Oleh: Hajar Baladastiyan
Abstrak
Al-Khasf di negeri Baidâ, salah satu tanda-tanda pasti akan munculnya Imam Zaman as dan riwayat-riwayat dari Syiah dan Ahlusunnah memberi perhatian khusus terhadap perkara ini dimana sebuah pasukan (Sufyani) dengan jumlah tentara yang sangat banyak setelah berhasil menaklukkan begitu banyak negeri-negeri dan telah menumpahkan darah sedemikian keji dan mengerikan, beranjak menuju Mekah dan Madinah mencari Imam Mahdi as namun akhirnya di negeri bernama Baidâ –antara Mekah dan Madinah– dengan kekuasaan Allah Swt, mereka jatuh dan tertelan oleh bumi.
Kata kunci: al-Khasf, Baidâ, Sufyani, Muncul, Tanda-tanda, Syarat-syarat (kondisi) dan Imam Mahdi as.
Mukadimah
Dalam riwayat-riwayat tentang Mahdawiyat disebutkan tanda-tanda dan ciri-ciri kemunculan (Imam Mahdi as)[1] dari berbagai sudut pandang dan telah diklasifikasikan dimana yang paling penting adalah:
Pembagian tanda-tanda menjadi dua, pasti dan tidak pasti. Yang dimaksud tanda-tanda pasti adalah tanda-tanda yang terealisasinya tanpa ada kait dan syarat, pasti dan niscaya dan jika ada seseorang yang mengklaim bangkit dan munculnya Imam Mahdi as sebelum tanda-tanda pasti itu terjadi, maka klaimnya adalah dusta dan kebohongan belaka. Sesuai beberapa riwayat, tanda-tanda pasti itu ada lima, yaitu:
سمعت أبا عبدألله يقولُ: قَبلَ قيام القائم خمسُ علامات محتومات: اليمانى و السفياني و الصيحة و قتل نفس الزکية و الخسف بالبيداء.[2]
Artinya, “Umar bin Hanzalah meriwayatkan dari Imam Shadiq as, beliau bersabda, “Sebelum al-Qâ’im (Imam Mahdi as) muncul, akan ada lima tanda yang kesemuanya merupakan tanda-tanda dan ciri-ciri pasti: Yamani, Sufyani, Shaihah, pembunuhan Nafs al-Zakiyah, dan tenggelamnya di Baidâ.”
Kebalikan dari tanda-tanda pasti, terdapat tanda-tanda yang tidak pasti dimana yang dimaksud adalah tanda-tanda yang terjadinya terkait dan tergantung pada beberapa perkara dan bisa jadi karena hikmah dan kemaslahatan yang Allah Swt ketahui dan atau karena berkat doa orang-orang, hal itu tidak sampai terjadi dan atau ada semacam penundaan dan pengemudianan padanya. Selain tanda-tanda pasti yang secara gamblang dan jelas diutarakan oleh hadits-hadits, tanda-tanda lain kemunculannya adalah perkara-perkara yang sifatnya tidak pasti. Perlu disebutkan bahwa satu-satunya klasifikasi yang diisyaratkan dalam riwayat-riwayat adalah klasifikasi pasti dan tidak pasti ini saja.
Pembagian berikutnya yang ditinjau dari sisi bentuk tanda-tanda, bisa disebutkan sebagai berikut:
1. Tanda-tanda yang bersifat mukjizat (luar biasa), yang menunjukkan terjadinya peristiwa-peristiwa sebelum munculnya Imam Mahdi as dalam bentuk yang luar biasa, seperti gerhana bulan dan matahari bukan pada waktunya, dan juga suara teriakan besar dari langit.
2. Tanda-tanda natural: tanda-tanda yang terjadi secara natural di beberapa waktu dan kesempatan, seperti kejadian-kejadian sosial, politik dan pertumpahan darah, dan lain-lain, dan tidak dalam bentuk menyerupai mukjizat.
Klasifikasi tanda-tanda dan ciri-ciri masih jauhnya kemunculan Imam Mahdi as dan tanda-tanda dekatnya kemunculan, juga termasuk salah satu klasifikasi berikutnya terkait tanda-tanda ini.
Al-Khasf Bil Baidâ dalam Riwayat Syiah dan Ahlusunnah
Pada tulisan ini akan dikaji tentang Al-Khasf Bil Baidâ dalam riwayat-riwayat Syiah dan Ahlusunnah.
Al-Khasf menurut bahasa berarti karam, merosot dan sembunyi[3] dan Baidâ juga adalah nama sebuah wilayah yang terletak antara Mekah dan Madinah.[4]
Mengenai tanda kemunculan ini, terdapat banyak riwayat-riwayat dalam kitab-kitab Syiah dan Ahlusunnah yang menunjukkan Sufyani dengan pasukannya yang demikian besar, telah menaklukkan banyak kota dan setelah peperangan dan penumpahan darah yang begitu banyak ia berangkat menuju Mekah yang akhirnya dengan sangat menakjubkan karam dan tenggelam ke dalam bumi di wilayah bernama Baidâ (antara Mekah dan Madinah).
Imam Shadiq as tentang kepastian dan keniscayaan Al-Khasf Bil Baidâ, bersabda:
«من المحتوم الذي لابدأن يکون قبل القائم خروج السفياني و خسف بالبيداء…»[5]
Artinya, “Diantara perkara-perkara pasti yang niscaya terjadi sebelum munculnya al-Qâ’im adalah: keluarnya sufyani dan Al-Khasf Bil Baidâ…”.
Dalam referensi-referensi hadits Ahlusunnah juga, khususnya pada kitab Shihâh al-Sittah,[6] telah dijelaskan sejumlah riwayat-riwayat tentang keluarnya Sufyani dan Al-Khasf Bil Baidâ (karam di wilayah Baidâ), diantaranya:
- Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, terdapat banyak riwayat yang menjelaskan tentang peristiwa Al-Khasf Bil Baidâ, dimana diantaranya adalah:
. Rasulullah saw bersabda:
«قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: يَغْزُو جَيَشٌ الْكَعْبَة، فَإِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الأَرْضِ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ»[7]
Artinya, “Sebuah pasukan sedang menuju Mekah, maka ketika sampai ke wilayah Baidâ, bumi langsung menelan mereka semua.”
. Rasulullah saw bersabda:
«قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: يَعُوذُ عَائِذٌ بِالْبَيْتِ فَيُبْعَثُ إِلَيْهِ بَعْثٌ فَإِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الأَرْضِ خُسِفَ بِهِمْ»[8]
Artinya, “Seorang lelaki akan berlindung ke Baitullah. Sebuah pasukan akan dikirim kepadanya. Ketika pasukan itu tiba di daerah Baidâ, maka di daerah itulah mereka akan karam dan tenggelam.”
. Rasulullah saw bersabda:
«عَنْ أُمَيَّةَ بْنِ صَفْوَانَ سَمِعَ جَدَّهُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ صَفْوَانَ يَقُولُ أَخْبَرَتْنِى حَفْصَةُ أَنَّهَا سَمِعَتِ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم َقُولُ: لَيَؤُمَّنَّ هَذَا الْبَيْتَ جَيْشٌ يَغْزُونَهُ حَتَّى إِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الأَرْضِ يُخْسَفُ بِأَوْسَطِهِمْ وَيُنَادِى أَوَّلُهُمْ آخِرَهُمْ ثُمَّ يُخْسَفُ بِهِمْ فَلاَ يَبْقَى إِلاَّ الشَّرِيدُ الَّذِى يُخْبِرُ عَنْهُمْ»[9]
Artinya, “Baitullah (Ka’bah) ini telah dijadikan sebuah tempat aman, sehingga sebuah pasukan sedang menuju kepadanya dan tatkala pasukan itu sampai ke daerah bernama Baidâ, mereka karam dan tenggelam di tengah-tengahnya, dan pasukan pertamanya menyeru pasukan lainnya, lalu kemudian mereka tenggelam di sebuah wilayah, jadi tidak seorang pun yang tersisa kecuali sejumlah orang yang nantinya akan menceritakan kisah mereka.”
. Rasulullah saw bersabda:
«عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: سَيَعُوذُ بِهَذَا الْبَيْتِ ـ يَعْنِى الْكَعْبَةَ ـ قَوْمٌ لَيْسَتْ لَهُمْ مَنَعَةٌ وَلاَ عَدَدٌ وَلاَ عُدَّةٌ يُبْعَثُ إِلَيْهِمْ جَيْشٌ حَتَّى إِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الأَرْضِ خُسِفَ بِهِمْ»[10]
Artinya, “Dalam waktu dekat sebuah pasukan akan menuju Mekah dimana tidak ada satu pasukan yang mencegah mereka, hingga mereka tiba di sebuah wilayah bernama Baidâ dan kemudian di wilayah itulah mereka tertelan bumi.”
- Dalam Sunan Tirmizi telah disebutkan dan dijelaskan sejumlah hadits tentang al-Khasf, diantaranya:
« عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: فِى هَذِهِ الأُمَّةِ خَسْفٌ وَمَسْخٌ وَقَذْفٌ…»[11]
Artinya, “Di akhir zaman, pada umat ini akan ada yang namanya al-Khasf (tertelan bumi), maskh dan Qazf…”.
- Abu Daud dalam Sunan-nya menukil riwayat tentang peristiwa karam di daerah Baidâ dari Ummu Salamah yang dia juga menukil dari Rasulullah saw:
«…وَيُبْعَثُ إِلَيْهِ بَعْثٌ مِنْ أَهْلِ الشَّامِ فَيُخْسَفُ بِهِمْ بِالْبَيْدَاءِ بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ…»[12]
Artinya, “Akan diutus kepadanya sebuah pasukan dari negeri Syam, lalu tenggelam dan tertelan bumi di daerah Baidâ, terletak antara Mekah dan Madinah…”.
- Ibnu Majah dalam kitab Sunan-nya mempunyai beberapa riwayat tentang peristiwa karam dan tenggelam ditelan bumi di wilayah Baidâ, diantaranya ia menukil dari Safiyah dan Safiyah menukil dari Nabi saw:
« عَنْ صَفِيَّةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنْتَهِي النَّاسُ عَنْ غَزْوِ هَذَا الْبَيْتِ حَتَّى يَغْزُوَ جَيْشٌ حَتَّى إِذَا كَانُوا بِالْبَيْدَاءِ أَوْ بَيْدَاءَ مِنْ الْأَرْضِ خُسِفَ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ وَلَمْ يَنْجُ أَوْسَطُهُمْ…»[13]
Artinya, “Orang-orang tidak akan lepas dari perang rumah ini (Ka’bah), hingga sebuah pasukan datang menuju ke arahnya. Ketika pasukan ini tiba di daerah Baidâ, seluruhnya (dari awal hingga terakhir mereka) karam dan tenggelam tertelan bumi, dan tengah-tengah mereka pun tidak dapat selamat…”
Beberapa Catatan Penting tentang Al-Khasf Bil Baidâ
Berdasarkan riwayat-riwayat dan referensi-referensi yang ada dari jalur Syiah dan Ahlusunnah mengenai peristiwa al-Khasf (tenggelam tertelan) di wilayah Baidâ, maka ada beberapa poin atau catatan yang bisa dipetik:
Kepastian Al-Khasf Bil Baidâ
Al-Khasf Bil Baidâ merupakan tanda-tanda atau ciri-ciri pasti munculnya Imam Zaman as.
Imam Shadiq as bersabda:
« خمسٌ قبل قيام القائم عليه السلام، اليماني و المنادي ينادي من السماء و خسف البيداء»[14]
Artinya, “Sebelum al-Qâ’im muncul, ada lima tanda-tanda muncul terlebih dahulul: Yamani, Sufyani, seruan dari langit dan tenggelam tertelan di daerah Baidâ…”
Arti Al-Khasf Bil Baidâ dan tempat daerah Baidâ
Al-Khasf berarti karam dan masuk ke bumi.
- Kitab Tâj al-‘Arûs menyebutkan:
« خسف المکان ذهب في الارض … والخسف الحاق الارض الاولي بالثانية»[15]
Artinya, “Khasf Makân masuk ke dalam bumi atau tanah…dan al-Khasf adalah bergabungnya tanah pertama ke tanah kedua…”.
Baidâ adalah wilayah yang berada di antara Mekah dan Madinah.
- Turaihi menyebutkan:
« البيداء أرض مخصوصة بين مکة و المدينة ..»[16]
Artinya, “Baidâ adalah daerah spesial yang berada diantara Mekah dan Madinah.”
Pasukan sufyani tiba di wilayah Baidâ
Sebuah pasukan dari Sufyani hendak menangkap Imam Mahdi as yang berada di Madinah, berangkat menuju ke Madinah.
- Imam Baqir as bersabda:
«…و يبعث السفياني بعثا ًالي المدينة..»[17]
Artinya, “…dan Sufyani mengutus sebuah kelompok (pasukan) menuju kota Madinah…”
- Rasulullah saw bersabda:
«قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: يَغْزُو جَيَْشٌ الْكَعْبَة»[18]
Artinya, “Rasulullah saw bersabda, “Sebuah pasukan sedang menuju Ka’bah.”
Pada sebagian riwayat-riwayat, daerah Baidâ juga disebut dengan nama padang sahara putih. Mungkin daerah Baidâ jika dilihat dari lahiriahnya berwarna putih.
- Imam Ali as bersabda:
« وخروج السفياني براية الحمراء…تتوجه الي مکة و المدينة…إذا توسط القاع الابيض خسف بهم..»[19]
Artinya, “Muncul dan keluarnya sufyani disertai dengan sebuah bendera berwarna merah…mereka sedang berangkat menuju Mekah…ketika mereka sampai ke sebuah padang sahara berwarna putih maka disana mereka tenggelam dan tertelan bumi…”.
Imam Mahdi as berangkat dari Madinah menuju Mekah, tapi pasukan Sufyani tahu informasi keberangkatan Imam Zaman as.
- Imam Baqir as bersabda:
«…فينفر المهدي (عج) منها الي مکة، فيبلغ امير جيش السفياني ان المهدي قد خرج إلي مکة»[20]
Artinya, “…Imam Mahdi as berangkat menuju Mekah dan berita keberangkatan beliau sampai ke telinga pimpinan pasukan sufyani.”
- Rasulullah saw bersabda:
«قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: يَعُوذُ عَائِذٌ بِالْبَيْتِ فَيُبْعَثُ إِلَيْهِ بَعْثٌ»[21]
Artinya, “Rasulullah saw bersabda, “Seorang lelaki akan berlindung ke Baitullah (Ka’bah). Sebuah pasukan diutus kepadanya.”
Sebuah pasukan sufyani mencari dan mengikuti Imam Zaman as.
- Imam Baqir as bersabda:
«فيبعث جيشا ًعلي اثره، فلايدرکه حتي يدخل مکة خائفاً…»[22]Artinya, “Lalu sebuah pasukan diutus mencari dan mengikuti Imam Mahdi as, tapi Imam Mahdi as tidak ditemukan hingga beliau masuk ke Mekah dalam kondisi khawatir…”
- Rasulullah saw bersabda:
«…لَيَؤُمَّنَّ هَذَا الْبَيْتَ جَيْشٌ يَغْزُونَهُ حَتَّى إِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الأَرْضِ يُخْسَفُ..»[23]
Artinya, “Baitullah (Ka’bah) ini telah dijadikan sebuah tempat aman, sehingga sebuah pasukan sedang menuju kepadanya dan tatkala pasukan itu sampai ke daerah bernama Baidâ, mereka karam dan tenggelam.”
Pasukan sufyani dengan tujuan hendak menangkap Imam Mahdi as, keluar dari Madinah dan tiba di daerah Baidâ.
- Rasulullah saw bersabda:
«…ثم يخرجون متوجهين إلي مکة حتي إذا کانوا بالبيداء»[24]
Artinya, “…kemudian mereka keluar dari kota itu hendak menuju Mekah, hingga mereka sampai ke sebuah daerah bernama Baidâ.”
Pasukan sufyani ini dipimpin oleh seorang bernama Ghathfani.
- Imam Ali as bersabda:
« …ثم يعود إلي مکة في جيش أميره غطفان»[25]
Artinya, “Sejumlah pasukan sedang menuju Mekah yang dipimpin oleh seorang bernama Ghathfani.”
Terjadi mukjizat Allah Swt di daerah bernama Baidâ dan pasukan sufyani masuk dan tenggelam tertelan bumi.
- Imam Baqir as bersabda:
«فينزل أمير جيش السفياني، فينادي منادٍ من السماء «يا بيداء أبيدي القوم»، فيخسف بهم.»[26]
Artinya, “Pimpinan pasukan sufyani turun di padang sahara, lalu datang seruan dari langit, “Wahai padang sahara, binasakanlah kaum itu”, kemudian padang sahara pun menelan mereka ke dalam tanah…”
- Rasulullah saw bersabda:
«…فَإِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الأَرْضِ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ »[27]
Artinya, “…maka ketika pasukan ini tiba di daerah Baidâ, seluruhnya (dari awal hingga terakhir mereka) karam dan tenggelam tertelan bumi…”
Nasib orang-orang selamat dari Al-Khasf Bil Baidâ
Seluruh pasukan dan orang-orang sufyani menjadi binasa kecuali dua atau tiga orang.
- Imam Baqir as bersabda:
«…فلا يفلت منهم إلا ثلاثة نفر..»[28]
Artinya, “…tidak ada yang tersisa dari mereka kecuali tiga orang…”
- Rasulullah saw bersabda:
«…فَلاَ يَبْقَى إِلاَّ الشَّرِيدُ الَّذِى يُخْبِرُ عَنْهُمْ»[29]
Artinya, “…jadi tidak seorang pun yang tersisa kecuali sejumlah orang yang nantinya akan menceritakan kisah mereka.”
- Rasulullah saw bersabda:
«…و لا يفلت منهم إلا رجلان…»[30]
Artinya, “…dan tidak ada yang tersisa dari mereka kecuali dua orang laki-laki…”
Orang-orang yang selamat pun akan mendapat azab Allah Swt dan kepala mereka akan diputar ke belakang.
- Imam Baqir as bersabda:
«…فلا يلفت منهم إلا ثلاثة نفر يحول الله وجوههم الي أقفيتهم»[31]
Artinya, “…tidak ada seorang pun yang tersisa dari mereka kecuali tiga orang dan itupun Allah Swt putar kepalanya menghadap ke belakang.”
- Imam Ali as bersabda:
«فيحول الله وجهيهما إلي القفا …»[32]
Artinya, “Lalu Allah Swt paling muka (kepala) dua orang itu ke arah belakang.”
Wajah (kepala) dua orang ini karena teriakan yang malaikat Jibril dengungkan pada mereka, terputar ke belakang.
- Imam Ali as bersabda:
«…فيصيح بهما جبرائيل فيحول الله وجهيهما إلي القفاء»[33]
Artinya, “…Malaikat Jibril berteriak keras ke atas mereka berdua kemudian Allah Swt memutar kepala mereka berdua ke arah belakang…”
Kedua orang itu disebut Basyîr (pemberi berita gembira) dan Nadzîr (pemberi ancaman).
- Imam Ali as bersabda:
«ويکون آخر الجيش رجلان أحدهما بشير و الآخر نذير …»[34]
Artinya, “Dua orang yang tersisa dari pasukan itu, Basyîr (pemberi berita gembira) dan Nadzîr (pemberi ancaman).”
Basyîr (pemberi berita gembira) dan Nadzîr (pemberi ancaman) berdasarkan sebagian riwayat adalah dari kabilah Kalb dan dan menurut sebagian riwayat lagi, berasal dari kabilah Jahinah.
- Imam Baqir as bersabda:
«…فينزل أمير جيش السفياني البيداء…فيخسف بهم فلايفلت منهم الا ثلاثه نفر… و هم من کلب…»[35]
Artinya, “…pemimpin pasukan sufyani turun di padang sahara…kemudian padang sahara menelan mereka dan tidak seorang pun yang tersisa dari mereka kecuali tiga orang…dan mereka itu berasal dari kabilah Kalb…”.
- Rasulullah saw bersabda:
«حتي اذا کانوا بالبيداء…يخسف الله بهم عندها…و لا يفلت منها إلا رجلان من جهينه»[36]
Artinya, “Ketika mereka berada di wilayah Baidâ…Allah Swt mengubur mereka disana…dan tidak seorang pun yang selamat kecuali dua orang laki-laki dari kabilah Jahinah.”
Hidupnya dua orang dari pasukan sufyani pada peristiwa al-Khasf bil Baidâ supaya ia mengisahkan peristiwa itu kepada yang lain dan orang-orang masa itu dan generasi selanjutnya bisa mengambil pelajaran darinya sehingga tidak berani menentang dan melawan agama hak.
- Imam Ali as bersabda:
«وخروج السفياني براية حمراء…تتوجه الي مکة و المدينة…ثم يعود إلي مکة في جيش أميره غطفان، إذا توسط القاع الأبيض خسف به فلا ينجو إلا رجلان يحول الله وجهيهما إلي قفاهما ليکونا آية لمن خلفهما»[37]
Artinya, “Sufyani keluar dengan membawa bendera berwarna merah…pasukan mereka bergerak menuju Mekah dan Madinah…pasukan di bawah pimpinan seorang laki-laki bernama Ghatfani bergerak menuju Mekah, di tengah perjalanan mereka tiba di sebuah padang sahara berwarna putih dan disitulah mereka tertelan oleh bumi dan yang tersisa hanya dua orang yang kelak akan menjadi bukti (pelajaran) bagi yang lain dimana kedua orang ini (diazab) dengan wajahnya diputar ke arah belakang.”
Salah satu dari dua orang yang tersisa di Baidâ (basyîr) pergi menuju Imam Mahdi as dan satunya lagi (nadzîr) berangkat menuju Sufyani guna mengabarkan berita tenggelam dan terkuburnya pasukan itu. Pada riwayat-riwayat yang Imam Shadiq as menjelaskan tentang peristiwa-peristiwa setelah munculnya (Imam Mahdi as), bersabda:
«…وسيدنا القائم مسند ظهره إلي الکعبة … ثم يقبل إلي القائم رجل وجهه إلي قفاه و قفاه الي صدره … فإذا نحن بملک قد ضرب وجوهنا فصارت الي ورائنا کما تري فقال لأخي: ويلک إمضي إلي الملعون السفياني بدمشق فأنذره بظهور المهدي من آل محمد (صلی الله علیه و آله) و عرفه أن الله قد أهلک جيشه بالبيدا و قال لي يا بشير! إلحق بالمهدي بمکة و بشر بهلاک الظالمين…»[38]
Artinya, “Tuan dan pemimpin kita, al-Qâ’im, bersandar di dinding Ka’bah…kemudian datang seorang lelaki yang wajahnya menghadap ke belakang dan belakang lehernya menghadap ke dadanya….orang itu berkata, kami adalah dua orang dimana seorang malaikat datang ke kami dan dengan sebuah pukulan yang diarahkan ke wajah kami, maka kami pun berubah seperti yang anda saksikan ini. Ia memerintahkan kepada saudaraku untuk pergi ke Damaskus dan menyampaikan ancaman kepada Sufyani kalau ia telah binasa dan Imam Mahdi as juga telah muncul dan berkata kepadaku, “Kamu (yaitu saya) juga harus pergi ke Mekah dan menyampaikan berita gembira tentang kebinasaan orang-orang zalim kepada Imam Mahdi as.”
Sebagian hadits-hadits menakwilkan bahwa ayat 47 dari surah An-Nisâ berbicara tentang dua orang yang tersisa dari peristiwa terkuburnya bala tentara di daerah Baidâ:
«يا أَيُّهَا الَّذينَ أُوتُوا الْكِتابَ آمِنُوا بِما نَزَّلْنا مُصَدِّقاً لِما مَعَكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَطْمِسَ وُجُوهاً فَنَرُدَّها عَلى أَدْبارِها»[39]
Artinya, “Hai orang-orang yang telah diberi al-Kitab, berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (Al-Qur’an) yang membenarkan kitab yang ada padamu sebelum Kami merubah wajah(mu), lalu Kami putarkan ke belakang…”
Wilayah Baidâ adalah kawasan azab
Al-Khasf bil Baidâ akan terjadi atas perintah Allah Swt.
- Imam Ali as bersabda:
«…فخسف الله به..»[40]
Artinya, “Allah Swt akan menenggelamkan dan menguburkannya.”
Suara yang terdengar dari arah Al-Khasf bil Baidâ adalah suara malaikat Jibril as.
- Huzaifah meriwayatkan dari Nabi saw:
«…بعث الله جبرائيل فيقول: يا جبرائيل إذهب فابدهم…»[41]
Artinya, “Allah Swt mengutus malaikat Jibril dan Dia berfirman, “Wahai Jibril pergilah dan binasakanlah mereka…”
Malaikat Jibril memukulkan kaki ke tanah lalu dengan kehendak Allah Swt, pasukan itu pun terkubur dan masuk ke dalam tanah.
- Huzaifah meriwayatkan dari Nabi saw:
«فيضربها برجله ضربة يخسف الله بهم عندها..»[42]
Artinya, “Dia (Jibril) memukulkan kaki ke tanah lalu Allah Swt mengubur dan memasukkan pasukan itu ke dalam tanah.”
Ayat 51 dari surah Sabâ ditakwil membahas peristiwa Al-Khasf bil Baidâ.
- Imam Ali as bersabda:
«…خرج السفياني …و يأتي المدينة بجيش جرار…حتي اذا انتهي الي بيداء المدينة خسف الله به و ذلک قول الله عزوجل في کتابه «و لوتري إذ فزعوا فلا فوت و أخذوا من مکان قريب.»[43]
Artinya, “Sufyani keluar…dan dengan sebuah pasukan besar datang ke Madinah…hingga kemudian tiba di padang sahara Madinah, Allah Swt menenggelamkan dan mengubur mereka ke dalam tanah dan inilah firman Allah Swt yang menyatakan, “Dan jika kamu melihat ketika mereka terperanjat ketakutan; lalu mereka tidak dapat melepaskan diri (dari azab Ilahi) dan mereka ditangkap dari tempat yang dekat.“
Pasukan sufyani dari arah langkah kaki, mereka ditelan oleh tanah atau bumi.
- Imam Shadiq as bersabda:
« جيش البيداء يوخذون من تحت اقدامهم…»[44]
Artinya, “Pasukan yang di Baidâ diambil dan ditarik dari arah bawah kaki mereka.”
Jarak waktu Al-Khasf Bil Baidâ hingga munculnya Imam Mahdi as
Ada banyak riwayat yang mengisyaratkan tentang jarak waktu antara munculnya Imam Mahdi as dan peristiwa Baidâ.
- Imam Baqir as pada sebuah riwayat setelah mengisyaratkan tentang peristiwa Baidâ, bersabda:
«…و القائم يومئذ بمکة قد اسند ظهره الي بيت الحرام…»[45]
Artinya, “Al-Qâ’im (Imam Mahdi as) pada hari itu berada di Mekah dan sedang bersandar di Ka’bah.”
Banyaknya peristiwa Al-Khasf (tenggelam tertelan) di akhir zaman
Al-Khasf (tenggelam tertelan) di wilayah timur dan Al-Khasf (tenggelam tertelan) di jazirah Arab.
- Imam Ali as bersabda:
«عشر قبل الساعة لابد منهما السفياني و…خسف بالمشرق و خسف بالجزيرة العرب..»[46]
Artinya, “Ada sepuluh hal yang pasti terjadi sebelum Kiamat: Sufyani…dan Al-Khasf (tenggelam tertelan) di wilayah timur dan Al-Khasf (tenggelam tertelan) di jazirah Arab, …”.
Al-Khasf (tenggelam tertelan) di sebuah perkampungan Syam bernama Jabiyah dan sebuah perkampungan lain bernama Harasta dan atau Harasna.
- Imam Baqir as bersabda:
«تخسف قرية من قري الشام تسمي الجابية…»[47]
Artinya, “Sebuah perkampungan makmur di Syam bernama Jabiyah, akan runtuh dan terkubur…”
Imam Baqir as menukil dari Imam Ali as bahwa diantara tanda-tanda kemunculan Imam Mahdi as adalah peristiwa Al-Khasf (tenggelam tertelan) di Harasta.
- Imam as bersabda:
«…فاذا کان ذلک فانظروا خسف قرية من دمشق يقال لها حرستا…»[48]
Artinya, “Waktu peristiwa (zhuhur dan munculnya Imam Mahdi as) ini akan terjadi, maka tunggulah kalian akan peristiwa Al-Khasf (tenggelam tertelan) sebuah perkampungan di Syam bernama Harasta.
Peristiwa Al-Khasf (tenggelam tertelan) di Baghdad dan Basrah.
- Imam Shadiq as bersabda:
«…يزجر الناس قبل قيام القائم (عج) عن معاصيهم بنار تظهر في السماء…و خسف ببغداد و خسف ببلد البصرة»[49]
Artinya, “Allah Swt sebelum munculnya Imam Mahdi as, akan mengazab orang-orang lantaran dosa-dosanya dengan sebuah api yang datang dari langit… Peristiwa Al-Khasf (tenggelam tertelan) di Baghdad dan di sebuah kota di Basrah.”
Kesimpulan
Peristiwa Al-Khasf (tenggelam tertelan) di wilayah atau kawasan bernama Baidâ, adalah salah satu ciri dan tanda pasti kemunculan Imam Zaman as dimana hal itu mendapat perhatian besar dalam riwayat-riwayat Syiah dan Ahlusunnah, dan telah dijelaskan bahwa pasukan Sufyani, setelah pasukan besarnya berhasil menaklukkan banyak wilayah dan negeri serta telah banyak menumpahkan darah, bergerak menuju Mekah dan mencari Imam Zaman as yang pada akhirnya mereka sampai di sebuah daerah atau kawasan bernama Baidâ (antara Mekah dan Madinah) dan dengan kemukjizatan Ilahi, mereka akan tenggelam terkubur di wilayah itu.
Referensi:
1. Al-Qur’an al-Karim
2. Ibnu al-Asy’ats al-Sajistani, Sunan Abi Daud, riset dan komentar: Said Muhammad al-Liham, cet. 1, Dâr al-Fikr Liththabâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, 1410 H – 1990 M.
3. Ibnu Jarir al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, Beirut, Dâr al-Kitâb al-‘Ilmiyah, 1983 M.
4. Ibnu Hammad, Abu Naim, al-Fitan, cet. 1, Beirut: Nasyr Maktabah al-Shafâ, 1382.
5. Ibnu Manzur, Lisân al-‘Arab, cet. 1, Beirut: Nasyr Dâr al-Turâts al-‘Arabî, 1408 H.
6. Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Dâr Shâdir, Beirut.
7. Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhârî, Dâr al-Fikr Liththabâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, Beirut, 1401 H – 1981 M.
8. Al-Tirmizi, Sunan al-Tirmidzî, riset dan revisi: Abdurrahman Muhammad Utsman, cet. 2, Dâr al-Fikr Liththabâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, Beirut, 1403 H – 1983 M.
9. Al-Hakim al-Naisaburi, al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhain, riset: Isyraf: Yusuf Abdurrahman al-Mar’asyali.
Hairi Yazdi, Syaikh Ali, Ilzâm al-Nâshib, Najaf: Muassasah Haqbîn.
10. Al-Husain bin Hamdan, al-Hidâyah al-Kubrâ, Beirut, Muassasah al-Balâgh, 1411 H.
11. Al-Hamawi, Mu’jam al-Buldân, Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabî, Beirut, 1399 – 1979 M
12. Huwaizi, Abdul’ali, Nûr al-Tsaqalain, cet. 4, Qom: Muassasah Ismâ’iliyân, 1412 H.
13. Khalil bin Ahmad al-Farahidi, al-‘Ain, riset: Dr. Mahdi al-Makhzami dan Dr. Ibrahim al-Samirani, revisi As’ad al-Thayyib, cet. 1, Intisyârât Uswah, Qom, 1414 H.
14. Zubaidi, Muhammad Murtadha, Tâj al-‘Arûs min Jawâhir al-Qâmûs, cet. 1, Beirut: Nasyr Maktabah al-Hayât, tanpa tahun.
15. Sulaiman, Kamil, Yaum al-Khalâsh fî Zhil al-Qâ’im, cet. 2, Qom: Chap-e Ghadîr, 1383 Syamsi.
16. Suyuti, Jalaluddin, Tafsir Dur al-Mantsûr, cet. 1, Beirut: Nasyr Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabiyah, 1421 H.
17. Syaikh Mufid, Abi Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Nu’man, al-Irsyâd, cet. 1, Qom: Nasyr al-Mu’tamar al-‘Âlamî Lialfiyah al-Syaikh al-Mufîd, 1413 H.
18. Shafi, Luthfullah, Muntakhab al-Atsar, cet. 2, Qom: Nasyr Muassasah Sayyidah al-Ma’shumah, 1421 H.
19. Shaduq, Abu Ja’far Ali bin Husain bin Babwaih al-Qumi, Kamâl al-Dîn wa Tamâm al-Ni’mah, penerjemah: Mansur Pahlavan, Qom: Dâr al-Hadîts, 1382 Syamsi.
20. Tabarsi, Fadhl bin Hasan, Majma’ al-Bayân, cet. 1, Beirut: Nasyr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabiyah, 1412 H.
21. Turaihi, Fakhruddin, Majma’ al-Bahrain, cet. 2, Tehran: Nasyr al-Tsaqâfah al-Islâmiyah, 1367 Syamsi.
22. Tusi, Abu Ja’far Muhammad bin al-Hasan, al-Ghaibah, cet. 2, Qom: Muassasah Mu’arrif al-Islâmiyah, cet. 1417 H.
23. Qusyairi Naisaburi, Abul Hasan, Shahîh Muslim, cet. 1, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1411 H.
24. Muttaqi Hindi, Ali, Kanz al-‘Ummâl, Beirut, Nasyr Dâr al-Fikr, tanpa tahun.
25. Majlisi, Muhammad Baqir, Bihâr al-Anwâr, cet. 3, Tehran: Maktabah al-Islâmiyah, 1372 Syamsi.
26. Muhammad bin Hasan Tusi, al-Ghaibah, riset: Syaikh Ibadullah Tehrani dan Syaikh Ali Ahmad Nasih, cet. 2, Qom: Muassasah al-Islâmiyah.
27. Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Mâjah, riset: Muhammad Fuad Abdulbaqi, Beirut: Nasyr Dâr al-Fikr.
28. Makarim Syirazi, Nasir, Tafsir Nemuneh, cet. 18, Tehran: Dâr al-Kutub al-Islâmiyah, 1378 Syamsi.
29. Nu’mani, Muhammad bin Ibrahim bin Ja’far, al-Ghaibah, terjemahan Muhammad Jawad Gaffari, Tehran: Nasyr Shadûq, 1376 Syamsi.
30. Nuruddin Ali bin Abi Bakr al-Haitsami, Majma’ al-Zawâ’id wa Manba’ al-Fawâ’id, cet. 3, Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, Beirut, 1402 H.
Catatan Kaki:
[1] Yang dimaksud “Syarat-syarat Munculnya” adalah perkara-perkara yang peristiwa kemunculan bergantung kepadanya. Adapun maksud ‘Alâ’im adalah tanda-tanda munculnya Imam Zaman as yang menjelaskan bahwa peristiwa kemunculan itu sudah dekat. Diantara syarat-syarat munculnya adalah adanya sahabat dan pendukung yang cukup, rela berkorban dan dengan ikhlas serta kesiapan umat. Titik persamaan antara syarat-syarat dengan tanda-tanda muncul, terletak pada bahwa kedua-duanya terjadi sebelum Imam Zaman as muncul. Adapun perbedaan dari keduanya, terletak pada beberapa hal dimana sebagiannya adalah:
a). Perkara zhuhur bergantung secara pasti dan nyata terhadap syarat-syarat, yakni tanpa syarat-syarat itu maka ke-zhuhuran Imam Mahdi as tidak akan terjadi, sementara tanda-tanda zhuhur tidak memiliki hubungan sebab-akibat, dengan itu bisa saja terjadi zhuhur tanpa ada sebagian tanda-tandanya. Oleh itu, tanda-tanda itu dibagi menjadi dua: pasti dan tidak pasti.
b). Tanda-tanda zhuhur, adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi secara tersebar di masa kegaiban dan berakhir sebelum bangkitnya Imam Zaman as, dan tidak mesti ada di satu waktu. Adapun mengenai syarat zhuhur, masing-masing merupakan mukadimah yang saling terkait, semuanya punya hubungan pasti dengan perkara zhuhur dan akan terus ada hingga tiba waktu kemunculan Imam Mahdi as.
c). Bisa dikatakan, tanda-tanda punya sisi penyingkapan tentang zhuhur, dan menunjukan akan dekatnya peristiwa itu dan tugas mereka berakhir tatkala muncul, sementara syarat-syarat zhuhur memiliki pengaruh dan efek dalam mewujudkan kemunculan Imam Mahdi as dan ia harus ada walau pada saat terjadinya zhuhur.
d). Syarat-syarat ada dalam program dan planing Allah Swt, dalam artian bahwa Allah Swt dari sejak awal penciptaan manusia, telah ada syarat-syarat zhuhur, berbeda dengan dengan tanda-tanda zhuhur dimana manfaat pentingnya adalah menginformasikan kepada kaum Muslimin akan dekatnya peristiwa zhuhur.
e). Perbedaan-perbedaan berikutnya antara tanda-tanda dengan syarat-syarat adalah bahwa mengenai tanda-tanda zhuhur, bisa diteliti kalau hingga saat ini sudah berapa banyak tanda-tanda yang telah terjadi, akan tetapi mengenai syarat-syarat zhuhur, hal serupa diatas tidak bisa dilakukan padanya karena sebagian syarat-syarat seperti tersedianya sahabat dan pendukung yang cukup dan betul-betul ikhlas, dan orang-orang ini tidak bisa diidentifikasi lantaran manusia tidak punya pengetahuan tentang batin umat manusia dan jumlah mereka di dunia.
[2] Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain, bin Babwaih Qumi, Kamâl al-Dîn wa Tamâm al-Ni’mah, bab 57, hal. 556, hadits 7; Muhammad bin Hasan Tusi, al-Ghîbah; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, hal. 209, hadits 49.
[3] Al-Khalil al-Farahidi, al-‘Ain, jilid 4, hal. 201, kata Khasafa; Ibnu Manzur, Lisân al-‘Arab, jilid 9, hal. 67, kata Khasafa; Fakhruddin, Turaihi, Majma’ al-Bahrain, jilid 1, hal. 646.
[4] Al-Hamawi, Mu’jam al-Buldân, jilid 1, hal. 523; Muhammad Murtadha Zubaidi, Tâj al-‘Arûs min al-Jawâhir al-Qâmûs, jilid 4, hal. 368.
[5] Muhammad bin Ibrahim al-Nu’mani, al-Ghaibah, bab 14, hal. 372, hadits 26.
[6] Enam kitab hadits Ahlusunnah, antara lain: sahih Muhammad bin Ismail Bukhari (wafat 194-256 H); sahih Muslim bin Hujjaj Qusyairi (wafat 204-261 H); sunan abi Daud sulaiman bin asy’ats sajistani (202-275 H); sunan muhammad bin Isa Tirmizi (209-279 H); sunan Ahmad bin Syua’ib Nasai (215-303 H); dan sunan Ibnu Majah Qazwini (207 atau 209-273 H) dimana diantara semua ini, kitab Sahih Bukhari dan Sahih Muslim memiliki kemuktabaran khusus dan setelah al-Qur’an.
[7] Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâri, jilid 3, hal. 19.
[8] Muslim al-Naisaburi, Shahîh Muslim, jilid 8, hal. 167.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Al-Tirmizi, Sunan al-Tirmidzî, jilid 3, hal. 345, hadits 2280; Ibid, hal. 336, hadits 2309. Juga silahkan merujuk: Musnad Ahmad, Imam Ahmad bin HAnbal, jilid 2, hal. 163; Sunan Ibnu Majah, Ibnu Majah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, jilid 2, hal. 1350, hadits 4060 dan 4062; al-Mustadrak, Hakim Naisyaburi, jilid 4, hal. 445; Majma’ al-Zawâ’id, al-Haitsami, jilid 8, hal. 11.
[12] Abu Daud, Sunan Abi Daud, jilid 2, hal. 311, hadits 4286. Juga silahkan merujuk: Kanz al-‘Ummâl, al-Muttaqi al-Hindi, jilid 11, hal. 135, hadits 30932; al-Dur al-Mantsûr, Jalaluddin Suyuti, jilid 6, hal. 58.
[13] Ibnu Majah al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, jilid 2, hal. 1351. Juga silahkan merujuk: Kanz al-‘Ummâl, al-Muttaqi al-Hindi, jilid 12, hal. 207, hadits 34687; al-Dur al-Mantsûr, Jalaluddin Suyuti, jilid 5, hal. 341; Musnad Ahmad, al-Imam Ahmad bin Hanbal, jilid 6, hal. 337.
[14] Syaikh Saduq, Kamâl al-Dîn wa Tamâm al-Ni’mah, jilid 2, bab 57, hal. 553, hadits 1; Syaikh Tusi, al-Ghaibah, hal. 437.
[15] Muhammad Murtadha Zubaidi, Tâj al-‘Arûs, jilid 6, hal. 84.
[16] Fakhruddin Turaihi, Majma’ al-Bahrain, jilid 1, hal. 269.
[17] Muhammad bin Ibrahim al-Nu’mani, al-Ghaibah, bab 24, hal. 392, hadits 67.
[18] Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâri, jilid 3, hal. 19.
[19] Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal. 273, hadits 167; Ali Hairi, Ilzâm al-Nâshib, jilid 2, hal. 119.
[20] Muhammad bin Ibrahim al-Nu’mani, al-Ghaibah, bab 14, hal. 392, hadits 67.
[21] Muslim Naisaburi, Shahîh Muslim, jilid 8, hal. 167.
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Fadhl bin Hasan, Tabarsi, Majma’ al-Bayân, jilid 8, hal. 228; Syaikh Ali al-Huwaizi, Tafsir Nûr al-Tsaqalain, jilid 4, hal. 343; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal. 186.
[25] Ibid, hal. 273; Ali Hairi, Ilzân al-Nâshib, jilid 2, hal. 119.
[26] Muhammad bin Ibrahim al-Nu’mani, al-Ghaibah, bab 14, hal. 392, hadits 67.
[27] Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhârî, jilid 3, hal. 19.
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Fadhl bin Hasan, Tabarsi, Majma’ al-Bayân, jilid 8, hal. 228; Syaikh Ali al-Huwaizi, Tafsir Nûr al-Tsaqalain, jilid 4, hal. 343; Ibnu Hammad, al-Fitan, hal. 425; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal. 187.
[31] Muhammad bin Ibrahim al-Nu’mani, al-Ghaibah, bab 14, hal. 392, hadits 67; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal. 238.
[32] Ali Hairi, Ilzân al-Nâshib, jilid 2, hal. 119.
[33] Muhammad bin Ibrahim al-Nu’mani, al-Ghaibah, bab 14, hal. 392, hadits 67.
[34] Kamil Sulaiman, Yaum al-Khalâsh, hal. 592.
[35] Muhammad bin Ibrahim al-Nu’mani, al-Ghaibah, bab 14, hal. 392, hadits 67.
[36] Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal. 187.
[37] Al-Husain bin Hamdan, al-Hidâyah al-Kubrâ, hal. 398; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal. 273; Ali Hairi, Ilzâm al-Nâshib, jilid 2, hal. 119.
[38] Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal. 250; Ali Hairi, Ilzâm al-Nâshib, jilid 2, hal. 10.
[39] Qs. An-Nisâ: 47; Muhammad bin Ibrahim al-Nu’mani, al-Ghaibah, bab 14, hal. 392, hadits 67.
[40] Ali Hairi, Ilzâm al-Nâshib, jilid 2, hal. 198; Shafi Gulpaigani, Muntakhab al-Atsar, hal. 565.
[41] Ibnu Jarir al-Tabari, Jâmi’ al-Bayân, jilid 22, hal. 129; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal. 187; Shafi Gulpaigani, Muntakhab al-Atsar, hal. 565.
[42] Shafi Gulpaigani, Muntakhab al-Atsar, hal. 565.
[43] Muhammad bin Ibrahim al-Nu’mani, al-Ghaibah, bab 18, hal. 423, hadits 14; Makarim Syirazi dkk, Tafsir Nemuneh, jilid 18, hal. 152.
[44] Al-Syaikh Ali al-Huwaizi, tafsir Nûr al-Tsaqalain, jilid 4, hal. 343; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal. 86; Kamil Sulaiman, Yaum al-Khalâsh, hal. 451.
[45] Muhammad bin Ibrahim al-Nu’mani, al-Ghaibah, bab 14, hal. 393, hadits 67; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal. 238.
[46] Syaikh Tusi, al-Ghaibah, hal. 436; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal. 209.
[47] Muhammad bin Ibrahim al-Nu’mani, al-Ghaibah, bab 14, hal. 391, hadits 67; Syaikh Tusi, al-Ghaibah, hal. 442, hadits 434.
[48] Ibid, bab 18, hal. 424, hadits 16; Ibid, hal. 461, hadits 476.
[49] Syaikh Tusi, al-Ghaibah, hal. 461, hadits 476; Abi Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Nu’man, Syaikh al-Mufid, al-Irsyâd fî Ma’rifah Hujajillâh ‘alâ al-‘Ibâd, jilid 2, hal. 378; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal. 221, hadits 16.
(Shafei-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email