Rasulullah SAW adalah madzhab yang pertama, kepada beliaulah umat Islam mempelajari segala urusan agama dan dunia. Beliaulah tempat mereka kembali dalam menjelaskan soal-soal umum, baik dalam bidang perudang-undangan, bidang hokum dan lain-lain.
Sesudah Rasulullah wafat, barulah timbul perselisihan dalam kalangan umat Islam dalam bidang ushul dan dalam bidang furu’.
Fikih Syiah mengalami masa naik-turun di berbagai periode historis. Salah satu era fikih yang pernah dilalui mazhab Syiah, adalah era kekuasaan aliran Ahlulhadits atau Akhbariyun (aliran yang mengedepankan lahiriah hadis).
Dengan berakhirnya era nash pada tahun 260 H, fukaha dan ahli hadis Syiah mulai mencicipi pengalaman tidak adanya kontak langsung dengan imam maksum as. Satu-satunya opsi di hadapan mereka adalah berijtihad dengan metode dan sarana khususnya. Sebelum itu, para imam as telah mendorong para pengikut mereka untuk berijtihad. Namun, metode ijtihad di masa keberadaan maksumin as masih sangat sederhana. Ini disebabkan adanya nash-nash yang bisa diperoleh dengan mudah, sehingga jarang ada kesempatan untuk berpegang dengan dalil-dalil dhanni.
Pasca zaman kehadiran maksumin as, fikih Syiah berhadapan dengan berbagai aliran. Sekelompok ulama dan fakih hanya mencukupkan diri dengan hadis dan lahiriahnya. Mereka melalaikan metode ijtihad dan istinbath `aqli. Salah satu dari mereka adalah Abulhusain Ali bin Abdullah bin Washif Nasyi.
Abulhasan Nasyi lahir di tahun 271 dan meninggal tahun 365 atau 366 H. Ia adalah seorang penyair dan fakih terkemuka, juga pecinta Ahlulbait as. Ia membangun aliran fikihnya berasaskan kepercayaan berlebihan terhadap makna lahiriah riwayat. Terkait kepribadian ilmiah dan metode istinbath Abulhasan Nasyi, Syaikh Thusi mengatakan,
”Ali bin Washif Nasyi adalah seorang mutakallim (teolog) dan pujangga piawai. Ia memiliki beberapa karya tulis. Metodenya dalam fikih adalah metode yang juga diikuti aliran Dhahiriyah.”
Kendati di jaman sekarang tak ada peninggalan ilmiah dari aliran hadis ini, namun dengan melihat sikap para ulama di masa itu, bisa dikatakan bahwa aliran Dhahiriyah adalah sebuah ancaman serius bagi mazhab Syiah.
Ancaman tidak hanya terarah kepada fikih Syiah semata, tapi juga kepada teologinya. Sayyid Murtadha ra mengatakan,
”Para Ahlulhadits meriwayatkan apa yang mereka dengar dari para pendahulu mereka. Mereka tidak memerhatikan apakah yang dinukil mereka adalah dalil syar`i atau bukan…Kita melihat mereka berargumentasi dengan khabar wahid dalam masalah ushuludin seperti tauhid, kenabian, dan imamah, padahal setiap orang berakal melarang berpegang dengan khabar wahid dalam ushuludin.
”Bahkan sebagian dari mereka meyakini jabr dan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk) lantaran mengamalkan khabar wahid. Sebagian dari mereka bahkan berargumentasi dengan riwayat yang tidak diriwayatkan sendiri oleh mereka, juga tidak mereka dengar dari penukilnya, agar dia bisa dihukumi sebagai perawi terpercaya atau bukan. Jika mereka ditanya tentang dalil hukum fikih, mereka akan menjawab,’Aku melihatnya di kitab anu dan dinisbatkan kepada riwayat Fulan bin Fulan. Sesiapa yang menerima khabar wahid sebagai hujjah atau tidak, tahu bahwa metode penggunaan khabar wahid semacam ini tidak dibenarkan. Maka, benar jika dikatakan bahwa metode ini hanya berujung pada kesesatan.”
Di sisi berlawanan dari metode istinbath ini, ada sejumlah fakih yang bersikap moderat. Mereka mengkritisi riwayat dengan standar-standar yang telah diajarkan Ahlulbait as, untuk kemudian menyimpulkan hukum syariat darinya.
Meski aliran kedua ini tidak menentang aliran pertama secara terbuka, tapi dalam praktiknya, aliran ini mampu mengalahkan aliran Dhahiriyah. Apalagi Dhahiriyah memang dianggap tidak inovatif dan dinamis serta menyeru pengikutnya untuk menerima riwayat tanpa pandang bulu.
Pada hakikatnya, fukaha yang membedah fikih dengan metode kedua, memopulerkan aliran hadis dengan disertai kecenderungan rasional dalam proses istinbath hukum. Mereka mendidik murid-murid berdasarkan aliran ini. Sebagian dari tokoh-tokoh terkenal aliran ini adalah:
1. Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Abi Aqil Ammani (wafat 329)
Dia adalah seorang fakih dan teolog abad keempat Hijriah. Ia adalah penulis kitab Al-Mutamassik bi Habl Al Al-Rasul.
Terkait metode fikih Hasan Ammani, Allamah Syustari mengatakan,
”Kitab ini (Al-Mutamassik) tidak sampai ke tangan kita. Namun, Allamah (Hilli) dalam Al-Mukhtalaf menukil dari kitab ini. Ia memiliki pendapat dan fatwa yang berbeda dari kebanyakan ulama. Ia mengedepankan keumuman ayat atas kekhususan dalam riwayat sahih. Sebab itu, ia berfatwa: qadha puasa orang yang sakitnya berlanjut hingga tahun berikutnya, tidak gugur. Dalilnya adalah keumuman ayat, Maka wajib menggantinya di hari-hari lain (Al-Baqarah:184).
Ia juga berfatwa bahwa izin istri tidak disyaratkan jika suami berniat menikahi keponakan istrinya. Dalilnya adalah ayat, Dan Allah menghalalkan bagi kalian yang di balik itu. Ia tidak mengamalkan hadis selain yang mutawatir. Tentunya, seperti halnya Syaikh Mufid dan Sayyid Murtadha, ia mengklaim kemutawatiran pada kasus-kasus yang tak memiliki hadis mutawatir. Ia pun mengklaim ijma` pada masalah-masalah yang tak ada ijma`.”
2. Abulhasan Ali bin Husain bin Musa bin Babawaih Qummi (260-329)
Ia adalah ayah Syaikh Shaduq serta seorang fakih dan ahli hadis Syiah. Ia menulis banyak kitab fikih, yang sebagian di antaranya disebutkan dalam Al-Fihrist karya Najjasyi. Fatwa-fatwanya dipilih dari teks nash dan riwayat. Oleh karena itu, berbekal kepercayaan kepadanya, para ahli fikih dan hadis Syiah mengutip frase-frase dari karya-karya fikihnya, saat mereka mereka tidak memiliki nash di tangan.
Tentang hal ini, Syahid dalam Al-Dzikra mengatakan,
”Ketika para ulama kita tidak menemukan suatu riwayat, maka mereka akan berpegang dengan kitab Al-Syarai` Syaikh Abulhasan bin Babawaih. Ini disebabkan prasangka baik mereka terhadapnya; bahwa fatwanya sama seperti riwayat. Pendek kata, fatwa-fatwa mereka berkedudukan seperti riwayat-riwayat mereka.”
Syaikh Shaduq pun dalam permulaan kitab Man La Yahdhuru Al-Faqih menegaskan hal ini. Dalam berbagai tempat di kitab ini, beliau memanfaatkan kutipan-kutipan dari kitab-kitab ayahandanya sebagai riwayat.
3. Abu Ali Muhammad bn Ahmad bin Junaid Iskafi (wafat 381)
Ia juga termasuk fakih yang tak hanya menerima riwayat semata, tapi juga meyakini qiyas (yang diperbolehkan). Ia menulis kitab Al-Ahmadi fi Al-Fiqh Al-Muhammadi dan Tahdzib Al-Syi`ah li Ahkam Al-Syari`ah berasaskan metodenya ini.
Terkait tokoh ini, Allamah Syustari mengatakan,
”Ibnu Junaid dituduh mengamalkan qiyas. Namun, tuduhan ini tidak bisa dibuktikan, sebab kebatilan qiyas adalah salah satu doktrin mazhab Imamiyah. Kemungkinannya adalah dia mengamalkan keumuman dan kecakupan `illah, yang dipandangnya bukan bagian dari qiyas. Maka itu, salah satu kitabnya (Kasyf Al-Tamwih fi Al-Iltibas `ala Aghmar Al-Syi`ah) berkenaan dengan topik qiyas. Saya berpikir, jika kitab-kitab Ibnu Junaid ditemukan, maka itu akan lebih dekat dengan fikih kita ketimbang karya-karya Syaikh Thusi seperti Al-Mabsuth dan Al-Khilaf.”
Ibnu Junaid juga menulis sebuah kitab dalam rangka mengenalkan metode ijtihadnya, yaitu Idhar Ma Satarahu Ahl Al-`Inad min Al-Riwayah `ala Aimmah Al-`Itrah fi Amr Al-Ijtihad.
4. Abu Ja`far Muhammad bin Ali bin Babawaih Qummi (306-381)
Beliau dikenal dengan sebutan Syaikh Shaduq. Beliau adalah salah satu tokoh dalam pentas keilmuan dan kehadisan Syiah di abad keempat. Berlawanan dengan orang-orang yang hanya merasa cukup dengan makna lahiriah nash, beliau mengkritisi dan membedah riwayat-riwayat. Beliau menerapkan kaidah-kaidah ushul dan rijal dalam karya-karya fikihnya. Beliau adalah seorang ahli hadis besar Syiah dan pakar dalam ilmu rijal.
Dengan menghimpun beragam riwayat, Syaikh Shaduq menyusun kurang lebih tiga ratus risalah dan kitab. Adapun khusus untuk fatwa, beliau menulis Al-Muqni` dan Al-Hidayah. Telaah atas dua kitab ini akan menggambarkan dengan baik metode fikih beliau dalam mengkritisi riwayat.
Dalam menyusun kitab Man La Yahdhuruhu Al-Faqih, Syaikh Shaduq bahkan tidak berpegang pada satu riwayat pun. Terkait hal ini, beliau mengatakan,
”Dalam kitab ini (Man La Yahdhuruhu Al-Faqih), saya tidak bermaksud menghimpun semua riwayat, sebagaimana yang dilakukan para penulis lain. Yang saya himpun hanyalah riwayat yang dengannya saya berfatwa, yang saya anggap sahih, dan meyakininya sebagai hujjah antara saya dan Allah.”
Meski demikian, ilmu fikih Syiah tetap tidak melampaui lingkup penukilan hadis dan penerapannya. Bukti klaim ini adalah beragam referensi fikih yang hingga masa itu, jarang melampaui batas riwayat.
Syaikh Thusi mengkritik metode ijtihad para pendahulunya. Dalam mukadimah kitab fikihnya, beliau mengatakan,
”Fukaha Syiah percaya bahwa mereka harus memanfaatkan nash-nash dalam masalah-masalah fikih, sehingga ketika lafad hadis berubah dalam suatu masalah dan hanya maknanya yang diungkapkan, mereka akan terheran-heran.”
Kecenderungan kepada hadis ini, kendati ditunjukkan dalam beragam bentuk di berbagai kondisi, tak hanya memudarkan peran akal sebagai salah satu rukun ijtihad, tapi juga menyebabkan sebagian fukaha melalaikan elemen-elemen Al-Quran dalam masalah-masalah fikih. Akibatnya, fikih Syiah hanya tampak dalam kemasan fikih keriwayatan, bukan fikih yang berasaskan ijtihad dan akal.
Pada masa inilah, para fakih-teolog, dengan berbekal pemahaman mereka tentang masalah-masalah rasional dan batasan penerapannya, menginjakkan kaki di pentas fikih. Mereka menyelamatkan fikih Syiah dari keterpurukan yang melandanya pasca era keberadaan maksum, yang diakibatkan kecenderungan sebagian Ahlulhadits menerima makna lahiriah riwayat semata. Periode ini dimulai di masa Syaikh Mufid dan mencapai puncaknya di masa Syaikh Thusi.
Tokoh pertama yang mampu membawa kesegaran baru bagi fikih Syiah, adalah teolog sekaligus fakih besar Dunia Islam, yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Muhammad bin Nu`man Baghdadi, atau lebih dikenal dengan sebutan Syaikh Mufid (336-413).
Beliau menentang metode fukaha pendahulunya. Beliau mengkritik keras kecenderungan kepada makna lahiriah hadis dalam masalah-masalah fikih dan teologi. Beliau membuka jalan bagi argumentasi rasional dalam syariat (tentunya dalam batas-batas yang diperbolehkan).
Syaikh Mufid mempertanyakan aliran Ahlulhadits dengan kitab yang ditulisnya, yaitu Maqabis Al-Anwar fi Al-Rad `ala Ahl Al-Akhbar. Kendati beliau adalah murid Syaikh Shaduq dan menimba ilmu darinya, namun beliau mengkritik keras pandangan-pandangan gurunya. Melalui cara ini, selain membenahi pemikiran dan keyakinan mazhab Syiah, beliau juga mengajarkan metode ijtihad.
Terkait hal ini, yang bisa dijadikan rujukan adalah beberapa karya Syaikh Mufid seperti Ajwibah Al-Masail Al-Sarwiyah, Tashhih Al-I`tiqad, dan Jawab Ahl Al-Hair.
Tokoh kedua yang mengibarkan bendera perang kepada Ahlulhadits adalah seorang teolog, fakih, dan pakar Ushul Fikih Syiah, yakni Sayyid Murtadha `Alam Al-Huda Ali bin Husain bin Musa (355-436).
Dalam berbagai tulisannya, Sayyid Murtadha menolak metode Ahlulhadits. Beliau melapangkan jalan ijtihad berasaskan Al-Quran, Sunnah, ijma`, dan akal bagi dirinya dan para muridnya.
Sayyid Murtadha menulis sebuah kitab tentang prinsip-prinsip syariat Syiah yang berjudul Al-Dzari`ah ila Ushul Al-Syari`ah. Kitab ini mencakup empat belas bab, dan tiap bab meliputi beberapa pasal.
Dengan menelurkan karya semacam ini, beliau memperkenalkan budaya ijtihad Syiah untuk pertama kalinya setelah masa kegaiban. Dengan ini, praktis beliau membuka pintu ijtihad bagi generasi-generasi setelahnya.
Tentang metode ijtihad dan istinbath Sayyid Murtadha, penulis Raudhat Al-Jannat menulis:
“Dibandingkan orang lain, Sayyid Murtadha lebih mengenal Al-Quran, Sunnah, serta cara penakwilan ayat dan riwayat. Lantaran beliau menolak mengamalkan khabar wahid, beliau memanfaatkan Al-Quran, Sunnah, dan hadis mutawatir dalam menyimpulkan hukum syariat. Wajar bahwa penyimpulan hukum seperti ini membutuhkan pengetahuan luas tentang hadis, penguasaan ushul fikih, ilmu tafsir, dan cara mengambil masalah-masalah hukum dari Al-Quran…”
Penulis Al-Hadaiq mendeskripsikan metode ijtihad Sayyid Murtadha sebagai berikut,”Beliau adalah mujtahid dan pakar ushul fikih tulen, yang jarang berpegang dengan argumentasi riwayat. Beliau hanya berargumentasi dengan dalil-dalil akal. Fakta ini bisa diketahui orang yang merujuk karya-karya fikihnya.”
Tokoh ketiga yang sukses menghapus bersih aliran Dhahiriyah atau Ahlulhadits dari benak umat, juga yang membuat pintu ijtihad terbuka untuk selamanya, adalah fakih besar dan teolog terkenal Syiah, yaitu Abu Ja`far Muhammad bin Hasan Thusi, yang dikenal dengan sebutan Syaikh Al-Thaifah (wafat 460).
Dengan menggabungkan Al-Quran, riwayat, dan akal, beliau berusaha membuat jalan ijtihad senantiasa terbuka. Di samping mengembangkan fikih Syiah, beliau juga tetap menjaga prinsip-prinsip tradisionalnya.
Dalam rangka menjaga riwayat-riwayat Ahlulbait as, Syaikh Thusi menelurkan dua karya fikih besar dengan metode yang relevan, yaitu Al-Istibshar fima Ukhtulifa min Al-Akhbar dan Tahdzib Al-Ahkam. Judul dua kitab ini secara global mengilustrasikan pola pemikiran Syaikh Thusi dalam masalah-masalah fikih.
Demi melindungi warisan otentik para pendahulunya di bidang penulisan kitab fikih, Syaikh Thusi juga menyusun kitab Al-Nihayah. Selama beberapa abad, kitab ini merupakan salah satu literatur fikih terpenting Syiah.
Dalam kitab Al-Mabsuth, beliau menerapkan ijtihad dalam berbagai hukum Islam lebih dari para fukaha terdahulu. Beliau mengecam dan mengkritik keras kejumudan berpikir dan penafsiran lahiriah yang menguasai sebagian fakih dan ulama sebelum dirinya.
Mukadimah Al-Mabsuth adalah salah satu dokumen sejarah terbaik yang menggambarkan metode ijtihad dan istinbath sebelum masa Syaikh Thusi. Beliau menghentikan tren ijtihad itu secara total dan mewujudkan harapannya (ijtihad yang rasional dan dinamis) melalui kitab ini.
Pemikiran ushul fikih bertujuan mencari jawaban yang terkandung dalam syariat Islam dan menempatkan kaidah-kaidah yang mempunyai potensi ruang lingkup luas di dalam syariat serta mampu menghadapi tuntutan masalah manusia kapan pun dan dimana pun. Pemikiran ushul fikih bertanggung jawab besar mengembangkan pemikiran dalam rangka memenuhi tuntutan zaman. Adalah jelas bahwa tempat dan waktu terus mengalami perluasan kapasitas dan perkembangannya. Sehingga hal ini menjadikan pemikiran ushul fikih memiliki tugas rutin untuk melaksanakan kewajibannya sebaik mungkin, demikian pula dengan perkembangannya yang tidak boleh berhenti bahkan harus terus tumbuh.
Disiplin ilmu ushul fikih selalu memberikan pembaruan bagi orang yang mengalami kelemahan dan kejumudan dalam pemikiran ushul, sehingga dengan demikian pemikiran ushul tetap langgeng. Pemikiran ushul fikih yang islami berupaya menghubungkan pelbagai pemikiran yang memilki kesamaan dengan ushul. Dan pemikiran ushul fikih juga harus berkewajiban untuk mengontrolnya.
Mungkin saja pemikiran ushul mempunyai hubungan dekat ataupun jauh dengan pelbagai bidang agama atau hukum positif, akademi atau non akademi, seperti pelbagai disiplin ilmu, teori-teori bahasa, undang-undang atau akedemi modern. Pemikiran ushul juga memilki hubungan yang dekat dan jauh dalam kaitannya dengan pemikiran Ahlusunah dan Syiah. Dua mazhab ini sangat kaya dengan pemikiran akan tetapi keduanya memiliki perbedaan pandangan, baik secara metodologis maupun pendiri/tokoh sentralnya. Meskipun demikian keduanya secara keilmuan tetap saling membantu dan melengkapi sehingga keduanya mampu mengharumkan keilmuan Islam dan memajukannya. Mazhab Imamiyah berperan penting di bidang pemikiran umum yang berjalan selama dua abad yang lalu.
Pada dasarnya pemikiran ushul fikih yang bersifat umum mengalami perkembangan yang cepat dan pesat karena kedua mazhab besar Islam ini satu sama lain saling bergotong royong. Mazhab Ahlusunah mengadopsi apa yang dimiliki oleh mazhab Syiah, baik dari sisi metode maupun pandangan-pandangannya, dan mazhab Syiah pun melayani kebutuhan saudaranya dengan baik dan memberikan persepsinya secara bebas. Maka tak ayal lagi, kedua mazhab Islam ini pun mengalami perkembangan yang pesat sepanjang masa.
Sebagaimana kedua mazhab ini telah mediskusikan masalah Sunah sebagai bahan kajian, lalu menguraikannya secara ilmiah dengan bentuk dan metode yang berbeda-beda. Meskipun pada akhirnya kesimpulan akhir dari hasil kajian masing-masing mazhab berbeda, namun sudah barang tentu kita menyikapinya secara wajar, dewasa dan bijaksana. Kita harus mampu memaparkan tema yang penuh dengan dinamika. Dan salah satu tema yang sangat dinamis adalah tema syariat Islam, dimana kita harus mampu memberikan perbandingan pandangan di dalamnya. Dari situlah kita akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang bisa memuaskan kedua mazhab ini. Dua mazhab besar ini memberikan kontribusi yang sangat besar untuk memajukan pemikiran ushul fikih islami yang umum dan mampu memenuhi tuntutan yang dimaksudkan oleh ilmu ushul.
Kedudukan Sunah dalam Pandangan Kaum Muslim
Sunah menduduki posisi yang khusus dalam pandangan kaum muslim setelah Al Quran al Karim, dan kaum muslim sepakat akan hal itu, tetapi hanya segelintir saja yang menolaknya, seperti kaum Khowarij dan Zanadiqoh. Sunah menjadi sumber rujukan kedua sebagai landasan penetapan syariat Islam. Seandainya saja Sunah tidak ada maka syariat tidak akan sempurna dan hanya tinggal dasar-dasar secara umum dan hukum yang terpotong-potong.
Sunah menurut bahasa berarti jalan yang ditempuh yang bersifat terus-menerus. Menurut istilah fiqih, yang dimaksud dengan Sunah terkadang memiliki kesamaan dengan hukum istihbab (hukum Sunah) lawan dari bid’ah. Terkadang juga memiliki arti yang kedua menurut istilah ilmu kalam. Adapun kesepakatan di antara mazhab Islam adalah bahwa sunah berarti perkataan Nabi saw, perbuatan, atau keputusannya.
Mazhab Imamiyah mempunyai dalil-dalil yang diambil dari Ahlul Bait Nabi saw, dimana mereka adalah hujah-hujah untuk umat setelah Nabi saw. Sebab itulah mereka memperluas definisi Sunah hingga mencakup Sunah para imam Ahlul Bait. Sehingga istilah Sunah menurut mereka berarti perkataan seorang maksum (manusia yang terjaga dari dosa), perbuatan dan keputusannya.
Bagi yang membutuhkan kebenaran maka Sunah merupakan perkara yang jelas yang tidak membutuhkan penjelasan dan pembuktian. Seandainya saja tidak ada dalil yang membuktikan Sunah maka peninggalan Nabi dan pengajarannya akan menjadi sia-sia belaka. Andaikan Sunah tidak ada maka jawaban-jawaban yang diberikan dari pertanyaan kaum muslim pasti tidak berfaedah karena jawaban tersebut tidak berdasarkan pijakan yang jelas. Di samping itu, ayat-ayat Al Quran pun tidak akan dipahami dengan baik dan benar dan ketaatan kepada Nabi saw akan sirna dan patut dipertanyakan. Tanpa Sunah, tidak ada artinya mempelajari perintah dan larangan Nabi saw. Berkaitan dengan hal ini, Allamah Sayyed Muhammad Taqi Al hakim berkata:
”Sungguh hampir saja aku tidak memahami arti Islam tanpa adanya Sunah.”
Sunah yang sampai pada tingkatan tertentu akan memberikan kejelasan sedangkan membangun bukti tanpa berdasarkan Sunah tidak akan memilki arti sama sekali. Karena yang bisa dijadikan bukti/dalil adalah ilmu maka para pakar ilmu ushul fikih mengatakan yang bisa dijadikan dalil adalah Kitab, Sunah, ijma’ dan akal. Kita harus menguasai keempat hal tersebut. Sebenarnya para ahli fikih dan dan para imam empat mazhab telah membahas dan menetapkan bahwa Sunah itu sebagai hujah (bukti). Dan mereka pun memperluas cakupan pembahasan, seperti Imam Syafi’i dalam kitabnya “Al um”, dalam kitabnya “Irsyadul fuhul ila ilmu ushul”, Syeih Muhammad Abu zahra dalam kitabnya “Ushul fiqih”, Syeih Doktor Wahbah Az zahili dalam kitabnya “Ushul figih al Islami”. Dan masih banyak lagi dari orang-orang terdahulu dan sekarang.
Sayyed Muhammad Taqi Al Hakim ikut berkomentar dalam kesempatan ini ketika para ahli ushul dan para imam empat mazhab menjadikan Sunah sebagai dalil dengan alasan berikut:
1. Al-quran: Al-quran yang menunjukan kebenaran Sunah Nabi saw sebagai dalil dengan firman-Nya: “Taatlah kalian pada Allah dan taatlah pula pada Rasul-Nya dan pemimpin yang datang dari kalian, jika kalian berseteru pada sesuatu maka kalian kembalikanlah pada Allah dan Rasul-Nya…? Allah SWT berfirman :”….maka apa yang datang pada Rasul kalian ambillah dan apa yang dilarang olehnya maka jauhilah…” Allah SWT berfirman: ”Barang siapa yang taat pada Rasul maka ia telah taat pada Allah…” Al Qozali berdalil dengan firman Allah SWT: ”Tidaklah keluar dari ucapan (Muhammad) dari hawa nafsunya melainkan wahyu yang diturunkan.” Sebagian wahyu yang dibacakan maka dinamakan Kitab (Al-quran) dan sebagian yang lain yang tidak dibacakan dinamakan dengan Sunah. Sunah Nabi saw bagian dari wahyu Ilahi yang wajib ditaati.
2. Sunah( hadis): Sebagian mereka berdalil Sunah dengan Sunah itu sendiri, seperti sabda Rasul saw pada haji wada’: “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang tidak akan tersesat kalian dengan keduanya selama-lamanya, yaitu Kitab Allah dan Sunah Nabi.” Sayyed Al Hakim memberikan komentar atas dalil di atas: ”Dalil ini sangat aneh, karena menimbulkan daur (rotasi) (daur=A butuh B, B butuh A). Karena sesuatu tidak mungkin membuktikan untuk dirinya sendiri.
3. Ijma’: mereka juga berdalil tentang keabsahan Sunah dengan ijma’. Sayyed Al Hakim memberikan komentar, ijma’ jika sumbernya dari Sunah maka ini juga menghasilkan daur, karena ada juga orang yang tidak mengetahui bahwa ijma’ itu sebagai dalil. Maka tidak mungkin ijma’ dijadikan sebagai dalil.
4. Akal: Akal mengatakan bahwa Nabi saw terjaga dari dosa, kesalahan dan lupa. Jika kenabiannya sudah tertetapkan maka keterjagaannya dari dosa pun akan tertetapkan pula. Jika ismah-nya sudah tertetapkan maka Sunahnya adalah syariat. Maka perkataan Nabi saw, perbuatan dan keputusannya tidak mungkin bohong. Perbuatan, perkataan dan keputusannya menjadi bagian dari risalah yang bergantung pada terpeliharanya Nabi dari dosa, salah dan lupa. Kaum muslim pun sepakat terhadap pendapat di atas. Sayyed Muhammad Taqi Al Hakim mengomentari: ”Secara akal dari bukti-bukti yang ada mungkin dapat disebutkan bahwa Sunah itu hujah dan mengingkarinya sama saja dengan mengingkari kenabian. Karena tidak mungkin maksiat muncul dari Nabi, seperti salah dalam tablih, lupa atau lalai yang menghilangkan kepercayaan [manusia terhadapnya] atau yakin dengan apa yang disampaikan sebagai tugas dari Allah SWT, padahal boleh jadi ada kemungkinan salah, lupa dan lalai di dalamnya.”. Meskipun dalil di atas masih diperdebatkan dan dipermasalahkan namun kemudian beliau menjawabnya untuk menghilangkan keraguan dan kesamaran sehingga dalil itu disifati sebagai dalil yang kuat. Dan juga sebagai ganti dari dalil Al-quran yang tidak membutuhkan pemikiran luas.
Pakar ushul empat mazhab ingin mengantarkan pembahasan ini seelegan mungkin dengan mencari dalil bagi orang-orang yang mengingkari Sunah sebagai hujah dengan berdalil bahwa A-lquran telah menyifati dirinya sebagai penjelas segala sesuatu. Kalau saja Al-quran butuh pada Sunah maka ia bukan lagi sebagai penjelas segala sesuatu dan keberadaan Al-quran akan sia-sia belaka. Allah SWT telah menjamin Al-quran dengan menjaganya, sedangkan Dia tidak menjamin untuk menjaga Sunah. Mereka menolak dalil yang mengatakan bahwa Al-quran yang memberikan petunjuk pada Sunah. Maka penjelasan Sunah harus dilihat seperti kedudukan penjelasan Al-quran. Meskipun Al-quran menjadi penjelas segala sesuatu, namun ini tidak berarti mengesampingkan Sunah. Karena banyak syariat yang diambil dari Sunah, seperti bagian-bagian dari kewajiban dan syarat-syaratnya, Sunah-Sunah yang membatalkan dan larangan-larangannya. Dan itu banyak terdapat di fiqih pada bab mua’malat dan iqo’aat.
Pada kajian ini mereka mengatakan bahwa Zanadiq dan kaum Khawarij telah sepakat pada sebuah hadist yang berbunyi:
”Apa saja yang datang pada kalian itu adalah dariku, maka hendaklah kalian merujuk Al-quran, jika sesuai dengan Kitab Allah maka aku yang mengatakannya dan jika bertentangan aku tidak pernah mengatakannya. Bagaimana mungkin aku bertentangan dengan Al-quran karena sebab Al Quran aku mendapatkan petunjuk.”
Imam Syafi’i telah mengatakan hadis yang sama:
“Seseorang meriwayatkan untuk memperkuat hadist ini pada sesuatu yang kecil dan tidak besar.”
Mereka menolak karena hadis di atas dianggap buatan dan bertentangan dengan Al-quran, sementara Al-quran memerintahkan supaya kita mengambil Sunah Rasul saw.
Tujuan mencocokkan hadis dengan Al-quran adalah untuk membedakan antara hadis yang benar dan palsu. Dan itu sebagai dasar bagi para ulama ushul fikih Imamiyah untuk menyelesaikan pertentangan yang muncul dari dalil-dalil syar’i. Mereka memiliki banyak riwayat yang benar yang sesuai dengan Al-quran dan mereka akan mencampakkan ke dinding kalau saja ada hadis yang bertentangan dengan Al-quran.
Pemikiran yang bertentangan dengan Al-quran tidak bisa dijadikan sebagai dalil, dan tidak penting menisbatkannya pada kaum Khowarij dan Zindig, karena akan menyebabkan sia-sia belaka. Karena menetapkan Sunah pada Sunah akan menjadi daur (siklus), demikian pula membatalkan Sunah dengan Sunah adalah perkara yang tidak mungkin.
Dua madrasah besar Sunni dan Syiah sebagai unsur yang bertanggung jawab pada kajian-kajian ilmiah yang beraneka ragam. Metode keduanya harus mampu menjelaskan sejauh manakah kebutuhan akan kajian-kajian ushul. Syathiby dan lainnya juga memahami sebagaimana para pakar ushul fikih Ahlusunah memahami tentang hadis yang menyatakan bahwa Sunah menjadi tempat rujukan Al-quran, lalu dia mengomentarinya:
“Cara yang semacam ini jelas salah, karena ini telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu.”
Akan tetapi di halaman selanjutnya dia mengatakan:
“Apabila hadis bertentangan dengan Al-quran maka hadis itu telah dusta.”
Sunah berkewajiban menjawab dengan mengatakan bahwa hadis-hadis yang benar adalah yang sesuai dengan Al-quran dan tidak membelakanginya. Karena banyak yang berpegang teguh pada hadis hanya dengan anggapan saja tanpa mengoreksi apakah hadis tersebut benar atau tidak. Maka dengan berlalunya zaman, mereka mengetahui cara untuk menolak hadis-hadis palsu.
Apabila sebuah hadis memiliki bukti yang didukung oleh Al-quran maka hadis itu akan menjadi hujah sehingga tidak akan ada hadis-hadis lain yang menafikannya. Dan saat itu pula Al-quran akan menjadi hakim tentang kebenaran sebuah hadis. Terkadang Al-quran sebagai saksi tetapi tidak jelas pada dirinya dan membutuhkan petunjuk dari hadis yang lain. Karena banyak dari permasalahan yang terjadi di dalam Al-quran tetapi tidak bisa diungkapnya, maka dibutuhkanlah hadis sebagai penyingkapnya. Dengan catatan bahwa hadis itu sesuai dengan Al-quran.
Pada akhirnya pembahasan hadis yang dijadikan sebagai rujukan harus sesuai dengan wahyu dan syariat bukan seperti kata ijtihad. Sebagain mereka berkeyakinan bahwa Nabi saw terkadang berijtihad, sedangkan ijtihad itu berpotensi salah dan lupa. Apakah mungkin terjadi kesalahan dan lupa pada Sunah Rasul saw. Juga tidak benar sebagian mereka yang berpendapat demikian “bahwa ijtihad Rasul saw pada hukum-hukum dasar Al-quran dan inti syariat.” Yang benar, yaitu yang mengatakan bahwa Sunah berdasarkan ‘ismah (terjaga) Nabi saw dari dosa, kesalahan dan lupa.
Syathiby mengatakan dalam kitabnya yang berjudul Al Muwafaqat bahwa hadis itu datang dari Allah SWT murni atau hasil dari ijtihad Nabi saw melalui wahyu yang benar yang berdasarkan Al-quran atau Sunah, kedua-duanya tidak mungkin ada pertentangan berdasarkan ayat yang artinya ‘apa yang diucapkan bukan dari hawa nafsu melaikan wahyu yang telah diturunkan.’ Seandainya perkataan Nabi itu boleh salah, maka tidak bisa berpegang dengannya dan harus mencari kebenaran. Sesungguhnya Allah SWT tidak akan membiarkan Nabi saw berijtihad salah, maka Dia akan segera mengembalikan pada kebenaran sebelum beliau mengamalkannya.
Pendapat di atas sama sekali tidak benar, karena jelas bahwa Nabi saw tidak akan berbicara sesuai hawa nafsunya melainkan melalui wahyu yang diturukan padanya. Karena itu seluruh perkataannya adalah hadis. Tidak benar pembagian Sunah pada wahyu dan ijtihad. Seandainya ijtihad itu benar apakah itu perkara yang harus dilakukan? Dan apa kebutuhan Nabi saw pada ijtihad yang menghasilkan pada sebuah hukum, yang terkadang sesuai dengan realita dan terkadang tidak sesuai. Dan apakah ijtihad mampu menghasilkan sebuah hukum yang datang dari wahyu secara langsung?
Sesungguhnya pemikiran ijtihad Nabi saw yang diyakini oleh empat mazhab Ahlusunah membutuhkan pembahasan dan kajian yang cukup mendalam. Dan tentu bukan di sini tempatnya. Ini adalah perbedaan yang mendasar di antara dua mazhab ushul, yaitu madrasah Imamiyah dan madrasah Ahlusunah.
Akal dan Ahlulabait dalam mazhab Syiah Imamiah menempati posisi istimewa terutama dalam juresprudensi. Ahlulbait dipandang sebagai representasi dari supremasi teks suci (al-Qur’an dan hadis Nabi). Sedangkan akal dipandang sebagai alat sekaligus sumber dalam juresprudensi. Dengan kata lain, sumber ijtihad dalam prespektif Syiah adalah al-Qur’an, Sunnah dan akal. Karena al-Qur’an merupakan titik temu yang tidak diperselisihkan kedudukannya dalam semua kelompok Islam, maka makalah ini hanya menyoroti peran Ahlulbait dan akal dalam ijtihad perspektif Syiah Imamiyah.
Satu Umat, Dua Cara Pandang
Ada dua golongan besar yang mengiringi kelahiran Islam. Salah satu golongan beranggapan bahwa periode nash (teks hukum yang absolut) berakhir dengan wafatnya Rasulullah saw. Mereka hanya mengakui Al-Quran dan Sunnah Nabi sebagai sumber hukum yang mutlak, sedangkan sumber hukum setelahnya adalah pandangan-pandangan dan sikap para sahabat Nabi yang secara bertahap diberi legitimasi “sunnah para sahabat” (sunnah al-shahabah), yang harus diterima, sebagaimana yang ditegaskan oleh Syathibi.Setiap sahabat melahirkan “ijtihad” yang berbeda-beda dan saling menggugurkan. Sejarah menjadi saksi, ketika para sahabat besar terlibat dalam konflik intelektual dan militer yang menelan banyak korban secara berkesinambungan, misalnya konflik Khalifah Abubakar dengan Malik bin Nuwairah al-Tamimi (yang berujung dengan penumpasan yang dikenal dengan Harb al-Riddah), Khalifah Umar dengan Khalid bin al-Walid, Khalifah Utsman bin Affan dengan Abu Zar dan konflik-konflik lainnya yang terlalu besar untuk ditutup-tutupi.
Peristiwa-peristiwa tersebut, tanpa memandang para pelakunya, merupakan skandal-skandal yang kelak pada generasi-generasi selanjutnya menjadi objek pertanyaan yang menggoyahkan kredibilitas dan kedudukan para pelakunya sebagai “sumber hukum” setelah Sunnah Nabi.
Karenanya, para ulama dari golongan pertama memberikan predikat “adil” kepada semua sahabat yang terlibat dalam kontroversi tersebut demi mempertahankan status keagamaan dan kredibilitas mereka selaku sumber hukum setelah Al-Quran dan Sunnah. Dengan demikian, usaha apapun untuk mempertahankan (apalagi mengoreksi) kasus mereka harus dicegah. Stigma negatif telanjur diberikan kepada siapa saja yang mengungkit dan mempertanyakan posisi benar dan salah mereka dalam konflik-konflik berdarah itu. Ibnu Ruslan dalam al-Zubad mempertegas hal itu dengan anjuran untuk diam dan tidak membicarakannya lagi, dan sebaliknya memastikan bahwa semuanya akan meraih pahala ijtihad.
Ada dua macam legitimasi yang diberikan untuk para sahabat. Legitimasi pertama berupa penyematan predikat ”pelaku ijtihad”, Legitimasi kedua berupa pemberian predikat ”adil” (udul, dalam bentuk pluralnya), bahwa semua sahabat adalah ’udul.
Karena wilayah kekuasaan umat Islam kian lebar, skup pergaulan dan komunikasi mereka makin luas, maka muncullah kasus-kasus dan masalah baru yang mesti diberi hukum yang jelas. Fenomena ini tampak dengan jelas pada akhir periode dinasti Umayah dan awal periode dinasti Abbasiyah (masa perebutan kekuasaan). Selain itu, kegelisahan mereka juga disebabkan oleh kenyataan tidak (belum) dibukukannya Sunnah Rasulullah.
Melihat situasi yang demikian itu, Umar bin Abdul Aziz mencabut kembali larangan pembukuan hadis. Dia memerintahkan seorang cendekiawan bernama al-Zuhri agar segera mendata dan menginventarisasi setiap riwayat dari Rasulullah saw yang masih tersisa. Zuhri pun melaksanakan perintah itu. Namun, mungkin karena tergesa-gesa dan tidak ada kesepakatan tentangnya, maka, sebagai pelengkap dan penambal, dibagikanlah wewenang berijtihad kepada setiap orang yang pernah hidup pada zaman sahabat.
Tidak terhindarkan lagi, periode tabi’in pun usai. Pada periode inilah para pelaku ijtihad dan sumber hukum terpecah menjadi dua kubu pemikiran yang bersaing ketat meraih pengikut.
Selanjutnya, muncullah empat aliran hukum besar yaitu: Al-Hanafiyah (aliran Abu Hanifah); Al-Malikiyah (aliran Malik bin Anas); Al-Syafi’yah (aliran Syafi’iy) dan Al-Hanbaliyah (aliran Ahmad bin Hanbal).
Boleh jadi, karena pada mulanya kriteria-kriteria mujtahid (bahkan konsep ijtihad sendiri) tidak jelas, maka muncullah kekhawatiran akan semakin membengkaknya jumlah mujtahid dengan berbagai penyelesaian dan fatwa. Kelak para murid empat tokoh aliran golongan pertama ini mengambil keputusan untuk menutup rapat-rapat pintu ijtihad bagi siapapun.
Namun, seiring dengan perjalanan daur zaman, penutupan pintu ijtihad ini pun ditentang. Munculnya gerakan Tajdid yang dipelopori oleh Muhammad Abduh hingga menyebar ke Indonesia yang memunculkan gerakan Muhammadiyah, makin semaraknya forum-forum bahts al-masa’il di sentra-sentra Islam tradisional, NU dan mencuatnya Jaringan Islam Liberal dapat dianggap sebagai bukti betapa ijtihad mesti dihidupkan kembali dan pintunya harus dibuka lebar guna menjawab tantangan zaman dan problematika kontemporer yang melahirkan ribuan kasus hukum.
Sedangkan golongan kedua beranggapan bahwa periode nash (teks hukum absolut) tidaklah berakhir dengan wafatnya Rasulullah saw. Bagi mereka sunnah bukanlah ucapan, tindakan dan sikap setuju yang hanya dilakukan Rasulullah saw saja, melainkan juga tiga belas figur maksum lainnya setelah beliau, yang diawali dari Ali bin Abi Thalib, dan berakhir dengan Muhammad bin Al-Hasan Al-Mahdi (termasuk Fatimah Az-Zahra putri Rasulullah saw).
Mengapa Mesti Ahlulbait?
Berdasarkan hadis-hadis mutawatir yang kesahihannya diakui oleh semua Muslim, Rasulullah saw telah mengabarkan kepada pengikut-pengikut beliau pada berbagai kesempatan bahwa beliau akan meninggalkan dua barang berharga dan bahwa jika kaum Muslim berpegang erat pada keduanya, mereka tidak akan tersesat setelah beliau tiada. Kedua barang berharga tersebut adalah Kitabullah dan Ahlulbait Nabi as.Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dan juga dalam sumber-sumber lainnya, bahwa sepulang dari haji Wada’, Rasulullah saw berdiri berkhotbah di samping sebuah telaga yang dikenal sebagai Khum (Ghadir al-Khum) yang terletak antara Makkah dan Madinah. Kemudian beliau memuji Allah dan berzikir kepada-Nya, dan lalu bersabda:
“Wahai manusia! Camkanlah! Rasanya sudah dekat waktunya aku hendak dipanggil (oleh Allah Swt), dan aku akan memenuhi panggilan itu. Camkanlah! Aku meninggalkan bagi kalian dua barang berharga. Yang pertama adalah Kitabullah, yang dalamnya terdapat cahaya dan petunjuk… Yang lainnya adalah Ahlulbaitku. Aku ingatkan kalian, atas nama Allah, tentang Ahlulbaitku. Aku ingatkan kalian, atas nama Allah, tentang Ahlulbaitku. Aku ingatkan kalian, atas nama Allah, tentang Ahlulbaitku (tiga kali).
Sebagaimana terlihat dalam hadis Shahih Muslim di atas, Ahlulbait tidak hanya ditempatkan berdampingan dengan al-Quran, tetapi juga disebutkan tiga kali oleh Nabi Muhammad saw.
Meskipun ada fakta bahwa penyusun Shahih Muslim dan ahli-ahli hadis Sunni lainnya telah mencatat hadis di atas dalam kitab-kitab Shahih mereka, disayangkan bahwa mayoritas Sunni tidak menyadari keberadaan Ahlulbait tersebut. Bahkan ada yang menolaknya sama sekali. Kontraargumen mereka adalah sebuah hadis yang lebih mereka pegangi yang dicatat oleh Hakim dalam al-Mustadrak-nya berdasarkan riwayat Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah berkata:
“Aku tinggalkan di antara kalian dua barang yang jika kalian mengikutinya, kalian tidak akan tersesat setelahku: Kitabullah dan Sunnahku.”
Tak diragukan bahwa semua Muslim dituntut untuk mengikuti Sunnah Nabi Muhammad saw. Namun, pertanyaannya adalah Sunnah mana yang asli dan Sunnah mana yang dibuat-buat belakangan, dan Sunnah palsu mana yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw.
Menjejaki sumber-sumber laporan Abu Hurairah yang menyatakan hadis versi “Al-Quran dan Sunnah”, terbukti bahwa hadis itu tidak dicatat dalam enam koleksi hadis Sahih Sunni (Shihah as-Sittah). Tidak hanya itu, bahkan Bukhari, Nasa’i, Dzahabi dan masih banyak lainnya, menyatakan bahwa hadis ini adalah lemah karena sanadnya lemah. Mesti dicatat bahwa meskipun kitab milik Hakim adalah sebuah koleksi hadis Sunni yang penting, tetapi kitab ini dipandang lebih rendah dibandingkan dengan enam koleksi utama hadis-hadis Sunni. Sementara itu, Shahih Muslim (yang menyebutkan “Al-Quran dan Ahlulbait”) menempati urutan kedua dalam enam koleksi hadis Sunni tersebut.
Tirmidzi melaporkan bahwa hadis versi “Al-Quran dan Ahlulbait” terujuk pada lebih dari 30 sahabat. Ibnu Hajar Haitsami telah melaporkan bahwa dia mengetahui bahwa lebih dari 20 sahabat juga mempersaksikannya. Sementara versi “Al-Quran dan Sunnah” hanya dilaporkan oleh Hakim melalui hanya satu sumber. Jadi, mesti disimpulkan bahwa versi “Al-Quran dan Ahlulbait” adalah jauh lebih bisa dipegang. Lebih-lebih, Hakim sendiri juga menyebutkan versi “Al-Quran dan Ahlulbait” dalam kitabnya (Al-Mustadrak) melalui beberapa rantai otoritas (isnad), dan menegaskan bahwa versi “Al-Quran dan Ahlulbait” adalah hadis yang sahih sesuai berdasarkan kriteria yang digunakan oleh Bukhari dan Muslim, hanya saja Bukhari tidak meriwayatkannya.
Lebih jauh, kata “Sunnah” sendiri tidak memberikan landasan pengetahuan. Semua Muslim, tanpa memandang kepercayaan mereka, mengklaim bahwa mereka mengikuti Sunnah Nabi Muhammad saw. Perbedaan di antara kaum Muslim muncul dari perbedaan jalur periwayatan hadis-hadis Nabi Muhammad saw. Sedangkan hadis-hadis tersebut bertindak sebagai penjelas atas makna-makna al-Quran, yang keasliannya disepakati oleh semua Muslim. Maka, perbedaan jalur periwayatan hadis – yang pada gilirannya mengantarkan pada perbedaan interpretasi atas al-Quran dan Sunnah Nabi – telah menciptakan berbagai versi Sunnah. Semua Muslim, jadinya terpecah ke dalam berbagai mazhab, golongan, dan sempalan, yang diyakini berjumlah sampai 73 golongan. Semuanya mengikuti Sunnah versi mereka sendiri yang mereka klaim sebagai Sunnah yang benar. Kalau demikian, kelompok mana yang mengikuti Sunnah Nabi? Golongan manakah dari 73 golongan yang cemerlang, dan akan tetap bertahan? Selain hadis yang disebutkan dalam Shahih Muslim di atas, hadis sahih berikut ini memberikan satu-satunya jawaban detail terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Rasulullah saw telah bersabda:
Aku tinggalkan di antara kalian dua “perlambang” yang berat dan berharga, yang jika kalian berpegang erat pada keduanya kalian tidak akan tersesat setelahku. Mereka adalah Kitabullah dan keturunanku, Ahlulbait-ku. Yang Pemurah telah mengabariku bahwa keduanya tidak akan berpisah satu sama lain hingga mereka datang menjumpaiku di Telaga (Surga).
Tentu saja, setiap Muslim harus mengikuti Sunnah Nabi Muhammad saw. Pengikut Ahlulbait tunduk kepada Sunnah asli yang betul-betul dipraktikkan oleh Nabi Muhammad saw dan meyakininya sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Akan tetapi, hadis yang telah disebutkan di atas memberikan bukti bahwa setiap apa yang disebut sebagai Sunnah, yang bertentangan dengan Ahlulbait, adalah bukan Sunnah yang asli, melainkan Sunnah yang diadakan belakangan oleh beberapa individu bayaran yang menyokong para tiran. Inilah basis pemikiran mazhab Syi’ah (mazhab Ahlulbait). Ahlulbait Nabi, yakni orang-orang yang tumbuh dalam keluarga Nabi, adalah orang yang lebih mengetahui tentang Sunnah Nabi dan pernik-perniknya dibandingkan dengan orang-orang selain mereka; sebagaimana dikatakan oleh pepatah:
“Orang Makkah lebih mengetahui gang-gang mereka daripada siapapun selain mereka.”
Secara argumentatif, bila kita menerima kesahihan kedua versi hadis tersebut (Al-Quran-Ahlulbait dan Al-Quran-Sunnah), maka seseorang mesti tunduk kepada interpretasi bahwa kata “Sunnah-ku” yang diberikan oleh Hakim berarti Sunnah yang diturunkan melalui Ahlulbait dan bukan dari sumber selain mereka, sebagaimana yang tampak dari versi Ahlulbait yang diberikan oleh Hakim sendiri dalam Al-Mustadrak-nya dan oleh Muslim dalam Shahih-nya. Kini, marilah melihat hadis yang berikut ini:
Ummu Salamah meriwayatkan bahwa Rasulullah telah bersabda:
“’Ali bersama al-Quran, dan al-Quran bersama ‘Ali. Mereka tidak akan berpisah satu sama lain hingga kembali kepadaku kelak di Telaga (di Surga).”
Hadis di atas memberikan bukti fakta bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan al-Quran adalah tidak terpisahkan. Jika kita menerima keotentikan versi “Quran dan Sunnah”, maka orang dapat menyimpulkan bahwa yang membawa Sunnah Nabi adalah Imam ‘Ali, sebab dialah orang yang diletakkan berdampingan dengan al-Quran.
Begitu juga dengan beberapa ayat Al Quran berikut:
1. Surah Al Ahzab 33 yang menunjukkan akan kesucian Ahlulbait, ” Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Siapa yang dimaksudkan dengan kata Ahlulbait dalam ayat tersebut? Nabi sendiri dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah menjelaskan, bahwa yang dimaksud adalah Ali, Fatimah, Hasan dan Husein yang diselimuti oleh Nabi dengan sebuah selimut dan kemudian dikenal dengan nama hadits Al Kisa’ yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya juz 6 Hal. 292, Tirmidzi dalam Sunan nya Juz 5 Hal. 30 Hadits No. 3258 dan Hakim dalam Mustadraknya Juz 2 Hal. 416.
2. Surah Al-Nisa’ 59 yang menjelaskan tentang kewajiban untuk taat kepada pemimpin yang diistilahkan dengan ”ulul amri” ” Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
Siapa mereka Ulul Amri yang ketaatannya disejajarkan dengan Allah dan Rasul? Maka jawabannya tidak mungkin seseorang yang masih mungkin untuk bersalah, namun harus benar atau maksum, dan pada ayat dan hadis sebelumnya telah dijelaskan siapa yang suci tersebut. Sebagaimana sebuah riwayat dalam kitab Yanabi’ul Mawaddah juga menjelaskan hal itu.
3. Al Maidah 55 yang menjelaskan wali (pemimpin) setelah Rasul, ”Sesungguhnya wali kalian adalah Allah, Rasul dan Mukmin yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat dalam keadaan rukuk”
Banyak mufassir yang menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan ayat di atas adalah Ali yang sedang rukuk dan menjulurkan tangannya untuk menyerahkan cincin di tangannya kepada sang peminta-peminta. Diantara yang menegaskan hal itu adalah Ibnu Katsir dalam Tafsir nya Juz 2 Hal. 64, Al Alusi dalam tafsirnya Ruhul Ma’aniy Juz 6 Hal. 168, Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya juz 4 Hal. 1162, Ath Thabariy dalam tafsir nya juz 6 hal 186, Jalaluddin As Suyuthi dalam tafsirnya Ad Durrul Mantsur Juz 3 Hal 105.
Antara Akal dan Teks: Identifikasi “Area Konflik” dalam Ranah Fikih
Perbedaan Syiah dan Sunni tidak hanya berkisar pada sumber teks pasca Nabi, namun juga pada pandangan masing-masing tentang kedudukan akal sebagai sumber ijtihad. Namun, sebagaimana terjadi perbedaan perlakuan terhadap akal dalam Ahlussunnah antara Ahlul-hadits dan Ahlul-ra’yi, kalangan Syiah juga terbelah jadi dua; Akhbariyun dan Ushuliyun dengan isu yang hampir mirip.Sejarah pemikiran hukum mengungkapkan dua kecenderungan yang sama sekali bertentangan satu sama lain mengenai soal ini. Kecenderungan pertama menuntut adanya penggunaan akal dalam bidangnya yang luas, termasuk pemahaman-pema.haman akal tak sempurna sebagai satu sumber fundamental., untuk menetapkan validitas dalam berbagai bidang yang dipelajari oleh para ahli dalam IImu Ushul dan Ilmu Fiqh. Kecenderungan lainnya dengan tajam mengecam akal serta mencampakkannya dari kedudukannya sebagai satu sarana fundamental untuk membuktikan validitas. Kecenderungan kedua ini memandang al-bayan al-syar’i sebagai satu-satunya sarana yang bisa digunakan dalam proses deduksi.
Di antara kedua kecenderungan ekstrem ini, ada kecenderungan moderat ketiga yang diwakili oleh mayoritas kaum faqih dalam mazhab pemikiran Ahlul Bait. Kecenderungan ini meyakini – berlawanan dengan kecenderungan kedua yang disebutkan di atas – bahwa akal atau pemahaman akal merupakan satu sarana fundamental untuk membuktikan validitas, di samping al-bayan al-syar’i, tetapi bukan dengan cam yang tidak memenuhi syarat seperti yang dikemukakan oleh kecenderungan pertama, dan hanya dalam batas-batas di mana manusia mencapai kepuasan total serta pemahaman akal yang pasti, yang tidak ada kemungkinan untuk salah. Dengan demikian, setiap persepsi akal – yang masuk dalam kategori ini dan memberikan kepastian sempurna – merupakan sarana untuk membuktikan validitas. Hanya saja, pemahaman-pemahaman akal tak-sempurna – yang didasarkan pada kemungkinan dan tidak sanggup memberikan unsur kepastian – tidaklah valid sebagai sarana untuk membuktikan validitas unsur mana pun dalam proses deduksi.
Jadi, akal – menurut kecenderungan ketiga ini – adalah instrumen pengetahuan yang valid dan layak dijadikan pijakan serta mampu menentukan validitas, jika ia memang membuahkan pemahaman yang pasti atas fakta apa pun yang tidak diragukan lagi. Dengan demikian, tidak ada penolakan atas akal sebagai suatu instrumen pengetahuan, tidak pula ada sikap kelewat batas dalam mengandalkan akal manakala ia tidak mampu memberikan pemahaman yang pasti.
Kecenderungan moderat ini, yang diwakili oleh mayoritas para faqih dalam mazhab pemikiran Ahlul Bait, mengharuskan para faqih berjuang memerangi dua kelompok – yang sebagian melawan kecenderungan pertama yang dianut oleh al-Ra’yu (para eksponen pengguna penila.ian individual) di bawah pimpinan sekelompok ulama terkemuka dari masyarakat awam, dan yang lain melawan gerakan internal dalam barisan para fagih Imamiah yang diwakili oleh kaum tradisionis dan kaum Akhbari (para eksponen al-Hadits dan al-Khabar) dari kalangan ulama Syi’ah, yang dengan tajam mengkritik akal dan menyatakan bahwa al-bayan al-syar’i adalah satu-satunya sarana yang bisa digunakan untuk membuktikan validitas. Dengan demikian, kita mengetahui bahwa perjuangan pertama adala.h melawan penggunaan akal yang tak memenuhi syarat dan yang kedua adalah perjuangan mempertahankan akal dengan cam yang memenuhi syarat.
Selama pertengahan abad kedua Hijriah, muncul satu mazhab pemikiran jurisprudensi (fiqh) yang dikenal sebagai mazhab pemikiran Ra’yu dan Ijtihad. Mazhab ini mengemukakan penggunaan akal (dalam artian luasnya, termasuk kemungkinan, dugaan dan pemikiran individual) sebagai satu instrumen dasar guna membuktikan validitas di samping al-bayan al-syar`i dan sebagai satu sumber fundamental bagi para faqih dalam proses deduksi hukum. Proses ini disebut ijtihad.
Yang terkemuka di antara mazhab ini atau di antara para pemimpinnya adalah Abu Hanifah (meninggal pada tahun 150 H). Diriwayatkan dari tokoh-tokoh terkemuka mazhab ini bahwa jika mereka tidak menemukan al-Bayan al-Syar`i apa pun yang menunjukkan hukum syariah tentang suatu masalah khusus, maka mereka akan mempelajari masalah itu dengan bantuan penilaian¬penilaian individual, dan dengan semua yang mereka pahami tentang kesesuaian dan kecocokan dengan pemikiran individual mereka, dan karena itu, mengutamakan satu pandangan atas pandangan lainnya. Kemudian, mereka akan mengeluarkan fatwa sesuai dengan dugaan-dugaan dan preferensi-preferensi (pengutama-an) mereka. Yang demikian ini mereka namakan istihsan atau ijtihad.
Sudah termasyhur bahwa Abu Hanifah adalah pemuka dalam bidang jurisprudensi (fiqh) ini. Dituturkan dari muridnya, Muhammad ibn Hasan, bahwa Abu Hanifah biasa berdebat dengan rekan rekannya dan mereka menuntut keadilan darinya serta menentangnya sampai dia berkata, “Ini adalah istihsan”; dan kemudian tak ada seorang pun menentangnya. Sebuah 1) pernyataan yang dituturkannya, di mana dia menguraikan metodologi deduksinya, berbunyi,
“Aku mengikuti Kitab Allah (Al-Quran), jika aku menemukan teks di dalamnya. Jika tidak, aku akan mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. Akan tetapi, bila aku tidak menemukan teks daiam Al-Quran, maka aku akan menelusuri pendapat orang lain. Jika pendapat itu akhirnya berujung pada Sya’bi, Muhammad ibn Hasan atau Ibn Sirrin, maka aku pun berhak melakukan ijtihad seperti halnya mereka.”
Konsep dasar berdirinya mazhab pemikiran ini, dan digunakannya akal tak memenuhi syarat sebagai sarana, dasar untuk membuktikan validitas dari sebagai sumber deduksi hukum-hukum, adala,h gagasan yang lazim dijumpai dalam barisan mazhab itu, yang berbunyi, “al-bayan asy-Syar`i – sebagaimana ditunjukkan dalam Al-Quran dan Sunnah – belumlah cukup dan hanya memuat hukum-hukum tentang sejumlah proposisi terbatas saja. Belumlah cukup hanya sekadar menetapkan hukum-hukum syariah mengenai berbagai proposisi dan masalah.
Penyebaran gagasan di kalangan para faqih kelompok Sunni oleh kecenderungan mereka pada aliran pemikiran Sunni, yang di situ mereka meyakini bahwa al-Bayan al-Syar’i disuguhkan hanya dalam Al-Quran dan Sunnah yang diriwayatkan dari Rasul. Karena kesemuanya ini hanya mencukupi kebutuhan-kebutuhan parsial dalam deduksi, maka mereka pun berusaha memperbaiki situasi itu serta berupaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya dengan memperluas serta menyatakan prinsip ijtihad. Akan tetapi, para fagih dalam mazhab pemikiran Imamiah lantaran pandangan keagamaan mereka – berpandangan sebaliknya. Mereka meyakini bahwa al-Bayan al-Syar’i itu masih terus berlanjut dengan adanya para Imam. Dengan demikian, mereka tidak menemukan adanya motif moral bagi perluasan tak sah dalam wilayah akal.
Bagaimanapun juga, gagasan tentang tidak memadainya Al¬Quran dan Sunnah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan deduksi sudah menyebar, dan memainkan peran penting dalam pandangan intelektual dari banyak fagih serta dalam pandangan ekstrem mereka tentang akal.
Gagasan ini berkembang dan berangsur-angsur menjadi makin serius, sebab ia telah berubah dari menisbatkan kepada al-Bayan al-Syar’i (yakni, Al-Quran dan Sunnah). kekurangan, ketaksempurnaan serta tiadanya bukti bagi hukum-hukum yang berkaitan dengan banyak proposisi, lantas mulai menisbatkan kepada syariah itu sendiri segala kekurangan dan ketidakmampuan menangani berbagai aspek kehidupan. Jadi, masalahnya bukan lagi satu kekurangan dalam al-Bayan al-Syar`i dan dalam uraiannya, melainkan dalam syariah Ilahi itu sendiri. Dalil mereka atas kekurangan yang diduga ada dalam syariah ini adalah bahwa syariah belumlah menetapkan hukum bagi masalah lainnya yang belum diketahui kaum Muslim. Syariah telah mengemukakan hukum-hukum dan dalil-dalilnya melalui Al-Quran dan Sunnah agar keduanya ini diikuti dan menjadi undang-undang kehidupan umat Islam. Menurut kalangan umum, teks-teks Al-Quran dan Sunnah tidak memuat hukum-hukum tentang berbagai proposisi dan masalah.
Yang demikian itu menunjukkan kekurangan dan ketidaksempurnaan syariah, dan bahwa Allah menetapkan hanya sejumlah terbatas hukum-hukum dalam Islam. Inilah hukum-hukum yang diuraijelaskan dalam Al-Quran dan Sunnah. Akan halnya penetapan hukum dalam bidang-bidang lainnya, Allah menyerahkannya pada manusia, atau pada faqih khususnya, untuk menemukan hukum¬hukum atas dasar ijtihad dan deduksi, dengan syarat bahwa tak ada satu hukum. pun dari yang disebut terakhir ini boleh bertentangan dengan hukum-hukum terbatas syariah yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi.
Kita telah melihat bahwa kecenderungan ekstrem mengenai akal ini adalah akibat dari penyebaran konsep tentang ketidaksempurnaan (dalam Al-Quran dan Sunnah) serta konotasi-konotasi yang berasal darinya. Ketiga gagasan ketaksempurnaan yang dinisbatkan pada al-Bayan al-Syar`i ini berkembang menjadi ketaksempurnaan yang dinisbatkan pada syariah itu sendiri, maka perkembangan ini pun terefleksi dalam bidang pemikiran Sunni. Hal ini menyebabkan timbulnya doktrin tentang Tashwib (menisbatkan kebenaran) di mana kecenderungan ekstrem mengenai akal tersebut mencapai batas terjauhnya.
Kesimpulan:
Betapa perbedaan dalam memahami dan menerima sumber ijtihad meniscayakan perbedaan dalam produk-produk ijtihad, yaitu fatwa dan hukum-hukum fikih, yang meliputi tatacara shalat, puasa dan lainnya.
Pebedaan ini mestinya bisa dimaklumi oleh para ulama dan pengkaji dari kedua kelompok besar Islam, Sunni dan Syiah. Namun, di mata masyarakat awam, perbedaan dalam praktik ibadah, (yang sebenarnya hanyalah konsekuensi perbedaan dalam menentukan sumber sumber setelah al-Qur’an dan Sunnah) sering dipandang sebagai alasan untuk bermusuhan dan merawat kebencian. Ironisnya, tidak sedikit orang yang dikenal ulama malah tak lelah memukulkan palu vonis “sesat”, “kafir” dan “syirik” kepada sesama Muslim karena berbeda dalam memilih sumber ijtihadnya. Padahal mestinya, dipahami bahwa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw adalah satu. Hanya saja, ada dua atau lebih cara pandang terhadapnya yang meniscayakan perbedaan dalam sejumlah produk istinbath-nya.
Allah Swt berfirman di dalam kitab-Nya yang mulia:
· Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhan kalian, maka sembahlah Aku. (QS. al-Anbiya:92).
· Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. (QS. at-Taubah:71).
Dari Ibnu Abbas dari Nabi saw, beliau bersabda,
“Kaum Muslim sederajat darahnya, mereka adalah tangan bagi yang lainnya, mereka harus melindungi sesama mereka dan harus menjaga silaturahmi di antara mereka.”
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah saw bersabda,
“Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman, dan tidak beriman kalian hingga kalian saling mengasihi. Serendah-rendahnya sesuatu yang kalian lakukan adalah kalian saling menjauhi. Sebarkanlah salam di antara kalian.”
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. (QS. Al-An’am:159).
Akhirnya, kita mesti deklarasikan bahwa Muslim Syiah dan Muslim Sunni adalah realitas yang determinan. Mazhab Sunni dan mazhab Syiah laksana oksigen dan hidrogen yang membentuk air, bagaikan dua sayap bagi rajawali. Keduanya adalah sebuah prasasti kerja intelektual para pemikir yang harus dicermati, dikritisi dan diapresiasi, dan tidak semestinya didikotomikan.
Usaha-usaha apapun untuk menolaknya baik dengan provokasi, selebaran atau penistaan baik secara akademik (menggunakan dalil sepihak) maupun non akademik (retorika sarkastik) terhadap masing-masing ajaran dan para tokoh-tokohnya hanya akan menguntungkan pihak-pihak eksternal, terutama sentra-sentra hegemoni yang kapitalistik dan sekular.
Lebih dari itu, memaksakan “satu Islam” kepada semua penganut Islam yang terpencar dalam berbagai mazhab dan pandangan tentulah menyalahi watak toleransi Islam. Obsesi seseorang atau suatu kelompok terhadap yang “satu” hanya mungkin dilakukan lewat pemaksaan, seringkali lewat kekuasaan senjata, dan tindakan ini menyalahi konsepsi Islam yang dasar. Dengan kata lain, menginginkan ‘satu pemahaman tentang Islam’ adalah utopia dan anarkisme! Karena itulah, pluralisme sebagai sikap sosial harus didukung.
Fikih Ahlul Bait
Taqlid dan Ijtihad (1)
Secara global, menjalankan praktik-praktik ubudiyah, fiqih dan hukum Islam, seseorang bisa memilih taqlid atau ijtihad. Taqlid adalah menjalankan hal-hal tersebut dengan berdasarkan pada fatwa marja’. Ijtihad adalah menjalankan hal-hal tersebut berdasarkan perolehannya dari sumber-sumber syari’at/hukum.
Soal:
Apakah muqolid itu?
Jawab:
Muqolib adalah orang yang bertaqlid.
Soal:
Apakah mujtahid itu?
Jawab:
Mujtahid adalah orang yang berijtihad.
Soal:
Apakah marja’ itu?
Jawab:
Marja’ adalah seorang mujtahid yang telah memenuhi syarat-syarat marja’iyyah.
Soal:
Apakah syarat-syarat marja’iyyah?
Jawab:
Syarat-syarat marja’iyyah adalah mujtahid, adil, wara’ dalam agama Allah, tidak rakus dengan dunia kedudukan dan harta. Dalam hadis disebutkan, “Barangsiapa di antara para fuqaha (mujtahid) terdapat seorang faqih yang mengawasi dirinya, menjaga agamanya, tidak mengikuti hawa nafsunya dan menaati perintah Allah, maka orang-orang awam wajib mentaqlidinya.” (Tahrir al-Washilah hal.3 jil.I).
Soal:
Wajibkah orang awam bertaqlid dalam masalah-masalah ubudiyah (fiqih)?
Jawab:
Wajib menurut akal-urfi dan teks syari’at.
Soal:
Apakah boleh bertaqlid kepada mujtahid yang berada di luar negeri?
Jawab:
Bertaqlid dalam masalah syari’at (fiqih) kepada mujtahid yang telah memenuhi syarat-syarat marja’iyyah tidak disyaratkan berada pada suatu negeri dengan muqolidnya.
Taqlid dan Ijtihad (2)
Soal:
Apakah diperbolehkan ber-taqlid kepada seorang yang bukan marja’ dan tidak mempunyai Risalah Amaliah (buku kumpulan fatwa seorang Mujtahid)?
Jawab:
Jika menurut orang yang ber-taqlid terbukti bahwa dia mujtahid yang telah memenuhi syarat, maka tidak ada masalah (ber-taqlid kepadanya).
Soal:
Sebagian orang yang tidak memiliki informasi yang memadai ketika ditanya tentang siapakah marja’-nya? Mereka menjawab, “Kami tidak tahu.” Atau mereka mengatakan, “Marja’ kami adalah fulan.” Namun mereka tidak merasa perlu untuk merujuk dan mengamalkan risalah amaliah-nya, bagaimana hukum perbuatan mereka ?
Jawab:
Jika perbuatan-perbuatan mereka sesuai dengan ikhtiat atau hukum yang sebenarnya (waqi’) atau fatwa Mujtahid yang harus diikuti, maka perbuatan-perbuatan mereka itu sah.
Soal:
Apakah boleh ber-taqlid kepada (Mujtahid) yang telah wafat secara langsung?
Jawab:
Untuk ber-taqlid kepada Mujtahid yang sudah wafat secara langsung hendaknya mengikuti (ketentuan) Mujtahid a’lam yang masih hidup.
Soal:
Bagaimana caranya memilih marja’ dan memperoleh fatwanya ?
Jawab:
Memperoleh (bukti) ke-mujtahid-an atau ke-a’lam-an marja’ adalah dengan mengujinya atau dengan memperoleh informasi yang pasti walaupun dengan berita yang menyebar atau dengan kemantapan jiwa atau dengan kesaksian dua orang adil dari para ahli (fiqih). Dan untuk mendapatkan fatwa marja’ dengan mendengar (secara langsung) darinya, atau dengan kutipan dari orang yang adil atau dengan kutipan orang yang perkataannya dapat dipercaya atau merujuk ke risalah amaliah-nya yang terjamin dari kesalahan.
Taqlid dan Ijtihad (3)
Soal:
Apakah boleh berpindah dari Mujtahid A’lam (lebih alim) dalam masalah-masalah kontemporer karena dia tidak dapat (mempunyai) fatwa tentangnya dari dalil-dalil yang terperinci ?
Jawab:
Jika mukallaf hendak berhati-hati dalam masalah itu atau tidak dapat (berhati-hati) dan dia mendapatkan seorang mujtahid lain yang a’lam dalam masalah itu, maka dia wajib berpindah dan ber-taqlid kepadanya.
Soal:
Apakah untuk berpindah dari fatwa-fatwa Imam Khomeini r.a. harus merujuk kepada fatwa mujtahid yang diminta darinya izin untuk tetap ber-taqlid kepada mujtahid yang telah wafat ? Ataukah boleh merujuk kepada mujtahid yang lain ?
Jawab:
Berpindah taqlid tidak membutuhkan (meminta) izin, tetapi boleh pindah kepada mujtahid yang memenuhi syarat-syarat sahnya taqlid.
Soal:
Orang yang ber-taqlid kepada Imam Khomeini r.a. dan (sampai sekarang) tetap ber-taqlid kepadanya, apakah diperbolehkan merujuk kepada selainnya dalam suatu masalah tertentu, seperti tidak menganggap kota Teheran termasuk kota besar ?*)
Jawab:
Boleh. Akan tetapi, sebaiknya tidak meninggalkan kehati-hatian untuk tetap ber-taqlid kepada Imam Khomeini, kalau dia melihatnya lebih a’lam dari mujtahid-mujtahid yang hidup.
*) Imam Khomeini r.a. membagi kota pada dua kategori : besar dan tidak besar. Kota besar seperti Teheran, Jakarta, dan lain-lain mempunyai ketentuan-ketentuan fatwa tersendiri sehubungan dengan safar.
Soal:
Saya sampai pada usia akil baligh pada saat Imam Khomeini masih hidup dan saya ber-taqlid kepadanya dalam beberapa masalah. Namun masalah taqlid bagi saya (waktu itu) belum jelas, maka apakah kewajiban saya sekarang ?
Jawab:
Jika Anda melakukan perbuatan-perbuatan ritual dan lainnya pada saat Imam Khomeini hidup itu sesuai dengan fatwa-fatwanya dan ber-taqlid kepadanya, meskipun pada beberapa masalah saja, maka Anda boleh tetap bertaqlid kepadanya dalam semua masalah.
(Syiah-Ali/Al-Jawad-Tripod/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email