Pesan Rahbar

Home » , , , , , , , , » Hampir sebagian besar kalangan Sunni menuduh golongan Syiah sebagai kaum Kafir karena mereka mengkritik, mencela, memaki, mengkafirkan para sahabat. Jika demikian?… terserah anda. Namun yang jadi masalah adalah apakah hukum ini berlaku juga bagi Nabi atau para sahabatnya sendiri? karena dalam kitab Hadith maupun tarikh terdapat pula kritikan, teguran, celaan, permusuhan antar sahabat bahkan membunuh sahabat lainnya . Apakah kita harus menghapus riwayat-riwayat yang mengandung kekerasan itu di seluruh kitab-kitab ataukah mengubah hukum dalam mengkritik atau mencela sahabat ?

Hampir sebagian besar kalangan Sunni menuduh golongan Syiah sebagai kaum Kafir karena mereka mengkritik, mencela, memaki, mengkafirkan para sahabat. Jika demikian?… terserah anda. Namun yang jadi masalah adalah apakah hukum ini berlaku juga bagi Nabi atau para sahabatnya sendiri? karena dalam kitab Hadith maupun tarikh terdapat pula kritikan, teguran, celaan, permusuhan antar sahabat bahkan membunuh sahabat lainnya . Apakah kita harus menghapus riwayat-riwayat yang mengandung kekerasan itu di seluruh kitab-kitab ataukah mengubah hukum dalam mengkritik atau mencela sahabat ?

Written By Unknown on Sunday, 14 September 2014 | 18:38:00


Hampir sebagian besar kalangan Sunni menuduh golongan Syiah sebagai kaum Kafir karena mereka mengkritik, mencela, memaki, mengkafirkan para sahabat. Jika demikian?… terserah anda. Namun yang jadi masalah adalah apakah hukum ini berlaku juga bagi Nabi atau para sahabatnya sendiri? karena dalam kitab Hadith maupun tarikh terdapat pula kritikan, teguran, celaan, permusuhan antar sahabat bahkan membunuh sahabat lainnya.

Apakah kita harus menghapus riwayat-riwayat yang mengandung kekerasan itu di seluruh kitab-kitab ataukah mengubah hukum dalam mengkritik atau mencela sahabat, mis celaan tersebut menjadi doa atau rahmat baginya, sebagai ijtihad yang salah, boleh mengkritik mencela para sahabat yang tidak sesuai atau ada jalan lain?…terserah anda, aku hanya menyebarkan riwayat sejarah yang ditulis pada zaman dulu.
Berikut ini adalah sebagian riwayat tersebut:

>> Sahabat2 utama; Ali, Aisyah, Umar dengan Abu Hurairah.
Ibnu Qutaibah menulis: ‘Dan mengherankan sikap mereka (para ahli hadis)? mereka menyebut Abu Hurairah sebagai pembohong tetapi mereka tidak menulis mengenai Abu Hurairah sesuai dengan kesepakatan para ahli hadis. Yahya bin Mu’in dan Ali Ibnu al­Madini dan orang­orang seperti mereka menolak Hadis Abu Hurairah, tapi anehnya orang tetap saja berhujah dengan hadis Abu Hurairah yang tidak akur dan serasi dengan seorang pun dari para sahabat dan telah dianggap sebagai pembohong oleh Umar, Utsman dan Aisyah.’.

Ibnu Qutaibah melukiskan hubungan Aisyah dengan Abu Hurairah: ‘Engkau menyampaikan hadis yang tidak kudengar dari Nabi saw’. Demikianlah kata­kata Aisyah yang ditujukan kepada Abu Hurairah. Abu Hurairah menjawab dengan jawaban yang tidak beradab dan tanpa hormat, seperti diriwayatkan oleh Bukhari, Ibnu Sa’ad, Ibnu Katsir dan lain­lain: ‘Engkau (terlalu) sibuk dengan cermin dan tempat celak!’. Dan di bagian lain ia berkata kepada Aisyah: ‘Aku tidak disibukkan oleh cermin dan tempat celak serta pewarna, tetapi aku melihat Anda demikian’. Dan diriwayatkan oleh Dzahabi bahwa Aisyah berkata kepada Abu Hurairah: ‘Keterlaluan Abu Hurairah, berlebihan yang engkau sampaikan tentang Rasul Allah!’. Dan Abu Hurairah menjawab: ‘Aku tidak disibukkan oleh cermin dan tidak oleh tempat celak dan tidak juga dengan alat pemoles (yang menjauhkan aku dari Rasul Allah)!’.

Dan Aisyah menjawab: ‘Engkaulah yang sibuk mengurus perutmu, dan kerakusanmu membuat engkau terbirit-­birit pergi dari Rasul Allah dan bergegas (bersembunyi) di belakang orang­orang, mengetuk rumah meminta­minta makanan untuk memenuhi perutmu yang lapar sehingga mereka lari dan menjauhimu. Kemudian engkau jatuh pingsan di depan kamarku dan orang mengira engkau gila dan mereka menginjak­injak lehermu.

Di samping itu Umar memecatnya dari kedudukannya sebagai gubernur Bahrain karena menuduhnya sebagai pencuri. Ibnu Abd Rabbih menulis pada bagian awal jilid pertama bukunya ‘Iqd al­Farid. “Umar kemudian memanggil Abu Hurairah dan berkata kepadanya: ‘Aku tahu tatkala aku mengangkatmu jadi gubernur di Bahrain, sandal pun engkau tidak punya. Kemudian sampai berita kepadaku bahwa engkau membeli kuda­kuda seharga seribu enam ratus dinar’. Abu Hurairah: ‘Kami memiliki kuda kemudian beranak-pinak dan aku mendapat hadiah beruntun’. Umar: ‘Aku telah perhitungkan penghasilanmu dan rizkimu dan kelebihan ini harus kau kembalikan!’. Abu Hurairah: ‘Kamu tidak berhak untuk mengambilnya!’. Umar: ‘Ya, demi Allah aku harus ambil! Dan aku akan pukul punggungmu!’ Kemudian ia mengambil pecut dan memukulnya sampai berdarah! “Kemudian Umar berkata: ‘Bawa kemari uang itu!’ Abu Hurairah: ‘Aku menganggap harta yang engkau ambil itu di jalan Allah!” Umar: ‘Ya, kalau engkau mengambil itu dari yang halal dan engkau laksanakan di jalan yang benar! Apakah engkau datang dari Bahrain mengambil pajak untuk dirimu dan bukan karena Allah dan bukan untuk kaum Muslimin? Kau tidak punya keahlian apa­apa kecuali mengangon unta!’ Di bagian lain Abu Hurairah meriwayatkan dalam buku yang sama: ‘Abu Hurairah menerangkan: ‘Ketika aku diberhentikan oleh Umar dari Bahrain, Umar berkata kepadaku: ‘Ya musuh Allah dan musuh Kitab­Nya, engkau mencuri harta Allah? Aku menjawab: ‘Aku bukan musuh Allah dan musuh KitabNya! Tapi aku adalah musuh yang memusuhimu! Dan aku tidak mencuri harta Allah!’ Umar: ‘Dari mana engkau kumpulkan uang yang sepuluh ribu?’ Abu Hurairah: ‘Kuda beranak pinak dan aku telah mendapat hadiah beruntun dan keuntungan susul menyusul, Umar menyitanya dariku! Dan setelah shalat subuh aku mintakan pengampunan untuk Amirul mukminin!’.

>> Asy’ats bin Qais al­Kindi.
Asy’ats bin Qais al­Kindi, yang dinamakan munafik tingkat tinggi nomor dua sesudah Abdullah bin Ubay bin Salut oleh Muhammad ‘Abdu. Ia menjadi murtad tatkala RasulAllah saw wafat, yaitu tatkala Abu Bakar jadi khalifah. Pemberontakan terjadi di kawasan Hadhramaut. Pemberontak akhirnya terkepung dalam benteng An­Nujair. Suatu malam secara sembunyi­sembunyi Asy’ats bin Qays keluar benteng menemui Ziyad dan Muhajir yang mengepung benteng itu, dan bersekongkol dengan mereka bahwa apabila mereka memberi perlindungan kepada sembilan orang keluarganya, maka ia akan membuka benteng itu.

Mereka menerima ketentuan itu dan meminta ia menuliskan nama kesembilan anggota yang dimaksud. Ia khilaf dan tidak menuliskan namanya sendiri. Ia lalu menyelinap masuk ke dalam benteng dan mengatakan kepada penghuni benteng bahwa ia telah mendapatkan perlindungan bagi mereka dan supaya pintu benteng dibuka. Alangkah kaget teman­temannya tatkala Ziyad menunjukkan sembilan nama yang disepakati Asy’ats bin Qays. Asy’ats juga terkejut karena namanya tidak tercantum dalam daftar yang ia tulis. Asy’ats bin Qays tidak dibunuh. Ia minta bertemu Abu Bakar dan diluluskan. Sepanjang perjalanan ke Madinah, sekitar seribu kaum wanita yang juga dibelenggu mengutuknya sebagai pengkhianat dan penjerumus kaumnya. Sekitar delapan ratus orang dibunuh dalam benteng itu karena perbuatannya. Setelah tiba di Madinah, Abu Bakar bukan saja tidak membunuhnya malah mengawinkannya dengan adik perempuannya Umm Farwah binti Abi Quhafah yang kemudian melahirkan tiga orang anak, yaitu Muhammad , Ismail dan Ishaq. Asy’ats bin Qays ini juga yang bersekongkol dalam pembunuhan Imam Ali di kemudian hari. Putrinya, Ja’dah binti Asy’ats, membunuh Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib, suami nya sendiri. Mu’awiyah menjanjikan seratus ribu dinar dari Mu’awiyah dan akan dikawinkan dengan Yazid bila Ja’dah meracuni suaminya, yang kemudian dilakukannya. Puteranya dari Farwah binti Abi Quhafah di atas, yaitu Muhammad bin Asy’ats bin Qays terkenal karena mencurangi Muslim bin Aqil yang diutus Husain ke Kufah dan turut dalam pembunuhan Imam Husain di Karbala. Meskipun demikian ia termasuk di antara orang-­orang yang meriwayatkan hadis­hadis oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah.

>>Ali vs Abu Bakar, Umar cs
Kedua surat dibawah ini dimuat Nashr bin Muzahim dalam Kitabnya Waq’ah Shiffin dan Mas’udi dalam kitabnya Muruj adz­Dzahab dan telah diisyaratkan oleh Thabari dan Ibnu Atsir sebagai surat yang ditulis tahun 36 Hijriah, yaitu tatkala Muhammad bin Abu Bakar menjadi Gubernur di Mesir di zaman kekhalifahan Ali. Thabari melaporkan peristiwa ini dengan tidak menyebutkan isi surat dibawah ini dengan alasan “supaya orang banyak tidak resah mendengarkannya”.

Yang menarik dari kedua surat ini adalah kritik Mu’awiyah terhadap pembaiatan Abu Bakar di Saqifah. Mu’awiyah berkeyakinan bahwa Abu Bakar dan Umar mengetahui betul tuntutan Ali. Di pihak lain yang membuat kedua surat ini lebih menarik adalah pernyataan Muhammad bin Abu Bakar tentang Ali sebagai pemegang wasiat dan pewaris Rasul yang tidak dibantah Mu’awiyah.

Berikut isi Surat tersebut:

Surat Muhammad bin Abu Bakar kepada Mu’awiyah:
Bismillahirrahmanirrahim.
Dari Muh ammad bin Abu Bakar.
Kepada si tersesat Mu’awiyah bin Shakhr.
Salam kepada penyerah diri dan yang taat kepada Allah!
Amma ba’du, sesungguhnya Allah SWT, dengan keagungan dan kekuasaan-Nya, mencipta makhluk­Nya tanpa main­main. Tiada celah kelemahan dalam kekuatan­Nya. Tidak berhajat Ia terhadap hamba­Nya. Ia mencipta mereka untuk mengabdi kepada­Nya.

Ia menjadikan mereka orang yang tersesat atau orang yang lurus, orang yang malang dan orang yang beruntung.
Kemudian, dari antara mereka, Ia Yang Mahatahu memilih dan mengkhususkan Muhammad saw dengan pengetahuan ­Nya. Ia jualah yang memilih Muhammad saw berdasarkan ilmu­Nya sendiri untuk menyampaikan risalah­Nya dan mengemban wahyu­Nya. Ia mengutusnya sebagai Rasul dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.

Dan orang pertama yang menjawab dan mewakilinya, menaatinya, mengimaninya, membenarkannya, menyerahkan diri kepada Allah dan menerima Islam sebagai agamanya ­adalah saudaranya dan misannya Ali bin Abi Thalib­ yang membenarkan yang ghaib. Ali mengutamakannya dari semua kesayangannya, menjaganya pada setiap ketakutan, membantunya dengan dirinya sendiri pada saat­saat mengerikan, memerangi perangnya, berdamai demi perdamaiannya, melindungi Rasul dengan jiwa raganya siang maupun malam, menemaninya pada saat­saat yang menggetarkan, kelaparan serta dihinakan. Jelas tiada yang setara dengannya dalam berjihad, tiada yang dapat menandinginya di antara para pengikut dan tiada yang mendekatinya dalam amal perbuatannya.

Dan saya heran melihat engkau hendak menandinginya! Engkau adalah engkau! Sejak awal Ali unggul dalam setiap kebajikan, paling tulus dalam niat, keturunannya paling bagus, isterinya adalah wanita utama, dan pamannya (Ja’far) syahid di Perang Mu ’tah. Dan seorang pamannya lagi (Hamzah) adalah penghulu para syuhada perang Uhud, ayahnya adalah penyokong Rasul Allah saw dan isterinya.

Dan engkau adalah orang terlaknat, anak orang terkutuk. Tiada hentinya engkau dan ayahmu menghalangi jalan Rasul Allah saw. Kamu berdua berjihad untuk memadamkan nur Ilahi, dan kamu berdua melakukannya dengan menghasut dan menghimpun manusia, menggunakan kekayaan dan mempertengkarkan berbagai suku. Dalam keadaan demikian ayahmu mati. Dan engkau melanjutkan perbuatannya seperti itu pula.
Dan saksi­saksi perbuatan Anda adalah orang­orang yang meminta-­minta perlindungan Anda, yaitu dari kelompok musuh Rasul yang pemberontak, kelompok pemimpin­pemimpin yang munafik dan pemecah belah dalam melawan Rasul Allah saw.

Sebaliknya sebagai saksi bagi Ali dengan keutamaannya yang terang dan keterdahuluannya (dalam Islam) adalah penolong­penolongnya yang keutamaan mereka telah disebut dalam Al­ Qur’an, yaitu kaum Muhajirin dan Anshar. Dan mereka itu merupakan pasukan yang berada di sekitarnya dengan pedang­pedang mereka dan siap menumpahkan darah mereka untuknya. Mereka melihat keutamaan pada dirinya yang patut ditaati, dan malapetaka bila mengingkarinya.

Maka mengapa, hai ahli neraka, engkau menyamakan dirimu dengan Ali, sedang dia adalah pewaris (warits ) dan pelaksana wasiat (Washi) Rasul Allah saw, ayah anak­anak (Rasul), pengikut pertama dan yang terakhir menyaksikan Rasul, teman berbincang, penyimpan rahasia dan serikat Rasul dalam urusannya. Dan Rasul memberitahukan pekerjaan beliau kepadanya, sedang engkau adalah musuh dan anak dari musuh beliau.
Tiada peduli keuntungan apa pun yang kau peroleh dari kefasikanmu di dunia ini dan bahkan Ibnu ’l­Ash menghanyutkan engkau dalam kesesatanmu, akan tampak bahwa waktumu berakhir sudah dan kelicikanmu tidak akan ampuh lagi. Maka akan jadi jelas bagimu siapa yang akan memiliki masa depan yang mulia. Engkau tidak mempunyai harapan akan pertolongan Allah, yang tidak engkau pikirkan.
Kepada­Nya engkau berbuat licik. Allah menunggu untuk menghadangmu, tetapi kesombonganmu membuat engkau jauh dari Dia.
Salam bagi orang yang mengikuti petunjuk yang benar.

Jawaban Mu’awiyah kepada Muhammad bin Abu Bakar:
Dari Mu ’awiyah bin Abu Sufyan.
Kepada Pencerca ayahnya sendiri, Muhammad bin Abu Bakar .
Salam kepada yang taat kepada Allah.
Telah sampai kepadaku suratmu, yang menyebut Allah Yang Mahakuasa dan Nabi pilihan­Nya dengan kata­kata yang engkau rangkaikan. Pandanganmu lemah. Engkau mencerca ayahmu. Engkau menyebut hak Ibnu Abi Thalib dan keterdahuluan serta kekerabatannya dengan Nabi Allah saw dan bantuan serta pertolongannya kepada Nabi pada tiap keadaan genting.
Engkau juga berhujah dengan keutamaan orang lain dan bukan dengan keutamaanmu. Aneh, engkau malah mengalihkan keutamaanmu kepada orang lain.
Di zaman Nabi saw, kami dan ayahmu telah melihat dan tidak memungkiri hak Ibnu Abi Thalib. Keutamaannya jauh di atas kami.
Dan Allah SWT memilih dan mengutamakan Nabi sesuai janji­Nya. Dan melalui Nabi Ia menyampaikan dakwah­Nya dan memperoleh hujah­Nya. Kemudian Allah mengambil Nabi ke sisi­Nya.

Ayahmu dan Faruq­nya (Umar ) adalah orang­orang pertama yang merampas haknya (ibtazza). Hal ini diketahui umum.
Kemudian mereka mengajak Ali membaiat Abu Bakar tetapi Ali menunda dan memperlambatnya. Mereka marah sekali dan bertindak kasar. Hasrat mereka bertambah besar. Akhirnya Ali membaiat Abu Bakar dan berdamai dengan mereka berdua.
Mereka berdua tidak mengajak Ali dalam pemerintahan mereka. Tidak juga mereka menyampaikan kepadanya rahasia mereka, sampai mereka berdua meninggal dan berakhirlah kekuasaan mereka.

Kemudian bangkitlah orang ketiga, yaitu Utsman yang menuruti tuntunan mereka. Kau dan temanmu berbicara tentang kerusakan­kerusakan yang dilakukan Utsman agar orang­orang yang berdosa di propinsi­propinsi mengembangkan maksud­maksud buruk terhadapnya dan engkau bangkit melawannya. Engkau menunjukkan permusuhanmu kepadanya untuk mencapai keinginan-­keinginanmu sendiri.
Hai putra Abu Bakar, berhati­hatilah atas apa yang engkau lakukan. Jangan menempatkan dirimu melebihi apa yang dapat engkau urusi. Engkau tidak akan dapat menemukan seseorang yang mempunyai kesabaran yang lebih besar dari gunung, yang tidak pernah menyerah kepada suatu peristiwa. Tak ada yang dapat menyamainya.

Ayahmu bekerja sama dengan dia dan mengukuhkan kekuasaannya. Bila kaum katakan bahwa tindakanmu benar, (maka ketahuilah) ayahmulah yang mengambil alih kekuasaan ini dan kami menjadi sekutunya. Apabila ayahmu tidak melakukan hal ini, maka kami tidak akan sampai menentang anak Abu Thalib dan kami akan sudah menyerah kepadanya.

Tetapi kami melihat bahwa ayahmu memperlakuk an dia seperti ini di hadapan kami, dan kami pun mengikutinya; maka cacat apa pun yang akan kau dapatkan, arahkanlah itu kepada ayahmu sendiri, atau berhentilah dari turut campur.
Salam bagi dia yang kembali.

>> Abu Dzar dengan Uthman.
Tatkala Abu Dzar memprotes kemewahan hidup Muawiyah di Syria. Muawiyah lapor ke Uthman dan Uthman pun “memanggil” Abu Dzar ke Madinah disertai tentara dan menunggang unta yang pelananya tidak diberi alas. Ketika Uthman melihat Abu Dzar, ia langsung memprotes kegiatan sahabat nabi ini. Abu Dzar menjawab, Saya mengharapkan kebaikan bagi anda, tetapi anda malah menipu saya. begitu pula, saya mengharapkan kebaikan teman anda (Mu’awiyah) tetapi ia pun menipu saya.

Uthman berkata, engkau pembohong, engkau hendak menimbulkan kerusuhan. engkau menghasut seluruh rakyat Syria menentang kami.
Abu Dzar menjawab, Anda harus mengikuti langkah-langkah Abu Bakar dan Umar. apabila anda berbuat demikian tak akan ada orang yang mengatakan sesuatu terhadap anda.

Uthman menjawab, Semoga ibumu mati! Apa hubungan anda dengan urusan ini?
Abu Dzar menjawab, Sepanjang menyangkut diri saya, tak ada pilihan selain menyuruh manusia berbuat baik dan mencegah mereka dari kejahatan.
Tak bisa membendung amar makruf nahi munkar Abu Dzar, Uthman akhirnya kemudian membuang Abu Dzar ke Rabadzah, daerah tandus yang tidak dihuni manusia, hewan, maupun ditumbuhi tanaman. Ia juga melarang masyarakat menyaksikan kepergiannya. Orang tak berani mengantarnya, kecuali lima orang; Ali, Aqil, Hasan, Husein, serta Ammar bin Yasir.

>> Aisyah dengan Uthman.
Dalam perjalanan pulang ke Madinah, Aisyah bertemu dengan Abd ibn Abi Salma, keluarga jauh dari pihak ibunya, yang menginformasikan kematian Uthman dan naiknya Ali sebagai Khalifah. Ibn Abi Salma menceritakan bahwa masyarakat Madinah telah menunggu selama delapan hari setelah kematian Uthman, sebelum mereka dengan bijak semua sepakat atas Ali bin Abi Thalib. Aisyah berseru, Langit akan runtuh ke bumi sebelum masalah ini diputuskan bagi sahabatmu (Ali). Bawa aku kembali ke Makkah! Ia kemudian menyatakan, Demi Allah, Uthman terbunuh secara tidak sah! Dan aku pasti akan menuntut balas atas darahnya. Ibn Abi Salma mengingatkannya bahwa Aisyahlah yang pertama menghasut masyarakat menentang Uthman dengan mengatakan, Bunuhlah Na’tsal (yaitu orang tua Yahudi berjenggot)itu, karena ia telah membuang iman / kafir. Aisyah menyatakan bahwa masyarakatlah, setelah membuat Uthman bertobat, yang kemudian membunuhnya secara tidak sah. Aku berbicara dan mereka berbicara, lanjutnya, tetapi ucapanku yang terakhir lebih baik daripada ucapanku yang pertama. lelaki itu menukas, Kamu memerintahkan kami membunuh imam dan kami menaatimu dan kami membunuhnya. namun, kami yakin bahwa pembunuhnya yang sebenarnya adalah orang yang memerintahkannya.”.

>> Abd Rahman bin Awf dengan Uthman.
ketika terjadi penyelewengan dalam kekhalifahan Uthman, kaum muhajirin dan anshar dengan marah menuduh Abd Rahman bin Auf atas perilaku Uthman yang tidak dapat dipahami. kemudian Ibn Awf mencela Uthman dengan mengatakan, Aku mengutamakanmu dengan syarat bahwa kamu memperlakukan kami sesuai dengan praktik Abu Bakar dan Umar. namun, kamu berlawanan dengan keduanya, dan lebih menyukai keluarga dekatmu dan menempatkan mereka di leher kaum muslim. Uthman menjawab, Umar menjauhkan keluarga dekatnya demi ridha Tuhan, dan aku memberikan hadiah yang dermawan kepada keluarga dekatku juga demi ridha Tuhan. Abd Rahman menukas marah, Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku tidak akan berbicara kepadamu setelah ini. Karena itulah, ketika Uthman menengoknya di ranjang kematiannya, ibn Awf memalingkan wajahnya ke tembok dan menolak berbicara dengan Uthman.

>> Abdullah bin Mas’ud dengan Uthman.
Ketika terjadi ketidakberesan pada kekhalifahan Uthman bin Affan. Ia banyak mengeritik kebijakan Uthman. misalnya, ia pernah berkata, “Di mata Allah, Uthman tidak berharga walaupun sebesar bulu lalat.” Walid bin Uqbah, Gubernur Kufah memberitahukan hal tersebut kepada Uthman, lalu Uthman memanggil Ibn Mas’ud ke Madinah. Ibn Mas’ud sampai di Madinah pada Jumat malam. ketika Uthman mengetahui kedatangannya, ia menyuruh rakyat berkumpul ke masjid lalu ia berkata, Lihatlah, sedang menuju kalian seekor binatang hina (kadal), yang menginjak-injak makanan, muntahan dan kotorannya. Ibn Mas’ud berkata, saya tidak seperti itu. Yang pasti saya adalah seorang sahabat Nabi saw. saya bersama beliau dalam perang Badar dan ikut serta dalam bayt Ridwan. Aisyah berteriak dengan keras dari rumahnya, Uthman! engkau mengucapkan kata-kata seperti itu kepada sahabat Nabi! Orang lain juga tidak menyukai kata-kata Uthman itu dan menyatakan kemarahannya. Atas perintah Uthman, para pegawainya dan budaknya mengusir Ibn Mas’ud keluar masjid dengan cara yang sangat kasar. mereka menyeretnya ke gerbang masjid dan melemparkannya ke tanah. lalu mereka memukulnya sehingga ia mengalami patah tulang, dan dari situ ia digotong ke rumahnya seperti orang yang sudah meninggal. selain itu Uthman juga menghentikan pemberian tunjangan yang biasa diterimanya dari baitul mal, memutus segala sumber rezekinya serta melarang orang menjenguknya. Pada saat akhirnya, Abdullah bin Mas’ud berpesan kepada Ammar supaya Uthman tidak melakukan solat jenazah ke atasnya nanti.

>> Ammar dengan Uthman.
Diriwatakan bahwa ada kotak di baitul mal yang berisi perhiasan dan permata. Uthman mengambil perhiasan tersebut dari baitul mal dan memberikannya kepada salah seorang istrinya. masyarakat merasa keberatan atas tindakan Uthman itu dan mengeritiknya dengan keras sehingga Uthman menjadi berang. Kepada jamaah ia berkata di atas mimbar, Saya akan mengambil apa saja yang saya sukai dari harta rampasan perang dan saya tidak peduli bila ada yang tidak menyukainya. Atasnya Ali berkata, kalau begitu, anda akan dicegah dari berbuat begitu dan sebuah dinding akan didirikan antara anda dan baitul mal. Ammar berkata, Ya Allah saksikanlah bahwa saya adalah orang pertama yang tidak menyukai penyelewengan ini. Kemudian uthman berkata, hai Ammar, alangkah beraninya engkau berbicara melawan saya! tangkap dia!.

Tiba-tiba Marwan berdiri seraya berkata kepada Uthman, Wahai Amirul Mukminin! Budak ini telah menghasut rakyat menentang anda. bila anda membunuhnya maka orang lain akan mendapat pelajaran. Ammar kemudian dipukuli ramai-ramai oleh tongkat Uthman dan anggota Bani Umayyah kemudian melemparkannya ke jalan saat tengah hujan lebat.

>> Thalhah bin Ubaidillah dengan Uthman
pada suatu kesempatan Ali mendatangi Thalhah dan melihat sekumpulan pemberontak berkumpul di sekelilingnya. Ia merasa bahwa Thalhah memegang peranan penting dalam pengepungan rumah Uthman dan berniat membunuhnya. Ali menegurnya, Wahai Thalhah! Apa yang anda lakukan kepada Uthman. Ali juga berusaha mencegah Thalhah melakukan kegiatannya namun Thalhah menolak nasihatnya. Ali kemudian pergi ke baitul mal hendak membukanya, tetapi tidak ada kuncinya. maka pintu baitul mal itu dibongkar atas perintahnya lalu ia membagi-bagikan semua uang yang ada disana kepada orang-orang yang dikumpulkan Thalhah untuk membunuh Uthman. Tatkala Uthman mengetahui peristiwa ini dia sangat senang dan menyadari bahwa tak seorang pun yang setulus, sesimpatik dan semahir Ali dalam menyelesaikan permasalahan muslimin.

Kemudian Thalhah mendatangi Uthman dan meminta maaf, lalu berkata, “Saya bertobat di hadapan Allah. Saya telah bertekad melakukan sesuatu tetapi Allah menggagalkannya”. Uthman berkata, “Anda datang ke sini bukan sebagai orang yang bertobat, melainkan sebagai orang yang menjadi tak berdaya. semoga Allah menghukum anda!.”.

>> Abd Rahman bin Abu Bakar dengan Marwan bin Hakam
Ketika Marwan menjadi gubernur Muawiyah di Hijaz, ia meminta rakyat untuk membaiat Yazid. Abd Rahman bin Abu Bakar memprotes Marwan sambil berkata, Kalian menginginkan kekuasaan ini seperti kekuasaan Heraclius! Marwan marah dan menyuruh orang menangkap Abd Rahman. Ia lari ke kamar Aisyah, saudaranya. Marwan berkata, ayat al-Qur’an alladzi qala liwalidayhi uffin lakum turun tentang Abd Rahman. Mendengar tersebut, Aisyah berkata di balik hijab menolak asbab nuzul ayat tersebut.(riwayat ini disebutkan di sahih Bukhari dengan mengaburkan perkataan Abd Rahman ke Marwan dalam kitab al-Tafsir bab alladzi qala liwalidayhi uff (surah al-Ahqaf)).

>> Aisyah, Thalhah, Zubair dengan Usman bin Hunaif
Ketika Aisyah dengan pasukan jamalnya memaksa masuk Basrah pada suatu malam. mereka membunh banyak orang di masjid. kemudian mereka masuk ke rumah Usman bin Hunaif (gubernur Basrah) dan memperlakukannya dengan sangat buruk.

Thalhah dan Zubair sangat menyesali perlakuan pasukannya kepada Usman bin Hunaif karena dia pun salah seorang sahabat Nabi saw. Mereka menghadap Aisyah dan menyatakan kesedihan mereka atas kejadian tersebut. Sebagai jawabnya, Aisyah menginstruksikan supaya Usman bin Hunaif dibunuh. Tatkala perintah tersebut hampir dilaksanakan, seorang wanita berteriak histeris, Wahai ummu al-Mukminin! Demi Allah, kasihanilah anak Hunaif. hormatilah kedudukannya sebagai sahabat Nabi. Aisyah berpikir sejenak lalu berkata, “Baiklah, jangan bunuh dia, tetapi jadikan dia tawanan.”

Namun salah seorang tentara Aisyah berkata, Pukullah dia keras-keras dan cabutlah janggutnya. para tentara kemudian memukulnya tanpa belas kasihan, mencabut rambut kepalanya, janggutnya, bulu matanya dan alisnya lalu memenjarakannya.

>> Khalid bin Walid dengan Umar.
Singkat cerita Khalid membunuh Malik bin Nuwairi untuk memperoleh harta rampasan dan melecehkan kehormatan istrinya yang sangat cantik. tatkala kabar tersebut sampai kepada Abu Bakar, khalifah waktu itu merasa sedih dan mengucapkan, “Harta rampasan perang telah membuat orang-orang Arab serakah dan Khalid telah melanggar perintah saya.”.

Ketika Khalid menghadap Abu Bakar, ia membawa tiga anak panah di serbannya. Ketika Umar melihatnya, ia berkata, “wahai Musuh Allah! semua perbuatanmu ini adalah perbuatan munafik. Demi Allah, bila aku menguasaimu maka aku akan merajammu sampai mati. Ia lalu merenggut anak panah yang ada di serban Khalid lalu mematahkannya. Khalid tidak berani bicara apa-apa karena ia mengira bahwa Umar bertindak sesuai dengan perintah Abu Bakar.

Kemudian Khalid menemui Abu Bakar dan mengajukan dalih kepadanya. Abu Bakar percaya dan menerima alsan Khalid. Ketika mendengar berita ini, ia mendorong Abu Bakar untuk menghukum Khalid atas pembunuhan Malik. Abu Bakar berkata, “Wahai Umar! sebaiknya anda diam. Khalid bukan orang pertama yang melakukan kesalahan dalam masalah hukum.”
dan banyak lagi riwayat lainnya, terutama sejak masa kekhalifahan Uthman. Semoga Tuhan merahmati kita semua.

Ghibah Yang Diperbolehkan Dalam islam.


Sejarah adalah memori kolektif umat. Memori kolektif ini kemudian membentuk kepribadian, dan mengejawantah menjadi aqidah yang menyatu dalam praktik kerberagamaan umat itu sendiri.
Saya pribadi memandang bahwa telaah kritis terhadap sejarah Islam sangat penting untuk membentuk pemahaman keIslaman kita. Sunnah nabiullah SAWW yang selalu kita coba untuk ikuti dengan sempurna tidak bisa lepas dari telaah sejarah yang ada, terkhusus sejarah sahabat yang merupakan sumber sekunder yang melaluinya kita bisa menerima pemahaman mengenai sunnah Nabi. Sebab lain adalah bahwa dari sahabat pula kita bisa mengambil ibrah atau teladan seperti apa seharusnya kita menafsirkan sunnah Nabi tersebut. Melalui riwayat yang disampaikan dan juga perilaku sahabat itu lah kita mencoba mendalami Sunnah. Apalagi, saudara-saudara seiman yang bermazhab wahabi dan salafi mengikutikan tambahan penafsiran lain mengenai sunnah, bukan saja sunnah nabi, tapi juga sunnah sahabat, tabi’in, tabi’-tabi’in dan ulama salaf. Jadi, pembahasan mengenai perilaku sahabat menjadi sangat krusial dalam mempelajari agama.
Itulah sebabnya, pokok bahasan mengenai perilaku atau “keadilan” para rijal dalam kronik Islam sangat sering mengemuka, karena alasan-alasan di atas. Dalam pokok pembelajaran mengenai hadist, kita sangat menekankan pentingnya mengenali sanad dari sebuah periwayatan hadist. Satu saja periwayat yang dianggap pernah berbuat yang tidak semestinya, maka hadist itu bisa saja tertolak tanpa melihat matannya. Saya pernah membaca bagaimana Imam Bukhari pernah menolak satu hadist hanya karena melihat sang periwayat “membohongi” ayam peliharaannya dengan menggerak-gerakkan tangan seakan-akan ada biji jagung di dalamnya, demi untuk menangkap ayam tersebut.

Ahlul hadist (atau mazhab Sunni) menyatakan bahwa definisi sahabat nabi adalah seseorang yang berjumpa dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam keadaan mukmin dan meninggal dalam keadaan Islam. Ini definisi yang sangat general, perilaku mereka ketika hidup, terutama sepeninggal Rasulullah SAWW kita ketahui terjadi banyak perselisihan di antara mereka. Kalau dikatakan bahwa sahabat itu semua “tidak tercela, tidak boleh dicela”, lantas apakah itu berarti kita membenarkan perilaku sahabat yang tidak sesuai sunnah Nabi?

Perlu dicermati disini bahwa mengkritisi perilaku sahabat, tidak serta merta berujung pada pencelaan dan pengkafiran para sahabat. Saya tidak tahu dari mana sumber tuduhan yang menyatakan bahwa kaum Syiah itu mengkafirkan sahabat. Sepanjang saya membaca literatur dari ulama Syiah (mazhab Imamiah Itsna Asy’ariah)  yang terpercaya, tidak pernah ada ungkapan bahwa mereka menganggap para sahabat, seperti Khalid bin Walid, Abu Hurairah, Abu Sofyan, Muawiyah itu kafir. Kecuali ada nash yang menyatakan bahwa sahabat2 tersebut mengingkari kenabian Muhammad SAWW atau ketauhidan, yang menyebabkan seseorang dianggap kufur dari Islam. Sekira boleh, adakah referensi buku ulama Syiah yang mengkafirkan para sahabat2 itu? – kalau bisa dinukil dari sumber primer, bukan sumber sekunder atau hanya nukilan dari seseorang penulis yang memang bertujuan melakukan distorsi pemahaman terhadap syiah.

Mencela Sahabat tentu tak boleh, tapi melakukan studi kritis dalam rangka mencari hikmah di balik kisah tentu tak diharamkan, sebagaimana sudah dipraktekkan ulama-ulama salaf yang menghasilkan banyak buku sejarah, seperti yang dilakukan Ibnu Katsir, Haikal dan lain-lain.

Jangan kalian mencela Sahabatku, seandainya salah seorang di antara kalian menginfaqkan emas sebesar Gunung Uhud maka tidaklah menyamai satu mud mereka atau setengahnya.” (HR. Bukhari: 3470 dan Muslim: 2540).

Artinya: “Siapa yang mencela Sahabatku, atasnya laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya.” (HR. Thabarani dalam Mu’jamul Kabir 12/142, dihasankan oleh al-Albani dalam Silsilah Ahadits ash-Shahihah: 2340).

Konon (saya tak menemukan sumber primer dari riwayat munculnya hadist ini), sebab munculnya hadis ini disebutkan bahwa Khalid bin Walid mencaci ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Kalau mengikuti konteks hadist ke-2 di atas, maka Laknat Allah tertimpa kepada Khalid bin Walid?

Sekira bahwa sahabat adalah seseorang yang pernah bertemu Rasulullah SAWW dalam keadaan mukmin dan meninggal dalam keadaan Islam. Dan bagi yang mencela sahabat, akan dikenakan hukum Laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya atasnya. Lantas, bagaimana sekira seorang sahabat mencela sahabat nabi lainnya? Apakah kemudian sahabat itu kena hukum laknat Allah juga?

1. Dalam Sunan Ibnu Majah Tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi 1/45 no 121 terdapat hadis riwayat Sa’ad berikut:  
Ali bin Muhammad menceritakan kepada kami yang berkata Abu Muawiyah menceritakan kepada kami yang berkata Musa bin Muslim menceritakan kepada kami dari Ibnu Sabith dan dia adalah Abdurrahman dari Sa’ad bin Abi Waqash yang berkata ”Ketika Muawiyah malaksanakan ibadah haji maka Saad datang menemuinya. Mereka kemudian membicarakan Ali lalu Muawiyah mencelanya. Mendengar hal ini maka Sa’ad menjadi marah dan berkata ”kamu berkata seperti ini pada seseorang dimana aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda ”barangsiapa yang Aku adalah mawlanya maka Ali adalah mawlanya”. Dan aku juga mendengar Rasulullah SAW berkata kepada Ali ”Kamu disisiKu sama seperti kedudukan Harun disisi Musa hanya saja tidak ada Nabi setelahKu”. Dan aku juga mendengar Rasulullah SAW berkata kepada Ali ”Sungguh akan Aku berikan panji hari ini pada orang yang mencintai Allah dan RasulNya”. Hadis ini telah dinyatakan Shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no 98.

2. Ibnu Katsir dalam Al Bidayah Wan Nihayah 7/204 telah membawakan riwayat bahwa mereka yang mengepung Usman berada dibawah pimpinan Abdurrahman bin Udais.
Abu Tsawr Al Fahmy berkata ”Aku mendatangi Usman, ketika aku berada di tempat Beliau ternyata orang-orang Mesir kembali ke Madinah maka aku mendatangi Usman dan memberitahukannya. Ia bertanya ”bagaimana kamu lihat keadaan mereka?”. Aku menjawab ”Aku melihat ada niat jahat yang tergambar di wajah mereka, mereka di bawah pimpinan Ibnu Udais”. Kemudian Ibnu Udais menaiki mimbar Rasulullah SAW dan mengimami shalat Jum’at serta mencela Usman di dalam khutbahnya.

Tentang sosok Ibn Udais, Ibnu Abi Hatim berkata dalam Al Jarh Wat Ta’dil juz 5 no 1182: Abdurrahman bin Udais Al Balawi adalah seorang Sahabat Nabi”.

Dalam Al Isabah 4/334 no 5167 Ibnu Hajar menuliskan biografi Ibnu Udais dan mengutip dari Ibnu Sa’ad, Ibnu Sa’ad berkata “Ia seorang Sahabat Nabi SAW dan mendengar dari Beliau”

3. Rasulullah memperingatkan sahabat tentang Kaum Munafik.
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Aswad bin Amir yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah bin Hajjaj dari Qatadah dari Abi Nadhrah dari Qais yang berkata “saya pernah bertanya kepada Ammar, bagaimana pendapatmu tentang perang terhadap Ali? Atau bagaimana pesan yang disampaikan Rasulullah SAW kepadamu?. Ammar menjawab “Rasulullah SAW tidak pernah menyampaikan pesan kepada kami suatu pesan yang tidak Beliau sampaikan juga kepada orang-orang”. Saya diberitahu oleh Huzaifah dari Nabi SAW yang bersabda “Di kalangan Sahabatku ada dua belas orang munafik. Di antara mereka ada delapan orang yang tidak akan masuk surga sampai unta masuk ke lubang jarum”. Delapan orang diantara mereka akan mendapat Dubailah, sedangkan empat lainnya aku tidak hafal yang dikatakan Syu’bah tentang mereka. [Shahih Muslim 4/2143 no 2779 (9) tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi].

Belum lagi soal kisah sahabat Thalhah, Zubair, Ummul Mukminin Aisyah ra, Muawiyah, Amr bin Ash dan lain-lain yang pernah berperang melawan Imam Ali bin Abi Thalib. Bukan saja mereka mencela, tapi berperang melawan beliau.

Mari juga kita simak hadist tentang nubuwat sahabat dari Abu Said dalam Musnad Ahmad 3/28 no 11236 yang dinyatakan shahih oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth:
Dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa Nabi SAW bersabda “Aku berkata “SahabatKu, SahabatKu,” maka dikatakan kepadaku “Sesungguhnya Engkau tidak mengetahui apa yang sudah mereka ubah sepeninggalMu”. Lalu aku berkata “Jauh, jauh” atau berkata “celakalah celakalah mereka yang mengubah sepeninggalKu”.

Apa kira-kira maksud hadist ini? Apa yang telah diubah oleh para sahabat Nabi? Agama kah, sunnah kah?
Saya sepakat bahwa kita tidak perlu mengungki-ungkit kekeliruan yang dilakukan sahabat, juga tidak perlu dicela, karena memang mencela itu perbuatan buruk. Namun mempelajari perilaku sahabat,  juga tidak terlarang karena sama-sama kita pahami bahwa sahabat tidak maksum, dan guna nya adalah untuk mencari sumber Islam paling shahih.

Sebagaimana yang disampaikan di awal tulisan ini, mempelajari sejarah Islam terutama di masa-masa awal termasuk perbedaan pendapat diantara sahabat, demi untuk mengambil hikmah bahwa perbedaan itu wajar tanpa perlu berujung kepada pengkafiran sebagaimana yang sering kita saksikan diantara sesama Muslim saling mengkafirkan karena hanya berbeda mazhab.

Wallahu ‘alam bis shawab.

Inilah Ghibah yang Dibolehkan.

Menag: Ada Enam Alasan Ghibah Bisa Dilakukan.
- Menyitir pendapat Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi (penulis kitab Riyadhus Shalihin, red), Menteri Agama (Menag) mengungkapkan enam alasan atau tujuan diperbolehkan sebuah ghibah. Ghibah sendiri adalah informasi yang menjelekkan orang lain, dan menyiarkan kejelekan tersebut.

Pertama, mengadukan seseorang pada penguasa (polisi, red) karena melakukan perbuatan aniaya. Pengaduan tersebut mengharuskan menyampaikan keburukan terlapor. Kedua, minta tolong pada orang atau ahli yang diharapkan mampu untuk mengubah atau menghilangkan keburukan seseorang. Sehingga menyampaikan keburukan dengan harapan mengembalikan ke jalan yang benar.

Ketiga, ketika meminta fatwa atau nasehat (sehingga menyampaikan keburukan) untuk sebuah kebaikan. Keempat, memberi peringatan atau nasehat kepada kaum muslimin agar tidak terjerumus atau mencontoh perbuatan atau sifat buruk.

Kelima, memberi penjelasan atau pengertian tentang seseorang agar jelas, misalnya mengatakan ‘yang bisu itu’ atau ‘yang buta itu’. Keenam ketika dibutuhkan misalnya untuk keperluan mengetahui kepribadian calon istri atau calon pemimpin yang akan dipilih atau perawi (pembawa) hadist.
“Perkecualian atas ghibah yang dibolehkan di atas, juga telah disepakati oleh para ulama,” tegas Suryadarma saat ditemui di Kantor PPP, Jl. Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (11/1).

Bukti bolehnya ghibah ketika meminta bantuan untuk merubah kemungkaran adalah seluruh nash yang menyebutkan tentang perintah amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan berbuat baik dan melarang dari kemungkaran). Di antaranya firman AllahJalla Jalaluhu,

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104).

Dan perintah Nabi terhadap pemimpin-pemimpin yang jahat, “Siapa yang melawan dengan tangannya maka dia seorang mukmin, dan siapa yang melawannya dengan lisannya dia seorang mukmin, dan siapa yang melawannya dengan hatinya dia seorang mukmin. Dan tidak ada iman sekecil apapun sesudah itu.” (HR. Muslim).

Dalil ghibah yang dibenarkan dalam mengadukan kezhaliman seseorang atas dirinya terdapat dalam firman Allah Ta’ala,

لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا

Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Nisa’: 148) .

Dia boleh mendoakan orang yang mezhaliminya dan mengadukannya tanpa berbohong, namun demikian memaafkan adalah lebih utama dan lebih dekat dengan takwa.

Orang yang mazhlum (teraniaya) boleh menceritakan dan mengadukan kezaliman orang yang menzhaliminya kepada seorang penguasa atau hakim atau kepada orang yang berwenang memutuskan suatu perkara dalam rangka menuntut haknya.

Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 148:
“Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nisa’ : 148).

Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang teraniaya boleh menceritakan keburukan perbuatan orang yang menzhaliminya kepada khalayak ramai. Bahkan jika ia menceritakannya kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan, kekuatan, dan wewenang untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, seperti seorang pemimpin atau hakim, dengan tujuan mengharapkan bantuan atau keadilan, maka sudah jelas boleh hukumnya.

Tetapi walaupun kita boleh mengghibah orang yang menzhalimi kita, pemberian maaf atau menyembunyikan suatu keburukan adalah lebih baik. Hal ini ditegaskan pada ayat berikutnya, yaitu Surat An-Nisa ayat 149:
“Jika kamu menyatakan kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.” (QS. An-Nisa: 149).

“Ghibah adalah membicarakan orang dengan sesuatu yang tidak dia suka ketika dia tidak ada. Sedangkan asal al-bahtu adalah membicarakan keburukan orang lain yang tidak ada padanya. Keduanya diharamkan. Tapi dibolehkan ghibah untuk tujuan syar’i dengan enam sebab berikut ini:

1. Al-Tazhallum (mengadukan kezhaliman).
Boleh bagi orang yang dizhalimi untuk mengadukan kezhaliman yang menimpa dirinya kepada penguasa, qadhi, atau yang memiliki otoritas hukum ataupun pihak yang berwajib lainnya. Ia dapat menuntut keadilan ditegakkan atas orang yang mezhaliminya dengan mengatakan, “Si Fulan telah melakukan kezhaliman terhadapku dengan cara seperti ini dan itu.”.

rang yang mazlum (teraniaya) boleh menceritakan dan mengadukan kezaliman orang yang menzaliminya kepada seorang penguasa atau hakim atau kepada orang yang berhak memutuskan suatu perkara dalam rusaha menuntut haknya. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 148:

لَّا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَن ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا﴿١٤٨﴾

Allah tidak menyukai Ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

Ucapan buruk sebagai mencela orang, memaki, menerangkan keburukan-keburukan orang lain, menyinggung perasaan seseorang, dan sebagainya.

2. Permintaan bantuan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran dengan mengatakan kepada orang yang diharapkan mampu melakukannya, “Si Fulan telah berbuat begini, selamatkah dia darinya.”
Meminta bantuan untuk menyingkirkan kemungkaran dan agar orang yang berbuat maksiat kembali ke jalan yang benar.

Pembolehan ini adalah untuk mencegah kemungkaran dan mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang benar. Selain itu, ia juga merupakan kewajipan manusia untuk beramar ma’ruf nahi munkar. Setiap muslim hendaklah saling bahu-membahu menegakkan kebenaran dan meluruskan jalan orang-orang yang menyimpang dari hukum-hukum Allah.

3. Permintaan fatwa (al istifta’). Misal seseorang mengatakan kepada seorang mufti (pemberi fatwa), si fulan atau ayahku atau saudaraku atau suamiku telah menzhalimiku dengan cara begini.
Apakah dia berhak berbuat seperti itu? Lalu apa yang harus aku perbuat agar aku selamat darinya dan terhindar dari kezhalimannya? Atau pernyataan apapun yang semacam itu. Maka ini hukumnya boleh jika diperlukan. Tapi lebih baik dia mengatakan, “Bagaimana pendapat Anda tentang seseorang, atau seorang suami, ayah, anak yang telah memperbuat hal seperti ini? Namun demikian menyebutkan secara rinci tetap boleh berdasarkan hadits Hindun dan aduannya, “Sesungguhnya Abu Sufyan seorang laki-laki yang pelit.”
Istifta’ (meminta fatwa) berkaitan sesuatu masalah. Walaupun kita diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang untuk meminta fatwa, untuk lebih berhati-hati, ada baiknya kita hanya menyebutkan keburukan orang lain sesuai yang ingin kita adukan, tidak lebih daripada itu.

4. Memperingatkan kaum muslimin dari keburukan. Hal ini memiliki beberapa bentuk, di antaranya:
- Menyebutkan keburukan orang yang buruk (jarh majruhin) dari kalangan perawi hadits, saksi ataupun pengarang. Semua itu boleh berdasarkan ijma’, bahkan wajib sebagai langkah melindungi syari’at.
- Membeberkan aibnya ketika bermusyawarah untuk menjalin hubungan dengannya (bisa dalam bentuk, kerjasama, pernikahan dan lainya-pent).
- Apabila melihat seseorang membeli sesuatu yang cacat atau membeli seorang budak yang suka mencuri, berzina, mabuk-mabukan, atau semisalnya. Engkau boleh memberitahukannya kepada pembelinya jika ia tidak tahu dalam rangka memberi nasihat bukan untuk menyakiti atau merusak.
- Apabila engkau melihat seorang pelajar (santri) yang sering bertandang kepada orang fasik atau ahli bid’ah untuk menuntut ilmu, dan engkau khawatir dia terpengaruh dengan sikap negatifnya, maka wajib engkau memerinya nasihat dengan menjelaskan keadaan orang tersebut semata-mata untuk menasihati.
- Seseorang yang memiliki kedudukan namun tidak melaksanakan dengan semestinya karena bukan ahlinya atau karena kefasikannya, maka boleh melaporkannya kepada orang yang memiliki jabatan di atasnya agar dia memperoleh kejelasan tentang keadaanya supaya dia tidak tertipu olehnya dan mendorongnya untuk istiqamah.

Memperingatkan kaum muslimin dari beberapa kejahatan seperti apabila ada perawi, saksi, atau pengarang yang cacat sifat atau kelakuannya, menurut ijma’ ulama kita boleh bahkan wajib memberitahukannya kepada kaum muslimin. Ia dilakukan untuk memelihara kebersihan syariat. Ghibah dengan tujuan seperti ini jelas haruskan, bahkan diwajibkan untuk menjaga kesucian hadits. Apalagi hadits merupakan sumber hukum kedua bagi kaum muslimin setelah Al-Qur’an.

5. Seseorang yang melakukan kefasikan (kemaksiatan) atau kebid’ahan dengan terang-terangan, seperti minum-minuman keras, merampas harta orang (memalak), mengambil pungutan liar, dan melakukan perbuatan batil lainnya.
Maka boleh menyebut (membicarakan)nya karena dia melakukan kejahatan dengan terang-terangan. Adapun yang selain itu, tidak boleh kecuali ada sebab yang lain.
Menceritakan kepada khalayak tentang seseorang yang berbuat fasik atau bid’ah seperti, minum-minuman keras, merampas harta orang secara paksa. Ketika menceritakan keburukan itu kita tidak boleh menambah-nambaha dan sepanjang niat melakukan hal itu hanya untuk kebaikan agar menghindari pergaulan dengan orang tersebut. Kerana bergaul dengan orang fasik atau pun ahli bid’ah bisa membahayakan agama kita.

6. Untuk mengenalkan. Apabila dia terkenal dengan panggilanal-A’masy (orang yang kabur penglihatannya), pincang, al-Azraq (yang berwarna biru), pendek, buta, buntung tangannya, dan semisalnya maka boleh memperkenalkannya dengan menyebut hal itu.
Namun tidak boleh menyebutnya (membicarakannya) karena menghina. Dan jika bisa memperkenalkannya dengan sebutan yang lain tentu itu lebih baik.Bila seseorang telah dikenal dengan julukan si pincang, si pendek, si bisu, si buta, atau sebagainya, maka kita boleh memanggilnya dengan gelaran di atas agar orang lain boleh memahami. Tetapi jika tujuannya untuk menghina, maka haram hukumnya. Jika ia mempunyai nama lain yang lebih baik, maka lebih baik memanggilnya dengan nama lain tersebut.


OKT20;
“Bagaimana dan dengan logika apa kita dapat menyamakan di antara seluruh sahabat dan menyebut keduanya adalah sahabat? Misalnya antara Malik bin Nuwairah dan orang yang membunuhnya dengan keji dan pada malam itu juga seranjang dengan istrinya! Sekali-kali tidak dapat dibenarkan peminum khamar seperti Walid bin Uqbah hanya karena statusnya sebagai sahabat kemudian kita bela. Atau menyokong dan membela yang menjadikan pemerintahan Islam seperti sebuah kekuasaan diktator dan membunuh orang-orang shaleh dalam umat dan mengangkat senjata berperang melawan imam dan khalifah sah (Ali bin Abi Thalib)? Apakah dapat dibenarkan kita memandang sama antara Ammar Yasir dan kepala kelompok pemberontak hanya karena keduanya sahabat padahal Rasulullah Saw bersabda: “Ammar akan dibunuh oleh kelompok tiran dan pemberontak.”

Di antara perkara yang menjadi sasaran tudingan Syiah semenjak dahulu hingga kini (sebagaimana yang diklaim oleh musuh-musuh Syiah) adalah bahwa Syiah memendam dendam dan kusumat kepada sahabat. Tatkala kita mengkaji tudingan secara realistis dan jauh dari segala sikap puritan maka kita akan jumpai tudingan ini sama sekali jauh dari kenyataan yang ada. Lantaran Syiah sangat menghormati Rasulullah Saw dan para sahabatnya.
Bagaimana mungkin Syiah memendam kusumat kepada sahabat sementara mereka memandang sahabat sebagai penyebar syariat dan cahaya Tuhan untuk kemanusiaan?
Mereka adalah sandaran dan pembela Rasulullah Saw. Orang-orang yang berjihad di jalan Allah! Bagaimana mungkin Syiah membenci mereka sementara Allah Swt memuji mereka dan berfirman tentang mereka, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang terhadap sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, dan tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Qs. Al-Fath [48]:29).

Mereka adalah orang-orang yang menolong Allah dan Rasul-Nya. Menghidupkan agama-Nya dan membangun dasar pemerintahan Islam serta mengeliminir jahiliyyah.[i]

Imam dan pemimpin kaum Syiah, Baginda Ali bersabda ihwal para sahabat Rasulullah Saw: “Aku telah melihat para sahabat Muhammad Saw, tetapi aku tak menemukan seseorang yang menyerupai mereka. Mereka mengawali hari dengan debu di rambut dan wajah (dalam kesukaran hidup) serta melewatkan malam dalam sujud dan berdiri dalam salat. Kadang-kadang mereka letakkan (sujudkan) dahi mereka, dan terkadang pipi mereka. Dengan ingatan akan kebangkitan, mereka nampak seakan berdiri di atas bara menyala. Nampak seakan di antara mata mereka ada tanda-tanda seperti lutut kambing, akibat sujud yang lama. Bilamana nama Allah disebutkan, air mata mereka mengalir deras hingga kerah baju mereka basah. Mereka gemetar karena takut akan hukuman dan harapan akan pahala, seperti pohon gemetar pada hari angin topan.”[ii]

Demikian juga, Baginda Ali As menandaskan, “Saudara-saudaraku yang mengambil jalan (yang benar) dan melangkah dalam kebenaran? Di manakah ‘Ammar? Di manakah Ibn at-Tayyihan? Di mana Dzusy-Syahadatain? Dan di manakah yang lain-lain seperti mereka di antara para sahabat tnereka yang telah membaiat sampai mati dan yang kepalanya (yang tertebas) dibawa kepada musuh yang keji? Kemudian Amirul Mukminin menggosokkan tangannya ke janggutnya yang mulia lalu menangis dalam waktu lama, kemudian ia melanjutkan: Wahai! saudara-saudaraku yang membaca Al-Qur’an dan mengeluarkan hukum berdasarkan al-Qur’an, memikirkan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Tuhan kepada mereka dan menunaikannya, menghidupkan sunah dan menghancurkan bidah. Ketika mereka dipanggil untuk berjihad, mereka menyambut dan mempercayai pemimpin mereka lalu mengikutinya.”[iii]

Imam Sajjad As juga dalam Shahifah Sajjadiyah mendoakan para sahabat Rasulullah Saw, “Ya Allah! di antara penghuni bumi para pengikut rasul dan yang membenarkan mereka secara gaib ketika para pembangkang melawan mereka dengan pembohongan mereka merindukan para rasul dengan hakikat keimanan (tatkala orang-orang mendustakan dan menentangnya). Pada setiap zaman dan masa ketika Engkau mengutus seorang rasul memberikan petunjuk dan jalan kepada manusia sejak Adam sampai Muhammad Saw para imam pembawa petunjuk pemimpin ahli takwa sampaikan shalawat kepada mereka semua. Kenanglah mereka dengan ampunan dan keridhaan! Ya Allah! Khususnya para sahabat Muhammad yang menyertai Nabi dengan persahabatan sejati yang menanggung bala yang baik dalam membelanya menjawab seruannya ketika ia memperdengarkan hujjah risalahnya. Meninggalkan istri dan anak-anak untuk menegakkan kalimahnya. Memerangi bapak-bapak dan anak-anak untuk meneguhkan nubuwahnya dan memperoleh kemenangan karenanya. Mereka yang dipenuhi kecintaan kepadanya mengharapkan perdagangan yang tidak pernah merugi dalam mencintainya. Mereka yang ditinggalkan keluarga karena berpegang kepada talinya. Mereka yang diusir oleh kerabatnya ketika berlindung dalam naungan kekeluargaannya. Ya Allah! Jangan lupakan mereka apa yang telah mereka tinggalkan karena-Mu dan di jalan-Mu. Ridhoilah mereka dengan ridho-Mu. Karena telah mendorong manusia menuju kepada-Mu dan bersama rasul-Mu mereka menjadi para dai yang menyeru kepada-Mu. Balaslah dengan kebaikan pelarian mereka dan kepergian mereka dari kaumnya menuju-Mu. Meninggalkan kesenangan menuju kesempitan. Balaslah dengan kebaikan kepada mereka yang teraniaya karena menegakkan agama-Mu. Ya Allah! Sampaikan pahala terbaik kepada para pengikut mereka dalam kebaikan yang berkata, “Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang mendahului kami dalam iman.” [iv]

Demikian juga para juris Syiah meyakini kedudukan dan derajat para sahabat. Syahid Shadr berkata, “Sahabat adalah manifestasi iman dan penerang, terbaik dan model orang shaleh terbaik bagi kemajuan umat Islam. Sejarah umat manusia tidak akan mengenang sebuah generasi dengan keyakinan lebih unggul, lebih utama, lebih jenius, lebih suci daripada para penolong yang dididik oleh nabi.”[v]

Benar kita memiliki perbedaan dengan Ahlusunnah. Hal itu dikarenakan kami membagi sahabat Rasulullah Saw dan orang-orang yang hidup dengannya dengan mengambil inspirasi dari ayat-ayat al-Qur’an menjadi beberapa bagian:
01Kelompok orang-orang terdahulu: “Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (Qs. Al-Taubah [9]:100).

02Kelompok yang memberikan baiat di bawah pohon: “Sesungguhnya Allah telah rida terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berbaiat kepadamu di bawah pohon. Allah mengetahui keimanan dan kejujuran yang ada dalam hati mereka. Oleh karena itu, Dia menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (Qs. Al-Fath [48]:18).

03Kelompok yang berinfak dan berjihad sebelum kemenangan: “Tidak sama orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang sebelum tercapai kemenangan (dengan orang yang menginfakkannya setelah kemenangan tercapai). Mereka memiliki derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Tapi Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-Hadid [57]:10).

Sebagai kebalikan model-model utama dan pribadi-pribadi atraktif, al-Qur’an menyebutkan kelompok-kelompok lainnya yang sangat berseberangan secara diametral dengan model-model di atas:
1. Orang-orang munafik.[vi]
2. Orang-orang munafik yang tersembunyi dan Rasulullah Saw tidak mengenal mereka.[vii]
3. Orang-orang yang lemah iman dan sakit hatinya.[viii]
4. Orang-orang (lemah) yang mendengarkan dengan seksama ucapan-ucapan orang yang suka membuat fitnah.[ix]
5. Orang-orang yang di samping mengerjakan kebaikan pada saat yang sama juga mengerjakan keburukan.[x]
6. Orang-orang yang cenderung murtad.[xi]
7. Orang-orang fasik yang berbeda antara ucapan dan perbuatannya.[xii]
8. Orang-orang yang iman belum lagi masuk ke dalam hati-hati mereka.[xiii] Dan sifat-sifat tercela lainnya yang disebutkan sebagian dari mereka.

Di samping itu, di antara para sahabat terdapat orang-orang yang bermaksud membunuh Rasulullah Saw pada sebuah malam yang dilakukan oleh Uqbah.
Karena itu kita dapat menyimpulkan pandangan Syiah terkait dengan sahabat: Dalam mazhab Ahlulbait As sahabat seperti orang lain artinya di antara mereka terdapat orang yang adil dan tidak adil. Dalam pandangan Syiah tidak semua sahabat itu adil. Sepanjang perilaku dan perbuatan Rasulullah Saw tidak menjelma dalam kehidupan mereka maka status mereka sebagai sahabat tidak memiliki peran dalam keadilannya.

Dengan demikian, kriteria dan pakemnya adalah perilaku dan perbuatan praktis. Barang siapa yang perbuatan dan perilakunya sejalan dengan kriteria dan pakem agama Islam maka ia adalah seorang yang adil. Selainnya tidak adil. Sebagaimana yang telah kami katakan bahwa pandangan ini selaras dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.

Bagaimana dan dengan logika apa kita dapat menyamakan di antara seluruh sahabat dan menyebut keduanya adalah sahabat? Misalnya antara Malik bin Nuwairah dan orang yang membunuhnya dengan keji dan pada malam itu juga seranjang dengan istrinya! Sekali-kali tidak dapat dibenarkan peminum khamar seperti Walid bin Uqbah hanya karena statusnya sebagai sahabat kemudian kita bela. Atau menyokong dan membela yang menjadikan pemerintahan Islam seperti sebuah kekuasaan diktator dan membunuh orang-orang shaleh dalam umat dan mengangkat senjata berperang melawan imam dan khalifah sah (Ali bin Abi Thalib)? Apakah dapat dibenarkan kita memandang sama antara Ammar Yasir dan kepala kelompok pemberontak hanya karena keduanya sahabat padahal Rasulullah Saw bersabda: “Ammar akan dibunuh oleh kelompok tiran dan pemberontak.”[xiv]

Apakah ada orang yang berakal akan berbuat demikian? Dengan asumsi kita melaukan hal seperti ini apakah masih ada yang tersisa dari Islam tatkala kita senantiasa berupaya menjustifikasi perbuatan-perbuatan para pejuangnnya dan orang-orang tiran hanya karena mereka sahabat?

Pada hakikatnya Islam lebih mulia dan agung dari tindakan ingin mencampur aduk dengan kejahatan orang-orang jahat dan menyimpang pada setiap ruang dan waktu!! Inilah keyakinan kami. Kami tidak berbasa-basi dengan siapa pun. Lantaran kebenaran lebih layak untuk dijelaskan dan diikuti.Kami ingin bertanya kepada saudara-saudara Sunni apakah kalian memandang sama antara Khalifah Ketiga Utsman dan orang yang membunuhnya?Apabila keduanya adalah sama lalu mengapa serangan banyak dilancarkan kepada Ali As dan dengan dalih menuntut darah Utsman api peperangan Jamal dan Shiffin bisa meletus? Dan apabila dua kelompok ini tidak sama, orang-orang yang menentang dan orang-orang yang mendukung dalam pembunuhanya – apatah lagi orang-orang yang membunuhnya – mereka diperkenalkan sebagai orang-orang yang keluar aturan dan syariat maka hal itu adalah tiadanya keadilan pada sahabat! Lantas mengapa ada serangan kepada Syiah sementara pandangan mereka sama dengan pandangan yang lain?

Karena itu, dalam pandangan Syiah kriterianya adalah keadilan, berpegang teguh kepada sirah Rasulullah Saw dan menjalankan sunnah beliau semasa hidupnya dan pasca wafatnya. Barang siapa yang berada di jalan ini maka, dalam pandangan Syiah, ia harus dihormati dan jalannya diikuti serta didoakan semoga rahmat Tuhan baginya melimpah dan memohon supaya ditinggikan derajatnya. Namun orang-orang yang tidak berada di jalan ini kami tidak memandangnya sebagai orang adil. Sebagai contoh dua orang sahabat mengusung lasykar disertai dengan salah seorang istri Rasulullah Saw lalu berhadap-hadapan dengan khalifah legal Rasulullah Saw Ali bin Abi Thalib As menghunus pedang di hadapannya di perang Jamal. Mereka memulai perang yang menelan ribuan korban jiwa kaum Muslimin. Izinkan kami bertanya apakah angkat senjata dan menumpahkan darah orang-orang tak berdosa ini dapat dibenarkan? Atau orang lain yang disebut sebagai sahabat Rasulullah Saw dan menghunus pedang pada sebuah peperangan yang disebut sebagai Shiffin. Kami berkata perbuatan ini bertentangan dengan syariat dan memberontak kepada imam dan khalifah legal. Perbuatan-perbuatan ini tidak dapat diterima dengan membuat justifikasi bahwa mereka adalah sahabat. Demikianlah poin asasi perbedaan pandangan antara Syiah dan yang lainnya. Jelas bahwa di sini yang mengemuka bukan pembahasan mencela dan melaknat sahabat.

Rujukan :
[i]. ‘Adâlah Shahâbi, hal. 14, Majma’ Jahani Ahlulbait As.
[ii]. Nahj al-Balâghah, hal. 144, Khutbah 97.
[iii]. Nahj al-Balâghah, hal. 164, Khutbah 97, riset oleh Subhi Shaleh.
[iv]. Shahifah Sajjadiyah, hal. 42, Doa Imam untuk Para Pengikut Para Nabi.
[v]. Majmu’e Kâmilah, No. 11, Pembahasan ihwal Wilayah, hal. 48.
[vi]. “Dan infakkanlah sebagian rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, lalu ia berkata, “Ya Tuhan-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku barang sekejap sehingga aku dapat bersedekah dan termasuk orang-orang yang saleh?” (Qs. Al-Munafiqun [63]:10).
[vii]. “Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah ada sekelompok orang yang keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (Qs. Al-Taubah [9]:101).
[viii] . “(Ingatlah) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawah (kota)mu (sehingga mereka mengepung kota Madinah), dan ketika penglihatan(mu) terbelalak (lantaran takut) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. Di situlah diuji orang-orang yang beriman dan mereka diguncangkan dengan guncangan yang sangat.” (Qs. Al-Ahzab [32]:10-11).
[ix]. “Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu. Karena itu, mereka selalu bimbang dalam keragu-raguan mereka. Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu. Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka. Maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka, “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal (anak-anak kecil, orang-orang tua, dan orang-orang yang sedang menderita penyakit) itu.” Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah bagimu selain kerusakan dan keraguan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu untuk menyulut fitnah (dan kekacauan) di antaramu; sedang di antara kamu ada orang-orang (lemah iman) yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Taubah [9]:45-47).
[x]. “Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Taubah [9]:102).
[xi]. “Kemudian setelah kamu berduka cita, Allah menurunkan kepadamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan darimu, sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri (dan tidak mengantuk); mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah. Mereka berkata, “Apakah kita memiliki suatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?” Katakanlah, “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya berada di tangan Allah.” Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata, “Sekiranya kita memiliki suatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.” Katakanlah, “Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.” Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” (Qs. Ali Imran [3]:154.
[xii]. “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan, lalu kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Qs. Al-Hujurat [49]:6); “Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik? Mereka tidak sama.” (Qs. Al-Sajdah [32]:18).
[xiii]. Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk’ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. Jika kamu taat kepada Allah dan rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Hujurat [49]:14).
[xiv]. Silahkah lihat, Fushul al-Muhimmah, Abdulhusain Syarafuddin, hal. 189.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: