Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Zakat. Show all posts
Showing posts with label Zakat. Show all posts

Hakikat Zakat Fitrah


Apakah hakikat zakat fitrah yang harus ditunaikan di akhir bulan Ramadhan? Apakah falsafah di balik kewajiban menunaikan zakat ini?
Dalam memahami hakikat dan falsafah tersebut, mari kita camkan beberapa poin berikut ini:

a. Menunaikan zakat fitrah dakan menyebabkan puasa kita sempurna dan terkabulkan. Dalam sebuah hadis, Imam Shadiq as berkata, “Kesempurnaan puasa adalah menunaikan zakat, sebagaimana salawat atas Nabi Muhammad adalah kesempurnaan salat. Barang siapa berpuasa dan tidak menunaikan zakat, maka tiada puasa baginya apabila ia meninggalkannya dengan sengaja ....”

b. Menunaikan zakat fitrah dapat memelihara seseorang dari ajal kematian pada tahun itu. Imam Shadiq as berkata, “Tunaikanlah zakat fitrah untuk keluargamu dan janganlah kamu lalaikan salah seorang pun dari mereka. Jika kamu melalaikan salah seorang dari mereka, maka kamu telah mengkhawatirkan ketiadaan baginya.” “Apakah maksud ketiadaan itu?” tanya perawi. “Kematian,” jawab Imam Shadiq.

c. Menunaikan zakat fitrah dapat menjamin keselamatan tubuh dan menyucikan jiwa dari keburukan etika. Dalam sebuah hadis ketika menafsirkan ayat qad aflaha man zakkāhā ditegaskan, maksud dari tazkiyah adalah zakat fitrah.

(Shabestan/ABNS)

Peringatan Allah dalam Al-Quran: Mengharamkan yang Dihalalkan Allah


Allah Swt berfirman, "Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu haramkan apa saja yang baik dan telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS. al-Maidah: 87)

Termasuk peringatan Allah yang termaktub dalam al-Quran kepada orang-orang mukmin adalah meninggalkan dunia secara mutlak dan menilai haram nikmat-nikmat Allah yang suci dan halal. Dalam ayat 78 surat al-Maidah, peringatan ini disampaikan secara transparan. Sementara dalam Asbab Nuzul ayat ini disebutkan bahwa ada sejumlah sahabat Nabi Muhammad Saw yang duduk bersama beliau dalam sebuah pertemuan. Ketika Nabi Saw sampai pada penjelasan tentang kiamat, mereka begitu terpengaruh dan sadar, sehingga ada yang memutuskan untuk berpuasa setiap hari. Di malam hari mereka tidak tidur dan menggantinya dengan ibadah. Mereka tidak lagi ingin mendekati istrinya dan tidak makan daging.

Mereka berhasil mengamalkan perilaku ini untuk beberapa waktu, hingga berita ini sampai ke Nabi Saw. Ketika beliau mendengar kabar ini, dengan segera para sahabatnya dikumpulkan dan menyampaikan ketidaksukaannya akan perilaku yang seperti ini. Nabi Saw berkata, "Jiwa kalian memiliki hak. Berpuasalah, tapi pada saat yang sama kalian juga harus berbuka. Sisihkan waktu di malam hari untuk istirahat dan tidur. Karena saya juga melakukan hal yang demikian. Saya juga makan daging dan mendekati istriku. Barangsiapa yang berpaling dari cara hidup yang aku lakukan, berarti itu bukan ajaranku. Mengapa ada sebagian masyarakat mengharamkan wanita, makanan, bau wangi, tidur dan kelezatan dunia? Saya tidak pernah mengeluarkan perintah seperti itu. Saya tidak ingin kalian hidup seperti para rahib dan pendeta yang meninggalkan dunia lalu hidup di sudut gereja dan tempat ibadah serta menghancurkan dirinya. Tidak makan daging dan meninggalkan istri tidak termasuk dari ajaranku. Kehidupan rahib dan pendeta di luar dari ajaran Islam. Rekreasi umatku adalah berpuasa dan hidup menyendiri mereka adalah jihad. Beribadahlah kepada Allah dan jangan menyekutukan-Nya. Lakukan perintah Allah untuk melakukan umrah atau haji, menunaikan shalat dan mengeluarkan zakat. Berpuasa di bulan Ramadhan dan tegar di jalan Allah, sehingga Allah Swt menjagamu di jalan kebenaran. Orang-orang terdahulu binasa akibat menyulitkan diri sendiri. Mereka melakukan hal-hal yang menyulitkan diri dan Allah akhirnya menyulitkan mereka. Kini apa yang tertinggal dari mereka dapat disaksikan di tempat-tempat ibadahnya." Setelah itu ayat ini diturunkan kepada beliau Saw.[1]

Dengan demikian, sikap ekstrim sebagian sahabat dalam meninggalkan dunia telah membuat ayat ini diturunkan dan memperingatkan umat Islam untuk tidak mengharamkan nikmat-nikmat Allah yang suci dan halal. Perlu dicamkan bahwa ayat ini ditujukan kepada mereka yang ekstrim, tapi berpuasa di siang hari dan beribadah di malam hari, selama tidak membahayakan badan, maka bukan saj tidak hara, tapi metode paling tepat untuk mensucikan diri.

Sumber: Hoshdar-ha va Tahzir-haye Qorani, Hamid Reza Habibollahi, 1387 Hs, Markaz-e Pajuhesh-haye Seda va Sima.

Hukum Khumus bagi Syiah dan Ahlu Sunah


Ulama Ahli Sunnah mewajibkan khumus hanya dalam hal ghanimah (rampasan) perang, tapi kenapa ulama Syi’ah memperluas hukum wajib khumus sehingga mencakup hal-hal selain ghanimah perang?
Khumus, sebagaimana wajib dalam hal ghanimah perang, wajib pula dalam penghasilan seseorang yang halal, tentunya dengan syarat yang telah dijelaskan oleh ulama di dalam bah khumus. Selanjutnya, kita akan sama-sama mengajukan persoalan ini kepada Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Saw.

Al-Qur’an menyebutkan:
Dan ketahuilah, hanyasanya apa yang kalian rampas (ghan­imah) dalam peperangan maka sungguh seperlimanya untuk Allah, Rasul, dzawil qurba (kerabat), anak-anak yatim, orang-­orang miskin, dan ibnu sabil, jika kalian beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad Saw) pada hari Furqan, -yaitu- hari bertemunya dua pasukan, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Anfal [8] : 41).

Apakah ayat di atas hanya berkenaan dengan ghanimah perang, ataukah berkenaan dengan makna yang lebih luas daripada itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kita mengkaji makna kata (غنم).

Di dalam kitab-kitab fikih, setiap kali kata ghanimah digunakan maka pada umumnya berhubungan dengan penghasilan atau rampasan perang, tapi hal ini tidak berarti kita berhak untuk membatasi makna ayat di atas hanya berkenaan dengan ghanimah perang, bahkan kemutlakan ayat tersebut masih menjadi bukti bagi kita bahwa ayat ini mencakup penghasilan yang lain.

Para ahli Bahasa Arab juga menyebutkan makna yang luas bagi kata ini dan tidak khusus untuk ghanimah perang. Sebagai contoh:
  1. Khalil bin Ahmad Farahidi (w. 170 H) mengatakan, ‘Segala sesuatu yang diperoleh seseorang dengan jerih payah adalah ghanimah.’[1]
  2. Azhari menuliskan, ‘Ghonm berarti memperoleh sesuatu, sedangkan ightinam berarti mengambil manfaat dari perolehan (penghasilan).’[2]
  3. Ibnu Faris menyebutkan, ‘Kata (غنم) tidak mempunyai lebih dari satu akar yang berarti memperoleh sesuatu yang tidak diperoleh sebelumnya. Kemudian, kata ini digunakan untuk rampasan perang.’[3]
Di sini, kami rasa cukup menyebutkan tiga pakar bahasa tersebut, dan selanjutnya kami ingatkan bahwa mayoritas kamus Bahasa Arab mengartikan ghanimah dengan murni pcnghasilan baik itu penghasilan perang atau pun yang lain.[4]

Lagi pula Al-Qur’an sendiri menggunakan kata ini untuk makna perolehan atau keuntungan secara umum, dimana Allah Swt telah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian pergi (berjihad) di jalan Allah, maka carilah keterangan, dan janganlah kalian berkata kepada orang yang memberi salam kepada kalian, ‘Engkau bukan mukmin. ‘ -lalu kalian bunuh-, karena kalian mengharapkan harta kehidupan dunia, padahal di sisi Allah ada keuntungan (perolehan dan harta) yang banyak sekali. Demikian jugalah keadaan kalian dahulu, lalu Allah memberkan nikmat kepada kalian, karena itu carilah keterangan! Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. (QS. Al-Nisa’ [4] : 94).

Kalimat (فعند الله مغانم) di dalam ayat ini mencakup perolehan atau pahala di dunia maupun di akhirat walau tidak berhubungan dengan rampasan perang, bahkan dapat dikatakan bahwa yang dimaksud di sini adalah imbalan akhirat, dan itu terbukti dengan posisi penggalan ayat tersebut yang dihadapkan dengan penggalan (عرض الحیاة الدنیا) yang berarti ‘harta kehidupan dunia’.

Ibnu Majah di dalam kitab Sunannya meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah Saw menerima zakat, beliau bersabda, ‘Ya Allah! Anugerahilah pahala dan keuntungan kepada penunai zakat, jangan menjadikannya bahaya dan kerugian bagi dia.’[5]

Ahmad bin Hanbal meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, ‘Pahala majelis zikir kepada Allah Swt adalah surga.’[6] Rasulullah Saw menyebut Bulan Ramadan dengan sifat ‘Ghunmun lil jannah”, artinya adalah sebuah keuntungan demi surga.

Salah satu bukti paling kuat dan jelas, bahwa meskipun ayat ini turun bertepatan dengan masalah rampasan perang akan tetapi maknanya tidak khusus untuk masalah itu, adalah masing-masing dari imam empat mazhab Ahli Sunnah menyatakan kewajiban bayar khumus dalam hal harta selain rampasan perang, bahkan mereka membuktikan kewajiban itu berdasarkan ayat tersebut di atas.

Khumus Pertambangan
Khumus pertambangan merupakan salah satu pajak yang diwajibkan oleh Islam. Fukaha Mazhab Hanafi membuktikan kewajiban itu berdasarkan dua hal:
  1. Ayat Khumus Ghanimah yang tersebut di atas;
  2. Hadis Nabi Muhammad Saw bahwa ‘Terdapat khumus di dalam hal-hal yang tersimpan di perut bumi.’[7]
Dari hasil penelitian dalam kitab-kitab hadis, kita menemukan sabda tersebut di berbagai hadis Nabi Muhammad Saw.

Khumus Penghasilan Kerja
Menmut Mazhab Syi’ah Imamiyah, setiap penghasilan kerja seseorang, setelah dikurangi biaya belanja selama setahun maka seperlima (khumus) dari sisanya harus dibayarkan. Tentu saja dalam hal ini ada syarat-syarat lain yang harus dipenuhi, tapi bukan tempatnya di sini untuk menjelaskan itu semua, karena tujuan kami pada kesempatan kali ini hanyalah menunjukkan bahwa fatwa Mazhab Syi’ah Imamiyah sapenuhnya sesuai dengan hadis-hadis Rasulullah Saw yang telah diriwayatkan oleh Ahli Sunnah.

Di sini kita cukup menyebutkan berapa contoh dari hadis-hadis tersebut:
  1. Rombongan delegasi suku Abdul Qais
Suku Abdul Qais terletak di timur Arabia, dan masyarakat Qathif, Ahsa’, serta Bahrain masih terhitung dari suku itu. Kepala suku itu bernama Abdul Qais, dia datang langsung kepada Rasulullah Saw seraya berkata, ‘Di antara kamu dan kami terdapat suku-suku musyrik yang tidak memperkenankan kami untuk datang ke sisimu kecuali di bulan-bulan haram. Karena itu, kami mohon kepadamu untuk memberi pelajaran-­pelajaran penting kepada kami sehingga kami dapat mengajar kannya kepada yang lain.’

Rasulullah Saw bersabda kepadanya, ‘Aku perintahkan kalian pada empat hal dan larang kalian dari empat hal. Aku perintahkan kalian untuk:
1. beriman kepada Allah -dan kalian tahu apakah iman kepada Allah Swt? Yaitu- bersaksi akan keesaan-Nya,
2. Menunaikan shalat,
3. Membayar zakat,
4. Dan membayar khumus dari Mughnam (Ghanimah).[8]

Dalam pada itu perlu ketelitian tentang apa yang dimaksud dengan Mughnam (Ghanimah) dalam sabda beliau, dan di sini ada dua kemungkinan:
  1. Rampasan perang;
  2. Penghasilan yang halal.
Tentu saja kemungkinan pertama tertolak; karena rombongan delegasi suku Abdul Qais terang-terang mengatakan kepada Nabi Muhammad Saw bahwa kami tidak mungkin bertemu denganmu kecuali di bulan-bulan haram; karena bila kita keluar dari kawasan sendiri dan melewati kawasan kabilah-kabilah yang lain niscaya itu akan berbahaya dan menyebabkan pertumpahan darah. Masyarakat yang berkondisi seperti ini bagaimana mungkin berperang melawan musuh dan mendapat harta rampasan perang dari mereka?! Lagi pula, jihad (perang) melawan musuh tanpa izin Nabi Muhammad Saw dan perwakilan beliau tidaklah diperbolehkan.

Mungkin saja seseorang membayangkan maksudnya adalah perampokan harta musuh. Tapi kemungkinan ini juga tidak bisa dibenarkan, karena Rasulullah Saw melarang segala bentuk perampokan, sebagaimana kita dapat membaca sabda beliau tentang masalah ini di berbagai kitab hadis, seperti “nahan nabi  ‘an al-nahb[9] yang artinya, Nabi Muhammad Saw telah melarang perampokan.

Dengan demikian, hanya satu kemungkinan makna yang tersisa dari kata Mughnam (Ghanimah) di sini, yaitu penghasilan yang halal setelah dikurangi biaya belanja selama setahun.
  1. Ketika Rasulullah Saw mengutus Amr bin Hazm ke Yaman, beliau menuliskan surat perintah yang isinya antara lain:
أمره بتقو الله قی امره و ان یأخذ من المغانم خمس الله و ما کتب عن المؤمنین من الصدقة من العقار عشر ما سقی البعل و سقت السماء و نصف العشر مما سقی الغرب[10]

Ada berapa kata yang hams dijelaskan lebih dulu:
  1. Kata al- ‘iqor berarti tanah, dan yang dimaksud di sini adalah tanah pertanian.
  2. Kata al-ba’l berarti pepohonan yang tidak perlu pengairan karena akarnya yang mampu menyerap air dari sungai-sungai di sekitamya atau hujan.
  3. Kata al-ghorb berarti ember besar, dan yang dimaksud di sini adalah pepohonan yang disirami air dengan peralatan seperti ember dan semacamnya.
Setelah memerintahkan ketakwaan, di dalam hadis mt Rasulullah Saw menekankan dua macam pajak islami:
  1. Khumus Ghanimah;
  2. Zakat tanah yang adakalanya sepersepuluh dan adakalanya seperduapuluh; tanah yang kebutuhan airnya dipenuhi oleh hujan atau sumber-sumber air di sekitarnya dikenakan pajak seperse­puluh karena biaya pengairannya yang kecil, sedangkan tanah yang kebutuhan aimya dipenuhi dengan peralatan seperti penimbaan air dari sumur dikenakan pajak seperduapuluh karena biaya pengairannya yang relatif besar.
Dalam hal ini, banyak surat perjanjian dari pihak Rasulullah Saw untuk para tokoh di sekitar kawasan, dan di semua itu terdapat perintah pembayaran khumus dari Ghanimah, padahal mereka bukan panglima perang atau pasukan perang, tapi mereka merupakan tokoh atau pemimpin di daerah masing-masing, maka itu beliau memerintahkan mereka untuk mengumpulkan seperlima dari harta penghasilan -tentunya setelah memenuhi syarat- di sana dan mengirimkannya kepada beliau.
  1. Di dalam sebuah perjanjian, Rasulullah Saw menuliskan kepada Juhainah bin Zaid:
‘Untukmu bawah tanah, di atas tanah, di dalam lembah dan di atasnya, gunakanlah ladang-ladang dan air yang ada di sana, tapi dengan syarat hendaknya kamu mengirimkan seperlima dari hasilnya.’[11]
Lebih dari itu, sebagaimana tercatat dalam banyak hadis, para imam suci Ahli Bait as yang merupakan padanan Al­ Qur’an berkali-kali menjelaskan kewajiban membayar khumus penghasilan kerja. Karena itu, siapa pun yang meyakini kebenaran Hadis Tsaqalain (dua pusaka Nabi Muhammad Saw) maka wajib baginya untuk mengikuti sabda para imam tersebut dan membayarkan seperlima dari penghasilan kerjanya, tentu saja apabila syarat-syaratnya terpenuhi yang antara lain adalah setelah dikurangi biaya belanja selama setahun.

Referensi:
[1] Al-‘Ain,jld. 4, hal. 426, kata غنم
[2] Tahdzib Al-Lughoh, kata yang sama.
[3] Maqoyis Al-Lughoh, kata yang sama.
[4] Nihayah karya Ibnu Atsir, Qomus karya Firuz Abadi, dan Taj Al-‘Arus karya Zubaidi dalam kata yang sama.
[5] Sunan Ibnu Majah, kitab zakat, bab apa yang diriwayatkan mengenai pembayaran zakat, hadis no. 1797.
[6] Musnad Ahmad, jld. 2, hal. 330, 379, 374 dan 524. 3 Ibid, jld. 2, hal. 377.
[7] Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, jld. 2, hal. 776; Musnad Ahmad, jld. 1, hal. 314; Sunan Ibnu Majah jld. 2, hal. 839 cetakan tahun 1374.
[8] Shohih Al-Bukhori, jld. 4, hal. 250, bab (والله خلقکم و م تعملون) dari kitab tauhid; Shohih Muslim, jld. 1, hal. 35-36, bab perintah untuk beriman.
[9] Al-Taj Al-Jami’ li Al-Ushul, jld. 4, hal. 334, nukilan dari Shohih Al-Bukhori.
[10] Futuh Al-Buldan,jld. 1, hal. 81, bab Yaman; Siroh lbnu Hisyiim, jld. 4, hal. 265.
[11] Al-Watsa’iq Al-Siyasiyah, hal. 265, no. 157.

Khumus dalam Madrasah Ahlulbait As


Oleh: Abu Qurba

"Pada masa permulaan Islam, kedua sistem ekonomi Islam (zakat dan khumus) yang bertujuan mensejahterakan masyarakat, dijalankan dengan lancar dan baik. Tetapi pada perkembangan berikutnya -di dalam madrasah Sunni- mengalami kemacetan dan vakum. Lain halnya di dalam madrasah Ahlulbait As. Pada masa sekarang ini, kita tidak lagi mendengar apalagi memahami istilah khumus. Jelasnya, menurut madrasah Sunni, khumus itu tidak lagi berlaku, karena ia terjadi pada kasus tertentu. Sementara menurut madrasah Ahlulbait as. khumus itu tetap berlaku dan wajib dijalankan hingga hari kiamat sebagaimana hukum-hukmu Islam lainnya.".

Kelebihan Madrasah Ahlulbait As
Pada masa permulaan Islam, kedua sistem ekonomi Islam (zakat dan khumus) yang bertujuan mensejahterakan masyarakat, dijalankan dengan lancar dan baik. Tetapi pada perkembangan berikutnya -di dalam madrasah Sunni- mengalami kemacetan dan vakum. Lain halnya di dalam madrasah Ahlulbait As.

Pada masa sekarang ini, kita tidak lagi mendengar apalagi memahami istilah khumus. Jelasnya, menurut madrasah Sunni, khumus itu tidak lagi berlaku, karena ia terjadi pada kasus tertentu. Sementara menurut madrasah Ahlulbait as. khumus itu tetap berlaku dan wajib dijalankan hingga hari kiamat sebagaimana hukum-hukmu Islam lainnya.

Banyak ulama Ahlulbait as. yang membahas masalah khumus ini secara mendalam dan panjang lebar. Siapa mau serius, pasti dapat merujuknya. Yang jelas, khumus termsuk barisan depan yang mendukung majunya perkembangan madrasah Ahlulbait As. dan faktor utama bagi kesejahteraan para pecinta dan pengikiutnya.

Dengan membaca tulisan yang sangat sederhana ini, Anda yang telah tercerahkan dengan pikiran madrasah Ahlulbait As. dapat menambah pengetahuan Anda dan pada waktunya nanti, Anda dituntut untuk membayar atau mengeluarkan khumus tersebut. Semoga bermanfaat.

Hukum-hukum khumus (disesuaikan dengan fatwa Rahbar Hf).

Masalah-1: Hal-hal yang wajib dikhumusi

Ada tujuh perkara yang wajib dikeluarkan khumusnya:
1. Kelebihan bersih dari biaya hidup setahun.
2. Barang tambang.
3. Harta karun.
4. Hasil rampasan perang.
5. Mutiara yang diperoleh dengan cara menyelam.
6. Harta halal yang bercampur dengan harta haram.
7. Tanah yang dibeli oleh kafir dzimmiy dari seorang muslim.

Masalah-2: Permulaan tahun khumus
Permulaan tahun khumus bagi pegawai atau pekerja adalah tanggal pertama kali ia menerima gaji bulanan. Adapun bagi pedagang adalah ketika mulai melakukan jual-beli.

Masalah-3: Khumus tabungan
Apabila seseorang menabung uang gaji atau hasil keuntungannya untuk tujuan membeli atau membangun rumah tempat tinggalnya, atau untuk membeli tanah yang ia perlukan untuk membangun rumah, maka ketika uang terebut telah sampai masa satu tahun wajib ia kelurkan khumusnya.

Masalah-4: Khumus bahan bangunan
Apabila seseorang membeli bahan-bahan bangunan untuk membangun sebuah rumah untuk tempat tinggalnya yang layak dan sesuai dengan status sosialnya, maka ia tidak diwajibkan mengeluarkan khumusnya, walaupun ia membangun rumah tersebut secara berangsur-angsur.

Masalah-5: Khumus kendaraan dll
Kendaraan atau barang-barang lainnya yang dibeli seseorang, apabila melebihi status sosialnya, wajib dikeluarkan khumusnya.

Misalnya si A jika ia ingin membeli mobil, maka mobil yang sesuai dengan status sosialnya adalah mobil yang seharga Rp.100 juta. Tetapi jika ia membeli mobil yang harganya Rp.200 juta, maka dalam hal ini ia diwajibkan mengeluarkan khumus mobil tersebut yaitu sebanyak 20 juta rupiah (bukan 40 juta rupiah).

Masalah-6: Khumus tanah
Tanah yang dibeli seseorang untuk membangun rumah, tidak wajib dikhumusi, apabila: a). Rumah itu merupakan kebutuhannya. b). Rumah itu sesuai dengan status sosialnya. c). Tanah itu ia beli dengan uang gaji atau keuntungan usahanya pada tahun tersebut (bukan uang simpanan yang telah sampai masa satu tahun).

Adapun tanah yang ia beli untuk tujuan dijual, maka wajib ia keluarkan khumusnya apabila ia beli dengan uang gaji atau keuntungan usahanya.

Masalah-7: Khumus makanan
Bahan-bahan makanan (seperti beras, gula, teh, dll) yang dibeli dengan uang gaji atau hasil keuntungan, apabila masih tersisa setelah masa satu tahun, wajb dikeluarkan khumusnya.

Masalah-8: Khumus hadiah
Hadiah yang diterima oleh seseorang dan sesuai dengan status sosialnya, tidak wajib dikhumusi. Tetapi apabila hadiah yang diterimanya itu sangat berharga dan bernilai tinggi jika dilihat dari status sosialnya, maka wajib dikeluaran khumusnya. Misalnya jika si A menerima hadiah sebuah motor yang seharga Rp.20 juta, masyarakat menilainya wajar-wajar saja. Tetapi jika ia menerima hadiah sebuah mobil yang seharga Rp.100 juta, ia wajib megeluarkan khumusnya jika masyarakat menilainya bahwa hadiah itu sangat bergengsi bagi orang seperti A.

Masalah-9: Kepada siapa menyerahkan khumus?
Hukumnya wajib membayar atau menyerahkan khumus (seperlima dari keuntungan atau kelebihan bersih, yaitu setelah digunakan untuk biaya hidup sehari-hari setelah masa satu tahun) kepada "Wali Urusan Khums" yaitu Marja' taqlid Anda masing-masing. Jelasnya adalah apabila Anda bertaklid kepada Ayatullâh Sayyid Imam 'Alî Khamene-i hf, maka Anda wajib menyerahkan khumus Anda kepada beliau, apabila si Fulan bertaklid kepada آyatullâh Arif Bahjat hf, maka ia wajib menyerahkan khumusnya kepada آyatullâh Arif Bahjat tersebut, orang yang bertaklid kepada Ayatullah Sayyid Ali Sistaniy hf, harus menyerahkan khumusnya kepada beliau dan begitulah seterusnya sesuai dengan fatwa kebanyakan Marâji'.

Masalah-10: Yang berhak menerima khumus
Orang-orang yang berhak menerima khumus itu telah disebutkan oleh Allah Swt di dalam Al-Qur'an dengan jelas. Mereka adalah: 1. Allah Swt. 2. Rasulullah Saw. 3. Dzil Qurba (para Imam maksum as). 4. Anak-anak yatim (keturunan sadat yang Syi'i dan fakir). 5. Orang-orang miskin (keturunan sadat yang Syi'i). 6. Ibnu sabil (Sayyid syi'i yang kehabisan bekal di dalam perjalanan).

Masalah-11: Haqqul Imam as dan haqqussadat (sahmayn)
Tiga bagian pertama, yaitu bagian Allah Swt, Rasul-Nya dan para Imam Maksum As. itu dinamakan "Haqqul Imam" atau "saham Imam".

Sedang tiga bagian yang kedua, yaitu bagian anak-anak yatim, fakir miskin dan ibnu sabil, yang semuanya itu dari keturunan sadat (Bani Hasyim), dinamakan dengan "Haqqussadat" atau "saham sadat".

Masalah-12: Pengelola khumus
Baik saham atau Haqqul Imam maupun saham atau Haqqussadat (sahmayn), pada masa sekarang ini wajib diserahkan kepada para Marja' taklid yang bersangkutan, karena merekalah yang berhak mengelolanya (karena mereka sebagai wakil-wakil Imam Zaman ajf). Sedang selain Marja' taklid tidak diperbolehkan untuk mengelolanya, kecuali dengan izin resmi dan jelas dari Marja' taklid tersebut.

Masalah-13: Haqquttasharruf wakil khumus
Seorang wakil khumus resmi dari seorang Marja' taklid, ada yang diberi wilayah untuk mengumpulkan dan mengelola harta khumus tersebut sebanyak 30 persen, ada yang diberi wewenang sebanyak 50 persen, dan ada juga yang diberi haqquttasharruf sepenuhnya, yakni sampai seratus persen. Tetapi yang terakhir ini -sesuai informasi yang saya terima- sangat sulit dan jarang sekali terjadi.

Masalah-14: Haqquttasharruf 50 persen
Apabila wakil khumus diberikan wewenang haqquttasharruf 30 persen atau sampai 50 persen, maka berarti dan biasanya hal itu merupakan haqqul Imam as. yang boleh ia gunakan -misalnya- untuk kepentingan dakwah, tablig, membangun dan mengembangkan yayasan atau madrasahnya, membantu fakir miskin Syi'ah sekalipun bukan keturunan sadat, dan lain-lain.

Sementara yang 50 persen lagi wajib ia serahkan dan ia kirimkan kepada Marja' taklid yang bersangkutan.

Jadi, sama sekali tidak boleh ia gunakan untuk apapun, jika ia hanya diberi haqquttasharruf sebanyak 50 persen.

Masalah-15: Haqquttasharruf 100 persen
Apabila wakil khumus diberikan wewenang haqquttasharruf sepenuhnya, yakni sebanyak 100 persen, maka berarti hal itu merupakan haqqul Imam as. dan juga haqqussadat. Yang 50 persen yakni yang haqqul Imam as. boleh ia gunakan sebagaimana penjelasan di atas pada masalah-14. Sedang yang 50 persen lagi, yakni haqqussadat, harus ia tasharrufkan dan ia gunakan atau ia berikan kepada tiga bagian yang kedua, yaitu untuk Yatama, Masakin dan Ibnussabil yang kesemuanya itu orang-orang keturunan sadat dan yang dianggap betul-betul memerlukannya. Dan sama sekali tidak boleh ia berikan kepada selain tiga kelompok sadat tersebut. Bahkan tidak dibolehkan pula ia gunakan untuk kepentingan dakwah, membangun yayasan, masjid, madrasah dan mengembangkannya, dan lain-lain.

Apabila -misalnya- yang haqqussadat tersebut tidak ada yang berhak menerimanya, maka wakil khumus tersebut harus segera menghubungi Marja' taklid yang bersangkutan; akan diapakan harta haqqussadat tersebut. Karena bisa jadi harta haqqussadat tersebut ditukar dengan harta haqqul Imam as.

Masalah-16: Menjadi wakil khumus
Tidak ada syarat-syarat khusus untuk menjadi wakil khumus dan untuk memperoleh surat izin resmi dari Marja' taklid yang bersangkutan, selain si wakil tersebut dituntut untuk memahami dengan baik bagaimana ia harus mengelola, menggunakan dan mentasharrufkannya. Secara otomatis ia dituntut pula untuk mengetahui dan mengontrol kondisi kehidupan orang-orang Syi'ah baik yang keturunan sadat maupun yang non sadat, sehingga ia dapat men-tasharruf-kan harta khumus yang ia terima dan ia kumpulkan tersebut sesuai dengan aturan syar'i dan sesuai pula dengan ketentuan yang diberikan oleh Marja' taklid yang bersangkutan.

Masalah-17: Wakil khumus
Apabila tidak memungkinkan bagi Anda untuk membayar atau menyerahkan uang khumus secara langsung kepada Marja' taqlid Anda, karena jauhnya tempat tinggal Anda misalnya, seperti kaum mutasyayyi'in yang tinggal di Indonesia dll, maka Anda boleh dan wajib menyerahkannya kepada wakilnya yang resmi yaitu yang telah mendapatkan surat izin dari Marja' yang bersangkutan untuk mengambil dan mengumpulkan khumus tersebut untuk nantinya diserahkan kepada beliau.

Masalah-18: Meragukan wakil khumus resmi
Apabila Anda merasa ragu; apakah seseorang yang akan Anda serahkan uang khumus itu betul-betul telah mendapatkan surat izin resmi dari Marja' taqlid Anda ataukah tidak, maka dalam hal ini hendaknya Anda memohon padanya dengan penuh hormat dan sopan agar ia bersedia memperlihatkan pada Anda surat izin tertulis dari Marja' yang bersangkutan.

Sudah tentu, jika memang ia betul-betul sebagai wakil pengumpul khumus resmi Marja' Anda, pasti ia akan menerima Anda dengan senyum dan senang hati untuk memperlihatkan surat izin tersebut pada Anda. Dan apabila ia menolak untuk memperlihatkan surat izin resmi tertulis tersebut, maka Anda bisa menghubungi Marja' taqlid Anda via telpon atau E-mail. Dan sebaiknya Anda -pada kondisi ragu seperti itu- tidak membayar khumus kepadanya.

Masalah-19: Tidak yakin khumusnya disampaikan
Apabila Anda telah atau sudah pernah menyerahkan khumus kepada seseorang, kemudian Anda merasa ragu; jangan-jangan orang yang Anda serahkan khumus itu tidak atau belum memperoleh surat izin resmi dari Marja' Anda, ataupun Anda tidak merasa yakin kalau uang khumus tersebut ia sampaikan dan ia serahkan kepada Marja' Anda, maka dalam hal ini hendaknya dengan penuh hormat dan sopan pula Anda minta tanda bukti pemberian khumus yang telah di stempel oleh Marja' Taqlid Anda. Karena biasanya dan pada umumnya, setiap orang dan setiap wakil urusan khumus yang menyerahkan harta atau uang khumus mutasyayyi'in kepada Marja' taqlid yang bersangkutan akan dicatat dengan baik dan diberikan surat tanda bukti penyerahan khumus tersebut semacam kwitansi yang telah distempel atau di tanda tangani. Apabila ia dapat membuktikan dan memperlihatkan surat tanda bukti pembayaran khumus tersebut, maka secara syar'i khumus Anda dinilai sah.

Masalah-20: Jika si Fulan bukan wakil khumus Marja' Anda
Apabila Anda merasa yakin (dengan qârinah-qârinah dan bukti-bukti yang Anda lihat atau dengar) bahwa si Fulan bukan pengumpul khumus bagi Marja' taqlid Anda, atau ia tidak menyerahkannya kepada Marja' Anda, atau ia menggunakan dan mengelola harta khumus itu tanpa memperoleh izin dari Marja' Anda, maka dalam hal ini Anda jangan menyerahkan khumus kepada orang tersebut. Kemudian apabila pada kondisi semacam itu Anda tetap menyerahkan khumus kepadanya, apakah dalam hal ini khumus Anda itu dianggap sah ataukah tidak? Kalau tidak dianggap sah, apakah Anda wajib mengulangi pembayaran khumus lagi ataukah tidak?

Masalah-21: Setiap Marja' mempunyai wakil khumus
Biasanya dan sudah menjadi maklum serta merupakan satu kemestian bahwa setiap Marja' taqlid mempunyai wakil-wakil urusan/pengumpul khumus di negara-negara yang terdapat kaum mutasyayyi'in yang bertaqlid kepada Marja' yang bersangkutan, tanpa kecuali negara kita Indonesia. Di Indonesia terdapat beberapa orang (bukan hanya satu orang) wakil urusan khumus, zakat, hak tasharruf dan lain-lain yang biasa dikenal sebagai Umur Hisbiyah (Hal-hal yang berhubungan dengan masalah pengumpulan khumus, kafarah, zakat, pengelolaan dan penggunaannya fi sabilillah, dll sesuai dengan wewenang yang telah diberikan), yang telah memperoleh surat izin resmi dari Marja' taqlid آyatullâh Sayyid Imâm 'Alî Khamene-i hf. Sebaiknya Anda mengetahui dan mengenal mereka. Bila Anda mendapatkan kesulitan dalam mengenal mereka, silahkan Anda layangkan surat ke alamat di atas.[]

Terkait Berita: