Oleh: Muchtar Luthfi.
"Tsamarotul aqli luzuumul haqqi"; Hasil (mengikuti) akal adalah komitmen pada kebenaran. (Ali bin Abi Thalib as).
"Science without religion is lame, raligion without science is blind";
Ilmu pengetahuan tanpa agama niscaya lumpuh, agama tanpa ilmu
pengetahuan akan buta. (Albert Einstein).
Salah satu isu penting
dalam diskursus Filsafat Agama adalah relasi agama dan rasio. Jika kita
mengurut kronologi isu ini, akan kita dapati betapa peliknya para
rohaniawan Kristen pada Abad Pertengahan dalam mempertahankan
dogma-dogma agama yang banyak tidak sesuai dengan interpretasi akal dan
ilmu pengetahuan[1]. Sehingga dari situ, muncullah beberapa pemikiran
para intelektual yang ingin mengkritisi dogma-dogma tersebut, ataupun
usaha-usaha meng-islah- kan ajaran agama dengan rasio. Tersusunlah apa
yang disebut dengan "Teologi Baru" (new theology) sebagai satu usaha
dalam rangka niatan tersebut.
Isu relasi agama dan rasio pada
akhirnya menyebabkan seorang kristian, Fulton J. Sheen, dalam karyanya
"God and intelligence in Modern Philosophy", mengatakan: "Pengingkaran
terhadap akal adalah pengingkaran terhadap Tuhan yang kesempurnaan-Nya
tak terbatas, sebagaimana pengingkaran terhadap Tuhan yang
kesempurnaan-Nya tak terbatas adalah pengingkaran terhadap akal; kedua
hal tersebut tak mungkin terpisahkan". Reaksi para teolog dan pemuka
rohaniawan Kristen -dalam mempertahankan keyakinan mereka menghadapi
tantangan tersebut- cukup beragam. Saat itu muncullah tiga bentuk
reaksi[2]:
· Strong Rasionalism, yang meyakini bahwa rasio dan
argumentasi pasti mampu menjelaskan segala ajaran agama secara benar.
Willian K Clifford, Thomas Aquinas dan John Looke seringkali tampil
sebagai tokoh-tokoh utama pemikiran ini.
· Fideism, yang
meyakini bahwa ajaran agama adalah doktrin yang tidak bisa disentuh oleh
rasio manusia. Hal itu mengingat ajaran agama berada di luar daya dan
kapasitas rasio. Paul Tillich, Martin Luther dan Sir. Anselm termasuk
yang meyakini hal tersebut.
· Critical Rasionalism, yang
meyakini bahwa rasio mampu menjelaskan ajaran-ajaran agama, hanya saja
kebenarannya tidak dapat ditetapkan secara pasti. Thomas Morris, George
Mavrodes dan penulis buku itu sendiri cenderung kepada pendapat ketiga
ini.
Dari sini kita tahu, bahwa dalam tradisi Kristen seakan
argumen rasional lebih ditekankan dalam rangka pembelaan atas ajaran
agama (apologetic). Dengan kata lain, rasio dipergunakan untuk mencari
pembenaran, bukan untuk mencari kebenaran. Pada kalangan umat Islam pun
sudah ada tantangan dalam upaya mengkompromikan agama dan rasio, yang
terkadang digelindingkan oleh beberapa pemikir yang selalu kritis dalam
memperlakukan teks-teks agama yang dianggap tidak sesuai dengan alam
pikiran mereka.
Islam sebagai agama pamungkas dan syariat
terakhir yang diturunkan oleh Allah swt, serta Al- Quran sebagai kitab
suci terakhir dituntut mampu dalam menjawab semua tantangan yang ada.
Adakah ajaran Islam selaras dengan apa yang diserukan oleh akal budi
manusia? Apakah Islam dengan berbagai teks agama yang dimilikinya mampu
menjawab semua tantangan rasionalitas pemikiran? Jika jawabannya
negatif, niscaya Islam akan kehilangan predikatnya sebagai agama
terakhir yang idealnya mampu menjawab tantangan segala zaman. Akan
tetapi jika jawabannya positif, maka akan banyak sekali bermunculan
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan tersebut
sebagai konsekuensi dari jawaban positif tadi.
Dari sekian
banyak pertanyaan yang muncul dari isu tersebut ialah; apakah yang
dimaksud dengan rasio? Adakah rasio bisa menjadi tolok ukur kebenaran
ajaran agama? Bagaimana Islam menerima argumentasi rasional? Adakah ia
sebatas sebagai apologetic sebagaimana yang digunakan dalam tradisi
Kristen, atau memang sudah menjadi keseutuhan Islam? Sampai batas
manakah rasio bisa menjadi dalil kebenaran? Bagaimanakah rasio manusia
yang relatif ini bisa menjadi tolok ukur kebenaran? Bagaimana metode
islah dan penyelarasan antara rasio dan agama? Bagaimana jika ternyata
ketimpangan antara rasio dan teks agama? Dan masih banyak lagi
pertanyaan yang muncul dari isu itu.
Kita di sini akan mencoba
menjawab secara ringkas pertanyaan-pertanyaan yang menjadi dasar
pemikiran Rasionalitas Agama. Sebelum kita masuk pada intinya, terlebih
dahulu kita telaah secara singkat beberapa hal di bawah ini yang
sekaligus sebagai prolog pembahasan kita kali ini:
Pertama,
dalam kehidupan kita sehari-hari bisa dipastikan, bahwa apapun yang
biasa dicerna oleh pikiran kita -lepas dari benar salahnya hal-hal
tersebut- tidak akan keluar dari tiga kemungkinan berikut ini:
1. Rasional; segala sesuatu yang sesuai dengan realita -dengan arti
umum- dan sesuai dengan prinsip-prinsip logika manusia sehat.[3]
2. Irasional; segala sesuatu yang tidak sesuai dengan realita dan tidak
sesuai pula dengan prinsip-prinsip logika manusia sehat.
3.
Supra-rasional; segala sesuatu yang sesuai dengan realita akan tetapi
penerapan logika manusia dalam menetapkannya masih belum didapat. Dengan
kata lain bahwa hal tersebut bukan berarti masuk kategori tidak masuk
akal (irrasional) akan tetapi dikarenakan keterbatasan akal maka ia
belum mampu -atau bahkan tidak mampu karena hal-hal yang akan kita
jelaskan nanti- untuk menjangkaunya secara argumentatif dan tidak
menutup kemungkinan suatu saat kelak akal mampu menganalisanya dengan
argumen yang logis sesuai dengan prinsip-prinsip dasar ilmu logika.
Kedua, sudah menjadi kesepakatan semua kelompok kaum muslimin bahwa ajaran syariat Islam[4] bertumpu pada dua[5] pilar:
1. Ushuluddin; dari segi bahasa ushul kata jamak dari asl yang berarti
asas, sedang din berarti agama, oleh karenanya ushuluddin berarti
asas-asas agama. Ajaran agama-agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam)
sepakat bahwa ada tiga asas pokok yang dimiliki oleh agama Allah yang
mencakup Ketuhanan, Kenabian dan Hari Kebangkitan.
2.
Furu'uddin; dari sisi bahasa furu' kata jamak dari far' yang berarti
cabang, oleh karenanya furu'uddin berarti cabang-cabang agama.
Cabang-cabang agama ini mencakup urutan tata cara ibadah yang biasa
disebut dengan syariat.[6] Syariat dalam makna ini mencakup ritualitas
(ibadat), transaksi (muamalat) dan hukum jinayat.
Ketiga,
Ajaran-ajaran agama Islam yang tercantum dalam al-Qur'an maupun
hadis-hadis saheh tidak lepas dari dua bentuk penyampaian:
a-
Deskriptif; ajaran yang disampaikan dengan bentuk ini berpotensi untuk
dilakukan pembuktian akan benar-salahnya suatu ajaran. Dikarenakan
ajaran melalui proses penyampaian deskriptif (jumlah-ikhbariah)
merupakan usaha untuk membangun kerangka pengetahuan sehingga dalam
pembuktiannya bisa melalui argumen-argumen logika.
b- Normatif;
ajaran yang disampaikan melalui bentuk normatif (jumlah-insya'iah) ini
tidak memiliki potensi untuk diadakannya suatu pembuktian salah-benar
suatu ajaran. Dikarenakan ajaran melalui proses tersebut tidak berfungsi
untuk membangun suatu kerangka pengetahuan maka argumen dalam
menetapkan benar-salah tidak berfungsi disini, kalaulah akan diadakan
suatu penelitian maka hanya berkisar tentang sebab (baca:Hikmah[1])
dibalik perintah atau larangan tersebut.
Setelah kita
mengetahui sekilas hal-hal diatas marilah kita tengok pendapat
kelompok-kelompok Islam dalam menghukumi peranan argumen rasional pada
ajaran agama.
Mazhab-mazhab Islam dan argumen rasional:
Dalam sejarah perkembangan Islam, kemunculan beberapa mazhab merupakan
fonomena tersendiri yang tidak bisa dipungkiri. Perbedaan-perbedaan
pendapat baik yang berkaitan dengan ushuluddin maupun furu'uddin adalah
salah satu penyebab utama munculnya mazhab-mazhab tersebut. Bukan hanya
dari sisi muatan ajaran saja mereka berbeda akan tetapi dari sisi metode
penetapan kebenaran (berargumen) ajaranpun terjadi perbedaan pendapat.
Salah satu sarana dalam menetapkan kebenaran ajaran agama yang menjadi
pemicu perbedaan pendapat antar mazhab-mazhab Islam adalah tentang
peranan argumen rasional dalam menetapkan kebenaran ajaran agama. Disini
kita akan sebutkan tiga pendapat dari kelompok-kelompok Islam perihal
argumentasi rasional:
1- Mazhab Zahiri (kontekstualisme):
mereka hanya mengambil tekstual (zahir) suatu teks agama tanpa
memperdulikan makna yang ingin disampaikan oleh pembicara
[2](mutakallim) dibalik itu. Mereka menolak dengan tegas segala macam
ta'wil ataupun argumentasi akal. Merekapun berusaha untuk menjaga
dimunculkannya permasalahan dan pemikiran baru yang masuk dalam ajaran
agama, oleh karenanya mereka menolak berbagai pertanyaan yang
menimbulkan munculnya permasalahan baru. Anas bin Malik adalah contoh
dari tokoh pemikiran diatas dimana ia pernah ditanya tentang ayat:"Allah
bersemayam disinggasana (arsy)" (Qs Thaha:5) maka Anas menjawab: "makna
istiwa' (bersemayam) sudah bisa dipahami, bentuk (kualitas) istiwa'
tidak dapat diketahui, dan mengimani hal tersebut adalah suatu
kewajiban, sedang bertanya tentang hal tersebut merupakan bid'ah".[3]
2- Mazhab Aqli (rasionalisme): mereka meyakini bahwa segala macam
ajaran agama bisa dideteksi melalui rasio. Mereka meyakini bahwa wajib
dan haram dalam ajaran agama bisa diketahui oleh rasio manusia dimana
itu semua bertumpu pada landasan kaidah "wujub syukril- mun'im"
(kewajiban berterima kasih pada pemberi nikmat) sedang kaidah itu
bertumpu pada rasionalitas baik-buruk.
3- Mazhab Insijam
(komplementerisme): mereka meyakini adanya relasi antara rasio dengan
syariat (agama). Mereka meyakini bahwa sebagaimana wahyu dan syariat
-dengan arti umum- merupakan sumber pengetahuan manusia, maka rasio dan
akalpun dihukumi seperti itu pula. Mereka meyakini bahwa sebagaimana
wahyu (agama) merekomendasikan banyak hal yang bersifat obyektif maka
begitu pula akal (rasio).
Dikarenakan disini kita bukan dalam
rangka menjustifikasi manakah dari ketiga kelompok diatas yang sesuai
dengan ajaran Islam maka disela-sela pembahasan akan kita singgung
sedikit tentang argumen kelompok yang mengatakan adanya relasi antara
akal dan teks agama yang sesuai dengan topik kita.
Beberapa kesalahan:
Ada beberapa kesalahan fatal yang sering disalah pahami oleh sebagian
kaum muslimin tentang peranan argumentasi rasio (baca:akal) dalam
penetapan akan kebenaran hal-hal yang berkaitan dengan agama. Mereka
beranggapan bahwa hanya melalui perantara al-Qur'an dan Hadis saja
kebenaran ajaran agama Islam bisa ditetapkan oleh karenanya akal sama
sekali tidak dapat dijadikan sumber hukum kebenaran satu ajaranpun.
Mereka beranggapan bahwa hanya al-Qur'an satu-satunya kebenaran mutlak
yang harus diterima tanpa riserve dalam arti kita tidak boleh
mempertanyakan segala apa yang dimuat oleh al-Qur'an. Dengan
mempertanyakan apapun yang tertera dalam al-Qur'an berarti kita -tanpa
disadari- akan mempermasalahkan pula segala hal yang berkaitan dengan
katauhidan, wahyu, keberadaan hari akhir ataupun risalah Ilahi secara
umum.
Dengan kata lain mereka ingin mengatakan bahwa akal sama
sekali tidak memiliki peran dalam kebenaran ajaran agama Islam.
Mereka-mereka yang beranggapan semacam itu berargumen dengan ayat yang
berbunyi: "Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan
merekalah yang akan ditanyai" (Qs al-Ambiyaa':23), sehingga atas dasar
ayat inilah kita dilarang untuk bertanya atas segala ketentuan Ilahi,
sedang dalam ayat lain Allah berfirman: "menetapkan hukum itu hanyalah
hak Allah" (Qs al-An'am:57) yang berarti bahwa segala peraturan dan
perintah milik Allah secara mutlak.
Berdasarkan dua ayat
diataslah maka mereka berkesimpulan bahwa bertanya -yang merupakan
pekerjaan akal- tentang segala hal yang telah menjadi kebijakan Allah
mutlak diharamkan, yang hal itu berarti secara mutlak jalan buat argumen
akal tertutup dan hanya argumen tekstual agama saja yang dianggap.
Sebelum kita menjawab problem diatas, terlebih dahulu harus kita
ketahui bahwa apakah gerangan tujuan yang akan dicapai melalui
tanya-jawab berkaitan dengan berbagai hal-hal agama? Harus disadari
bahwa relasi antara pertanyaan dan jawaban sebagaimana relasi antara
positif dan negatif pada aliran listrik guna memunculkan suatu tenaga.
Jika terdapat aliran negatif sedang aliran positif tidak didapat atau
tidak adanya keseimbangan antar keduanya maka lampu tidak akan nyala
sesuai dengan yang dinginkan. Begitu pula dengan pertanyaan jika jawaban
yang ada tidak didapat atau tidak memuaskan maka cahaya (penerangan)
pada pikiran masyarakat tidak akan pernah kita dapati.
Dalam
ayat al-Qur'an disebutkan:"Semua yang ada dilangit dan dibumi selalu
meminta (/bertanya) kepada-Nya, Setiap waktu Dia dalam kesibukan" (Qs
ar-Rahman:29) Ayat ini menunjukkan bahwa kelangsungan pancaran Ilahi
(divine emanation) pada sisi penciptaan manusia dan bagian alam materi
lainnya tersimpan dalam bentuk pertanyaan dan jawaban. Kita ketahui
bahwa segala sesuatu selain Allah memerlukan selainnya sedang hanya Dzat
Allah saja Yang Maha Kaya, maka segala makhluk ciptaan Allah selalu
menanyakan (baca:meminta) segala kebutuhannya sedang Allah selalu
menjawab pertanyaan itu dengan pengkabulan. Tentu pertanyan yang
bertujuan untuk menguji bukan bermuatan mencari keilmuan oleh karenanya
ia dikategorikan ibarat aliran negatif yang tidak memiliki aliran
positif, hukum yang sama akan kita katakan pada pertanyaan yang tidak
terjawab atau jawabannya tidak memuaskan.
Berbeda halnya dengan
pertanyaan yang bertujuan untuk mencari keilmuan -yang didasari atas
ketidaktahuan- maka disaat itu dengan merujuk pada ahlinya kita pasti
akan mendapat jawaban yang memuaskan dan masuk kategori adanya relasi
antara positif dan negatif sehingga menghasilkan kekuatan menerangi pada
lampu. Allah berfirman:"maka bertanyalah kepada orang yang memiliki
pengetahuan (ahlu-zikr) jika kamu tidak mengetahui" (Qs an-Nahl:43)
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa tanya-jawab memiliki beberapa bagian:
1- Pertanyaan dengan bentuk permohonan yang ditujukan kepada Allah atau
para "manusia Ilahi" dengan izin Allah. Permohonan kepada Allah ini
yang juga masuk kategori jenis pertanyaan, bukan hanya tidak dilarang
akan tetapi justru ditekankan dalam ajaran agama. Sebagaimana yang
tercantum dalam ayat:"dan memohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-
Nya" (Qs an-Nisaa':32)
2- Pertanyaan untuk meningkatkan
keilmuan, dimana al-Qur'anpun dengan jelas sebagaimana yang telah
disinggung (dalam ayat diatas an-Nahl:43) bahwa: "maka bertanyalah
kepada orang yang memiliki pengetahuan (ahlu-zikr) jika kamu tidak
mengetahui". ayat ini jelas sekali penekanannya akan perihal tersebut.
3- Pertanyaan yang dilontarkan dalam rangka protes kepada Allah, tentu
pertanyaan jenis ini dilarang oleh agama sebagaimana yang tercantum
dalam ayat:23 surat al-Anbiyaa' dimana Allah berfirman: "Dia tidak
ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai
" karena bukan hanya manusia biasa yang akan ditanya oleh Allah
diakhirat kelak namun para nabi dan rasulpun akan ditanya oleh Dzat yang
Penguasa alam semesta: "Maka sesungguhnya kami akan menanyai umat-umat
yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan
menanyai (pula) rasul-rasul (Kami)" (Qs al-A'raaf:6).
Dari sini
jelaslah bagi kita manakah pertanyaan yang diperbolehkan oleh agama dan
manakah pertanyaan yang dilarang oleh agama. Tentu pelarangan secara
mutlak segala jenis pertanyaan berkaitan dengan hal-hal yang tersembunyi
dibalik ajaran agama akan mengakibatkan ke-jumud- an dan yang berakhir
pada ketidak berkembangnya keilmuan umat akan agamanya sehingga agama
hanya sekedar gudang ajaran yang bersifat dogmatis belaka. Jika hal itu
terjadi sementara fitrah selalu ada gejolak untuk mempertanyakan sesuatu
yang masih belum ia pahami maka agama beserta doktin-doktrinnya akan
sekedar menjadi hiasan pada KTP belaka dan menjadi sekedar warisan nenek
moyang, dan berakhir telah keluarnya agama dari tujuan aslinya yaitu
menghantarkan kepada kemuliaan dunia-akhirat yang itu semua mustahil
terwujud tanpa didukung dengan keilmuan. Selain itu peningkatan kualitas
ibadah -yang ditekankan oleh Allah- tidak akan bisa terwujud,
dikarenakan kualitas ibadah didasari keilmuan akan makna ibadah itu
sendiri juga dipengaruhi oleh niat yang baik dimana niat yang baik harus
dilandasi pula dengan pengetahuan, oleh karenanya jika pintu
tanya-jawab ditutup maka ilmu yang masih belum didapat tidak akan pernah
ia dapati sehingga kualitas ibadah yang baikpun tidak akan pernah bisa
didapat.
Rasionalitas baik-buruk: Pembahasan
tentang rasionalitas syariat Islam bertumpu pada satu pembahasan prinsip
yaitu tentang penerimaan konsep rasionalitas baik-buruk. Sebagaimana
penerimaan argumen rasio terjadi perbedaan pendapat antar kelompok kaum
muslimin, maka fungsi rasiopun juga tidak luput dari perbedaan pendapat
dikalangan mereka karena hal tersebut adalah cabang dari pemikiran
tentang penerimaan argumen rasio. Dalam pembahasan ini kita akan
singgung sedikit[7] tentang rasionalitas baik-buruk dengan beranjak dari
beberapa pertanyaan yang menjadi pacuan dari pembahasan ini:
1- apakah baik-buruk merupakan suatu yang substansial bagi segala sesuatu?
2- apabila telah ditetapkan bahwa baik-buruk merupakan substansial bagi
segala sesuatu, maka apakah bisa didapat cara untuk mengetahui dan
menentukannya?
3- jika ternyata bisa ditetapkan bahwa
baik-buruk mampu ditentukan oleh akal, maka apakah baik- buruk yang
dihasilkan oleh akal tadi hanya mengakibatkan ganjaran duniawi saja atau
mencakup balasan ukhrawi juga?
Sebelum kita masuk pembahasan
ini, perlu dijelaskan tentang baik-buruk yang kita akan bahas dan yang
menjadi selisih paham antara beberapa kelompok muslimin. Ada tiga
kemungkinan dari makna baik-buruk disini:
1- Baik adalah
sesuatu yang diidentikkan dengan segala yang sesuai dengan kehendak
manusia, buruk adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendaknya.
Pemandangan indah dikatakan baik karena sesuai dengan kehendak manusia,
sebaliknya pemandangan jelek yang dianggap buruk. Dalam makna baik-buruk
disini tidak terjadi perbedaan antar kelompok kaum muslimin.
2- Baik adalah sesuatu yang identik dengan kesempurnaan, buruk adalah
sesuatu yang identik dengan kekurangan. Kecerdasan disebut baik karena
masuk kategori sesuatu yang sempurna sedang kebodohan disebut jelek
karena masuk kategori sesuatu yang kurang. Dalam makna baik- buruk
seperti inipun tidak ada perbedaan pendapat antar kelompok kaum
muslimin.
3- Baik adalah segala perbuatan yang sesuai dengan
tinjauan akal, buruk adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan tinjauan
akal. Dengan kata lain apakah akal mampu menentukan baik-buruk perbuatan
manusia dalam arti layak atau tidaknya perbuatan manusia? Disini
terjadi perbedaan pendapat antara beberapa kelompok dalam Islam.
Secara ringkas bisa kita sebutkan tentang sumber perbedaan pendapat
antar theolog muslim. Para theolog asya'irah[8]meyakini bahwa akal/rasio
manusia tidak memiliki kapasitas dalam menentukannya. Hanya Allah yang
memiliki otoritas dalam menentukan hal tersebut. Dengan penjelasan bahwa
jika Allah menyuruh manusia untuk melakukan suatu perbuatan maka hal
itu menunjukkan bahwa hal tersebut adalah baik, dan sebaliknya jika
Allah melarang suatu perbuatan maka berarti hal tersebut adalah buruk.
Kelompok ini termasuk kelompok yang mengkategorikan akal sebagai salah
satu bagian dari susunan teks aturan agama (sunnah) yang ada karena
mereka menganggap bahwa akal berfungsi sebagai penyingkap perintah dan
larangan yang dilakukan Allah bukan sebagai penemu. Dikarenakan dengan
mengingkari rasionalitas baik-buruk berkonsekwensi menutup jalan untuk
menjelaskan hukum, etika dan perundang- undangan, oleh karenanya para
Asya'irah tidak menentangnya secara mutlak tapi pada makna pertama dan
kedua dari makna baik-buruk -yang telah disebutkan diatas- mereka
menerimanya walaupun pada makna ketiga mereka mengingkarinya.
Para pendukung rasionalitas baik-buruk -mayoritas Syi'ah imamiah-
meyakini bahwa dengan mengingkari rasionalitas baik-buruk -walaupun
secara terbatas- berarti menghilangkan fungsi agama sebagai penjelas hal
yang berkenaan dengan keilmuan, pembentukan program kerja,
leadership,dsb sehingga agama sebatas sarana untuk menjelaskan hal-hal
yang bersifat normatif saja. Para pendukung pemikiran ini meyakini bahwa
Allah selain telah menurunkan penerang yang bisa diindera langsung oleh
manusia berupa pengutusan para "manusia Ilahi" dan wahyu (baca:kitab
suci), Ia juga menganugerahkan kepada manusia yang fitrahnya masih
berfungsi dengan baik sebuah penerang lain yang tersimpan dilubuk
manusia yang bernama akal. Jika manusia tidak memanfaatkannya maka ia
akan tertutup debu dan yang berakhir bahwa ia tidak akan tersinari
dengan cahaya tersebut: "maka Allah mengilhamkan pada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketaqwaan, sesungguhnya beruntunglah orang mensucikan jiwa
itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya" (Qs as-Syams:
9-10-11). Akal/rasio argumentatif inilah yang mampu menentukan
baik-buruk suatu perbuatan.
Kita perhatikan pada realita yang ada bahwa secara global perbuatan manusia bisa dibagi menjadi tiga bagian:
1- Perbuatan yang menjadi penyebab utama (prima causa) dari baik-buruk,
yang secara substansial ia menjadi penyebab predikat baik-buruk suatu
perbuatan, sebagaimana adil merupakan hal baik dan zalim merupakan hal
buruk.
2- Perbuatan yang jika disesuaikan situasi dan
kondisinya memiliki muatan baik atau buruk sedang akal juga
menghukuminya sesuai dengan situasi dan kondisi tersebut dari sisi baik
atau buruk pula. Jujur tidak selamanya baik sebagaimana bohong tidak
selamanya buruk, semua itu disesuaikan dengan maslahat situasi dan
kondisi yang ada. Kita bisa katakan bahwa jujur adalah baik, tapi
kebaikan disini bukan dilihat dari sisi bahwa jujur adalah penyebab
utama (prima causa) kebaikan tersebut, begitu pula dengan bohong.
3- Perbuatan biasa yang tidak ada hubungan dengan situsi dan kondisi
-sebagaimana pada bagian kedua- yang biasa dalam syariat disebut dengan
mubah seperti duduk atau berdiri. Hukum hal semacam ini tidak
berhubungan dengan situasi dan kondisi -dari sisi perubahannya- kecuali
jika ia menjadi obyek sesuatu yang lain. seperti duduk adalah suatu hal
yang boleh saja, kecuali jika kita dipaksa untuk duduk dan jika tidak
akan dibunuh, maka hal itu telah masuk pembahasan lain.
Mayoritas pengikut Syi'ah imamiah meyakini bahwa ketiga bentuk pekerjaan
diatas akal/rasio manusia secara independen dapat menentukan hukum
sendiri -dari sisi baik-buruk- walau tanpa bantuan wahyu dari Allah.
Mereka tidak mengatakan bahwa akal sebagai bagian dari sederetan teks
agama (sunnah)[9] -sebagaimana yang diyakini oleh mayoritas pengikut
Asya'irah- tapi akal sejajar dengan teks agama, kalaupun ada teks agama
yang sesuai dengan fatwa akal maka hal itu sebagai penguat dan pendukung
saja.
Para pengikut Asya'irah dalam mengkritisi pendapat
Syi'ah mengatakan bahwa kalaupun rasio manusia dapat melakukan hal-hal
yang telah disebutkan diatas tadi, sementara kita tahu bahwa rasio
manusia dalam menilai banyak hal terjadi perbedaan, hal ini menjadi
bukti bahwa secara substansial rasio manusia tidak bisa menjadi tolok
ukur baik-buruk. Dalam menanggapi problem tersebut bisa dikatakan bahwa
kita dapati dalam banyak hal yang berkaitan dengan berbagai masalah
kontemplatif (nazari) terjadi banyak pertentangan baik itu yang
berkaitan dengan ketuhanan, kenabian ataupun hari akhir, apalagi problem
ilmiah seperti pembahasan kita kali ini. Hanya problem yang
dikembalikan pada necessary preponderances (badihiaat-awwaliyaat) saja
yang dijamin kebenarannya. Jadi kalaupun apa yang diungkapkan oleh
sebagian kaum Asy'ari tadi benar maka hal itu hanyalah tertuju pada
problem-problem necessary preponderances saja sedang yang kita maksudkan
disini adalah yang necessary (badihiy), oleh karena itu rasio tidak
hanya bisa mendeteksi hal-hal yang berkaitan dengan segala permasalahan
yang jelas dari hikmah teoritis saja akan tetapi juga mencakup hikmah
praktis.
Kelompok yang meyakini rasionalitas baik-buruk
mengatakan bahwa ada beberapa konsekwensi logis yang harus kita terima
jika kita menolak pendapat tentang rasionalitas baik-buruk tersebut,
antara lain:
1- Penentangan atas naluri kemanusiaan; dengan
merujuk kepada naluri kemanusian kita akan dapati bahwa kitapun dapat
menghukumi antara baik-buruk atas beberapa perbuatan. Banyak perbuatan
seperti kejelekan khianat atau zalim manusia dengan merujuk pada naluri
kemanusiaannya mampu menghukumi bahwa hal seperti itu jelek, sebagaimana
menghukumi baik atas belaku adil dan berbuat baik. Semua itu bisa
dihukumi oleh manusia -baik kaum ateis sekalipun- tanpa bantuan syariat
atau teks agama.
2- Pengingkaran atas syariat; jika baik-buruk
suatu perbuatan hanya bisa diketahui melalui syariat niscaya kita tidak
akan mampu menghukumi baik-buruk segala perbuatan. Dengan kata lain jika
manusia tidak bisa menghukumi baik-buruk dengan rasionya maka segala
baik-buruk - walau dengan hukum syariat- akan ternafikan. Bagaimana
mungkin sewaktu Rasul memberitahukan tentang kejelekan berbohong dan
kebaikan berlaku jujur, sedang dari sisi lain - jika rasio kita tidak
mengenal baik-buruk- lantas kita memberikan kemungkinan bahwa beliau -
nauzubillah min zalik- sewaktu menjelaskan hal tersebutpun ada
kemungkinan berbohong pula. Jika itu terjadi -munculnya
kemungkinan-kemungkinan kebohongan Rasul- maka kitapun tidak akan bisa
menerima baik-buruk hasil dari tuntunan syariat, karena selalu munculnya
keraguan pada syariat.
3- Lemah dalam menetapkan masalah
kenabian; sewaktu rasio manusia mengetahui bahwa berbohong adalah buruk
dan harus dijauhkan dari Dzat Suci Ilahi maka dari situ kitapun akan
bisa menghukumi bahwa Allah (swt) mustahil memberikan mukjizat -yang
sebagai bukti kenabian- kepada nabi palsu (baca:pembohong). Rasio
manusia mampu menghukumi bahwa kesaksian nabi sejati utusan Allah bisa
dilacak kebenarannya melalui kemampuan mengeluarkan mukjizat, jika rasio
manusia tidak mampu mendeteksi baik-buruk secara rasional niscaya
muncullah kemungkinan-kemungkinan seperti pemberian mukjizat oleh Allah
kepada pembohong…dst.
Inilah sekilas tentang permasalahan
rasionalitas baik-buruk yang menjadi tumpuan utama pembahasan
rasionalitas syariat. Sekali lagi yang perlu diingat dalam pembahasan
ini adalah bahwa teori tentang rasionalitas syariat hanya bisa dicerna
oleh individu yang menerima teori rasionalitas baik-buruk saja. Dengan
kata lain teori rasionalitas baik-buruk adalah basic utama pembahasan
tentang rasionalitas syariat. Tanpa menerima teori rasionalitas
baik-buruk, maka teori rasionalitas syariat akan sulit untuk dicerna.
Agama dan Rasio:
Sebelum kita menginjak pembahasan utama, harus kita perjelas terlebih
dahulu arti rasio (akal). Ada banyak pengertian dari istilah rasio ini,
akan tetapi secara global istilah tersebut dalam diskursus agama bisa
teringkas dalam dua pengertian:
a- Rasio teoritis (aql nazari);
yaitu rasio yang hanya berhubungan dengan hal-hal teoritis yang
berakhir pada justifikasi antara ada atau tiada-nya sesuatu. Dasar utama
rasio ini bertumpu pada salah satu dari tiga hal: indera (hiss), emosi
(wahm), imajinasi (khayal). Dimana hasil dari rasio teoritis berhubungan
dengan realitas objektif (takwini) seperti tentang ketuhanan, kenabian,
adanya Hari Aakhir…dst.
b- Rasio praktis (aql amali); yaitu
rasio yang hanya berhubungan dengan hal-hal praktis yang berakhir pada
justifikasi antara hal-hal harus dilakukan dan harus ditinggalkan-nya
suatu tindakan. Dasar utama rasio ini bertumpu pada hal-hal sepeti:
Gaira atau semangat (syahwah) dan emosi (ghadhab). Kedua hal inilah yang
lantas mampu menghantarkan manusia kepada berbagai macam tingkatan
kehendak (iradah) dan tekad. Sedangkan hasil dari rasio praktis
berhubungan dengan realitas konvensional (i'tibari)[10] seperti: hak
kebebasan, kepemilikan, perizinan…dst.
Lalu, bagaimana relasi
di antara kedua jenis rasio itu? Jelas, tidak ada konsekuensi di antara
kedua jenis rasio di atas. Tentu terdapat kemungkinan terhentinya rasio
pada tingkatan tertentu, dimana rasio teoritis saja yang menjadi alasan
suatu pekerjaan dan tanpa dibarengi dengan rasio praktis, hal itu
mengakibatkan terbatasnya pengetahuan seseorang pada hal-hal yang
bersifat inderawi atau insting saja. Sebagaimana adanya kemungkinan
bahwa seseorang hanya mengandalkan emosi saja -yang menjadi obyek rasio
praktis- dalam menentukan tujuan yang harus ia tempuh tanpa mengindahkan
rasio teoritis. Dua kemungkinan diatas tadi walaupun bisa dikategorikan
sebagai usaha rasionalisasi pengetahuan, akan tetapi kategori tersebut
akan menjadi sempurna jika rasio teoritis menjadi pembimbing dalam
menentukan sepak terjang indera, insting dan imajinasi. Rasio teoritis
yang berfungsi sebagai detektor hal-hal universal dan rasio praktis
sebagai yang mengarahkan emosi jika terjadi kerja sama yang baik antara
kedua jenis rasio[11] tersebut, maka akan terwujudlah segala tujuan yang
bersifat rasional secara sempurna.
Mungkinkah antara rasio dan
agama dipisahkan? Kita bisa perhatikan hubungan antara satu dengan yang
lainnya dalam pembahasan di bawah ini yang menunjukkan bahwa hubungan
di antara keduanya adalah sejajar atau komplementer. Al-Quran yang
sebagai dasar hukum agama sangat menekankan adanya relasi antara agama
dan rasio. Dalam ayat 12 surat at-Thalaq - sekedar sebagai contoh- Allah
SWT) menjelaskan akan penekanan-Nya pada rasio teoritis. Allah
berfirman:"Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula
bumi. Perintah Allah berlaku pula kepadanya, agar kamu mengetahui
bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu"
Dalam ayat di
atas, Allah menyebutkan bahwa tujuan penciptaan alam semesta adalah
untuk meningkatkan keilmuan manusia. Sebagaimana yang telah disinggung,
maka kita tahu bahwa usaha peningkatan kualitas maupun kuantitas
keilmuan berada pada tanggungjawab rasio teoritis. Manusia sudah bisa
dikatakan telah berhasil merealisasikan tujuan penciptaannya di saat ia
telah mampu untuk memanfaatkan secara optimal potensi berpikir yang
telah ia miliki dengan baik. Dengan berbekal rasio teoritis tadi,
manusia akan dapat mampu untuk menyingkap banyak hal yang selama ini
samar baginya.
Dalam ayat:56 dari surat az-Dzariyat Allah SWT
berfirman:"dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk
beribadah kepada-Ku". ayat ini menjelaskan tentang pentingnya rasio
praktis -yang terwujud dalam perkara-perkara ibadah- sehingga disebut
sebagai tujuan penciptaan golongan jin dan manusia. Segala bentuk ibadah
tanpa didukung oleh rasio praktis tidak akan memenuhi standar kualitas
yang diinginkan. Dengan kata lain, bahwa tanpa rasio praktis niscaya
manusia tidak akan mampu menentukan tujuan yang benar dalam
beribadah[12], dimana jika hal itu terjadi maka segala macam ibadah akan
kehilangan fungsi utamanya yang transendental, yaitu penghambaan
terhadap Allah.
Kita tidak bisa mengatakan bahwa jika tujuan
penciptaan terpenuhi dalam relasi rasio praktis dan rasio teoritis, maka
akan terjadi sesuatu yang paradoks. Dikarenakan antara kedua jenis
rasio tersebut masing-masing memiliki peran positif dalam
batasan-batasan tertentu. maka itu, tidak akan mungkin terjadi paradoks,
sehingga jika salah satu telah ditetapkan maka yang lain tidak akan
mungkin menafikannya.
Apakah rasio perlu terhadap agama
sebagaimana agama perlu terhadap rasio? Sebagaimana agama -khususnya
Islam- melihat rasio begitu sakral[13] sehingga diangkat sebagai salah
satu sarana untuk mencapai hakikat kebenaran. Akan tetapi disisi lain,
agama pun tidak melepaskan begitu saja rasio tanpa diberi tali kekang
sehingga rasio bisa dikendalikan untuk meniti jalan yang benar dan mampu
menghantarkan manusia pada penyingkapan hakikat yang selama ini samar.
Islam dalam penyakralan rasio sampai pada batas bahwa rasio mampu untuk
menyingkap beberapa hukum syariat dan mengategorikan rasio sebagai salah
satu dalil paten (dalil qath'i) syariat[14].
Untuk lebih
jelasnya pembahasan di atas, ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi,
secara ringkas kita bisa sebutkan disini bahwa:
1- Kita -kaum muslimin- yakin bahwa tolok ukur syariat agama adalah hukum Allah SWT.
2- Sumber utama hukum Allah tiada lain adalah kehendak Allah
(iradatullah) sebagai Dzat yang memiliki kesempurnaan dan kekusaan yang
absolut.
3- Hanya melalui dalil-dalil syariat kita bisa menggali dasar hukum syariat Ilahi yang sesuai dengan kehendak-Nya.
4- Dalil syar'i mencakup teks agama (nash) dan rasio[15], dimana teks agama mencakup ayat dan riwayat para maksum[16].
Konklusi dari empat perkara -yang sekaligus sebagai premis - di atas
adalah bahwa sebagaimana teks agama maka rasio pun memiliki kelayakan
sebagai argumen syariat, yakni bahwa rasio pun mampu menyingkap sebagian
hukum Allah SWT.
Ada satu hal yang perlu dicatat dalam
memahami istilah yang sering kita pakai di sini ialah anggapan bahwa
antara agama dan akal (rasio) dua hal paradoksikal merupakan suatu
kesalahan besar, karena agama merupakan kumpulan dari pengetahuan
manusia baik yang bersumber dari teks agama maupun dari rasio. Dari situ
maka, agama bukanlah lawan dari rasio sebagaimana yang dipahami
sebagian orang. Dengan kata lain, kebenaran agama harus ditetapkan
melalui argumen tekstual agama itu sendiri dan argumen rasional secara
bersamaan. Sebagaimana banyak ayat[17] yang menjelaskan akan perlunya
menggunakan akal dalam kehidupan kita, maka perintah tersebut
menunjukkan bahwa akal merupakan salah satu referensi Ilahi
(hujjatullah).
Perlu ditambahkan bahwa kita mengetahui
-berdasarkan pada argumen ajaran agama dan rasio- hakikat manusia
bukanlah materi kasar yang terdiri dari panjang, tinggi dan lebar ini,
akan tetapi hakekat manusia dinilai dari sesuatu yang berada dibalik
badan materi kita. Hakekat tersebut akan bisa dikatakan sempurna jika
dibekali dengan pengetahuan yang baik dan benar lantas dibarengi dengan
usaha keras dalam mengaplikasikan apa yang sudah dipahami. Pengetahuan
yang baik dan benar itu hanya bisa didapat melalui pertama: akal dan
kedua: wahyu. Bahkan, pengakuan akan wahyu pun didasari oleh penerimaan
terhadap akal. Akal harus berkhidmat kepada manusia dalam
menghantarkannya menuju kesempurnaan manusia.
Imam Ja'far
as-Shodiq AS pernah mendefinisikan akal -praktis- dengan ungkapan:
"sesuatu yang dengannya Allah disembah, dan dengannya yang bisa
menghantarkan manusia pada sorga" (Ushul Kafi, jild1:11). hal diatas
bisa kita korelasikan dengan ayat yang menjelaskan tentang makhluk yang
zahirnya manusia, akan tetapi karena tidak menggunakan akalnya maka ia
terjerumus ke lembah hewani dan menjadi lebih hina dari binantang. Ayat
itu berbunyi: "Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi" (Qs al-A'raaf:179) itu sebagai bukti bahwa betapa besar
peran akal dalam menghantarkan manusia agar sampai pada kesempurnaan;
kesempurnaan esensial manusia sehingga ia tidak terjerumus kelembah
hewani.
Dalam logika memahami Al-Quran, kita diajari bahwa
sebelum kita masuk dalam pembahasan cara memahaman Al-Quran, terlebih
dahulu kita harus mengerti mukadimah ilmu Al-Quran yang tercakup dalam
ulumul-Qur'an[18]. Begitu pula halnya yang berkenaan dengan argumen-
argumen rasional, sebelum kita mengetahui berbagai kaidah dan konsep
rasional, kita harus ketahui terlebih dahulu tentang Rasiologi yang
membahas tentang pengenalan tentang ilmu-ilmu rasional. Dalam ilmu ini,
kita akan dikenalkan terlebih dahulu jawaban-jawaban menyangkut
persoalan seperti: Apakah yang dimaksud dengan rasio (akal)? Adakah
rasio suatu yang materi atau non-materi? Sampai dimana kita bisa
mengenal akal?…dst. kalau sudah kita lalui pembahasan tersebut, maka
kita akan masuk pembahasan tentang kaidah dan konsep-konsep rasional
seperti: Apakah mungkin bertemunya dua hal yang kontradeksi? Apakah
pemberian tanggungjawab yang berat pada individu lemah merupakan
kebaikan (taklif bima la yuthoq)? Apakah kezaliman secara esensial
merupakan keburukan?…dst.
Jka kita telah memahami tentang tiga
pembahasan yang berkaitan dengan akal sebagaimana yang tercantum dalam
topik-topik dibawah ini:
1- Pengenalan akan rasio.
2- Perbedaan antara kepastian logis (yakin) dan kepastian psikologis (emosional)[19].
3- Kelebihan rasio yang sebagai pelaku (sumber) hukum diatas rasio sebagai obyek yang memahami hukum.
Maka akan nampak bagi kita tentang adakah pernyataan akal sesuai dengan
pernyataan agama, atau dengan kata lain adakan argumen akal sesuai
dengan argumen teks agama? Mari kita perhatikan contoh ini; berkenaan
dengan kemerdekaan dalam ayat Al-Quran disebutkan:
"…Dan Allah
sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman …" (Qs an-Nisaa':141) dari sini
kita ketahui betapa teks agama sangat menekankan akan kemerdekaan bangsa
-yang berarti berhubungan langsung dengan dengan kebijakan politik,
budaya, ekonomi dan hankam sebuah negara- sedang disisi lain akalpun
menghukumi tentang "kebaikan sebuah kemerdekaan" hal ini semua
menunjukkan bahwa adanya kesesuaian antara argumen akal dan teks agama.
Akal dan teks agama ibarat dua sayap bagi agama. Keseimbangan agama
amat bergantung pada keberadaan dua sayap tersebut, jika salah satu
lumpuh maka agama tidak akan bisa memiliki keseimbangan dengan baik atau
bahkan akan membahayakan agama itu sendiri. Dengan memperhatikan
argumen teks agama, maka argumen akal pun akan dapat memberi
keseimbangan pada agama itu sendiri, sehingga sebagaimana teks agama
bisa menjadi dasar hukum agama maka akal pun bisa pula dikategorikan
sebagai dasar hukum agama.
Sampai dimana akal bisa menjadi
dasar hukum agama? Untuk menjawab pertanyaan tersebut marilah kita lihat
beberapa permasalahan dibawah ini yang lantas kita hubungkan dengan
argumentasi rasional:
1- Dalam pembahasan ushuluddin kita harus
mendahulukan argumen rasional dari teks agama terkhusus dalam masalah
penetapan keberadaan Allah yang sebagai dasar dari pembahasan tauhid.
Karena bagaimana mungkin kita akan menggunakan argumen teks agama dalam
keberadaan Tuhan sedang keberadaan Dzat yang menurunkan teks agama masih
belum kita tetapkan? Begitu pula tentang perlunya sebuah agama. Akal
akan mengatakan bahwa manusia perlu bimbingan agama. Rasio dalam bagian
hikmah teoritis akan mengatakan bahwa komunitas manusia perlu bimbingan
wahyu, dimana wahyu tersebut diturunkan hanya kepada "manusia Ilahi"
atau sering diistilahkan dengan manusia sempurna (the perfect man).
Rasio manusia dalam pembahasan hikmah teoritis juga mengatakan bahwa
dengan menentang ajaran manusia sempurna tadi berarti ia telah
menghalangi perkembangan dari proses kesempurnaan manusia itu sendiri.
Dengan kata lain akal manusia dalam pembahasan hikmah teoritis
menekankan akan perlunya pengutusan seorang nabi, sedang pada hikmah
praktis menekankan akan perlunya ketaatan pada ajaran para nabi yang
berarti melancarkan proses kesempurnaan manusia.
2- Dalam
beberapa pembahasan yang berkaitan denga ajaran agama sering kita dapati
bahwa adanya relasi antara argumen akal dan teks agama -sebagaimana
contoh yang telah kita singgung diatas- dimana satu dengan yang lain
saling menguatkan.
3- Danyak pembahasan dalam disiplin ilmu
ushul-fiqh kita dapati bahwa argumen akal terletak pada barisan belakang
dari argumen teks agama. Seorang mujtahid (baca:mufti) dalam menggali
dasar hukum syariat jika terbentur pada suatu yang disebut sebagai "ma
la nassha fiihi" (yang tidak didapat teks agama yang menjelaskannya)
maka tugas orang tersebut adalah ia harus melarikannya pada argumen
rasional yang mencakup baro'at (exemption), ihtiyath (tindakan
hati-hati), takhyiir (pilihan) atau nafyul-haraj wa dharar (penafian
segala kesulitan dan bahaya).[20]
Dari sini telah kita ketahui
kedudukan rasio dalam ajaran Islam dari masing-masing bagian ajaran
agama sehingga tidak ada percampur-adukan antara posisi rasio dan teks
agama. Dalam ilmu logika telah kita ketahui bahwa dalam setiap
pembuktian (baca:berargumen) pasti diperlukan premis-premis yang jelas
sehingga menghasilkan suatu konklusi yang jelas pula yang sesuai dengan
premis tersebut. Hubungan antara premis dan konklusi dalam sebuah
sillogy adalah tugas akal, walau premis-premisnya tersusun dari
argumen-argumen tekstual agama sekalipun.Oleh karenanya dalam contoh
dari hukum kewajiban sholat dan kewajiban wudhu' sebagai mukadimah bagi
sholat maka akal menghukumi bahwa "jika sesuatu diwajibkan maka
pelaksanaan mukaddimahnya -karena tanpa mukaddimah obyek tidak akan
terwujud- wajib pula hukumnya". Maka meninggalkan wudhu bagi seseorang
menjadi haram disaat shalat diwajibkan atas diri seseorang tersebut.
Adakah semua ajaran agama memiliki potensi untuk dirasionalisasikan?
Tentu sebagaimana yang telah singgung diatas -sebagai jawaban dari
soalan tersebut- bisa kita tambahkan bahwa yang mampu untuk dideteksi
oleh argumentasi akal adalah sesuatu yang memiliki eksistensi saja,
sedang hal-hal yang non-eksistensial tidak memiliki potensi untuk
diargumenkan. Begitu pula hal-hal yang hanya didapat pada individu
tertentu -seperti kecenderungan yang berdasarkan pada selera- pun tidak
dapat diargumen-rasionalkan karena sifatnya particular dan berubah-rubah
(baca:berbeda-beda) pada masing-masing individu.
Dikarenakan
segala ajaran agama memiliki muatan eksistensial -baik dialam materi
maupun methaphysic- dan bukan berupa hasil kecenderungan selera manusia
maka hal itu memberikan konsekuensi bahwa ajaran agama bisa
diargumenkan. Sebagai bukti dari statemen diatas adalah bahwa para nabi
dan rasul (as) mereka dalam menyebarkan ajaran Ilahi dimulai dengan
mengajarkan ajaran tersebut kepada umat manusia dan dilanjutkan dengan
pemberian argumen kepada setiap individu yang mempertanyakan kebenaran
ajaran tersebut. Pemberian argumen merupakan sarana bagi para nabi dan
rasul dalam menjaga kebenaran ajaran Ilahi secara ilmiah dihadapan para
penanya. Pembahasan lebih detail akan kita perinci pada pembahasan
selanjutnya.
Relasi antara Fiqih dan Sains: Kita
ketahui bahwa fiqih dan sains[21] adalah dua bentuk pengetahuan yang
berbeda, namun disini kita akan teliti relasi kedua macam pengetahuan
tersebut. Adakah fiqih mampu bersanding dengan sains? Bagaimana hubungan
diantara keduanya? Sebagian beranggapan bahwa fiqih mengikuti ilmu
sainstis, dengan perincian bahwa karena "fiqih bertugas sebagai penjelas
hukum suatu obyek" sedangkan "penentuan obyek hukum dilakukan oleh
sains" maka dikarenakan hukum mengikuti obyeknya niscaya sewaktu obyek
hukum tiada maka dengan otomatis hukumpun akan tiada karena eksisrensi
obyek hukum harus terlebih dahulu jika dibanding dengan hukum itu
sendiri. Konklusi dari mayor dan minor diatas adalah bahwa perkembangan
hukum fiqih mengikuti sains yang konsekuensinya adalah bahwa seorang
mufti (faqih) harus mengikuti ilmuwan dalam mencari obyek hukum, yang
berarti bahwa ilmuwanlah sebagai tonggak utama dalam menentukan banyak
hal dari kehidupan manusia.
Dari argumentasi diatas jelas
sekali adanya fallacy dalam penjelasan premis akhir dimana kita bisa
perhatikan tentang bagaimana mereka menjelaskan bahwa obyek hukum seakan
menjadi efficient cause (illah fa'iliah) suatu hukum sedang hukum
sebagai akibat dari obyek. Sewaktu kita menerima ungkapan tersebut maka
konsekwnsinya adalah bahwa kita telah menggeser kedudukan Allah SWT)[22]
sebagai penentu (baca:causa) hukum. Oleh karena itu jika kita katakan
bahwa eksistensi obyek hukum sebagai sebab (causa) munculnya hukum maka
causa disini adalah preparing cause (illah qobiliah)[23]. Dengan kata
lain bahwa hukum bukanlah akibat (efect) dari suatu obyek hukum, akan
tetapi ia adalah efect dari kehendak-Ilahi yang menjadi causa prima
hukum syariat, sedang obyek hukum tidak lebih hanya sekedar sebagai
sarana saja. Oleh karena hanya kehendak-Ilahi yang menjadi penyebab
utama hukum syariat, dan dikarenakan fiqih berfungsi sebagai penjelas
hukum maka ia harus mengikuti kehendak-Ilahi pula.
Pertentangan antara teks agama dan rasio:
Sebelum kita masuk pada pembahasan ini, terlebih dahulu kita ingatkan
bahwa sudah menjadi keharusan dalam pembahasan ini untuk memisahkan
antara rasio dan pemakai rasio (subyek). Dengan kata lain kita harus
bedakan antara deteksi rasio dan deteksi pemakai rasio. Deteksi rasio
bisa dipastikan kebenarannya sedang deteksi pemakai rasio belum tentu
kebenarannya karena tergantung sampai dimana ia mampu memegang teguh
kaidah-kaidah argumentasi rasional yang tertuang dalam ilmu logika.
Sebagian orang beranggapan bahwa agama bukan hanya tidak menerima
rasio, bahkan mereka beranggapan bahwa agama dan rasio dua hal yang
saling bertentangan dan tidak mungkin bisa ditemukan (paradoksikal).
Mereka yang mengatakan hal tersebut jelas sekali menunjukkan bahwa
mereka tidak mengetahui bahwa rasio yang mampu mendeteksi ajaran agama
bukanlah sembarang rasio. Karena kita tahu bahwa rasio walau bisa
mendeteksi beberapa persoalan agama namun iapun dalam beberapa bagian
memiliki batasan-batasan yang tidak bisa dilanggar dan itupun dipahami
pula oleh rasio manusia sendiri. Sehingga dari pemahaman semacam itulah
akhirnya rasiopun menghukumi bahwa karena dirinya terbatas maka manusia
memerlukan pembimbing lain untuk sampai pada tujuan kesempurnaan
manusia.
Dikarenakan manusia ibarat musafir yang akan menuju
kepada kehidupan abadi maka pembimbing yang diperlukan manusia agar
dapat menghantarkannya kesana adalah yang memiliki kemampuan diatas
rasio. Akal sendiri mengatakan bahwa manusia harus taat kepada
pembimbing tersebut yang mampu menghantarkannya pada tujuan aslinya
yaitu kehidupan abadi. Segala masalah yang berhubungan dengan keabadian
merupakan masalah particular yang diluar kapasitas akal untuk
memahaminya. Hukum-hukum rasional hanya berhubungan dengan hal-hak yang
universal -yang terdapat ketetapan- saja sedang hal-hal particular -yang
selalu berubah- diluar batas kemampuannya. Oleh karenanya akal
mengatakan bahwa pada hal-hal particular inilah manusia perlu bimbingan
wahyu (syariat) yang dibawa oleh manusia maksum (suci) dimana hal itulah
yang akan membimbing umat manusia dalam kehidupannya agar sampai pada
tujuan aslinya yaitu kenikmatan abadi. Disini akal tahu bahwa itu semua
diluar kapasitasnya sehingga ia sendiri tidak akan campur tangan -juga
karena mustahil mampu- dalam urusan tersebut. Akal memahami bahwa
manusia memiliki tujuan abadi dan kematian bukanlah akhir segalanya
sehingga ada sesuatu dibalik kematian.
Disisi lain akal
mengakui kelemahannya dalam mengamati bagaimana tata-cara menjangkau
kehidupan abadi dan apa saja dibalik kematian. Akibat dari pemahaman dan
pengakuan akal diatas tadi maka seakan akal mengatakan bahwa "aku perlu
seorang pembimbing yang mampu memberi masukan tentang hal-hal yang
diluar kemampuanku, pembimbing itu adalah manusia sempurna yang mendapat
wahyu dari Allah". Lantas dari sini apakah mungkin bagi akal yang telah
mengatakan itu semua kemudian disisi lain akal menyerukan bertentangan
dengan pembimbing tersebut? Akal anda pasti bisa merenungkan atas
jawaban pertanyaan itu.
Sebagian orang berusaha mengakal-akali
beberapa hukum syariat dan berusaha merasionalkannya. Jelas oknum-oknum
semacam ini telah melakukan kezaliman, Mereka telah memperkosa akal
untuk memenuhi hasrat "nafsu ilmiah" mereka, padahal akal telah
mengumumkan ketidakmampuannya, bagaimana ia akan memaksa akal untuk
melakukan sesuatu yang diluar kapasitas akal ? Lagi pula terdapat
fallacy (mughalathoh) pada diri oknum- oknum tersebut dalam masalah
membedakan antara akal (rasio) dan wahm (imajinasi). Karena mereka tidak
bisa membedakan kedua hal tersebutlah akhirnya mereka terjerumus pada
kesalahan dalam menentukan kebenaran, dan hal tersebut berakhir pada
kesalahan dalam memberikan konklusi. Salah satu bentuk kesalahan
tersebut ialah mereka beranggapan bahwa antara akal dan agama saling
terjadi paradoks. Padahal jika mereka tidak terjerumus pada fallacy maka
mereka tidak akan mempunyai kesimpulan semacam itu pada hubungan akal
dan agama.
Dari sini jelas sekali bahwa untuk memahami ajaran
agama akal/rasio merupakan sarana yang sudah menjadi keharusan tapi hal
tersebut bukan berarti bahwa akal tadi adalah satu-satunya sarana.
Karena ajaran agama mencakup segala hal yang bersifat representatif
(ilmu hushuli) - termasuk di dalamnya hal-hal empirikal- dan yang
bersifat persentif (ilmu hudzuri), sedang akal hanya memiliki kapasitas
pada ilmu empiric saja. Maka, yang berkaitan dengan ilmu presentif
diluar kemampuan akal (suprarasional) sehingga akal tidak mampu untuk
memberi bimbingan pada disiplin ilmu tersebut. Tentu bukan berarti akal
sama sekali tidak mampu. Tetapi jika setelah diadakan beberapa proses
penyederhanaan maka akal akan mampu mendeteksi ilmu presentif tersebut.
Hanya dengan melalui proses penarikan ilmu presentif kepada konsep umum
yang universal niscaya akal mampu memahaminya dan memberikan argumen
rasional.
Sebagaimana yang telah singgung diatas tadi bahwa
akal/rasio hanya mampu mendeteksi hal-hal universal saja. Dikarenakan
syariat ajaran Islam banyak berkaitan dengan hal-hal particular maka hal
itu diluar kapasitas akal sehingga dari situ manusia memerlukan wahyu
-yang bersumber dari alam ghaib sebagai pembimbingnya. Oleh karena itu
jelas akal/rasio tidak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan
seperti; kenapa sholat subuh hanya dua rakaat saja? Kenapa puasa dimulai
dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari? Kenapa hukum waris
wanita dan lelaki dibedakan? Kenapa hanya muka dan telapak tangan wanita
yang hanya boleh diperlihatkan?…dst. Jika yang ditanyakan adalah
berkaitan dengan penyebab dalam arti causa maka itu diluar kapasitas
akal/rasio manusia untuk mendeteksinya, tapi jika yang ditanyakan adalah
penyebab dalam arti hikmah dibalik itu maka kita bisa mencari-cari
hikmah yang ada, dalam pembahasan yang sudah lalu sudah kita singgung
perbedaan antara penyebab yang berarti "causa" dengan yang berarti
"hikmah".
Sebagian mereka juga menyatakan bahwa ajaran-ajaran
agama perlu diimani, dan yang berkaitan dengan iman -karena berkaitan
dengan hal-hal yang particular dan sesuai dengan selera masing- masing-
tidak bisa dipantau dengan argumen rasional. Dalam menjawab problem
tersebut bisa kita katakan bahwa; memang benar bahwa iman berkaitan
dengan hal-hal obyektif dan yang bersifat particular, akan tetapi
dikarenakan semua hal obyektif dan particular merupakan ekstensi dari
konsep universal maka melalui konsep universal itulah kita dapat
merasionalkan keimanan tersebut. Para nabi dalam menyebarkan keimanan
mereka menggunakan argumen maka jika iman tidak bisa diargumenkan maka
sia-sia para nabi memberikan argumen buat mereka, atau mungkinkah
argumen para nabi tersebut tidak masuk akal sedang dalam Al-Quran
disebutkan bahwa argumen tersebut menjadi pelajaran bagi para
"ulil-albab" (baca: yang berakal).
Akan tetapi anggapan bahwa
keimanan berkaitan dengan hal yang sesuai dengan selera masing- masing
individu, jelas bahwa anggapan itu tidak benar karena jika benar apa
yang mereka dakwakan maka hal itu bertentangan dengan kenyataan yang
ada. Kalaupun pendapat itu benar maka bisa kita katakan bahwa obyek
keimanan adalah suatu hal yang riil yang memiliki eksistensi obyektif
(realita di luar), dan segala hal yang memilki realita luar pasti
memiliki potensi untuk ditetapkan kebenarannya, baik melalui cara
empirikal, inderawi, bukti historis atau secara rasional.
Dari
sini terjawablah sudah problem yang dikemukan oleh kaum Brahmana yang
mengatakan bahwa; muatan ajaran agama dan wahyu tidak lepas dari dua
kemungkinan rasional atau irrasional. Jika ternyata ajaran tersebut
bermuatan hal-hal yang irrasional maka berarti ajaran tersebut batil dan
manusia tidak memerlukan ajaran yang batil. Jika ajaran tersebut
rasional maka dengan berbekal rasio manusia mampu mencari sendiri
ajaran-ajaran tersebut tanpa perlu lagi kepada wahyu/agama.
Pengingkaran agama dengan argumen semacam itu tentu tidak bisa begitu saja bisa diterima. Ada beberapa hal yang mereka lupakan;
1- Kehidupan tidak hanya terbatas pada kehidupan duniawi yang materi[24].
2- Keterbatasan akal dalam mendeteksi beberapa pengetahuan terkhusus hal-hal yang bersifat particular.
3- Adanya beberapa pengetahuan yang bersifat supra-rasional sehingga
manusia memerlukan pembimbing lain yang mampu menunjukkan hal-hal
tersebut, dimana hal ini -tentang pentingnya pengutusan seorang
nabi/rasul- secara global rasio manusiapun telah mengetahuinya.
Kini giliran kita yang akan menanyakan kepada mereka; manusia hidup
sebagai hamba yang diperintah oleh Tuhan untuk melakukan beberapa
perbuatan yang sesuai dengan kehendak mutlak Tuhan sehingga bisa
menghantarkan kepada kenikamatan abadi. apakah mungkin hanya berbekal
rasio saja manusia akan bisa menyingkap tata cara segala perbuatan yang
dikehendaki oleh Tuhan guna mencapai kebahagiaan abadi sebagaimana yang
dijanjikan? Tentu jawabnya negatif bukan? Karena sebagaimana telah kita
kemukakan bahwa rasio/akal hanya mengindera hal-hal universal saja yang
dalam hal ini adalah "mensyukuri segala nikmat Ilahi" sedang bagaimana
cara kita bersukur, hal itu diluar kapasitas akal karena bersifat
particular.
Oleh karena itu dari sini kita mengetahi bahwa
tugas atau hubungan wahyu/agama berkenaan degan rasio manusia adalah
mencakup hal-hal sebagai berikut:
a- Wahyu melegalisir rasio;
tentu pelegalisiran berlaku disaat rasio manusia memiliki kemampuan
dalam mendeteksi hal yang perlu dilegalisir. Pelegalisiran ini berfungsi
sebagai penekanan akan keputusan rasio, karena boleh jadi akan
dipertanyakan fungsi pelegalisiran itu. Memang walaupun tanpa wahyu
rasio dapat mengungkapkannya akan tetapi dalam kelanjutan
pengargumentasian pengguna rasio (manusia) atas hal tersebut tidak
jarang "rasio" terjerumus dalam kesalahan, oleh karenanya perlu adanya
pelegalisiran tersebut. Tentu -sebagaimana yang sudah kita singgung-
akal/rasio tidak mungkin salah akan tetapi apakah pengguna akal juga
dijamin kebenarannya? Hal inipun sekaligus bisa sebagai jawaban atas
problem yang dilontarkan kaum bhrahman.
b- Wahyu mengarahkan
rasio; hal tersebut dilakukan jika ternyata rasio/akal tidak memiliki
keindependenan dalam mendeteksi suatu problem. Segala hal yang bersifat
supra-rasional - karena keparticularannya sehingga diluar kapasitas
rasio- maka tugas wahyulah yang menjelaskan.