Pesan Rahbar

Home » » Sejarah Operasi Birdcage

Sejarah Operasi Birdcage

Written By Unknown on Monday, 31 October 2016 | 18:15:00

Sebelum mendaratkan pasukannya, Sekutu (Inggris) menggelar operasi penyebaran pamflet yang ditujukan kepada tawanan, interniran, dan tentara Jepang.

Operation Bird Cage (Foto: Historia)

Sekutu (Inggris) telah merencanakan langkah-langkah untuk menyelamatkan para tawanan dan interniran. Sebelum mengirimkan timnya, yakni Recovery of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) yang dibentuk pada Februari 1945, Sekutu terlebih dahulu melancarkan operasi pendahuluan. Operasi Birdcage ini ditujukan kepada tawanan perang, interniran, dan tentara Jepang.

Operasi Birdcage, menurut Christopher Chant dalam The Encyclopedia of Codenames of World War II, merupakan operasi Sekutu menyebarkan pamflet-pamflet ke kamp-kamp di Asia Tenggara (Agustus 1945) untuk memberitahu para tahanan bahwa perang telah berakhir. Pamflet itu juga memerintahkan mereka untuk tetap mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan tentara Jepang sampai pasukan Sekutu mendarat untuk membebaskan mereka dari kamp-kamp.

Menurut Jim Coyle dalam “End of World War II leaflets,” thestar.com (10 November 2011), untuk menjaga keselamatan tawanan perang –dan untuk mengangkat semangat mereka– pesawat Liberator membawa kargo berisi pamflet-pamflet dimaksudkan untuk menyebarkan berita kepada tawanan perang bahwa perang telah berakhir dan berjanji akan mengirim pasokan dan menyelamatan mereka sesegera mungkin. Pamflet itu juga memerintahkan tentara Jepang menyerah kepada Sekutu dan memastikan tawanan perang diperlakukan dengan baik.

Pada 28 Agustus 1945, Bill Watson, ketika itu berusia 20 tahun, sebagai penembak udara (air gunner) dalam pesawat Liberator, lepas landas dari Kepulauan Cocos, menuju Singapura, untuk melaksanakan Operasi Birdcage. Pamflet dijatuhkan di atas kamp-kamp saat pesawat di ketinggian 500 meter.

“Pesawat kami adalah pesawat Sekutu pertama di Singapura setelah perang. Kami menjatuhkan pamflet-pamflet tanpa masalah dan kembali,” kata Watson, dikutip Jim Coyle.

Menurut sejarawan Aiko Kurasawa, sebelumnya Sekutu telah menyebarkan pamflet propaganda. Salah satu pamflet yang dijatuhkan di Filipina pada Februari 1945 berbunyi: “Hanya beberapa minggu yang lalu, Perdana Menteri Jepang, Koiso, ketika berbicara tentang invasi Amerika ke Luzon, berkata: ‘Ini adalah pertempuran yang menentukan peperangan.’ Sekarang pertempuran itu telah dimenangkan oleh Sekutu, dan Manila, ibukota Filipina, telah dibebaskan.”

Jika melihat catatan yang disimpan di Kantor Catatan Publik Inggris (British Public of Record Office), Aiko menduga jumlah lembaran propaganda yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan disebarkan pesawat terbang Sekutu sudah pasti banyak.

“Saya tidak mengetahui apakah pamflet ini benar-benar sampai kepada rakyat Indonesia, karena diberitahukan pula bahwa orang Jepang berusaha keras untuk mengumpulkannya agar tidak dibaca orang-orang Indonesia. Namun, sangat tidak mungkin bahwa tidak ada orang yang mendapat kesempatan untuk membacanya. Kasus ini bahkan akan lebih benar lagi di daerah-daerah yang seringkali mengalami serangan udara,” tulis Aiko, “Persiapan Kemerdekaan Pada Hari-Hari Terakhir Pendudukan Jepang,” termuat dalam Denyut Nadi Revolusi Indonesia. Aiko tak menyebutkan apakah penyebaran pamflet propaganda tersebut bagian dari Operasi Birdcage.

Sementara menurut R.H.A. Saleh dalam Mari Bung Rebut Kembali!, pesan pamflet yang ditujukan kepada penghuni kamp adalah petunjuk-petunjuk agar mereka tetap tinggal di dalam kamp masing-masing sampai tentara Sekutu datang serta pemberitahuan kiriman bantuan makanan dan obat-obatan. Pamflet untuk tentara Jepang, yang ditulis dalam bahasa Jepang, memberitahukan tentang penyerahan Jepang berikut instruksi-instruksi yang harus dipatuhi.

Pesawat-pesawat yang menyebarkan pamflet menjatuhkan logistik ke kamp-kamp yang ditemukan, mengingat keadaan tawanan dan interniran sangat memprihatinkan. Bertepatan dengan penekenan secara resmi penyerahan Jepang pada 2 September 1945, untuk kali pertama kamp-kamp di Jakarta dan sekitarnya menerima paket-paket makanan, obat-obatan, dan pakaian yang diturunkan dengan parasut. Pesawat-pesawat Angkatan Darat dan Angkatan Laut Belanda dilibatkan dalam dropping logistik itu.

Tentara Jepang yang menjaga kamp berusaha agar bantuan untuk para penghuni kamp dapat diterima dengan lancar. Mereka juga memperlakukan para tawanan dan interniran dengan lebih baik. “Dropping bantuan RAPWI sangat menolong para penghuni kamp untuk merehabilitasi dirinya, terutama mereka yang dalam keadaan sakit,” tulis Saleh.

(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: