000 yang dia anggap orisinil pasca seleksi ? Nah dari 7000 itulah syi’ah menseleksi dan meninjau ulang mana hadis yang orisinil dan mana hadis yang dibuat buat !

Tidak ada kesepakatan sunni – syi’ah tentang keorisinilan semua hadis Nabi SAW, ini berbeda dengan masalah ayat ayat Al Quran
Karena hadis sunni tidak dihapal dan tidak dicatat sejak awal secara sistematis, maka ahlul hadis sunni kebingungan untuk memastikan mana hadis yang betul betul berasal dari Nabi (orisinil) dan mana hadis yang dibuat buat…

Bukhari mengumpulkan 600.000 hadis   tetapi Cuma 7000 yang dia anggap orisinil pasca seleksi..
Nah dari 7000 itulah syi’ah menseleksi dan meninjau ulang mana hadis yang orisinil dan mana hadis yang dibuat buat  antek antek  raja zalim !!
Pertanyaan :
  1. Apakah Bukhari maksum sehingga kitab hadisnya 100% benar ?
  2. Ada hadis hadis dalam kitab Bukhari yang saling bertentangan, Apakah masuk akal Nabi SAW mengucapkan sabda sabda yang saling saling berlawanan alias plin plan ??? Ingat, Nabi SAW itu maksum (infallible)
Legenda :
1. Imam Ahmad bin Hanbal yg hafal 1.000.000 hadits (1 juta hadits)
tapi  hanya sempat menulis sekitar 20.000 hadits saja, maka 980.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman ????????????? Apakah yang hilang itu benar benar hilang atau cuma mitos legenda ???
2. Bukhari hafal 600.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya dimasa mudanya, namun beliau hanya sempat menulis sekitar 7.000 hadits saja pada shahih Bukhari dan beberapa kitab hadits kecil lainnya, dan 593.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman ?????? Apakah yang hilang itu benar benar hilang atau cuma mitos legenda ???
Syi’ah dan Sunni sepakat tentang keorisinilan Al Quran. Syi’ah tidak sepakat tentang keorisinilan semua hadis sunni yang “berlabel shahih”. Logika : Bukhari mengumpulkan 600.000 hadis   tetapi Cuma 7000 yang dia anggap orisinil pasca seleksi ? Nah dari 7000 itulah syi’ah menseleksi dan meninjau ulang mana hadis yang orisinil dan mana hadis yang dibuat buat !
3. Albani bukan pula Hujjatul Islam, yaitu gelar bagi yg telah hafal 300.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya, bagaimana ia mau hafal 300.000 hadits, sedangkan masa kini jika semua buku hadits yg tercetak itu dikumpulkan maka hanya mencapai kurang dari 100.000 hadits.

AL Imam Nawawi itu adalah Hujjatul islam, demikian pula Imam Ghazali, dan banyak Imam Imam Lainnya juga gemar mengedit dan meringkas ringkas hadis…. Kenapa hadis sunni diedit dan diringkas ??? ya agar mazhab sunni tetap tegak, segala bau syi’ah dibuang dari hadis.

Bukhari manusia super ??? 16 tahun adalah 8.409.600 menit, jika dalam tempo 16 tahun Bukhari mampu mengumpulkan 600 ribu hadis saja berarti Bukhari adalah manusia super yang mampu mencari, menyeleksi dan menshahihkan 1 hadis dalam tempo 14 menit !!! itu belum dipotong waktu makan – shalat – tidur – perjalanan… Wow !!
60 minit x 24 jam x365hari x 16 tahun =8.409.600 minit (16 tahun)
hadis yang dikumpul 600,000 dalam tempoh 16 tahun.
8.409.600 dibahagi 600.000 =14,016 minit untuk 1 hadis
adakah imam bukhari mampu mencari,menyeleksi dan mensahihkan hadith itu dalam tempoh 14,016 minit?
itu belum ditolak waktu tidur,makan,solat,aktiviti memanah dan lain lain.jika ditolak waktu itu mungkin masanya lagi kurang mungkin sekitar 7 minit saja masa yang tinggal.
belum dikira lagi masa perjalanan dari kota ke kota lain dalam mencari hadith.
kita selalu diberikan angka angka ini untuk mewujudkan kekaguman kepada imam bukhari.tapi adakah angka ini betul setelah dikira berasaskan matematik.


Bukhari lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy.

Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah lepasan Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah.

Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu beliau mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).
Bersama gurunya Syekh Ishaq, Bukhari menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya.
Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim).

Penelitian Hadits.
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.

Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami’ as-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.

Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, “perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu” sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan “Haditsnya diingkari”. Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Beliau berkata “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan”.

Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.

Terkait Berita: