Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Hukum. Show all posts
Showing posts with label Hukum. Show all posts

ISIS dan “Komitmen” terhadap Hukum Islam


Dari satu sisi, kelompok teroris ISIS menentukan hukuman bagi mereka yang tidak meninggalkan aktifitas ketika waktu salat tiba. Dari sisi lain, kelompok ini juga tega membantai Muslimin yang lain.
 
Salah satu peraturan yang diberlakukan oleh ISIS adalah “berhenti bekerja ketika waktu salat tiba”. Untuk itu, seluruh pemiliki toko harus menutup toko mereka dan tidak berhak membukanya sebelum salat usai. Barang siapa melanggar, maka ia akan dihukum.

Bagaimana dua hal yang sangat kontradiktif ini bisa kita akurkan?

Dengan dua tindakan itu, sebenarnya kelompok teroris ISIS hanya ingin memamerkan fanatisme dan radikalisme yang menjadi pondasi ajaran “agama” mereka.

Dengan menetapkan hukuman cambuk bagi mereka yang tidak mengikuti salat Jumat, ISIS ingin menunjukkan bahwa Islam tidak pernah bertoleransi dalam rangka menjalankan syariat Islam. Dalam beberapa kasus, mereka malah tega membunuh orang-orang yang dinilai kafir hanya dengan tujuan supaya syariat Islam dijalankan dengan cara apapun.

Dengan cara seperti ini, sebenarnya wajah Islam telah dicoreng buruk. Rasulullah saw selama berkuasa tidak pernah melakukan tindakan-tindakan kasar dan buas seperti itu. Tugas kita menurut Islam hanyalah menyampaikan, bukan menjalankan syariat Islam dengan paksa dan penuh kekerasan.

Sikap buas ISIS ini tidak berbeda dengan sikap mereka menghadapi masyarakat yang mereka nilai kafir. Kedua tindakan ini dilakukan hanya untuk mencoreng wajah rahmani Islam.

(Shabestan/ABNS)

Apa hukumnya berzina dengan wanita bersuami? Apakah ada jalan untuk bertaubat baginya?


Saya menggauli (berulang kali) seorang gadis dan saya tahu bahwa ia telah menikah dengan pria lainnya. Apa hukum dari perbuatan ini dan apa yang saya harus lakukan untuk bertaubat?
Jawaban Global
Berzina khususnya dengan wanita yang telah bersuami (muhshana) merupakan salah satu perbuatan dosa besar dan sangat keji. Namun dengan kebesaran Tuhan dan keluasan rahmat-Nya sedemikian luas sehingga apabila seorang pendosa yang melakukan perbuatan keji dan tercela kemudian menyesali atas apa yang telah ia lakukan dan memutuskan untuk meninggalkan dosa dan menebus kesalahan-kesalahannya yang telah lalu, maka harapan pengampunan dari sisi Tuhan sangat besar.

Karena itu, apabila Anda menginginkan keselamatan dengan harapan terhadap maaf dan ampunan Ilahi maka segeralah bertaubat. Anda tidak perlu mengabarkan kepada orang lain, cukuplah Anda dan Tuhan Anda yang mengetahui perbuatan tersebut.

Kebanyakan para marja taklid memandang bahwa berzina dengan wanita seperti ini akan menyebabkan keharaman abadi bagi pria yang berzina dengannya.
Jawaban Detil
Berzina dan menjalin hubungan gelap dengan wanita merupakan salah satu keburukan besar sosial yang mengakibatkan banyak kerugian yang tidak dapat ditebus dalam masyarakat. Atas dasar itu, Islam memandangnya sebagai perbuatan haram dan melawannya dengan sengit. Allah Swt dalam al-Qur’an berfirman, Dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.(Qs. Al-Isra [17]:32).

Dalam penjelasan singkat dan padat terdapat tiga poin penting yang disinggung pada ayat ini:
Pertama, tidak disebutkan bahwa Anda jangan berzina, melainkan dinyatakan bahwa jangan mendekat kepada amalan yang memalukan ini. Pernyataan redaksi ini di samping merupakan stressing terhadap kedalaman perbuatan ini juga merupakan isyarat subtil bahwa kontaminasi perbuatan zina biasanya memiliki pendahuluan-pendahuluan sehingga manusia secara perlahan mendekatinya, budaya telanjang, kondisi tanpa hijab, buku-buku berbau porno,  film-film beradegan kekerasan seksual, koran dan majalah, night club masing-masing merupakan pendahuluan bagi perbuatan tercela ini.

Demikian juga, berdua-duaan dengan orang asing (pria dan wanita non-mahram berdua-duaan di satu tempat sepi) merupakan faktor yang dapat menimbulkan was-was sehingga orang terseret untuk melakukan perbuatan zina.

Di samping itu, ketika orang-orang muda meninggalkan lembaga perkawinan, mempersulit tanpa dalil di antara kedua belah mempelai, kesemuanya merupakan faktor-faktor “yang mendekatkan kepada zina” yang dilarang pada ayat di atas dengan satu kalimat singkat. Demikian juga pada riwayat-riwayat Islam masing-masing dari yang disebutkan ini secara terpisah juga dilarang.

Kedua, kalimat “innahu kana fâhisyatan” yang mengandung tiga penegasan (inna, penggunaan bentuk kalimat lampau dan redaksi “fâhisyatan”) semakin menandaskan dosa ini.
Ketiga, kalimat, “sa’a sabila” (perbuatan zina merupakan perbuatan keji dan jalan buruk) menjelaskan kenyataan ini bahwa amalan ini merupakan jalan yang melapangkan keburukan-keburukan lainnya di dalam masyarakat.


Pengaruh Buruk Zina dalam Sabda Para Maksum
Rasulullah Saw bersabda, “Zina mengandung kerugian-kerugian duniawi dan ukhrawi. Kerugian di dunia: hilangnya cahaya dan keindahan manusia, kematian yang dekat, terputusnya rezeki. Adapun kerugian di akhirat, tidak berdaya, mendapatkan kemurkaan Tuhan pada waktu perhitungan dan keabadian dalam neraka.

Diriwayatkan dari Rasulullah Saw yang bersabda, “Tatkala zina telah merajalela maka kematian mendadak juga akan semakin banyak. Janganlah berzina, sehingga istri-istrimu juga tidak ternodai dengan perbuatan zina. Barang siapa yang melanggar kehormatan orang lain maka kehormatannya juga akan dilanggar. Sebagaimana engkau memperlakukan orang engkau akan diperlakukan.”[1]

Imam Ali bin Abi Thalib As dalam sebuah hadis bersabda, “Aku mendengar dari Rasulullah Saw bersabda, “Pada zina terdapat enam efek buruk, tiga bagiannya di dunia dan tiga bagian lainnya di akhirat. Adapun pengaruh buruknya di dunia, pertama, akan mengambil cahaya dan keindahan dari manusia. Memutuskan rezeki, mempercepat kematian manusia. Adapun pengaruh buruknya di akhirat, kemurkaan Tuhan, kesukaran dalam perhitungan dan masuknya ke dalam neraka.”[2]

Ali memandang bahwa meninggalkan perbuatan zina akan menyebabkan kokohnya institusi keluarga dan meninggalkan perbuatan liwat (sodomi) adalah faktor terjaganya generasi manusia.

Dalam sebuah sabda Imam Ridha As telah dinyatakan sebagian keburukan zina di antaranya:
1. Terjadinya pembunuhan dengan pengguguran janin.
2. Kacaunya sistem kekeluargaan dan kekerabatan.
3. Terabaikannya pendidikan anak-anak.
4. Hilangnya warisan.

Karena pengaruh buruk dan jelek lainnya yang membuat Islam sangat mencela perbuatan zina dan memandangnya sebagai dosa besar. Namun apabila manusia melakukan perbuatan buruk ini khususnya berzina dengan wanita bersuami dan kemudian menyesali perbuatan tersebut dengan sebenarnya serta menyatakan taubat dan berjanji tidak akan mengulanginya maka jalan dan pintu taubat akan terbuka lebar baginya.
Al-Qur’an dalam mencirikan ‘ibadurrahman (hamba-hamba sejati Tuhan), salah satu ciri mereka adalah tidak melakukan perbuatan zina. Firman Tuhan, Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah, tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina; barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia menerima siksa yang sangat pedih, akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh; maka Allah akan mengganti kejahatan mereka dengan kebaikan, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang; . dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia kembali kepada Allah dengan sebenarnya. (Qs. Al-Furqan [25]:68-71).

Pada ayat lainnya, Al-Qur’an memperkenalkan orang-orang bertakwa, Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Balasan mereka ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal. (Qs. Ali Imran [3]:135-136).

Disebutkan dalam sebuah riwayat muktabar, “Seorang pemuda menangis dan bersedih hati datang ke hadirat Rasulullah Saw dan berkata bahwa ia takut kepada kemurkaan Tuhan.
Rasulullah Saw bersabda, “Apakah engkau telah melakukan syirik?” Jawabnya, “Tidak.”
Sabdanya, “Apakah engkau telah menumpahkan darah seseorang yang tidak berdosa?”
Katanya, “Tidak.”
Sabdanya, “Allah Swt akan mengampuni dosamu berapa pun besarnya.”
Katanya, “Dosaku lebih besar dari langi dan bumi, arasy dan kursi Tuhan.”
Sabdanya, “Apakah dosamu lebih besar dari Tuhan?” Katanya, “Tidak, Allah Swt lebih besar dari segalanya.”

Sabdanya, “Pergilah (Bertobatlah) sesungguhnya Allah Swt Mahabesar dan mengampuni dosa besar.” Kemudian Rasulullah Saw bersabda lagi, “Katakanlah sebenarnya dosa apa yang telah kau lakukan?”
Katanya, “Wahai Rasulullah Saw, saya merasa malu mengatakannya kepada Anda.”

Sabdanya, “Ayo katakanlah apa yang telah kau lakukan?” Katanya, “Tujuh tahun saya membongkar kuburan dan mengambil kafan orang-orang mati hingga suatu hari tatkala saya membongkar kubur dan mendapatkan jasad seorang putri dari kaum Anshar kemudian saya telanjangi lalu hawa nafsu menguasai diriku…. (kemudian pemuda itu menjelaskan apa yang dilakukannya).. Ketika ucapan pemuda itu sampai di sini Rasulullah Saw bersedih luar biasa dan bersabda, “Keluarkanlah orang fasik ini dan berpaling kepada pemuda itu dan bersabda, “Alangkah dekatnya engkau kepada neraka?” Pemuda itu keluar dan menangis sejadi-jadinya, mengalihkan pandangannya ke sahara dan berkata, “Wahai Tuhan Muhammad! Apabila Engkau menerima taubatku maka kabarkanlah kepada Rasul-Mu dan apabila tidak demikian maka turunkanlah api dari langit dan membakarku serta melepaskanku dari azab akhirat. (Setelah itu) Di sinilah utusan wahyu Ilahi turun kepada Rasulullah Saw dan membacakan ayat, “Qul Yaa Ibâdiyalladzi asrafû…” bagi Rasulullah Saw.[3]  

Katakanlah (Wahai Rasul), “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. Al-Isra [17]:53)

Dengan demikian apabila Anda menginginkan keselamatan dengan harapan terhadap ampunan dan maaf ilahi maka segeralah bertaubat.  Anda tidak perlu harus mengabarkan orang lain atas apa yang terjadi. Cukup Anda dan Tuhan Andalah yang tahu apa yang telah Anda lakukan.

Sesuai dengan pandangan (fatwa) kebanyakan marja agung taklid yang memfatwakan keharaman abadi bagi wanita ini untuk menikah dengan orang yang telah berzina dengannya. Dan bahkan apabila wanita tersebut telah menerima talak dari suaminya, pria yang sebelumnnya berzina dengannya tidak dapat menikah dengannya (selamanya).[4]


[1]. Silahkan lihat, Tafsir Nur, Muhsin Qira’ati, jil. 8, hal. 193, Cetakan Kesebelas, Intisyarat Markaz Farhanggi Darsha-ye Qur’an, Teheran, 1383.  
[2]. Tafsir Nemune, Makarim Syirazi, jil. 12, hal. 102, Cetakan Pertama, Intisyarat-e Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1373.  
[3]. Ibid, jil. 19, hal. 507.  
[4]. Taudhi al-Masâil (al-Muhassyâ li al-Imâm Khomeini), jil. 2, hal. 471. Masalah 2403, 2402, 2401. 

Khitan wanita dalam Islam


Dalam tanya jawab fikih dengan Ayatullah Muhammad Husain Fadhlullah, ditanyakan apa hukum khitan wanita dalam Islam?

Khitan wanita sebagaimana yang dilakukan sebagian orang adalah mengurangi bagian dari kemaluan wanita dengan tujuan agar gairah seksualnya berkurang. Apakah Islam benar-benar mengajarkan hal ini?
Dijawabnya bahwa budaya khitan wanita sudah marak dilakukan bangsa Arab sebelum Islam datang-pun. Jadi hal itu bukanlah Islam yang mengadakannya, namun budaya yang sudah ada namun Islam tidak melarangnya.

Ya, ada hadis yang dinisbatkan kepada Rasulullah saw, yang mana beliau berkata kepada seorang perempuan yang mengkhitan anak wanita: “Janganlah terlalu banyak memotongnya…”

Tidak ditemukan hadis dan riwayat yang secara pasti menganjurkan kita untuk mengkhitan anak wanita, ataupun memuji khitan tersebut.

Sebuah kaidah umum yang perlu dicamkan, jika khitan wanita itu sekiranya dapat merusak keserasian keluarga karena lenyapnya gairah seksual anak wanita tersebut, maka hal itu jelas haram.

Hukum Khumus bagi Syiah dan Ahlu Sunah


Ulama Ahli Sunnah mewajibkan khumus hanya dalam hal ghanimah (rampasan) perang, tapi kenapa ulama Syi’ah memperluas hukum wajib khumus sehingga mencakup hal-hal selain ghanimah perang?
Khumus, sebagaimana wajib dalam hal ghanimah perang, wajib pula dalam penghasilan seseorang yang halal, tentunya dengan syarat yang telah dijelaskan oleh ulama di dalam bah khumus. Selanjutnya, kita akan sama-sama mengajukan persoalan ini kepada Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Saw.

Al-Qur’an menyebutkan:
Dan ketahuilah, hanyasanya apa yang kalian rampas (ghan­imah) dalam peperangan maka sungguh seperlimanya untuk Allah, Rasul, dzawil qurba (kerabat), anak-anak yatim, orang-­orang miskin, dan ibnu sabil, jika kalian beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad Saw) pada hari Furqan, -yaitu- hari bertemunya dua pasukan, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Anfal [8] : 41).

Apakah ayat di atas hanya berkenaan dengan ghanimah perang, ataukah berkenaan dengan makna yang lebih luas daripada itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kita mengkaji makna kata (غنم).

Di dalam kitab-kitab fikih, setiap kali kata ghanimah digunakan maka pada umumnya berhubungan dengan penghasilan atau rampasan perang, tapi hal ini tidak berarti kita berhak untuk membatasi makna ayat di atas hanya berkenaan dengan ghanimah perang, bahkan kemutlakan ayat tersebut masih menjadi bukti bagi kita bahwa ayat ini mencakup penghasilan yang lain.

Para ahli Bahasa Arab juga menyebutkan makna yang luas bagi kata ini dan tidak khusus untuk ghanimah perang. Sebagai contoh:
  1. Khalil bin Ahmad Farahidi (w. 170 H) mengatakan, ‘Segala sesuatu yang diperoleh seseorang dengan jerih payah adalah ghanimah.’[1]
  2. Azhari menuliskan, ‘Ghonm berarti memperoleh sesuatu, sedangkan ightinam berarti mengambil manfaat dari perolehan (penghasilan).’[2]
  3. Ibnu Faris menyebutkan, ‘Kata (غنم) tidak mempunyai lebih dari satu akar yang berarti memperoleh sesuatu yang tidak diperoleh sebelumnya. Kemudian, kata ini digunakan untuk rampasan perang.’[3]
Di sini, kami rasa cukup menyebutkan tiga pakar bahasa tersebut, dan selanjutnya kami ingatkan bahwa mayoritas kamus Bahasa Arab mengartikan ghanimah dengan murni pcnghasilan baik itu penghasilan perang atau pun yang lain.[4]

Lagi pula Al-Qur’an sendiri menggunakan kata ini untuk makna perolehan atau keuntungan secara umum, dimana Allah Swt telah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian pergi (berjihad) di jalan Allah, maka carilah keterangan, dan janganlah kalian berkata kepada orang yang memberi salam kepada kalian, ‘Engkau bukan mukmin. ‘ -lalu kalian bunuh-, karena kalian mengharapkan harta kehidupan dunia, padahal di sisi Allah ada keuntungan (perolehan dan harta) yang banyak sekali. Demikian jugalah keadaan kalian dahulu, lalu Allah memberkan nikmat kepada kalian, karena itu carilah keterangan! Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. (QS. Al-Nisa’ [4] : 94).

Kalimat (فعند الله مغانم) di dalam ayat ini mencakup perolehan atau pahala di dunia maupun di akhirat walau tidak berhubungan dengan rampasan perang, bahkan dapat dikatakan bahwa yang dimaksud di sini adalah imbalan akhirat, dan itu terbukti dengan posisi penggalan ayat tersebut yang dihadapkan dengan penggalan (عرض الحیاة الدنیا) yang berarti ‘harta kehidupan dunia’.

Ibnu Majah di dalam kitab Sunannya meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah Saw menerima zakat, beliau bersabda, ‘Ya Allah! Anugerahilah pahala dan keuntungan kepada penunai zakat, jangan menjadikannya bahaya dan kerugian bagi dia.’[5]

Ahmad bin Hanbal meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, ‘Pahala majelis zikir kepada Allah Swt adalah surga.’[6] Rasulullah Saw menyebut Bulan Ramadan dengan sifat ‘Ghunmun lil jannah”, artinya adalah sebuah keuntungan demi surga.

Salah satu bukti paling kuat dan jelas, bahwa meskipun ayat ini turun bertepatan dengan masalah rampasan perang akan tetapi maknanya tidak khusus untuk masalah itu, adalah masing-masing dari imam empat mazhab Ahli Sunnah menyatakan kewajiban bayar khumus dalam hal harta selain rampasan perang, bahkan mereka membuktikan kewajiban itu berdasarkan ayat tersebut di atas.

Khumus Pertambangan
Khumus pertambangan merupakan salah satu pajak yang diwajibkan oleh Islam. Fukaha Mazhab Hanafi membuktikan kewajiban itu berdasarkan dua hal:
  1. Ayat Khumus Ghanimah yang tersebut di atas;
  2. Hadis Nabi Muhammad Saw bahwa ‘Terdapat khumus di dalam hal-hal yang tersimpan di perut bumi.’[7]
Dari hasil penelitian dalam kitab-kitab hadis, kita menemukan sabda tersebut di berbagai hadis Nabi Muhammad Saw.

Khumus Penghasilan Kerja
Menmut Mazhab Syi’ah Imamiyah, setiap penghasilan kerja seseorang, setelah dikurangi biaya belanja selama setahun maka seperlima (khumus) dari sisanya harus dibayarkan. Tentu saja dalam hal ini ada syarat-syarat lain yang harus dipenuhi, tapi bukan tempatnya di sini untuk menjelaskan itu semua, karena tujuan kami pada kesempatan kali ini hanyalah menunjukkan bahwa fatwa Mazhab Syi’ah Imamiyah sapenuhnya sesuai dengan hadis-hadis Rasulullah Saw yang telah diriwayatkan oleh Ahli Sunnah.

Di sini kita cukup menyebutkan berapa contoh dari hadis-hadis tersebut:
  1. Rombongan delegasi suku Abdul Qais
Suku Abdul Qais terletak di timur Arabia, dan masyarakat Qathif, Ahsa’, serta Bahrain masih terhitung dari suku itu. Kepala suku itu bernama Abdul Qais, dia datang langsung kepada Rasulullah Saw seraya berkata, ‘Di antara kamu dan kami terdapat suku-suku musyrik yang tidak memperkenankan kami untuk datang ke sisimu kecuali di bulan-bulan haram. Karena itu, kami mohon kepadamu untuk memberi pelajaran-­pelajaran penting kepada kami sehingga kami dapat mengajar kannya kepada yang lain.’

Rasulullah Saw bersabda kepadanya, ‘Aku perintahkan kalian pada empat hal dan larang kalian dari empat hal. Aku perintahkan kalian untuk:
1. beriman kepada Allah -dan kalian tahu apakah iman kepada Allah Swt? Yaitu- bersaksi akan keesaan-Nya,
2. Menunaikan shalat,
3. Membayar zakat,
4. Dan membayar khumus dari Mughnam (Ghanimah).[8]

Dalam pada itu perlu ketelitian tentang apa yang dimaksud dengan Mughnam (Ghanimah) dalam sabda beliau, dan di sini ada dua kemungkinan:
  1. Rampasan perang;
  2. Penghasilan yang halal.
Tentu saja kemungkinan pertama tertolak; karena rombongan delegasi suku Abdul Qais terang-terang mengatakan kepada Nabi Muhammad Saw bahwa kami tidak mungkin bertemu denganmu kecuali di bulan-bulan haram; karena bila kita keluar dari kawasan sendiri dan melewati kawasan kabilah-kabilah yang lain niscaya itu akan berbahaya dan menyebabkan pertumpahan darah. Masyarakat yang berkondisi seperti ini bagaimana mungkin berperang melawan musuh dan mendapat harta rampasan perang dari mereka?! Lagi pula, jihad (perang) melawan musuh tanpa izin Nabi Muhammad Saw dan perwakilan beliau tidaklah diperbolehkan.

Mungkin saja seseorang membayangkan maksudnya adalah perampokan harta musuh. Tapi kemungkinan ini juga tidak bisa dibenarkan, karena Rasulullah Saw melarang segala bentuk perampokan, sebagaimana kita dapat membaca sabda beliau tentang masalah ini di berbagai kitab hadis, seperti “nahan nabi  ‘an al-nahb[9] yang artinya, Nabi Muhammad Saw telah melarang perampokan.

Dengan demikian, hanya satu kemungkinan makna yang tersisa dari kata Mughnam (Ghanimah) di sini, yaitu penghasilan yang halal setelah dikurangi biaya belanja selama setahun.
  1. Ketika Rasulullah Saw mengutus Amr bin Hazm ke Yaman, beliau menuliskan surat perintah yang isinya antara lain:
أمره بتقو الله قی امره و ان یأخذ من المغانم خمس الله و ما کتب عن المؤمنین من الصدقة من العقار عشر ما سقی البعل و سقت السماء و نصف العشر مما سقی الغرب[10]

Ada berapa kata yang hams dijelaskan lebih dulu:
  1. Kata al- ‘iqor berarti tanah, dan yang dimaksud di sini adalah tanah pertanian.
  2. Kata al-ba’l berarti pepohonan yang tidak perlu pengairan karena akarnya yang mampu menyerap air dari sungai-sungai di sekitamya atau hujan.
  3. Kata al-ghorb berarti ember besar, dan yang dimaksud di sini adalah pepohonan yang disirami air dengan peralatan seperti ember dan semacamnya.
Setelah memerintahkan ketakwaan, di dalam hadis mt Rasulullah Saw menekankan dua macam pajak islami:
  1. Khumus Ghanimah;
  2. Zakat tanah yang adakalanya sepersepuluh dan adakalanya seperduapuluh; tanah yang kebutuhan airnya dipenuhi oleh hujan atau sumber-sumber air di sekitarnya dikenakan pajak seperse­puluh karena biaya pengairannya yang kecil, sedangkan tanah yang kebutuhan aimya dipenuhi dengan peralatan seperti penimbaan air dari sumur dikenakan pajak seperduapuluh karena biaya pengairannya yang relatif besar.
Dalam hal ini, banyak surat perjanjian dari pihak Rasulullah Saw untuk para tokoh di sekitar kawasan, dan di semua itu terdapat perintah pembayaran khumus dari Ghanimah, padahal mereka bukan panglima perang atau pasukan perang, tapi mereka merupakan tokoh atau pemimpin di daerah masing-masing, maka itu beliau memerintahkan mereka untuk mengumpulkan seperlima dari harta penghasilan -tentunya setelah memenuhi syarat- di sana dan mengirimkannya kepada beliau.
  1. Di dalam sebuah perjanjian, Rasulullah Saw menuliskan kepada Juhainah bin Zaid:
‘Untukmu bawah tanah, di atas tanah, di dalam lembah dan di atasnya, gunakanlah ladang-ladang dan air yang ada di sana, tapi dengan syarat hendaknya kamu mengirimkan seperlima dari hasilnya.’[11]
Lebih dari itu, sebagaimana tercatat dalam banyak hadis, para imam suci Ahli Bait as yang merupakan padanan Al­ Qur’an berkali-kali menjelaskan kewajiban membayar khumus penghasilan kerja. Karena itu, siapa pun yang meyakini kebenaran Hadis Tsaqalain (dua pusaka Nabi Muhammad Saw) maka wajib baginya untuk mengikuti sabda para imam tersebut dan membayarkan seperlima dari penghasilan kerjanya, tentu saja apabila syarat-syaratnya terpenuhi yang antara lain adalah setelah dikurangi biaya belanja selama setahun.

Referensi:
[1] Al-‘Ain,jld. 4, hal. 426, kata غنم
[2] Tahdzib Al-Lughoh, kata yang sama.
[3] Maqoyis Al-Lughoh, kata yang sama.
[4] Nihayah karya Ibnu Atsir, Qomus karya Firuz Abadi, dan Taj Al-‘Arus karya Zubaidi dalam kata yang sama.
[5] Sunan Ibnu Majah, kitab zakat, bab apa yang diriwayatkan mengenai pembayaran zakat, hadis no. 1797.
[6] Musnad Ahmad, jld. 2, hal. 330, 379, 374 dan 524. 3 Ibid, jld. 2, hal. 377.
[7] Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, jld. 2, hal. 776; Musnad Ahmad, jld. 1, hal. 314; Sunan Ibnu Majah jld. 2, hal. 839 cetakan tahun 1374.
[8] Shohih Al-Bukhori, jld. 4, hal. 250, bab (والله خلقکم و م تعملون) dari kitab tauhid; Shohih Muslim, jld. 1, hal. 35-36, bab perintah untuk beriman.
[9] Al-Taj Al-Jami’ li Al-Ushul, jld. 4, hal. 334, nukilan dari Shohih Al-Bukhori.
[10] Futuh Al-Buldan,jld. 1, hal. 81, bab Yaman; Siroh lbnu Hisyiim, jld. 4, hal. 265.
[11] Al-Watsa’iq Al-Siyasiyah, hal. 265, no. 157.

syirkah milkiyah (amlak/hak milik) dan syirkah ‘aqdiyah serta beberapa jenis syirkah uqud


Apa yang dimaksud dengan syirkah milkiyah (amlak/hak milik) dan syirkah ‘aqdiyah? Sebutkan dan jelaskan jenis syirkah uqud itu?
 
Pertanyaan:
Syirkah dibagi menjadi dua (2) bentuk yaitu syirkah amlak (hak milik) dan syirkah uquud (transaksional/kontrak). a. Jelaskan perbedaan dari kedua bentuk syirkah tersebut! b. Jelaskan jenis-jenis dari syirkah Uquud disertai dengan contoh!
 
Jawaban Global:
Syirkah secara leksikal bermakna mencampurkan satu modal dengan yang lainnya menjadi satu. Secara teknikal fikih secara umum bermakna berkumpulnya hak-hak para pemilik pada satu hal dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.”
Syikrah dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Dalam satu perspektif syirkah terbagi menjadi dua bagian:
  1. Syirkah milkiyah dan hukmiyah: Syirkah milkiyah adalah  perkongsian dua orang atau lebih pada satu hal; artinya kepemilikan harta yang diperkongsikan adalah milik dua orang ini.
  2. Syirkah uqud atau aqdiyah: Syirkah uqud atau aqdiyah adalah dua orang atau lebih mendirikan perusahaan dikarenakan akad syirkah dengan menandatangani akad maka perkongsian dalam bentuk usaha terlaksana.
Syirkah uqud terbagi menjadi empat bagian: 1. Syirkah inan. 2. Syirkah abdan. 3. Syirkah mufawadhah dan 4. Syirkah wujuh. Definisi dan contoh-contoh dari masing-masing syirkah ini akan dijelaskan pada jawaban detil.
 
Jawaban Detil:
Syirkah secara leksikal bermakna mencampurkan satu modal dengan yang lainnya menjadi satu.[1] Secara teknikal fikih secara umum bermakna berkumpulnya hak-hak para pemilik pada satu hal dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.”[2]
Mengingat beragam pembagian dan klasifikasi syirkah dengan beberapa perspektif, karena itu syirkah memiliki masing-masing definisi partikular.[3] Berikut ini kami akan sampaikan beberapa bagian bagian dari syirkah tersebut berikut definisinya secara partikular.

Bagian-bagian Syirkah
Syirkah dengan beberapa perspektif seperti sebab-sebab syirkah,[4] hal-hal yang terkait dengan syirkah,[5] tujuan kedua belah pihak[6] dan lain sebagainya, terbagi menjadi beberapa bagian.[7] Namun dengan memperhatikan pertanyaan pengguna site terkait dengan syirkah amlak dan uqud maka kami akan membahas dua bagian syirkah ini.
Dalam satu perspektif syirkah terbagi menjadi dua bagian:
  1. Syirkah milkiyah dan hukmiyah: Syirkah milkiyah adalah  perkongsian dua orang atau lebih pada satu hal; artinya kepemilikan harta yang diperkongsikan adalah milik dua orang ini. Misalnya, keduanya membeli sesuatu atau seseorang menghibahkan kepada keduanya; atau seseorang mewasiatkan kepada keduanya dan keduanya menerima wasiat tersebut; atau harta yang diperoleh keduanya melalui warisan dan bersepakat untuk menggunakan harta itu sebagai modal usaha dan berbagi keuntungan dan kerugian atas harta tersebut. Dalam asumsi-asumsi ini harta yang dimaksud dimiliki keduanya dan masing-masing dari harta ini mereka berkongsi dan bermitra.[8]
  2. Syirkah uqud atau aqdiyah: Syirkah uqud atau aqdiyah adalah dua orang atau lebih mendirikan perusahaan dikarenakan akad syirkah dengan menandatangani akad maka perkongsian dalam bentuk usaha terlaksana.[9]

Meski pada syirkah milkiyah dan hukmiyah di antara keduanya terdapat sebuah akad dari akad-akad yang ada, seperti akad jual-beli (bai), sulh (berdamai) dan lain sebagainya namun tidak termasuk dalam terma dan bagian syrikah aqdiyah (uqud); karena yang dimaskud dengan syirkah aqdiyah dalam terminologi fikih adalah sebuah perusahaan yang dijalankan dengan akad syirkah bukan perusahaan yang dijalankan disebabkan oleh akad seperti akad jual beli, sulh (berdamai) dan lain sebagainya.[10]
Dalam syrikah aqdiyah, syrikah sendiri merupakan bagian dari akad yang memerlukan formula, ijab dan qabul. Ijabnya adalah kedua mitra usaha berkata “isytaraknahu” (kita telah berkongsi atasnya) atau salah satu dari mereka berkata, “isyrataknah (kita telah berkongsi) dan lainnya mengabulkan yaitu dengan berkata, “qabiltu al-syirkah.” (saya terima perkongsiannya)[11]

Bagian-bagian Syirkah Aqdiyah
Syirkah aqdiyah terbagi menjadi empat bagian antara lain:
  1. Syirkah inan: Syirkah inân yang merupakan bentuk syirkah dalam harta adalah masing-masing dari dua mitra menyertakan sejumlah hartanya dan mencampurnya dengan harta orang lain kemudian bersama-sama bekerja dengan modal dan harta tersebut. Adapun keuntungan yang diperoleh dari kemitraan ini akan dibagikan berdasarkan jumlah modal yang disertakan dan kerugian juga demikian adanya.  Jenis syirkah ini dibolehkan sesuai dengan konsensus para fakih Syiah.[12]
  2. Syirkah abdân: Syirkah abdân adalah akad verbal dimana dua orang atau lebih bersepakat untuk melaksanakan sebuah pekerjaan tertentu dan membagi hasil dari pekerjaan tersebut sesuai dengan kesepakatan yang sebelumnya telah dibuat.[13]
  3. Syirkah mufawadhah: Syirkah mufawadhah adalah sebuah akad verbal dimana masing-masing dari dua orang yang bermitra bersepakat untuk memberikan keuntungan yang diperoleh dari usaha yang dilakukan sehari-hari dengan cara apa pun. Demikian juga, terkait dengan kerugiannya. Akan tetap pengeluaran harian, pakaian dan mahar dikecualikan. Jenis syirkah ini sesuai dengan konsensus para fakih Syiah adalah syirkah yang batil dan tidak sah.[14]
  4. Syirkah wujuh: Syirkah wujuh memiliki beberapa makna. Namun definisi yang paling masyhur adalah dua orang yang tidak memiliki modal pertama bersepakat dimana salah satu dari mereka memiliki nama baik (ketokohan dan kedudukan) di tengah masyarakat dan orang-orang memberikan pinjaman kepadanya karena nama baik ini. Ia membeli barang dengan meminjam dan barang itu dijadikan sebagai usaha kemitraan kemudian dijual dan uang pemilik modal dikembalikan. Adapun keuntungan yang diperoleh akan dibagi dua di antara mereka. Apabila dalam asumsi ini, masing-masing dari dua orang barang yang dibeli dengan pinjaman untuk dirinya, keuntungan dan kerugian hanya untuknya dan ia tidak lagi menjadi mitra pada barang tersebut maka syirkah jenis ini tidak sah. Namun apabila masing-masing dari keduanya menjadikan orang lain sebagai wakil dalam membeli maka asumsi ini termasuk dalam syirkah inan dan transaksi yang dilakukan adalah sah.[15]
 

[1]. Husain bin Muhammad Raghib Ishafani, Al-Mufradât fi Gharib al-Qur’ân, Riset oleh Shafwan Adnan, hal. 451, Beirut, Dar al-‘Ilm al-Dar al-Syamiyah, Cetakan Pertama, 1412 H.  
[2]. Abdul-Rahman Jaziri-Sayid Muhammad Gharawi-Yasir Mazih, al-Fiqh ‘ala Madzhab al-Arb’ah wa Madzhab Ahlulbait Wifqân li Madzhab Ahlulbait As, jil. 3, hal. 100, Beirut, Dar al-Tsaqalain, Cetakan Pertama, Cetakan Pertama, 1419 H; Muhaqqi Tsani Karaki Amili,  Jâmi’ al-Maqâshid fi Syarh al-Qawâid, jil. 8, hal. 7, Qum, Muassasah Alu al-Bait As, Cetakan Kedua, 1414 H.
[3]. Musawi Ardabili, Sayid Abdul-Karim, Fiqh al-Syirkah ‘ala Nahj al-Fiqh wa al-Qânun wa Kitab al-Ta’min, hal. 40, Mansyurat Maktabah Amir al-Mu’minin, Dar al-‘Ilm Mufid, Cetakan Pertama, 1414 H.  
[4]. Fiqh al-Syirkah wa Kitab al-Ta’min, hal. 36; al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah wa Madzhab Ahlulbait As, jil. 3, hal. 100. Sebab-sebab syirkah (perkongsian) entah melalui warisan, percampuran sesuatu (mazj), penguasaan atas sesuatu (hiyâzah) atau akad.
[5]. Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah wa Madzhab Ahlulbait As, jil. 3, hal. 100.
[6]. Syirkah wâqi’i (ril) atau nampak (zhahiri).  
[7]. Untuk telaah lebih jauh tentang bagian-bagian, hukum-hukum dan syarat-syarat syirkah, Ali Akbar Syaifi Mazandarani, Dalil Tahrir al-Wasilah, al-Syirkah wa al-Qismah, hal. 17-18, Tehran, Muassasah Tanzhim wa Nasyr Atsar Imam Khomeini, Cetakan Pertama, 1427 H; Ali Panah Isytihardi, Madârik al-Urwah, jil. 28, hal. 177-195, Tehran, Dar al-Uswah lil Thaba’ah wa al-Nasyr, Cetakan Pertama, 1417 H.  
[8]. Fiqh al-Syirkah wa Kitâb al-Ta’min, hal. 28 dan 35.  
[9]. Fiqh al-Syirkah wa Kitâb al-Ta’min, hal. 35.  
[10]. Dalil Tahrir al-Wasilah-al-Syirkah wa al-Qismah, hal. 59.  
[11]. Dalil Tahrir al-Wasilah-al-Syirkah wa al-Qismah, hal. 58.  
[12] . Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh al-Imâm al-Shâdiq As, jil. 4, hal. 102, Qum, Muassasah Ansariyan, Cetakan Kedua, 1421 H.
[13] . Ibid.
[14]. Ibid, Jamaluddin Hlli, Ahmad bin Muhammad Asadi, al-Muhaddzib al-Bâri’ fi Syarh al-Mukhtashar al-Nâfi’, Riset dan edit oleh Mujtaba Iraqi, jil. 2, hal. 545, Qum, Daftar Intisyarat Islami, Cetakan Pertama, 1407 H.  
[15]. Fiqh al-Imâm al-Shâdiq As, jil. 4, hal. 103.

HUKUM TASYABBUH DENGAN ORANG KAFIR

Dr. Zakir Naik mengenakan setelan Jas

Oleh: Ahmad Kholili Hasib

Setiap akhir tahun kaum Muslimin selalu diaramaikan dengan masalah tasyabbuh (menyerupai) orang kafir. Hal ini terkait dengan perayaan Natal dan tahun baru Masehi dengan segala atributnya. Bagi kita, sudah cukup terang bahwa mengikuti ritual dan ibadah orang non-Islam adalah dilarang. Meniru-niru orang kafir memang dilarang.


Namun ada pertanyaan, sebatas apa tasyabbuh tersebut dilarang? Mengingat kaum Muslimin juga susah menghindari untuk tidak sama dalam segala aspek apapaun dengan orang kafir. Seperti penggunaan teknologi, pakaian produk kafir, libur hari Minggu diisi dengan kegiatan-kegiatan positif, mengalihkan tahun baru dengan kegiatan tabligh dan dzikir dan lain-lain. Bagaimana hukumnya?

Tentang larangan menyerupai orang kafir, Rasulullah Saw bersabda: “Siapa yang menyerupai suatu golongan, maka ia termasuk golongan itu” (HR. ). Teks hadis tersebut masih bersifat umum. Karena itu membutuhkan perincian (tafshil) sehingga diketahui maksud larangan tersebut beserta batasan-batasannya.
Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari juz X menjelaskan, bahwa maksud larangan tersebut adalah menyerupai dalam pakaian khusus, bukan menyerupai dalam hal yang baik.

Dalam hal ini, Ibnu Sholah menerangkan lebih detail. Menurutnya, tasyabbuh dengan orang kafir ada yang haram dan ada yang makruh. Tergantung tingkat keburukan dalam meniru-nirut tersebut (Fatawa Ibn Shalah juz 2, hal. 473). Hukum tasyabbuh bisa sampai haram bahkan murtad jika seseorang berniat tasyabbuh­ dengan orang kafir dalam ritual khususnya.

Seperti dijelaskan dalam Irsyadul ‘Ibad, bahwa barangsiapa yang memakai pakaian orang kafir dengan ada kecondongan hati, misalnya memakai pakaian orang Kristen dan memakai sabuk khususnya kemudian berjalan di gereja, maka orang tersebut dihukum kafir (Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Mulyabari, Irsyadul ‘Ibad Ila Sabili al-Rasyad, hal. 14).

Dalam hal itu, seseorang memiliki kesengajaan berbusananya karena ada rasa suka kepada agama tersebut dan memang berniat meramaikan syi’ar-syi’arnya dalam hari raya dan peribadatannya.
Namun, jika seseorang yang memakai pakaian kafir atau hal lainnya tidak memiliki tujuan agar serupa dengan kafir dalam syi’ar-syi’arnya maka ia berdosa. Tidak sampai kafir. Adapun jika seseorang berbusana seperti orang kafir tanpa suatu tujuan apapun — tidak berniat untuk menyamai orang kafir — maka hukumnya makruh (Buhghyatul Mustarsyidin bab Riddah). Dan tidak dosa atau makruh jika tidak ada niat sama sekali tasyabbuh (Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra 4, hal. 239).

Dari keterangan ini dapat diambil kesimpulan bahwa tasyabbuh dengan orang kafir itu dilarang jika memenuhi dua syarat. Pertama, secara dzat (substansial), perbuatan tasyabbuh tersebut memang dilarang menurut syara’. Kedua, ada niat untuk menyerupai ritual kaum kafir.

Hari raya Natal menurut syariat dilarang beserta atribut-atributnya ritual khususnya. Seperti jubah pendeta, pakaian biarawati, topi Yahudi, nyanyian rohaninya dan lain-lainnya. Maka, menyerupai dalam hal ini dilarang.

Merujuk kepada penjelasand dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra maka kaum Muslim memakai dasi dan jas yang biasa dipakai orang Barat yang kafir tidak apa-apa. Sebab pakaian tersebut bukan pakaian khusus ritual serta kita tidak ada niat untuk tasyabbuh. Dalam hal ini, dasi, kemeja dan jas dzatnya tidak haram sebab bukan pakaian khusus ibadah orang kafir. Seperti kata Ibn Hajar, meniru hal-hal yang baik – yang bukan termasuk ritual ibadah – diperbolehkan.

Perayaan tahun baru dan Natal merupakan tradisi kaum Nasrani yang berasal dari kaum paganisme penyembah dewa matahari. Maka secara dzat ritual tersebut merupakan ritual kaum kafir.
Maka, kegiatan dzikir, tabligh akbar dan kegiatan positif lainnya pada malam tahun baru, secara dzat bukan ritual haram. Justru hukum asalnya adalah sunnah. Maka, di sini tidak memenuhi syarat sampai haram sebagaimana dijelaskan di atas. Kegiatan ini masuk kategori yang diperbolehkan oleh Ibn Hajar.
Tidak ada niat dalam kegiatan tersebut demi untuk meramaikan hari raya kafir. Justru untuk menghalihkan kaum Muslimin pada kegiantan-kegiatan yang positif. Sebagaimana kita diperbolehkan membukan toko, berlibur, mengadakan kegiatan pengajian dan seminar pada hari Minggu. Kita bukan bermaksud ikut mensyi’arkan hari Minggu dengan cara kegiatan tersebut. Tapi memanfaatkannya dengan menghalihkan kepada kegiatan yang bernilai ibadah.

Kegiatan tersebut bukan termasuk saddu al-Dzara’i sebab kegiatan tersebut tidak menyebabkan mafsadah. Menurut imam al-Syatibi, ada tiga criteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang. Pertama,perbuatan yang asalnya boleh itu mengandung kerusakan. Kedua, mafsadah lebih kuat daripada maslahah. Ketiga, perbuatannya tersebut mengandung lebih banyak unsur mafsadahnya.

Menonton TV hukum asalnya adalah boleh. Namun karena di dalamnya banyak tontonan maksiat maka menontonnya bisa haram. Bukan berarti, jika ada acara dan program yang baik maka boleh ditonton, tidak masuk sad al-Dzara’i.

Cara-cara itu yang pernah digunakan para mubaligh Walisongo dahulu. Mereka melakukan islamisasi tradisi dengan menghilangkan unsur-unsur Hindu dan Animisme kemudian memasukkan unsur Islam ke dalam tradisi. Kita saat ini sudah terbiasa menggunakan istilah-istilah berbau Hindu seperi ‘Surga’, ‘Neraka’, dan lain-lain. tapi pemahaman kita bukan sebagaimana dipahami orang Hindu. Surga bagi kita adalah al-Jannah sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an dan Hadis.

Hukum dan Tata Cara Sujud Syukur


Di sebagian besar kalangan ummat Islam saat ini, ketika mereka diberi nikmat oleh Allah maka mereka akan mengungkapkan atau mengekspresikan rasa syukur kepada Allah dengan mengucapkan hamdalah. Atau salah satu yang paling populer juga adalah sujud syukur.

Ketika ditimpa nikmat, maka ada yang mungkin langsung jatuh tersungkur, bersujud untuk bentuk rasa syukurnya. Sujud (seperti yang kita ketahui) adalah salah satu bentuk ibadah. Namun, bagaimana bila ibadah itu dilakukan tanpa ilmu? Maka sungguh amalan itu akan mengandung kerusakan yang jauh lebih besar daripada manfaatnya.

“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.” (Umar bin Abdul Aziz, dinukil dalam Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar hlm. 15).


Karena itu, mari kita gali ilmu agar kelak bisa bermanfaat tidak hanya bagi kita, tapi bagi semua.
Pengertian dan Definisi Sujud Syukur
Sujud Syukur adalah sujud yang dilakukan oleh seseorang ketika mendapatkan nikmat atau terhindar dari suatu bencana (Syarhul Manhaj wa Hasyiyah Al Qalyubi I/208)

Dalil Tentang Sujud Syukur 

Disyariatkannya sujud syukur berdasarkan hadits shahih Ka’ab bin Malik yang cukup panjang, “Bahwa ketika datang berita gembira kepadanya, yaitu taubatnya diterima oleh Allah, maka ia pun bersujud” (HR. Bukhari 4418 dan Muslim 2769).
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila datang kepadanya suatu perkara yang menyenangkan, beliau langsung bersungkur bersujud” (HR. Abu Dawud 2774, Tirmidzi 1578, Ibnu Majah 1394. dishahihkan oleh Al Albani. Lihat syawahid (penguat) hadits ini dalam Ta’zhim Qadr Ash Shalah).
Hukum Sujud Syukur

Para ulama telah bersepakat bahwa sujud syukur hukumnya tidak wajib. (Majmu’ Fataawa Ibnu Taimiyyah 21/293).
Hukumnya sunnah dilakukan bagi orang yang terhindar dari musibah atau mendapatkan nikmat (Fatawa Arkanul Islam, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin).
Pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya sunnah (menurut kami) adalah pendapat yang terkuat. Karena pendapat ini adalah jumhur dari para ulama. Diantaranya Imam Syafi’I dalam Al-Umm 1/134, Imam Ahmad dalam Al-Inshaf 2/200, Imam Malik dalam Al-Majmu’ 4/70, dan Imam Hanafi dalam Fathul-Mu’in ‘alaa Syarh Al-Kanzi 1/299.
Tata Cara Sujud Syukur
Bacaan sujud syukur sama seperti sujud tilawah yang dibaca di luar shalat. Sebagian ulama berpendapat, bahwa wudhu dan takbir disyariatkan di dalamnya, sedangkan sebagian lain berpendapat bahwa wudhu dan takbir tidak disyariatkan. Namun, sebagian lain ada yang berpendapat bahwa sebaiknya bertakbir, kemudian bersujud dan setelah sujud membaca, “Subhana rabiya al-a’la”, lalu berdoa. (Fatawa Arkanul Islam, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin).


Namun menurut kami, yang lebih kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa bertakbir, tasyahud, salam, thaharah (wudhu) itu tidak disyariatkan. Sebagaimana komentar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,



“Perkataan mereka sama sekali tidak ada dasarnya, tidak dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan juga tidak dari seorang pun dari kalangan para shahabat. Akan tetapi itu hanya sekedar pendapat akal pikiran mereka yang disebabkan pengqiyasan sujud syukur ini kepada masalah shalat. (Majmu’ Fataawa Ibnu Taimiyah 23/169)
Tata cara sujud syukur seperti sujud dalam shalat (sebagaimana sujud tilawah). Namun, sujud syukur ini tidak disyariatkan untuk bersuci (thaharah/wudhu) dan menghadap kiblat, karena ini bukan shalat, hanya saja dianjurkan. Sujud ini juga tidak dimakruhkan jika dilakukan pada waktu-waktu terlarang (Disarikan dari Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim). 

Singkatnya, tata caranya adalah seperti sujud tilawah. Yaitu dengan sekali sujud. Ketika akan sujud hendaklah dalam keadaan suci, menghadap kiblat, lalu bertakbir, kemudian melakukan sekali sujud. Saat sujud, bacaan yang dibaca adalah seperti bacaan ketika sujud dalam shalat. Kemudian setelah itu bertakbir kembali dan mengangkat kepala. Setelah sujud tidak ada salam dan tidak ada tasyahud. 

Adakah Doa Khusus untuk Sujud Syukur? 

Tidak ada doa khusus untuk sujud syukur dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Imam Syaukani berkata : “Bagi yang melakukan sujud syukur selayaknya memperbanyak syukur kepada Allah ta’ala karena maksud sujud ini adalah syukur kepada Allah yang telah memberinya nikmat”. (As Sail Al Jarar 1/285) 

Demikian risalah yang kami dapat sampaikan. Semoga bermanfaat.
Bogor, 14 Oktober 2011

________________________
Jawababan Syiah:

Sujud Tilawah dan Sujud Syukur

SUJUD TILAWAH

Wajib sujud tilawah di waktu membaca salah satu dari empat ayat yang terdapat pada surat-surat alazhaim (Fusshilat, as-Sajdah, al Alaq, an-Najm). Begitu juga orang yang mendengar wajib sujud jika bukan dalam keadaan salat, atau tengah melakukan salat nafilah, maka ia wajib sujud kemudian menyempurnakan salatnya, adapun jika dia tengah melakukan salat wajib maka wajib memberikan Isyarat untuk sujud itu dan berdasarkan ihtiyath wajib harus sujud (tilawah) setelah selesai salat.
Dan disunahkan melakukan sujud tilawah pada setiap ayat yang di dalamnya ada perintah sujud selain ayat-ayat ‘azaim.

Syarat-syarat sujud tilawah:
  1. Kemubahan tempat menurut ihtiyath
  2. Berdasarkan ihtiyath istihbab harus sujud di atas anggota sujud yang tujuh.
  3. Berdasarkan ihtiyath istihbab tempat sujud tidak boleh lebih (tinggi atau rendah) daripada tempat berdiri lebih dari empat jari yang dirapatkan.
  4. Berdasarkan ihtiyath wajib harus sujud di atas tanah atau sesuatu yang memiliki hukum tanah.
Perkara-perkara ini termasuk dari syarat-syarat sujud salat.

Tata cara sujud tilawah:

Dalam sujud tilawah sekedar sujud sudah dianggap cukup dan tidak wajib membaca zikir, akan tetapi disunnahkan membaca zikir yang wajib dalam sujud salat (سبحان ربي الأعلى وبحمده) dan menambahkan (ربي صلِّ على محمد وآل محمد) , dan sujud itu harus diulang sesuai perulangan sebab, dan apabila dia ragu antara yang banyak dan sedikit maka boleh melakukan yang sedikit, dan dalam berulang-ulangnya sujud dicukupkan hanya mengangkat dahi kemudian diletakkan tanpa harus mengangkat anggota sujud yang lain.

SUJUD SYUKUR.

Disunnahkan bersujud syukur kepada Allah di saat:
  • Mendapatkan nikmat baru.
  • Tertolak setiap bencana.
  • Mengingat nikmat atau mengingat penolakan bencana.
  • Mendapatkan taufik untuk melaksanakan setiap salat wajib atau nafilah.
  • Mendapatkan taufik untuk melakukan setiap kebaikan.
Syarat-syarat sujud syukur:
  1. Kehalalan tempat.
  2. Sujud di atas sesuatu yang sah sujud di atasnya menurut ihtiyath (wajib).
Tata cara sujud syukur:
Dalam sujud syukur cukup satu sujud, dan lebih utama dua kali sujud yang dipisah dengan menempelkan (ta’fir) kedua pipi atau kedua kening atau menempelkan kedua-keduanya.
Hal-hal yang disunahkan dalam  sujud syukur:
  1. Menempelkan kedua lengan ke tanah.
  2. Menempelkan dada dan perut ke tanah.
  3. Mengusap tempat sujudnya (dahi) dengan tangannya hingga wajah dan bagian depan badannya.
  4. Dalam sujud membaca:
  5. شكراً لله شكراً لله
  6. شكراً شكراً seratus kali.
  7. عفواً عفواً seratus kali.
  8. الحمد لله شكراً seratus kali, dan setiap kali membacanya sepuluh kali maka membaca شكراً للمجيب, kemudian membaca:
يا ذا المن الذي لا ينقطع أبـداً ، ولا يحصيه غيره عدداً ، ويا ذا المعروف الذي لا ينفد أبداً يا كريم يا كريم يا كريم

Wahai Zat yang karunianya tidak pernah terputus, dan yang lain tidak mampu menghitungnya. Wahai Zat yang kebaikannya tidak pernah habis, wahai Zat yang Maha Mulia, yang Maha Mulia, yang Maha Mulia.

Kemudian berdoa dan menyebutkan hajatnya.

Seorang Wanita Iran Dihukum Rajam Hingga Mati karena Berzina ! Inilah Hukum Islam Syi’ah, Hukum RAJAM diberlakukan di Iran demi syari’at Islam


Ashtiani Dihukum Rajam Hingga Mati karena Berzina.
Pengadilan Iran memvonis mati seorang wanita hukuman mati dengan cara dirajam. Kasus yang menimpa Sakineh Mohammadi Ashtiani tak urung menarik perhatian internasional dan menjadi perdebatan. Sakineh  dijatuhi hukuman dirajam hingga mati karena perzinahan.

“Wanita ini dituduh melakukan dua kejahatan, Salah satunya adalah perzinahan, yang dihukum rajam sampai mati, dan yang lainnya adalah membantu dalam pembunuhan suaminya, ia dihukum 10 tahun penjara untuk itu,” kata Hojatoleslam Sharifi, kepala Pengadilan Provinsi Azarbaijan Timur, seperti dikutip dari kantor berita CNN, Selasa (27/12/2011).

Namun eksekusi dari hukuman tersebut, menimbulkan persoalan, pasalnya hingga kini otoritas setempat tidak memiliki fasilitas untuk pelaksanaan hukum rajam.
“Kami tidak memiliki fasilitas yang diperlukan untuk rajam, para petugas telah meminta masukan (pelaksanaan putusan tersebut) dari kepala pengadilan, Ayatollah Hashemi Shahroudi, namun ia terlalu sibuk pada saat itu, dan masalah ini turun ke penggantinya untuk ditangani,” ucapnya.

Menurut, suksesor Sharoudi, Ayatullah Amoli Larijani, hukuman mati dengan rajam itu bisa digantikan dengan jenis hukuman mati lainnya yaitu hukuman gantung. Akan tetapi pihaknya belum memutuskan untuk melakukan hal tersebut, karena akan mendiskusikan terlebih dahulu dengan Ulama Islam setempat.
“Karena tujuannya adalah eksekusi, dan karena rajam tidak praktis, eksekusi harus dilakukan dengan menggantung,” katanya.

Ashtiani dihukum karena perzinahan dan pembunuhan terhadap suaminya pada tahun 2006. Keluarganya telah membantah ia mganmbil peran dalam pembunuhan tersebut.
Kelompok hak asasi manusia dan berbagai negara telah mendesak Iran untuk tidak mengeksekusi Ashtiani. Tahun lalu, Perwakilan Uni Eropa, Catherine Ashton meminta kepada Iran menghentikan eksekusi tersebut, senada Menteri Luar Negeri Inggris William Hague mengecam hukuman rajam yang dijatuhi kepada Ashtiani yang ia sebut sebagai “hukuman barbar.”

Hukum RAJAM diberlakukan di Iran demi syari’at Islam.

 Hukum Rajam.


Rajam sampai mati adalah melempar batu ke arah napi sampai mati. Menurut hukum Syariah Islam, perajaman adalah metode eksekusi yang dapat diterima dan digunakan di banyak negara-negara Islam. Di Iran, rajam adalah sanksi untuk perzinahan dan kejahatan lainnya. Pasal 104 dari Hukum Hodoud menetapkan bahwa batu tidak boleh terlalu besar sehingga seseorang meninggal hanya dengan dua lemparan, dan tidak begitu kecil untuk didefinisikan sebagai kerikil, tetapi harus menyebabkan cedera parah hingga kematian.



Arti dan aplikasi.
Syariah berarti “yang jelas, baik diinjak jalan menuju air” dalam bahasa Arab. Sementara itu adalah hukum agama Islam, hanya ada beberapa negara – seperti Arab Saudi, Sudan dan Iran – di mana semua aspek syariah, termasuk “hudud” hukuman seperti pemotongan tangan dan rajam sampai mati orang, untuk tindak pidana, diterapkan.
“Mayoritas negara-negara Muslim tidak menerapkan hukum syariah pidana sama sekali. Interpretasi dan aplikasi dari syariah bervariasi banyak antar negara yang berbeda, “kata Jamila Hussain, dosen senior di Hukum Islam di Universitas Teknologi, Sydney,..
Survey dari Yayasan Kita dan Buah Hati menyebutkan bahwa di indonesia :
- 1 dari 3 anak kecil sudah biasa melihat pornografi.
- 1 dari 2 anak mengakses pornografi di rumah (melalui game, komik, internet, tivi).
- 50% sinetron Indonesia mengandung pornografi.


Oiya, masih menurut psikolog di Yayasan Kita dan Buah Hati, pornografi lebih berbahaya dari kokain. Begini sebabnya. Manusia punya enam hormon yg seharusnya aktif saat terjadi hubungan seks yang dilakukan secara resmi (halal) dengan pasangan Tapi, melalui komik, game, dll, hormon-hormon itu diaktifkan pada anak kecil dan tanpa pasangan. Akibatnya: otak rusak, melebihi kerusakan yang ditimbulkan oleh kokain. Jika anak2 kecil itu mengalami 33-36 kali ejakulasi (akibat melihat adegan porno), seumur hidup dia akan menjadi pencandu pornografi.

Jika sudah begini, tak heran bila survey Komnas Anak menyebutkan, 60% pelajar SMP-SMA tidak perawan lagi. Akan kemana bangsa ini? Mau bicara soal substantif (mana sistem pemerintahan yang baik, paradigma ekonomi mana yang seharusnya dianut, bagaiman cara memberantas korupsi dan kartel politik, bagaimana supaya perusahaan asing tak terus-terusan menjajah kita..bla..bla..)? Wah, kelaut aja deh, siapa yang mau mikir soal-soal begini kalau sebagian besar anak bangsa sudah diracuni oleh pornografi?

 Hukum RAJAM diberlakukan di Iran demi syari’at Islam.

 Selasa, 31 Agustus 2010

Media Iran: Ibu Negara Perancis Pantas Mati


Harian Kayhan mulanya mencap Carla Bruni seorang pelacur pada hari Sabtu, setelah ia mengecam hukuman rajam bagi wanita Iran, Sakineh Ashtiani.
 
Foto: Lawrence Jackson, White House photographer
Ibu negara Perancis, Carla Bruni-Sarkozy



http://www.voanews.com/indonesian/news/Media-Iran-Ibu-Negara-Perancis-Pantas-Mati-101926288.html 
Media pemerintah Iran hari Selasa mengatakan ibu negara Perancis Carla Bruni-Sarkozy sudah sepantasnya mati setelah ia mengecam keputusan Iran untuk menghukum rajam seorang perempuan karena berzinah.

Surat kabar garis keras Kayhan mulanya mencap Bruni seorang pelacur pada hari Sabtu setelah ibu negara itu menandatangani petisi yang menghimbau pembebasan Sakineh Mohamadi Ashtiani.

Televisi pemerintah Iran juga menuduh Bruni tidak “bermoral”, dan sekali lagi pada hari Selasa, media yang dikuasai pemerintah Iran mengulang sebutan pelacur itu.

Seorang juru bicara kementerian luar negeri Iran sebelumnya mengatakan Republik Islam itu tidak mendukung kecaman-kecaman media itu.

Kecaman itu muncul setelah Bruni dan beberapa selebriti Perancis lainnya menulis surat terbuka kepada Ashtiani menjanjikan dukungan mereka. Wanita Iran itu dijatuhi hukuman rajam setelah dinyatakan bersalah melakukan hubungan tidak sah dengan dua laki-laki menyusul kematian suaminya.

Senin, 30 Agustus 2010
 

Media Iran Sebut Ibu Negara Perancis ‘Pelacur’


Isteri Presiden Sarkozy, Carla Bruni, mengecam keputusan Iran untuk menghukum seorang perempuan dengan hukuman rajam hingga mati.

Foto: Lawrence Jackson, White House photographer
Ibu negara Perancis, Carla Bruni-Sarkozy

Ibu negara Perancis, Carla Bruni.

Media pemerintah Iran menyebut ibu negara Perancis Carla Bruni seorang “pelacur”, setelah ia mengecam keputusan Iran untuk menghukum seorang perempuan dengan lemparan batu (hukum rajam) hingga mati karena melakukan perzinahan.
Komentar hari Senin oleh media berita yang dikendalikan pemerintah “INN”, datang beberapa hari setelah Bruni ikut menandatangani sebuah petisi yang menyerukan agar Sakineh Mohammadi Ashtiani dibebaskan.
Iran tadinya menjatuhkan hukuman mati lewat hukum rajam terhadap diri Ashtiani karena ia punya hubungan tidak sah dengan dua laki-laki menyusul kematian suaminya.
Namun, pengadilan Iran pada hari Sabtu mengatakan bahwa mereka belum membuat keputusan akhir dalam kasus Ashtiani. Ashtiani kemungkinan masih berada di bawah ancaman hukuman mati, dan ia bisa dieksekusi dengan cara-cara lainnya seperti dengan hukum gantung.
Televisi pemerintah Iran menuduh Bruni “berlagak sebagai Tuhan”, sementara koran yang dikendalikan pemerintah Iran, Kayhan menyebut Bruni seorang pelacur hari Sabtu.
Minggu lalu, Menteri Luar Negeri Perancis Bernard Kouchner minta Uni Eropa agar mempertimbangkan pendekatan-pendekatan baru untuk mendesak pemerintah Iran sehubungan kasus Ashtiani ini.



Sakineh Mohammadi Ashtiani berutang nyawa kepada masyarakat internasional. Berkat protes keras yang tak henti dilancarkan para aktivis HAM, perempuan Iran itu batal dirajam hingga mati.
Sebelumnya, janda 43 tahun tersebut divonis bersalah dalam kasus perzinaan. “Berdasar informasi relevan dari lembaga hukum yang berwenang di Iran, (Sakineh Mohammadi-Ashtiani) tidak akan dieksekusi dengan cara dirajam,” terang juru bicara Kedutaan Besar Iran di London sebagaimana dilansir The Times of London, Kamis waktu setempat (8/7).

Sayangnya, juru bicara yang tidak disebutkan namanya itu tidak bisa memberikan keterangan lebih lanjut soal status Ashtiani. Pengadilan Iran memvonis Ashtiani pada 2006. Sejak saat itu, dia mendekam di Penjara Tabriz sambil menanti hukuman rajam. Menurut Amnesti Internasional (AI), Ashtiani sudah menerima hukuman cambuk 99 kali sebagai konsekuensi perzinaannya.

Karena itu, masyarakat internasional memprotes keputusan pemerintah Iran yang dianggap memberikan hukuman berlebih kepada Ashtiani. “Rajam adalah bentuk hukuman kuno yang tetap dilestarikan Iran sebagai bentuk pelecehan terhadap HAM,” ungkap Menteri Luar Negeri Inggris William Hague sebagaimana dikutip Agence France-Presse kemarin (9/7).

Jika Iran tetap melaksanakan hukuman tersebut, menurut dia, pemerintahan Presiden Mahmoud Ahmadinejad itu sama saja dengan mempermalukan dunia. Menurut pengacara Ashtiani, Mohammad Mostafaei, kliennya belum terbebas dari ancaman hukuman mati.

Sebab, dalam keterangan resmi pemerintah Iran tentang pembatalan hukuman rajam tersebut, tidak disebutkan bahwa Ashtiani akan dibebaskan dari segala hukuman. “Apalagi, pemerintah menolak permohonan grasi yang pernah kami ajukan,” katanya kepada Associated Press.
Mei 2006, pengadilan kriminal di Provinsi East Azerbaijan menyatakan Ashtiani bersalah karena kedapatan menjalin hubungan gelap dengan dua pria pasca kematian suaminya.

Hampir sebagian besar kalangan Sunni menuduh golongan Syiah sebagai kaum Kafir karena mereka mengkritik, mencela, memaki, mengkafirkan para sahabat. Jika demikian?… terserah anda. Namun yang jadi masalah adalah apakah hukum ini berlaku juga bagi Nabi atau para sahabatnya sendiri? karena dalam kitab Hadith maupun tarikh terdapat pula kritikan, teguran, celaan, permusuhan antar sahabat bahkan membunuh sahabat lainnya . Apakah kita harus menghapus riwayat-riwayat yang mengandung kekerasan itu di seluruh kitab-kitab ataukah mengubah hukum dalam mengkritik atau mencela sahabat ?


Hampir sebagian besar kalangan Sunni menuduh golongan Syiah sebagai kaum Kafir karena mereka mengkritik, mencela, memaki, mengkafirkan para sahabat. Jika demikian?… terserah anda. Namun yang jadi masalah adalah apakah hukum ini berlaku juga bagi Nabi atau para sahabatnya sendiri? karena dalam kitab Hadith maupun tarikh terdapat pula kritikan, teguran, celaan, permusuhan antar sahabat bahkan membunuh sahabat lainnya.

Apakah kita harus menghapus riwayat-riwayat yang mengandung kekerasan itu di seluruh kitab-kitab ataukah mengubah hukum dalam mengkritik atau mencela sahabat, mis celaan tersebut menjadi doa atau rahmat baginya, sebagai ijtihad yang salah, boleh mengkritik mencela para sahabat yang tidak sesuai atau ada jalan lain?…terserah anda, aku hanya menyebarkan riwayat sejarah yang ditulis pada zaman dulu.
Berikut ini adalah sebagian riwayat tersebut:

>> Sahabat2 utama; Ali, Aisyah, Umar dengan Abu Hurairah.
Ibnu Qutaibah menulis: ‘Dan mengherankan sikap mereka (para ahli hadis)? mereka menyebut Abu Hurairah sebagai pembohong tetapi mereka tidak menulis mengenai Abu Hurairah sesuai dengan kesepakatan para ahli hadis. Yahya bin Mu’in dan Ali Ibnu al­Madini dan orang­orang seperti mereka menolak Hadis Abu Hurairah, tapi anehnya orang tetap saja berhujah dengan hadis Abu Hurairah yang tidak akur dan serasi dengan seorang pun dari para sahabat dan telah dianggap sebagai pembohong oleh Umar, Utsman dan Aisyah.’.

Ibnu Qutaibah melukiskan hubungan Aisyah dengan Abu Hurairah: ‘Engkau menyampaikan hadis yang tidak kudengar dari Nabi saw’. Demikianlah kata­kata Aisyah yang ditujukan kepada Abu Hurairah. Abu Hurairah menjawab dengan jawaban yang tidak beradab dan tanpa hormat, seperti diriwayatkan oleh Bukhari, Ibnu Sa’ad, Ibnu Katsir dan lain­lain: ‘Engkau (terlalu) sibuk dengan cermin dan tempat celak!’. Dan di bagian lain ia berkata kepada Aisyah: ‘Aku tidak disibukkan oleh cermin dan tempat celak serta pewarna, tetapi aku melihat Anda demikian’. Dan diriwayatkan oleh Dzahabi bahwa Aisyah berkata kepada Abu Hurairah: ‘Keterlaluan Abu Hurairah, berlebihan yang engkau sampaikan tentang Rasul Allah!’. Dan Abu Hurairah menjawab: ‘Aku tidak disibukkan oleh cermin dan tidak oleh tempat celak dan tidak juga dengan alat pemoles (yang menjauhkan aku dari Rasul Allah)!’.

Dan Aisyah menjawab: ‘Engkaulah yang sibuk mengurus perutmu, dan kerakusanmu membuat engkau terbirit-­birit pergi dari Rasul Allah dan bergegas (bersembunyi) di belakang orang­orang, mengetuk rumah meminta­minta makanan untuk memenuhi perutmu yang lapar sehingga mereka lari dan menjauhimu. Kemudian engkau jatuh pingsan di depan kamarku dan orang mengira engkau gila dan mereka menginjak­injak lehermu.

Di samping itu Umar memecatnya dari kedudukannya sebagai gubernur Bahrain karena menuduhnya sebagai pencuri. Ibnu Abd Rabbih menulis pada bagian awal jilid pertama bukunya ‘Iqd al­Farid. “Umar kemudian memanggil Abu Hurairah dan berkata kepadanya: ‘Aku tahu tatkala aku mengangkatmu jadi gubernur di Bahrain, sandal pun engkau tidak punya. Kemudian sampai berita kepadaku bahwa engkau membeli kuda­kuda seharga seribu enam ratus dinar’. Abu Hurairah: ‘Kami memiliki kuda kemudian beranak-pinak dan aku mendapat hadiah beruntun’. Umar: ‘Aku telah perhitungkan penghasilanmu dan rizkimu dan kelebihan ini harus kau kembalikan!’. Abu Hurairah: ‘Kamu tidak berhak untuk mengambilnya!’. Umar: ‘Ya, demi Allah aku harus ambil! Dan aku akan pukul punggungmu!’ Kemudian ia mengambil pecut dan memukulnya sampai berdarah! “Kemudian Umar berkata: ‘Bawa kemari uang itu!’ Abu Hurairah: ‘Aku menganggap harta yang engkau ambil itu di jalan Allah!” Umar: ‘Ya, kalau engkau mengambil itu dari yang halal dan engkau laksanakan di jalan yang benar! Apakah engkau datang dari Bahrain mengambil pajak untuk dirimu dan bukan karena Allah dan bukan untuk kaum Muslimin? Kau tidak punya keahlian apa­apa kecuali mengangon unta!’ Di bagian lain Abu Hurairah meriwayatkan dalam buku yang sama: ‘Abu Hurairah menerangkan: ‘Ketika aku diberhentikan oleh Umar dari Bahrain, Umar berkata kepadaku: ‘Ya musuh Allah dan musuh Kitab­Nya, engkau mencuri harta Allah? Aku menjawab: ‘Aku bukan musuh Allah dan musuh KitabNya! Tapi aku adalah musuh yang memusuhimu! Dan aku tidak mencuri harta Allah!’ Umar: ‘Dari mana engkau kumpulkan uang yang sepuluh ribu?’ Abu Hurairah: ‘Kuda beranak pinak dan aku telah mendapat hadiah beruntun dan keuntungan susul menyusul, Umar menyitanya dariku! Dan setelah shalat subuh aku mintakan pengampunan untuk Amirul mukminin!’.

>> Asy’ats bin Qais al­Kindi.
Asy’ats bin Qais al­Kindi, yang dinamakan munafik tingkat tinggi nomor dua sesudah Abdullah bin Ubay bin Salut oleh Muhammad ‘Abdu. Ia menjadi murtad tatkala RasulAllah saw wafat, yaitu tatkala Abu Bakar jadi khalifah. Pemberontakan terjadi di kawasan Hadhramaut. Pemberontak akhirnya terkepung dalam benteng An­Nujair. Suatu malam secara sembunyi­sembunyi Asy’ats bin Qays keluar benteng menemui Ziyad dan Muhajir yang mengepung benteng itu, dan bersekongkol dengan mereka bahwa apabila mereka memberi perlindungan kepada sembilan orang keluarganya, maka ia akan membuka benteng itu.

Mereka menerima ketentuan itu dan meminta ia menuliskan nama kesembilan anggota yang dimaksud. Ia khilaf dan tidak menuliskan namanya sendiri. Ia lalu menyelinap masuk ke dalam benteng dan mengatakan kepada penghuni benteng bahwa ia telah mendapatkan perlindungan bagi mereka dan supaya pintu benteng dibuka. Alangkah kaget teman­temannya tatkala Ziyad menunjukkan sembilan nama yang disepakati Asy’ats bin Qays. Asy’ats juga terkejut karena namanya tidak tercantum dalam daftar yang ia tulis. Asy’ats bin Qays tidak dibunuh. Ia minta bertemu Abu Bakar dan diluluskan. Sepanjang perjalanan ke Madinah, sekitar seribu kaum wanita yang juga dibelenggu mengutuknya sebagai pengkhianat dan penjerumus kaumnya. Sekitar delapan ratus orang dibunuh dalam benteng itu karena perbuatannya. Setelah tiba di Madinah, Abu Bakar bukan saja tidak membunuhnya malah mengawinkannya dengan adik perempuannya Umm Farwah binti Abi Quhafah yang kemudian melahirkan tiga orang anak, yaitu Muhammad , Ismail dan Ishaq. Asy’ats bin Qays ini juga yang bersekongkol dalam pembunuhan Imam Ali di kemudian hari. Putrinya, Ja’dah binti Asy’ats, membunuh Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib, suami nya sendiri. Mu’awiyah menjanjikan seratus ribu dinar dari Mu’awiyah dan akan dikawinkan dengan Yazid bila Ja’dah meracuni suaminya, yang kemudian dilakukannya. Puteranya dari Farwah binti Abi Quhafah di atas, yaitu Muhammad bin Asy’ats bin Qays terkenal karena mencurangi Muslim bin Aqil yang diutus Husain ke Kufah dan turut dalam pembunuhan Imam Husain di Karbala. Meskipun demikian ia termasuk di antara orang-­orang yang meriwayatkan hadis­hadis oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah.

>>Ali vs Abu Bakar, Umar cs
Kedua surat dibawah ini dimuat Nashr bin Muzahim dalam Kitabnya Waq’ah Shiffin dan Mas’udi dalam kitabnya Muruj adz­Dzahab dan telah diisyaratkan oleh Thabari dan Ibnu Atsir sebagai surat yang ditulis tahun 36 Hijriah, yaitu tatkala Muhammad bin Abu Bakar menjadi Gubernur di Mesir di zaman kekhalifahan Ali. Thabari melaporkan peristiwa ini dengan tidak menyebutkan isi surat dibawah ini dengan alasan “supaya orang banyak tidak resah mendengarkannya”.

Yang menarik dari kedua surat ini adalah kritik Mu’awiyah terhadap pembaiatan Abu Bakar di Saqifah. Mu’awiyah berkeyakinan bahwa Abu Bakar dan Umar mengetahui betul tuntutan Ali. Di pihak lain yang membuat kedua surat ini lebih menarik adalah pernyataan Muhammad bin Abu Bakar tentang Ali sebagai pemegang wasiat dan pewaris Rasul yang tidak dibantah Mu’awiyah.

Berikut isi Surat tersebut:

Surat Muhammad bin Abu Bakar kepada Mu’awiyah:
Bismillahirrahmanirrahim.
Dari Muh ammad bin Abu Bakar.
Kepada si tersesat Mu’awiyah bin Shakhr.
Salam kepada penyerah diri dan yang taat kepada Allah!
Amma ba’du, sesungguhnya Allah SWT, dengan keagungan dan kekuasaan-Nya, mencipta makhluk­Nya tanpa main­main. Tiada celah kelemahan dalam kekuatan­Nya. Tidak berhajat Ia terhadap hamba­Nya. Ia mencipta mereka untuk mengabdi kepada­Nya.

Ia menjadikan mereka orang yang tersesat atau orang yang lurus, orang yang malang dan orang yang beruntung.
Kemudian, dari antara mereka, Ia Yang Mahatahu memilih dan mengkhususkan Muhammad saw dengan pengetahuan ­Nya. Ia jualah yang memilih Muhammad saw berdasarkan ilmu­Nya sendiri untuk menyampaikan risalah­Nya dan mengemban wahyu­Nya. Ia mengutusnya sebagai Rasul dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.

Dan orang pertama yang menjawab dan mewakilinya, menaatinya, mengimaninya, membenarkannya, menyerahkan diri kepada Allah dan menerima Islam sebagai agamanya ­adalah saudaranya dan misannya Ali bin Abi Thalib­ yang membenarkan yang ghaib. Ali mengutamakannya dari semua kesayangannya, menjaganya pada setiap ketakutan, membantunya dengan dirinya sendiri pada saat­saat mengerikan, memerangi perangnya, berdamai demi perdamaiannya, melindungi Rasul dengan jiwa raganya siang maupun malam, menemaninya pada saat­saat yang menggetarkan, kelaparan serta dihinakan. Jelas tiada yang setara dengannya dalam berjihad, tiada yang dapat menandinginya di antara para pengikut dan tiada yang mendekatinya dalam amal perbuatannya.

Dan saya heran melihat engkau hendak menandinginya! Engkau adalah engkau! Sejak awal Ali unggul dalam setiap kebajikan, paling tulus dalam niat, keturunannya paling bagus, isterinya adalah wanita utama, dan pamannya (Ja’far) syahid di Perang Mu ’tah. Dan seorang pamannya lagi (Hamzah) adalah penghulu para syuhada perang Uhud, ayahnya adalah penyokong Rasul Allah saw dan isterinya.

Dan engkau adalah orang terlaknat, anak orang terkutuk. Tiada hentinya engkau dan ayahmu menghalangi jalan Rasul Allah saw. Kamu berdua berjihad untuk memadamkan nur Ilahi, dan kamu berdua melakukannya dengan menghasut dan menghimpun manusia, menggunakan kekayaan dan mempertengkarkan berbagai suku. Dalam keadaan demikian ayahmu mati. Dan engkau melanjutkan perbuatannya seperti itu pula.
Dan saksi­saksi perbuatan Anda adalah orang­orang yang meminta-­minta perlindungan Anda, yaitu dari kelompok musuh Rasul yang pemberontak, kelompok pemimpin­pemimpin yang munafik dan pemecah belah dalam melawan Rasul Allah saw.

Sebaliknya sebagai saksi bagi Ali dengan keutamaannya yang terang dan keterdahuluannya (dalam Islam) adalah penolong­penolongnya yang keutamaan mereka telah disebut dalam Al­ Qur’an, yaitu kaum Muhajirin dan Anshar. Dan mereka itu merupakan pasukan yang berada di sekitarnya dengan pedang­pedang mereka dan siap menumpahkan darah mereka untuknya. Mereka melihat keutamaan pada dirinya yang patut ditaati, dan malapetaka bila mengingkarinya.

Maka mengapa, hai ahli neraka, engkau menyamakan dirimu dengan Ali, sedang dia adalah pewaris (warits ) dan pelaksana wasiat (Washi) Rasul Allah saw, ayah anak­anak (Rasul), pengikut pertama dan yang terakhir menyaksikan Rasul, teman berbincang, penyimpan rahasia dan serikat Rasul dalam urusannya. Dan Rasul memberitahukan pekerjaan beliau kepadanya, sedang engkau adalah musuh dan anak dari musuh beliau.
Tiada peduli keuntungan apa pun yang kau peroleh dari kefasikanmu di dunia ini dan bahkan Ibnu ’l­Ash menghanyutkan engkau dalam kesesatanmu, akan tampak bahwa waktumu berakhir sudah dan kelicikanmu tidak akan ampuh lagi. Maka akan jadi jelas bagimu siapa yang akan memiliki masa depan yang mulia. Engkau tidak mempunyai harapan akan pertolongan Allah, yang tidak engkau pikirkan.
Kepada­Nya engkau berbuat licik. Allah menunggu untuk menghadangmu, tetapi kesombonganmu membuat engkau jauh dari Dia.
Salam bagi orang yang mengikuti petunjuk yang benar.

Jawaban Mu’awiyah kepada Muhammad bin Abu Bakar:
Dari Mu ’awiyah bin Abu Sufyan.
Kepada Pencerca ayahnya sendiri, Muhammad bin Abu Bakar .
Salam kepada yang taat kepada Allah.
Telah sampai kepadaku suratmu, yang menyebut Allah Yang Mahakuasa dan Nabi pilihan­Nya dengan kata­kata yang engkau rangkaikan. Pandanganmu lemah. Engkau mencerca ayahmu. Engkau menyebut hak Ibnu Abi Thalib dan keterdahuluan serta kekerabatannya dengan Nabi Allah saw dan bantuan serta pertolongannya kepada Nabi pada tiap keadaan genting.
Engkau juga berhujah dengan keutamaan orang lain dan bukan dengan keutamaanmu. Aneh, engkau malah mengalihkan keutamaanmu kepada orang lain.
Di zaman Nabi saw, kami dan ayahmu telah melihat dan tidak memungkiri hak Ibnu Abi Thalib. Keutamaannya jauh di atas kami.
Dan Allah SWT memilih dan mengutamakan Nabi sesuai janji­Nya. Dan melalui Nabi Ia menyampaikan dakwah­Nya dan memperoleh hujah­Nya. Kemudian Allah mengambil Nabi ke sisi­Nya.

Ayahmu dan Faruq­nya (Umar ) adalah orang­orang pertama yang merampas haknya (ibtazza). Hal ini diketahui umum.
Kemudian mereka mengajak Ali membaiat Abu Bakar tetapi Ali menunda dan memperlambatnya. Mereka marah sekali dan bertindak kasar. Hasrat mereka bertambah besar. Akhirnya Ali membaiat Abu Bakar dan berdamai dengan mereka berdua.
Mereka berdua tidak mengajak Ali dalam pemerintahan mereka. Tidak juga mereka menyampaikan kepadanya rahasia mereka, sampai mereka berdua meninggal dan berakhirlah kekuasaan mereka.

Kemudian bangkitlah orang ketiga, yaitu Utsman yang menuruti tuntunan mereka. Kau dan temanmu berbicara tentang kerusakan­kerusakan yang dilakukan Utsman agar orang­orang yang berdosa di propinsi­propinsi mengembangkan maksud­maksud buruk terhadapnya dan engkau bangkit melawannya. Engkau menunjukkan permusuhanmu kepadanya untuk mencapai keinginan-­keinginanmu sendiri.
Hai putra Abu Bakar, berhati­hatilah atas apa yang engkau lakukan. Jangan menempatkan dirimu melebihi apa yang dapat engkau urusi. Engkau tidak akan dapat menemukan seseorang yang mempunyai kesabaran yang lebih besar dari gunung, yang tidak pernah menyerah kepada suatu peristiwa. Tak ada yang dapat menyamainya.

Ayahmu bekerja sama dengan dia dan mengukuhkan kekuasaannya. Bila kaum katakan bahwa tindakanmu benar, (maka ketahuilah) ayahmulah yang mengambil alih kekuasaan ini dan kami menjadi sekutunya. Apabila ayahmu tidak melakukan hal ini, maka kami tidak akan sampai menentang anak Abu Thalib dan kami akan sudah menyerah kepadanya.

Tetapi kami melihat bahwa ayahmu memperlakuk an dia seperti ini di hadapan kami, dan kami pun mengikutinya; maka cacat apa pun yang akan kau dapatkan, arahkanlah itu kepada ayahmu sendiri, atau berhentilah dari turut campur.
Salam bagi dia yang kembali.

>> Abu Dzar dengan Uthman.
Tatkala Abu Dzar memprotes kemewahan hidup Muawiyah di Syria. Muawiyah lapor ke Uthman dan Uthman pun “memanggil” Abu Dzar ke Madinah disertai tentara dan menunggang unta yang pelananya tidak diberi alas. Ketika Uthman melihat Abu Dzar, ia langsung memprotes kegiatan sahabat nabi ini. Abu Dzar menjawab, Saya mengharapkan kebaikan bagi anda, tetapi anda malah menipu saya. begitu pula, saya mengharapkan kebaikan teman anda (Mu’awiyah) tetapi ia pun menipu saya.

Uthman berkata, engkau pembohong, engkau hendak menimbulkan kerusuhan. engkau menghasut seluruh rakyat Syria menentang kami.
Abu Dzar menjawab, Anda harus mengikuti langkah-langkah Abu Bakar dan Umar. apabila anda berbuat demikian tak akan ada orang yang mengatakan sesuatu terhadap anda.

Uthman menjawab, Semoga ibumu mati! Apa hubungan anda dengan urusan ini?
Abu Dzar menjawab, Sepanjang menyangkut diri saya, tak ada pilihan selain menyuruh manusia berbuat baik dan mencegah mereka dari kejahatan.
Tak bisa membendung amar makruf nahi munkar Abu Dzar, Uthman akhirnya kemudian membuang Abu Dzar ke Rabadzah, daerah tandus yang tidak dihuni manusia, hewan, maupun ditumbuhi tanaman. Ia juga melarang masyarakat menyaksikan kepergiannya. Orang tak berani mengantarnya, kecuali lima orang; Ali, Aqil, Hasan, Husein, serta Ammar bin Yasir.

>> Aisyah dengan Uthman.
Dalam perjalanan pulang ke Madinah, Aisyah bertemu dengan Abd ibn Abi Salma, keluarga jauh dari pihak ibunya, yang menginformasikan kematian Uthman dan naiknya Ali sebagai Khalifah. Ibn Abi Salma menceritakan bahwa masyarakat Madinah telah menunggu selama delapan hari setelah kematian Uthman, sebelum mereka dengan bijak semua sepakat atas Ali bin Abi Thalib. Aisyah berseru, Langit akan runtuh ke bumi sebelum masalah ini diputuskan bagi sahabatmu (Ali). Bawa aku kembali ke Makkah! Ia kemudian menyatakan, Demi Allah, Uthman terbunuh secara tidak sah! Dan aku pasti akan menuntut balas atas darahnya. Ibn Abi Salma mengingatkannya bahwa Aisyahlah yang pertama menghasut masyarakat menentang Uthman dengan mengatakan, Bunuhlah Na’tsal (yaitu orang tua Yahudi berjenggot)itu, karena ia telah membuang iman / kafir. Aisyah menyatakan bahwa masyarakatlah, setelah membuat Uthman bertobat, yang kemudian membunuhnya secara tidak sah. Aku berbicara dan mereka berbicara, lanjutnya, tetapi ucapanku yang terakhir lebih baik daripada ucapanku yang pertama. lelaki itu menukas, Kamu memerintahkan kami membunuh imam dan kami menaatimu dan kami membunuhnya. namun, kami yakin bahwa pembunuhnya yang sebenarnya adalah orang yang memerintahkannya.”.

>> Abd Rahman bin Awf dengan Uthman.
ketika terjadi penyelewengan dalam kekhalifahan Uthman, kaum muhajirin dan anshar dengan marah menuduh Abd Rahman bin Auf atas perilaku Uthman yang tidak dapat dipahami. kemudian Ibn Awf mencela Uthman dengan mengatakan, Aku mengutamakanmu dengan syarat bahwa kamu memperlakukan kami sesuai dengan praktik Abu Bakar dan Umar. namun, kamu berlawanan dengan keduanya, dan lebih menyukai keluarga dekatmu dan menempatkan mereka di leher kaum muslim. Uthman menjawab, Umar menjauhkan keluarga dekatnya demi ridha Tuhan, dan aku memberikan hadiah yang dermawan kepada keluarga dekatku juga demi ridha Tuhan. Abd Rahman menukas marah, Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku tidak akan berbicara kepadamu setelah ini. Karena itulah, ketika Uthman menengoknya di ranjang kematiannya, ibn Awf memalingkan wajahnya ke tembok dan menolak berbicara dengan Uthman.

>> Abdullah bin Mas’ud dengan Uthman.
Ketika terjadi ketidakberesan pada kekhalifahan Uthman bin Affan. Ia banyak mengeritik kebijakan Uthman. misalnya, ia pernah berkata, “Di mata Allah, Uthman tidak berharga walaupun sebesar bulu lalat.” Walid bin Uqbah, Gubernur Kufah memberitahukan hal tersebut kepada Uthman, lalu Uthman memanggil Ibn Mas’ud ke Madinah. Ibn Mas’ud sampai di Madinah pada Jumat malam. ketika Uthman mengetahui kedatangannya, ia menyuruh rakyat berkumpul ke masjid lalu ia berkata, Lihatlah, sedang menuju kalian seekor binatang hina (kadal), yang menginjak-injak makanan, muntahan dan kotorannya. Ibn Mas’ud berkata, saya tidak seperti itu. Yang pasti saya adalah seorang sahabat Nabi saw. saya bersama beliau dalam perang Badar dan ikut serta dalam bayt Ridwan. Aisyah berteriak dengan keras dari rumahnya, Uthman! engkau mengucapkan kata-kata seperti itu kepada sahabat Nabi! Orang lain juga tidak menyukai kata-kata Uthman itu dan menyatakan kemarahannya. Atas perintah Uthman, para pegawainya dan budaknya mengusir Ibn Mas’ud keluar masjid dengan cara yang sangat kasar. mereka menyeretnya ke gerbang masjid dan melemparkannya ke tanah. lalu mereka memukulnya sehingga ia mengalami patah tulang, dan dari situ ia digotong ke rumahnya seperti orang yang sudah meninggal. selain itu Uthman juga menghentikan pemberian tunjangan yang biasa diterimanya dari baitul mal, memutus segala sumber rezekinya serta melarang orang menjenguknya. Pada saat akhirnya, Abdullah bin Mas’ud berpesan kepada Ammar supaya Uthman tidak melakukan solat jenazah ke atasnya nanti.

>> Ammar dengan Uthman.
Diriwatakan bahwa ada kotak di baitul mal yang berisi perhiasan dan permata. Uthman mengambil perhiasan tersebut dari baitul mal dan memberikannya kepada salah seorang istrinya. masyarakat merasa keberatan atas tindakan Uthman itu dan mengeritiknya dengan keras sehingga Uthman menjadi berang. Kepada jamaah ia berkata di atas mimbar, Saya akan mengambil apa saja yang saya sukai dari harta rampasan perang dan saya tidak peduli bila ada yang tidak menyukainya. Atasnya Ali berkata, kalau begitu, anda akan dicegah dari berbuat begitu dan sebuah dinding akan didirikan antara anda dan baitul mal. Ammar berkata, Ya Allah saksikanlah bahwa saya adalah orang pertama yang tidak menyukai penyelewengan ini. Kemudian uthman berkata, hai Ammar, alangkah beraninya engkau berbicara melawan saya! tangkap dia!.

Tiba-tiba Marwan berdiri seraya berkata kepada Uthman, Wahai Amirul Mukminin! Budak ini telah menghasut rakyat menentang anda. bila anda membunuhnya maka orang lain akan mendapat pelajaran. Ammar kemudian dipukuli ramai-ramai oleh tongkat Uthman dan anggota Bani Umayyah kemudian melemparkannya ke jalan saat tengah hujan lebat.

>> Thalhah bin Ubaidillah dengan Uthman
pada suatu kesempatan Ali mendatangi Thalhah dan melihat sekumpulan pemberontak berkumpul di sekelilingnya. Ia merasa bahwa Thalhah memegang peranan penting dalam pengepungan rumah Uthman dan berniat membunuhnya. Ali menegurnya, Wahai Thalhah! Apa yang anda lakukan kepada Uthman. Ali juga berusaha mencegah Thalhah melakukan kegiatannya namun Thalhah menolak nasihatnya. Ali kemudian pergi ke baitul mal hendak membukanya, tetapi tidak ada kuncinya. maka pintu baitul mal itu dibongkar atas perintahnya lalu ia membagi-bagikan semua uang yang ada disana kepada orang-orang yang dikumpulkan Thalhah untuk membunuh Uthman. Tatkala Uthman mengetahui peristiwa ini dia sangat senang dan menyadari bahwa tak seorang pun yang setulus, sesimpatik dan semahir Ali dalam menyelesaikan permasalahan muslimin.

Kemudian Thalhah mendatangi Uthman dan meminta maaf, lalu berkata, “Saya bertobat di hadapan Allah. Saya telah bertekad melakukan sesuatu tetapi Allah menggagalkannya”. Uthman berkata, “Anda datang ke sini bukan sebagai orang yang bertobat, melainkan sebagai orang yang menjadi tak berdaya. semoga Allah menghukum anda!.”.

>> Abd Rahman bin Abu Bakar dengan Marwan bin Hakam
Ketika Marwan menjadi gubernur Muawiyah di Hijaz, ia meminta rakyat untuk membaiat Yazid. Abd Rahman bin Abu Bakar memprotes Marwan sambil berkata, Kalian menginginkan kekuasaan ini seperti kekuasaan Heraclius! Marwan marah dan menyuruh orang menangkap Abd Rahman. Ia lari ke kamar Aisyah, saudaranya. Marwan berkata, ayat al-Qur’an alladzi qala liwalidayhi uffin lakum turun tentang Abd Rahman. Mendengar tersebut, Aisyah berkata di balik hijab menolak asbab nuzul ayat tersebut.(riwayat ini disebutkan di sahih Bukhari dengan mengaburkan perkataan Abd Rahman ke Marwan dalam kitab al-Tafsir bab alladzi qala liwalidayhi uff (surah al-Ahqaf)).

>> Aisyah, Thalhah, Zubair dengan Usman bin Hunaif
Ketika Aisyah dengan pasukan jamalnya memaksa masuk Basrah pada suatu malam. mereka membunh banyak orang di masjid. kemudian mereka masuk ke rumah Usman bin Hunaif (gubernur Basrah) dan memperlakukannya dengan sangat buruk.

Thalhah dan Zubair sangat menyesali perlakuan pasukannya kepada Usman bin Hunaif karena dia pun salah seorang sahabat Nabi saw. Mereka menghadap Aisyah dan menyatakan kesedihan mereka atas kejadian tersebut. Sebagai jawabnya, Aisyah menginstruksikan supaya Usman bin Hunaif dibunuh. Tatkala perintah tersebut hampir dilaksanakan, seorang wanita berteriak histeris, Wahai ummu al-Mukminin! Demi Allah, kasihanilah anak Hunaif. hormatilah kedudukannya sebagai sahabat Nabi. Aisyah berpikir sejenak lalu berkata, “Baiklah, jangan bunuh dia, tetapi jadikan dia tawanan.”

Namun salah seorang tentara Aisyah berkata, Pukullah dia keras-keras dan cabutlah janggutnya. para tentara kemudian memukulnya tanpa belas kasihan, mencabut rambut kepalanya, janggutnya, bulu matanya dan alisnya lalu memenjarakannya.

>> Khalid bin Walid dengan Umar.
Singkat cerita Khalid membunuh Malik bin Nuwairi untuk memperoleh harta rampasan dan melecehkan kehormatan istrinya yang sangat cantik. tatkala kabar tersebut sampai kepada Abu Bakar, khalifah waktu itu merasa sedih dan mengucapkan, “Harta rampasan perang telah membuat orang-orang Arab serakah dan Khalid telah melanggar perintah saya.”.

Ketika Khalid menghadap Abu Bakar, ia membawa tiga anak panah di serbannya. Ketika Umar melihatnya, ia berkata, “wahai Musuh Allah! semua perbuatanmu ini adalah perbuatan munafik. Demi Allah, bila aku menguasaimu maka aku akan merajammu sampai mati. Ia lalu merenggut anak panah yang ada di serban Khalid lalu mematahkannya. Khalid tidak berani bicara apa-apa karena ia mengira bahwa Umar bertindak sesuai dengan perintah Abu Bakar.

Kemudian Khalid menemui Abu Bakar dan mengajukan dalih kepadanya. Abu Bakar percaya dan menerima alsan Khalid. Ketika mendengar berita ini, ia mendorong Abu Bakar untuk menghukum Khalid atas pembunuhan Malik. Abu Bakar berkata, “Wahai Umar! sebaiknya anda diam. Khalid bukan orang pertama yang melakukan kesalahan dalam masalah hukum.”
dan banyak lagi riwayat lainnya, terutama sejak masa kekhalifahan Uthman. Semoga Tuhan merahmati kita semua.

Ghibah Yang Diperbolehkan Dalam islam.


Sejarah adalah memori kolektif umat. Memori kolektif ini kemudian membentuk kepribadian, dan mengejawantah menjadi aqidah yang menyatu dalam praktik kerberagamaan umat itu sendiri.
Saya pribadi memandang bahwa telaah kritis terhadap sejarah Islam sangat penting untuk membentuk pemahaman keIslaman kita. Sunnah nabiullah SAWW yang selalu kita coba untuk ikuti dengan sempurna tidak bisa lepas dari telaah sejarah yang ada, terkhusus sejarah sahabat yang merupakan sumber sekunder yang melaluinya kita bisa menerima pemahaman mengenai sunnah Nabi. Sebab lain adalah bahwa dari sahabat pula kita bisa mengambil ibrah atau teladan seperti apa seharusnya kita menafsirkan sunnah Nabi tersebut. Melalui riwayat yang disampaikan dan juga perilaku sahabat itu lah kita mencoba mendalami Sunnah. Apalagi, saudara-saudara seiman yang bermazhab wahabi dan salafi mengikutikan tambahan penafsiran lain mengenai sunnah, bukan saja sunnah nabi, tapi juga sunnah sahabat, tabi’in, tabi’-tabi’in dan ulama salaf. Jadi, pembahasan mengenai perilaku sahabat menjadi sangat krusial dalam mempelajari agama.
Itulah sebabnya, pokok bahasan mengenai perilaku atau “keadilan” para rijal dalam kronik Islam sangat sering mengemuka, karena alasan-alasan di atas. Dalam pokok pembelajaran mengenai hadist, kita sangat menekankan pentingnya mengenali sanad dari sebuah periwayatan hadist. Satu saja periwayat yang dianggap pernah berbuat yang tidak semestinya, maka hadist itu bisa saja tertolak tanpa melihat matannya. Saya pernah membaca bagaimana Imam Bukhari pernah menolak satu hadist hanya karena melihat sang periwayat “membohongi” ayam peliharaannya dengan menggerak-gerakkan tangan seakan-akan ada biji jagung di dalamnya, demi untuk menangkap ayam tersebut.

Ahlul hadist (atau mazhab Sunni) menyatakan bahwa definisi sahabat nabi adalah seseorang yang berjumpa dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam keadaan mukmin dan meninggal dalam keadaan Islam. Ini definisi yang sangat general, perilaku mereka ketika hidup, terutama sepeninggal Rasulullah SAWW kita ketahui terjadi banyak perselisihan di antara mereka. Kalau dikatakan bahwa sahabat itu semua “tidak tercela, tidak boleh dicela”, lantas apakah itu berarti kita membenarkan perilaku sahabat yang tidak sesuai sunnah Nabi?

Perlu dicermati disini bahwa mengkritisi perilaku sahabat, tidak serta merta berujung pada pencelaan dan pengkafiran para sahabat. Saya tidak tahu dari mana sumber tuduhan yang menyatakan bahwa kaum Syiah itu mengkafirkan sahabat. Sepanjang saya membaca literatur dari ulama Syiah (mazhab Imamiah Itsna Asy’ariah)  yang terpercaya, tidak pernah ada ungkapan bahwa mereka menganggap para sahabat, seperti Khalid bin Walid, Abu Hurairah, Abu Sofyan, Muawiyah itu kafir. Kecuali ada nash yang menyatakan bahwa sahabat2 tersebut mengingkari kenabian Muhammad SAWW atau ketauhidan, yang menyebabkan seseorang dianggap kufur dari Islam. Sekira boleh, adakah referensi buku ulama Syiah yang mengkafirkan para sahabat2 itu? – kalau bisa dinukil dari sumber primer, bukan sumber sekunder atau hanya nukilan dari seseorang penulis yang memang bertujuan melakukan distorsi pemahaman terhadap syiah.

Mencela Sahabat tentu tak boleh, tapi melakukan studi kritis dalam rangka mencari hikmah di balik kisah tentu tak diharamkan, sebagaimana sudah dipraktekkan ulama-ulama salaf yang menghasilkan banyak buku sejarah, seperti yang dilakukan Ibnu Katsir, Haikal dan lain-lain.

Jangan kalian mencela Sahabatku, seandainya salah seorang di antara kalian menginfaqkan emas sebesar Gunung Uhud maka tidaklah menyamai satu mud mereka atau setengahnya.” (HR. Bukhari: 3470 dan Muslim: 2540).

Artinya: “Siapa yang mencela Sahabatku, atasnya laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya.” (HR. Thabarani dalam Mu’jamul Kabir 12/142, dihasankan oleh al-Albani dalam Silsilah Ahadits ash-Shahihah: 2340).

Konon (saya tak menemukan sumber primer dari riwayat munculnya hadist ini), sebab munculnya hadis ini disebutkan bahwa Khalid bin Walid mencaci ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Kalau mengikuti konteks hadist ke-2 di atas, maka Laknat Allah tertimpa kepada Khalid bin Walid?

Sekira bahwa sahabat adalah seseorang yang pernah bertemu Rasulullah SAWW dalam keadaan mukmin dan meninggal dalam keadaan Islam. Dan bagi yang mencela sahabat, akan dikenakan hukum Laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya atasnya. Lantas, bagaimana sekira seorang sahabat mencela sahabat nabi lainnya? Apakah kemudian sahabat itu kena hukum laknat Allah juga?

1. Dalam Sunan Ibnu Majah Tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi 1/45 no 121 terdapat hadis riwayat Sa’ad berikut:  
Ali bin Muhammad menceritakan kepada kami yang berkata Abu Muawiyah menceritakan kepada kami yang berkata Musa bin Muslim menceritakan kepada kami dari Ibnu Sabith dan dia adalah Abdurrahman dari Sa’ad bin Abi Waqash yang berkata ”Ketika Muawiyah malaksanakan ibadah haji maka Saad datang menemuinya. Mereka kemudian membicarakan Ali lalu Muawiyah mencelanya. Mendengar hal ini maka Sa’ad menjadi marah dan berkata ”kamu berkata seperti ini pada seseorang dimana aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda ”barangsiapa yang Aku adalah mawlanya maka Ali adalah mawlanya”. Dan aku juga mendengar Rasulullah SAW berkata kepada Ali ”Kamu disisiKu sama seperti kedudukan Harun disisi Musa hanya saja tidak ada Nabi setelahKu”. Dan aku juga mendengar Rasulullah SAW berkata kepada Ali ”Sungguh akan Aku berikan panji hari ini pada orang yang mencintai Allah dan RasulNya”. Hadis ini telah dinyatakan Shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no 98.

2. Ibnu Katsir dalam Al Bidayah Wan Nihayah 7/204 telah membawakan riwayat bahwa mereka yang mengepung Usman berada dibawah pimpinan Abdurrahman bin Udais.
Abu Tsawr Al Fahmy berkata ”Aku mendatangi Usman, ketika aku berada di tempat Beliau ternyata orang-orang Mesir kembali ke Madinah maka aku mendatangi Usman dan memberitahukannya. Ia bertanya ”bagaimana kamu lihat keadaan mereka?”. Aku menjawab ”Aku melihat ada niat jahat yang tergambar di wajah mereka, mereka di bawah pimpinan Ibnu Udais”. Kemudian Ibnu Udais menaiki mimbar Rasulullah SAW dan mengimami shalat Jum’at serta mencela Usman di dalam khutbahnya.

Tentang sosok Ibn Udais, Ibnu Abi Hatim berkata dalam Al Jarh Wat Ta’dil juz 5 no 1182: Abdurrahman bin Udais Al Balawi adalah seorang Sahabat Nabi”.

Dalam Al Isabah 4/334 no 5167 Ibnu Hajar menuliskan biografi Ibnu Udais dan mengutip dari Ibnu Sa’ad, Ibnu Sa’ad berkata “Ia seorang Sahabat Nabi SAW dan mendengar dari Beliau”

3. Rasulullah memperingatkan sahabat tentang Kaum Munafik.
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Aswad bin Amir yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah bin Hajjaj dari Qatadah dari Abi Nadhrah dari Qais yang berkata “saya pernah bertanya kepada Ammar, bagaimana pendapatmu tentang perang terhadap Ali? Atau bagaimana pesan yang disampaikan Rasulullah SAW kepadamu?. Ammar menjawab “Rasulullah SAW tidak pernah menyampaikan pesan kepada kami suatu pesan yang tidak Beliau sampaikan juga kepada orang-orang”. Saya diberitahu oleh Huzaifah dari Nabi SAW yang bersabda “Di kalangan Sahabatku ada dua belas orang munafik. Di antara mereka ada delapan orang yang tidak akan masuk surga sampai unta masuk ke lubang jarum”. Delapan orang diantara mereka akan mendapat Dubailah, sedangkan empat lainnya aku tidak hafal yang dikatakan Syu’bah tentang mereka. [Shahih Muslim 4/2143 no 2779 (9) tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi].

Belum lagi soal kisah sahabat Thalhah, Zubair, Ummul Mukminin Aisyah ra, Muawiyah, Amr bin Ash dan lain-lain yang pernah berperang melawan Imam Ali bin Abi Thalib. Bukan saja mereka mencela, tapi berperang melawan beliau.

Mari juga kita simak hadist tentang nubuwat sahabat dari Abu Said dalam Musnad Ahmad 3/28 no 11236 yang dinyatakan shahih oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth:
Dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa Nabi SAW bersabda “Aku berkata “SahabatKu, SahabatKu,” maka dikatakan kepadaku “Sesungguhnya Engkau tidak mengetahui apa yang sudah mereka ubah sepeninggalMu”. Lalu aku berkata “Jauh, jauh” atau berkata “celakalah celakalah mereka yang mengubah sepeninggalKu”.

Apa kira-kira maksud hadist ini? Apa yang telah diubah oleh para sahabat Nabi? Agama kah, sunnah kah?
Saya sepakat bahwa kita tidak perlu mengungki-ungkit kekeliruan yang dilakukan sahabat, juga tidak perlu dicela, karena memang mencela itu perbuatan buruk. Namun mempelajari perilaku sahabat,  juga tidak terlarang karena sama-sama kita pahami bahwa sahabat tidak maksum, dan guna nya adalah untuk mencari sumber Islam paling shahih.

Sebagaimana yang disampaikan di awal tulisan ini, mempelajari sejarah Islam terutama di masa-masa awal termasuk perbedaan pendapat diantara sahabat, demi untuk mengambil hikmah bahwa perbedaan itu wajar tanpa perlu berujung kepada pengkafiran sebagaimana yang sering kita saksikan diantara sesama Muslim saling mengkafirkan karena hanya berbeda mazhab.

Wallahu ‘alam bis shawab.

Inilah Ghibah yang Dibolehkan.

Menag: Ada Enam Alasan Ghibah Bisa Dilakukan.
- Menyitir pendapat Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi (penulis kitab Riyadhus Shalihin, red), Menteri Agama (Menag) mengungkapkan enam alasan atau tujuan diperbolehkan sebuah ghibah. Ghibah sendiri adalah informasi yang menjelekkan orang lain, dan menyiarkan kejelekan tersebut.

Pertama, mengadukan seseorang pada penguasa (polisi, red) karena melakukan perbuatan aniaya. Pengaduan tersebut mengharuskan menyampaikan keburukan terlapor. Kedua, minta tolong pada orang atau ahli yang diharapkan mampu untuk mengubah atau menghilangkan keburukan seseorang. Sehingga menyampaikan keburukan dengan harapan mengembalikan ke jalan yang benar.

Ketiga, ketika meminta fatwa atau nasehat (sehingga menyampaikan keburukan) untuk sebuah kebaikan. Keempat, memberi peringatan atau nasehat kepada kaum muslimin agar tidak terjerumus atau mencontoh perbuatan atau sifat buruk.

Kelima, memberi penjelasan atau pengertian tentang seseorang agar jelas, misalnya mengatakan ‘yang bisu itu’ atau ‘yang buta itu’. Keenam ketika dibutuhkan misalnya untuk keperluan mengetahui kepribadian calon istri atau calon pemimpin yang akan dipilih atau perawi (pembawa) hadist.
“Perkecualian atas ghibah yang dibolehkan di atas, juga telah disepakati oleh para ulama,” tegas Suryadarma saat ditemui di Kantor PPP, Jl. Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (11/1).

Bukti bolehnya ghibah ketika meminta bantuan untuk merubah kemungkaran adalah seluruh nash yang menyebutkan tentang perintah amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan berbuat baik dan melarang dari kemungkaran). Di antaranya firman AllahJalla Jalaluhu,

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104).

Dan perintah Nabi terhadap pemimpin-pemimpin yang jahat, “Siapa yang melawan dengan tangannya maka dia seorang mukmin, dan siapa yang melawannya dengan lisannya dia seorang mukmin, dan siapa yang melawannya dengan hatinya dia seorang mukmin. Dan tidak ada iman sekecil apapun sesudah itu.” (HR. Muslim).

Dalil ghibah yang dibenarkan dalam mengadukan kezhaliman seseorang atas dirinya terdapat dalam firman Allah Ta’ala,

لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا

Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Nisa’: 148) .

Dia boleh mendoakan orang yang mezhaliminya dan mengadukannya tanpa berbohong, namun demikian memaafkan adalah lebih utama dan lebih dekat dengan takwa.

Orang yang mazhlum (teraniaya) boleh menceritakan dan mengadukan kezaliman orang yang menzhaliminya kepada seorang penguasa atau hakim atau kepada orang yang berwenang memutuskan suatu perkara dalam rangka menuntut haknya.

Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 148:
“Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nisa’ : 148).

Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang teraniaya boleh menceritakan keburukan perbuatan orang yang menzhaliminya kepada khalayak ramai. Bahkan jika ia menceritakannya kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan, kekuatan, dan wewenang untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, seperti seorang pemimpin atau hakim, dengan tujuan mengharapkan bantuan atau keadilan, maka sudah jelas boleh hukumnya.

Tetapi walaupun kita boleh mengghibah orang yang menzhalimi kita, pemberian maaf atau menyembunyikan suatu keburukan adalah lebih baik. Hal ini ditegaskan pada ayat berikutnya, yaitu Surat An-Nisa ayat 149:
“Jika kamu menyatakan kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.” (QS. An-Nisa: 149).

“Ghibah adalah membicarakan orang dengan sesuatu yang tidak dia suka ketika dia tidak ada. Sedangkan asal al-bahtu adalah membicarakan keburukan orang lain yang tidak ada padanya. Keduanya diharamkan. Tapi dibolehkan ghibah untuk tujuan syar’i dengan enam sebab berikut ini:

1. Al-Tazhallum (mengadukan kezhaliman).
Boleh bagi orang yang dizhalimi untuk mengadukan kezhaliman yang menimpa dirinya kepada penguasa, qadhi, atau yang memiliki otoritas hukum ataupun pihak yang berwajib lainnya. Ia dapat menuntut keadilan ditegakkan atas orang yang mezhaliminya dengan mengatakan, “Si Fulan telah melakukan kezhaliman terhadapku dengan cara seperti ini dan itu.”.

rang yang mazlum (teraniaya) boleh menceritakan dan mengadukan kezaliman orang yang menzaliminya kepada seorang penguasa atau hakim atau kepada orang yang berhak memutuskan suatu perkara dalam rusaha menuntut haknya. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 148:

لَّا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَن ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا﴿١٤٨﴾

Allah tidak menyukai Ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

Ucapan buruk sebagai mencela orang, memaki, menerangkan keburukan-keburukan orang lain, menyinggung perasaan seseorang, dan sebagainya.

2. Permintaan bantuan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran dengan mengatakan kepada orang yang diharapkan mampu melakukannya, “Si Fulan telah berbuat begini, selamatkah dia darinya.”
Meminta bantuan untuk menyingkirkan kemungkaran dan agar orang yang berbuat maksiat kembali ke jalan yang benar.

Pembolehan ini adalah untuk mencegah kemungkaran dan mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang benar. Selain itu, ia juga merupakan kewajipan manusia untuk beramar ma’ruf nahi munkar. Setiap muslim hendaklah saling bahu-membahu menegakkan kebenaran dan meluruskan jalan orang-orang yang menyimpang dari hukum-hukum Allah.

3. Permintaan fatwa (al istifta’). Misal seseorang mengatakan kepada seorang mufti (pemberi fatwa), si fulan atau ayahku atau saudaraku atau suamiku telah menzhalimiku dengan cara begini.
Apakah dia berhak berbuat seperti itu? Lalu apa yang harus aku perbuat agar aku selamat darinya dan terhindar dari kezhalimannya? Atau pernyataan apapun yang semacam itu. Maka ini hukumnya boleh jika diperlukan. Tapi lebih baik dia mengatakan, “Bagaimana pendapat Anda tentang seseorang, atau seorang suami, ayah, anak yang telah memperbuat hal seperti ini? Namun demikian menyebutkan secara rinci tetap boleh berdasarkan hadits Hindun dan aduannya, “Sesungguhnya Abu Sufyan seorang laki-laki yang pelit.”
Istifta’ (meminta fatwa) berkaitan sesuatu masalah. Walaupun kita diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang untuk meminta fatwa, untuk lebih berhati-hati, ada baiknya kita hanya menyebutkan keburukan orang lain sesuai yang ingin kita adukan, tidak lebih daripada itu.

4. Memperingatkan kaum muslimin dari keburukan. Hal ini memiliki beberapa bentuk, di antaranya:
- Menyebutkan keburukan orang yang buruk (jarh majruhin) dari kalangan perawi hadits, saksi ataupun pengarang. Semua itu boleh berdasarkan ijma’, bahkan wajib sebagai langkah melindungi syari’at.
- Membeberkan aibnya ketika bermusyawarah untuk menjalin hubungan dengannya (bisa dalam bentuk, kerjasama, pernikahan dan lainya-pent).
- Apabila melihat seseorang membeli sesuatu yang cacat atau membeli seorang budak yang suka mencuri, berzina, mabuk-mabukan, atau semisalnya. Engkau boleh memberitahukannya kepada pembelinya jika ia tidak tahu dalam rangka memberi nasihat bukan untuk menyakiti atau merusak.
- Apabila engkau melihat seorang pelajar (santri) yang sering bertandang kepada orang fasik atau ahli bid’ah untuk menuntut ilmu, dan engkau khawatir dia terpengaruh dengan sikap negatifnya, maka wajib engkau memerinya nasihat dengan menjelaskan keadaan orang tersebut semata-mata untuk menasihati.
- Seseorang yang memiliki kedudukan namun tidak melaksanakan dengan semestinya karena bukan ahlinya atau karena kefasikannya, maka boleh melaporkannya kepada orang yang memiliki jabatan di atasnya agar dia memperoleh kejelasan tentang keadaanya supaya dia tidak tertipu olehnya dan mendorongnya untuk istiqamah.

Memperingatkan kaum muslimin dari beberapa kejahatan seperti apabila ada perawi, saksi, atau pengarang yang cacat sifat atau kelakuannya, menurut ijma’ ulama kita boleh bahkan wajib memberitahukannya kepada kaum muslimin. Ia dilakukan untuk memelihara kebersihan syariat. Ghibah dengan tujuan seperti ini jelas haruskan, bahkan diwajibkan untuk menjaga kesucian hadits. Apalagi hadits merupakan sumber hukum kedua bagi kaum muslimin setelah Al-Qur’an.

5. Seseorang yang melakukan kefasikan (kemaksiatan) atau kebid’ahan dengan terang-terangan, seperti minum-minuman keras, merampas harta orang (memalak), mengambil pungutan liar, dan melakukan perbuatan batil lainnya.
Maka boleh menyebut (membicarakan)nya karena dia melakukan kejahatan dengan terang-terangan. Adapun yang selain itu, tidak boleh kecuali ada sebab yang lain.
Menceritakan kepada khalayak tentang seseorang yang berbuat fasik atau bid’ah seperti, minum-minuman keras, merampas harta orang secara paksa. Ketika menceritakan keburukan itu kita tidak boleh menambah-nambaha dan sepanjang niat melakukan hal itu hanya untuk kebaikan agar menghindari pergaulan dengan orang tersebut. Kerana bergaul dengan orang fasik atau pun ahli bid’ah bisa membahayakan agama kita.

6. Untuk mengenalkan. Apabila dia terkenal dengan panggilanal-A’masy (orang yang kabur penglihatannya), pincang, al-Azraq (yang berwarna biru), pendek, buta, buntung tangannya, dan semisalnya maka boleh memperkenalkannya dengan menyebut hal itu.
Namun tidak boleh menyebutnya (membicarakannya) karena menghina. Dan jika bisa memperkenalkannya dengan sebutan yang lain tentu itu lebih baik.Bila seseorang telah dikenal dengan julukan si pincang, si pendek, si bisu, si buta, atau sebagainya, maka kita boleh memanggilnya dengan gelaran di atas agar orang lain boleh memahami. Tetapi jika tujuannya untuk menghina, maka haram hukumnya. Jika ia mempunyai nama lain yang lebih baik, maka lebih baik memanggilnya dengan nama lain tersebut.


OKT20;
“Bagaimana dan dengan logika apa kita dapat menyamakan di antara seluruh sahabat dan menyebut keduanya adalah sahabat? Misalnya antara Malik bin Nuwairah dan orang yang membunuhnya dengan keji dan pada malam itu juga seranjang dengan istrinya! Sekali-kali tidak dapat dibenarkan peminum khamar seperti Walid bin Uqbah hanya karena statusnya sebagai sahabat kemudian kita bela. Atau menyokong dan membela yang menjadikan pemerintahan Islam seperti sebuah kekuasaan diktator dan membunuh orang-orang shaleh dalam umat dan mengangkat senjata berperang melawan imam dan khalifah sah (Ali bin Abi Thalib)? Apakah dapat dibenarkan kita memandang sama antara Ammar Yasir dan kepala kelompok pemberontak hanya karena keduanya sahabat padahal Rasulullah Saw bersabda: “Ammar akan dibunuh oleh kelompok tiran dan pemberontak.”

Di antara perkara yang menjadi sasaran tudingan Syiah semenjak dahulu hingga kini (sebagaimana yang diklaim oleh musuh-musuh Syiah) adalah bahwa Syiah memendam dendam dan kusumat kepada sahabat. Tatkala kita mengkaji tudingan secara realistis dan jauh dari segala sikap puritan maka kita akan jumpai tudingan ini sama sekali jauh dari kenyataan yang ada. Lantaran Syiah sangat menghormati Rasulullah Saw dan para sahabatnya.
Bagaimana mungkin Syiah memendam kusumat kepada sahabat sementara mereka memandang sahabat sebagai penyebar syariat dan cahaya Tuhan untuk kemanusiaan?
Mereka adalah sandaran dan pembela Rasulullah Saw. Orang-orang yang berjihad di jalan Allah! Bagaimana mungkin Syiah membenci mereka sementara Allah Swt memuji mereka dan berfirman tentang mereka, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang terhadap sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, dan tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Qs. Al-Fath [48]:29).

Mereka adalah orang-orang yang menolong Allah dan Rasul-Nya. Menghidupkan agama-Nya dan membangun dasar pemerintahan Islam serta mengeliminir jahiliyyah.[i]

Imam dan pemimpin kaum Syiah, Baginda Ali bersabda ihwal para sahabat Rasulullah Saw: “Aku telah melihat para sahabat Muhammad Saw, tetapi aku tak menemukan seseorang yang menyerupai mereka. Mereka mengawali hari dengan debu di rambut dan wajah (dalam kesukaran hidup) serta melewatkan malam dalam sujud dan berdiri dalam salat. Kadang-kadang mereka letakkan (sujudkan) dahi mereka, dan terkadang pipi mereka. Dengan ingatan akan kebangkitan, mereka nampak seakan berdiri di atas bara menyala. Nampak seakan di antara mata mereka ada tanda-tanda seperti lutut kambing, akibat sujud yang lama. Bilamana nama Allah disebutkan, air mata mereka mengalir deras hingga kerah baju mereka basah. Mereka gemetar karena takut akan hukuman dan harapan akan pahala, seperti pohon gemetar pada hari angin topan.”[ii]

Demikian juga, Baginda Ali As menandaskan, “Saudara-saudaraku yang mengambil jalan (yang benar) dan melangkah dalam kebenaran? Di manakah ‘Ammar? Di manakah Ibn at-Tayyihan? Di mana Dzusy-Syahadatain? Dan di manakah yang lain-lain seperti mereka di antara para sahabat tnereka yang telah membaiat sampai mati dan yang kepalanya (yang tertebas) dibawa kepada musuh yang keji? Kemudian Amirul Mukminin menggosokkan tangannya ke janggutnya yang mulia lalu menangis dalam waktu lama, kemudian ia melanjutkan: Wahai! saudara-saudaraku yang membaca Al-Qur’an dan mengeluarkan hukum berdasarkan al-Qur’an, memikirkan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Tuhan kepada mereka dan menunaikannya, menghidupkan sunah dan menghancurkan bidah. Ketika mereka dipanggil untuk berjihad, mereka menyambut dan mempercayai pemimpin mereka lalu mengikutinya.”[iii]

Imam Sajjad As juga dalam Shahifah Sajjadiyah mendoakan para sahabat Rasulullah Saw, “Ya Allah! di antara penghuni bumi para pengikut rasul dan yang membenarkan mereka secara gaib ketika para pembangkang melawan mereka dengan pembohongan mereka merindukan para rasul dengan hakikat keimanan (tatkala orang-orang mendustakan dan menentangnya). Pada setiap zaman dan masa ketika Engkau mengutus seorang rasul memberikan petunjuk dan jalan kepada manusia sejak Adam sampai Muhammad Saw para imam pembawa petunjuk pemimpin ahli takwa sampaikan shalawat kepada mereka semua. Kenanglah mereka dengan ampunan dan keridhaan! Ya Allah! Khususnya para sahabat Muhammad yang menyertai Nabi dengan persahabatan sejati yang menanggung bala yang baik dalam membelanya menjawab seruannya ketika ia memperdengarkan hujjah risalahnya. Meninggalkan istri dan anak-anak untuk menegakkan kalimahnya. Memerangi bapak-bapak dan anak-anak untuk meneguhkan nubuwahnya dan memperoleh kemenangan karenanya. Mereka yang dipenuhi kecintaan kepadanya mengharapkan perdagangan yang tidak pernah merugi dalam mencintainya. Mereka yang ditinggalkan keluarga karena berpegang kepada talinya. Mereka yang diusir oleh kerabatnya ketika berlindung dalam naungan kekeluargaannya. Ya Allah! Jangan lupakan mereka apa yang telah mereka tinggalkan karena-Mu dan di jalan-Mu. Ridhoilah mereka dengan ridho-Mu. Karena telah mendorong manusia menuju kepada-Mu dan bersama rasul-Mu mereka menjadi para dai yang menyeru kepada-Mu. Balaslah dengan kebaikan pelarian mereka dan kepergian mereka dari kaumnya menuju-Mu. Meninggalkan kesenangan menuju kesempitan. Balaslah dengan kebaikan kepada mereka yang teraniaya karena menegakkan agama-Mu. Ya Allah! Sampaikan pahala terbaik kepada para pengikut mereka dalam kebaikan yang berkata, “Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang mendahului kami dalam iman.” [iv]

Demikian juga para juris Syiah meyakini kedudukan dan derajat para sahabat. Syahid Shadr berkata, “Sahabat adalah manifestasi iman dan penerang, terbaik dan model orang shaleh terbaik bagi kemajuan umat Islam. Sejarah umat manusia tidak akan mengenang sebuah generasi dengan keyakinan lebih unggul, lebih utama, lebih jenius, lebih suci daripada para penolong yang dididik oleh nabi.”[v]

Benar kita memiliki perbedaan dengan Ahlusunnah. Hal itu dikarenakan kami membagi sahabat Rasulullah Saw dan orang-orang yang hidup dengannya dengan mengambil inspirasi dari ayat-ayat al-Qur’an menjadi beberapa bagian:
01Kelompok orang-orang terdahulu: “Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (Qs. Al-Taubah [9]:100).

02Kelompok yang memberikan baiat di bawah pohon: “Sesungguhnya Allah telah rida terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berbaiat kepadamu di bawah pohon. Allah mengetahui keimanan dan kejujuran yang ada dalam hati mereka. Oleh karena itu, Dia menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (Qs. Al-Fath [48]:18).

03Kelompok yang berinfak dan berjihad sebelum kemenangan: “Tidak sama orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang sebelum tercapai kemenangan (dengan orang yang menginfakkannya setelah kemenangan tercapai). Mereka memiliki derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Tapi Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-Hadid [57]:10).

Sebagai kebalikan model-model utama dan pribadi-pribadi atraktif, al-Qur’an menyebutkan kelompok-kelompok lainnya yang sangat berseberangan secara diametral dengan model-model di atas:
1. Orang-orang munafik.[vi]
2. Orang-orang munafik yang tersembunyi dan Rasulullah Saw tidak mengenal mereka.[vii]
3. Orang-orang yang lemah iman dan sakit hatinya.[viii]
4. Orang-orang (lemah) yang mendengarkan dengan seksama ucapan-ucapan orang yang suka membuat fitnah.[ix]
5. Orang-orang yang di samping mengerjakan kebaikan pada saat yang sama juga mengerjakan keburukan.[x]
6. Orang-orang yang cenderung murtad.[xi]
7. Orang-orang fasik yang berbeda antara ucapan dan perbuatannya.[xii]
8. Orang-orang yang iman belum lagi masuk ke dalam hati-hati mereka.[xiii] Dan sifat-sifat tercela lainnya yang disebutkan sebagian dari mereka.

Di samping itu, di antara para sahabat terdapat orang-orang yang bermaksud membunuh Rasulullah Saw pada sebuah malam yang dilakukan oleh Uqbah.
Karena itu kita dapat menyimpulkan pandangan Syiah terkait dengan sahabat: Dalam mazhab Ahlulbait As sahabat seperti orang lain artinya di antara mereka terdapat orang yang adil dan tidak adil. Dalam pandangan Syiah tidak semua sahabat itu adil. Sepanjang perilaku dan perbuatan Rasulullah Saw tidak menjelma dalam kehidupan mereka maka status mereka sebagai sahabat tidak memiliki peran dalam keadilannya.

Dengan demikian, kriteria dan pakemnya adalah perilaku dan perbuatan praktis. Barang siapa yang perbuatan dan perilakunya sejalan dengan kriteria dan pakem agama Islam maka ia adalah seorang yang adil. Selainnya tidak adil. Sebagaimana yang telah kami katakan bahwa pandangan ini selaras dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.

Bagaimana dan dengan logika apa kita dapat menyamakan di antara seluruh sahabat dan menyebut keduanya adalah sahabat? Misalnya antara Malik bin Nuwairah dan orang yang membunuhnya dengan keji dan pada malam itu juga seranjang dengan istrinya! Sekali-kali tidak dapat dibenarkan peminum khamar seperti Walid bin Uqbah hanya karena statusnya sebagai sahabat kemudian kita bela. Atau menyokong dan membela yang menjadikan pemerintahan Islam seperti sebuah kekuasaan diktator dan membunuh orang-orang shaleh dalam umat dan mengangkat senjata berperang melawan imam dan khalifah sah (Ali bin Abi Thalib)? Apakah dapat dibenarkan kita memandang sama antara Ammar Yasir dan kepala kelompok pemberontak hanya karena keduanya sahabat padahal Rasulullah Saw bersabda: “Ammar akan dibunuh oleh kelompok tiran dan pemberontak.”[xiv]

Apakah ada orang yang berakal akan berbuat demikian? Dengan asumsi kita melaukan hal seperti ini apakah masih ada yang tersisa dari Islam tatkala kita senantiasa berupaya menjustifikasi perbuatan-perbuatan para pejuangnnya dan orang-orang tiran hanya karena mereka sahabat?

Pada hakikatnya Islam lebih mulia dan agung dari tindakan ingin mencampur aduk dengan kejahatan orang-orang jahat dan menyimpang pada setiap ruang dan waktu!! Inilah keyakinan kami. Kami tidak berbasa-basi dengan siapa pun. Lantaran kebenaran lebih layak untuk dijelaskan dan diikuti.Kami ingin bertanya kepada saudara-saudara Sunni apakah kalian memandang sama antara Khalifah Ketiga Utsman dan orang yang membunuhnya?Apabila keduanya adalah sama lalu mengapa serangan banyak dilancarkan kepada Ali As dan dengan dalih menuntut darah Utsman api peperangan Jamal dan Shiffin bisa meletus? Dan apabila dua kelompok ini tidak sama, orang-orang yang menentang dan orang-orang yang mendukung dalam pembunuhanya – apatah lagi orang-orang yang membunuhnya – mereka diperkenalkan sebagai orang-orang yang keluar aturan dan syariat maka hal itu adalah tiadanya keadilan pada sahabat! Lantas mengapa ada serangan kepada Syiah sementara pandangan mereka sama dengan pandangan yang lain?

Karena itu, dalam pandangan Syiah kriterianya adalah keadilan, berpegang teguh kepada sirah Rasulullah Saw dan menjalankan sunnah beliau semasa hidupnya dan pasca wafatnya. Barang siapa yang berada di jalan ini maka, dalam pandangan Syiah, ia harus dihormati dan jalannya diikuti serta didoakan semoga rahmat Tuhan baginya melimpah dan memohon supaya ditinggikan derajatnya. Namun orang-orang yang tidak berada di jalan ini kami tidak memandangnya sebagai orang adil. Sebagai contoh dua orang sahabat mengusung lasykar disertai dengan salah seorang istri Rasulullah Saw lalu berhadap-hadapan dengan khalifah legal Rasulullah Saw Ali bin Abi Thalib As menghunus pedang di hadapannya di perang Jamal. Mereka memulai perang yang menelan ribuan korban jiwa kaum Muslimin. Izinkan kami bertanya apakah angkat senjata dan menumpahkan darah orang-orang tak berdosa ini dapat dibenarkan? Atau orang lain yang disebut sebagai sahabat Rasulullah Saw dan menghunus pedang pada sebuah peperangan yang disebut sebagai Shiffin. Kami berkata perbuatan ini bertentangan dengan syariat dan memberontak kepada imam dan khalifah legal. Perbuatan-perbuatan ini tidak dapat diterima dengan membuat justifikasi bahwa mereka adalah sahabat. Demikianlah poin asasi perbedaan pandangan antara Syiah dan yang lainnya. Jelas bahwa di sini yang mengemuka bukan pembahasan mencela dan melaknat sahabat.

Rujukan :
[i]. ‘Adâlah Shahâbi, hal. 14, Majma’ Jahani Ahlulbait As.
[ii]. Nahj al-Balâghah, hal. 144, Khutbah 97.
[iii]. Nahj al-Balâghah, hal. 164, Khutbah 97, riset oleh Subhi Shaleh.
[iv]. Shahifah Sajjadiyah, hal. 42, Doa Imam untuk Para Pengikut Para Nabi.
[v]. Majmu’e Kâmilah, No. 11, Pembahasan ihwal Wilayah, hal. 48.
[vi]. “Dan infakkanlah sebagian rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, lalu ia berkata, “Ya Tuhan-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku barang sekejap sehingga aku dapat bersedekah dan termasuk orang-orang yang saleh?” (Qs. Al-Munafiqun [63]:10).
[vii]. “Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah ada sekelompok orang yang keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (Qs. Al-Taubah [9]:101).
[viii] . “(Ingatlah) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawah (kota)mu (sehingga mereka mengepung kota Madinah), dan ketika penglihatan(mu) terbelalak (lantaran takut) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. Di situlah diuji orang-orang yang beriman dan mereka diguncangkan dengan guncangan yang sangat.” (Qs. Al-Ahzab [32]:10-11).
[ix]. “Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu. Karena itu, mereka selalu bimbang dalam keragu-raguan mereka. Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu. Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka. Maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka, “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal (anak-anak kecil, orang-orang tua, dan orang-orang yang sedang menderita penyakit) itu.” Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah bagimu selain kerusakan dan keraguan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu untuk menyulut fitnah (dan kekacauan) di antaramu; sedang di antara kamu ada orang-orang (lemah iman) yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Taubah [9]:45-47).
[x]. “Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Taubah [9]:102).
[xi]. “Kemudian setelah kamu berduka cita, Allah menurunkan kepadamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan darimu, sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri (dan tidak mengantuk); mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah. Mereka berkata, “Apakah kita memiliki suatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?” Katakanlah, “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya berada di tangan Allah.” Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata, “Sekiranya kita memiliki suatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.” Katakanlah, “Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.” Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” (Qs. Ali Imran [3]:154.
[xii]. “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan, lalu kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Qs. Al-Hujurat [49]:6); “Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik? Mereka tidak sama.” (Qs. Al-Sajdah [32]:18).
[xiii]. Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk’ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. Jika kamu taat kepada Allah dan rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Hujurat [49]:14).
[xiv]. Silahkah lihat, Fushul al-Muhimmah, Abdulhusain Syarafuddin, hal. 189.

Terkait Berita: