Oleh: Ahmad Kholili Hasib
Setiap akhir tahun kaum Muslimin selalu diaramaikan dengan masalah tasyabbuh (menyerupai) orang kafir. Hal ini terkait dengan perayaan Natal dan tahun baru Masehi dengan segala atributnya. Bagi kita, sudah cukup terang bahwa mengikuti ritual dan ibadah orang non-Islam adalah dilarang. Meniru-niru orang kafir memang dilarang.
Namun ada pertanyaan, sebatas apa tasyabbuh tersebut dilarang?
Mengingat kaum Muslimin juga susah menghindari untuk tidak sama dalam
segala aspek apapaun dengan orang kafir. Seperti penggunaan teknologi,
pakaian produk kafir, libur hari Minggu diisi dengan kegiatan-kegiatan
positif, mengalihkan tahun baru dengan kegiatan tabligh dan dzikir dan
lain-lain. Bagaimana hukumnya?
Tentang larangan menyerupai orang kafir, Rasulullah Saw bersabda: “Siapa yang menyerupai suatu golongan, maka ia termasuk golongan itu” (HR. ). Teks hadis tersebut masih bersifat umum. Karena itu membutuhkan perincian (tafshil) sehingga diketahui maksud larangan tersebut beserta batasan-batasannya.
Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari juz X menjelaskan, bahwa maksud larangan tersebut adalah menyerupai dalam pakaian khusus, bukan menyerupai dalam hal yang baik.
Dalam hal ini, Ibnu Sholah menerangkan lebih detail. Menurutnya, tasyabbuh dengan orang kafir ada yang haram dan ada yang makruh. Tergantung tingkat keburukan dalam meniru-nirut tersebut (Fatawa Ibn Shalah juz 2, hal. 473). Hukum tasyabbuh bisa sampai haram bahkan murtad jika seseorang berniat tasyabbuh dengan orang kafir dalam ritual khususnya.
Seperti dijelaskan dalam Irsyadul ‘Ibad, bahwa barangsiapa yang memakai pakaian orang kafir dengan ada kecondongan hati, misalnya memakai pakaian orang Kristen dan memakai sabuk khususnya kemudian berjalan di gereja, maka orang tersebut dihukum kafir (Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Mulyabari, Irsyadul ‘Ibad Ila Sabili al-Rasyad, hal. 14).
Dalam hal itu, seseorang memiliki kesengajaan berbusananya karena ada rasa suka kepada agama tersebut dan memang berniat meramaikan syi’ar-syi’arnya dalam hari raya dan peribadatannya.
Namun, jika seseorang yang memakai pakaian kafir atau hal lainnya tidak memiliki tujuan agar serupa dengan kafir dalam syi’ar-syi’arnya maka ia berdosa. Tidak sampai kafir. Adapun jika seseorang berbusana seperti orang kafir tanpa suatu tujuan apapun — tidak berniat untuk menyamai orang kafir — maka hukumnya makruh (Buhghyatul Mustarsyidin bab Riddah). Dan tidak dosa atau makruh jika tidak ada niat sama sekali tasyabbuh (Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra 4, hal. 239).
Dari keterangan ini dapat diambil kesimpulan bahwa tasyabbuh dengan orang kafir itu dilarang jika memenuhi dua syarat. Pertama, secara dzat (substansial), perbuatan tasyabbuh tersebut memang dilarang menurut syara’. Kedua, ada niat untuk menyerupai ritual kaum kafir.
Hari raya Natal menurut syariat dilarang beserta atribut-atributnya ritual khususnya. Seperti jubah pendeta, pakaian biarawati, topi Yahudi, nyanyian rohaninya dan lain-lainnya. Maka, menyerupai dalam hal ini dilarang.
Merujuk kepada penjelasand dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra maka kaum Muslim memakai dasi dan jas yang biasa dipakai orang Barat yang kafir tidak apa-apa. Sebab pakaian tersebut bukan pakaian khusus ritual serta kita tidak ada niat untuk tasyabbuh. Dalam hal ini, dasi, kemeja dan jas dzatnya tidak haram sebab bukan pakaian khusus ibadah orang kafir. Seperti kata Ibn Hajar, meniru hal-hal yang baik – yang bukan termasuk ritual ibadah – diperbolehkan.
Perayaan tahun baru dan Natal merupakan tradisi kaum Nasrani yang berasal dari kaum paganisme penyembah dewa matahari. Maka secara dzat ritual tersebut merupakan ritual kaum kafir.
Maka, kegiatan dzikir, tabligh akbar dan kegiatan positif lainnya pada malam tahun baru, secara dzat bukan ritual haram. Justru hukum asalnya adalah sunnah. Maka, di sini tidak memenuhi syarat sampai haram sebagaimana dijelaskan di atas. Kegiatan ini masuk kategori yang diperbolehkan oleh Ibn Hajar.
Tidak ada niat dalam kegiatan tersebut demi untuk meramaikan hari raya kafir. Justru untuk menghalihkan kaum Muslimin pada kegiantan-kegiatan yang positif. Sebagaimana kita diperbolehkan membukan toko, berlibur, mengadakan kegiatan pengajian dan seminar pada hari Minggu. Kita bukan bermaksud ikut mensyi’arkan hari Minggu dengan cara kegiatan tersebut. Tapi memanfaatkannya dengan menghalihkan kepada kegiatan yang bernilai ibadah.
Kegiatan tersebut bukan termasuk saddu al-Dzara’i sebab kegiatan tersebut tidak menyebabkan mafsadah. Menurut imam al-Syatibi, ada tiga criteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang. Pertama,perbuatan yang asalnya boleh itu mengandung kerusakan. Kedua, mafsadah lebih kuat daripada maslahah. Ketiga, perbuatannya tersebut mengandung lebih banyak unsur mafsadahnya.
Menonton TV hukum asalnya adalah boleh. Namun karena di dalamnya banyak tontonan maksiat maka menontonnya bisa haram. Bukan berarti, jika ada acara dan program yang baik maka boleh ditonton, tidak masuk sad al-Dzara’i.
Cara-cara itu yang pernah digunakan para mubaligh Walisongo dahulu. Mereka melakukan islamisasi tradisi dengan menghilangkan unsur-unsur Hindu dan Animisme kemudian memasukkan unsur Islam ke dalam tradisi. Kita saat ini sudah terbiasa menggunakan istilah-istilah berbau Hindu seperi ‘Surga’, ‘Neraka’, dan lain-lain. tapi pemahaman kita bukan sebagaimana dipahami orang Hindu. Surga bagi kita adalah al-Jannah sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an dan Hadis.
Tentang larangan menyerupai orang kafir, Rasulullah Saw bersabda: “Siapa yang menyerupai suatu golongan, maka ia termasuk golongan itu” (HR. ). Teks hadis tersebut masih bersifat umum. Karena itu membutuhkan perincian (tafshil) sehingga diketahui maksud larangan tersebut beserta batasan-batasannya.
Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari juz X menjelaskan, bahwa maksud larangan tersebut adalah menyerupai dalam pakaian khusus, bukan menyerupai dalam hal yang baik.
Dalam hal ini, Ibnu Sholah menerangkan lebih detail. Menurutnya, tasyabbuh dengan orang kafir ada yang haram dan ada yang makruh. Tergantung tingkat keburukan dalam meniru-nirut tersebut (Fatawa Ibn Shalah juz 2, hal. 473). Hukum tasyabbuh bisa sampai haram bahkan murtad jika seseorang berniat tasyabbuh dengan orang kafir dalam ritual khususnya.
Seperti dijelaskan dalam Irsyadul ‘Ibad, bahwa barangsiapa yang memakai pakaian orang kafir dengan ada kecondongan hati, misalnya memakai pakaian orang Kristen dan memakai sabuk khususnya kemudian berjalan di gereja, maka orang tersebut dihukum kafir (Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Mulyabari, Irsyadul ‘Ibad Ila Sabili al-Rasyad, hal. 14).
Dalam hal itu, seseorang memiliki kesengajaan berbusananya karena ada rasa suka kepada agama tersebut dan memang berniat meramaikan syi’ar-syi’arnya dalam hari raya dan peribadatannya.
Namun, jika seseorang yang memakai pakaian kafir atau hal lainnya tidak memiliki tujuan agar serupa dengan kafir dalam syi’ar-syi’arnya maka ia berdosa. Tidak sampai kafir. Adapun jika seseorang berbusana seperti orang kafir tanpa suatu tujuan apapun — tidak berniat untuk menyamai orang kafir — maka hukumnya makruh (Buhghyatul Mustarsyidin bab Riddah). Dan tidak dosa atau makruh jika tidak ada niat sama sekali tasyabbuh (Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra 4, hal. 239).
Dari keterangan ini dapat diambil kesimpulan bahwa tasyabbuh dengan orang kafir itu dilarang jika memenuhi dua syarat. Pertama, secara dzat (substansial), perbuatan tasyabbuh tersebut memang dilarang menurut syara’. Kedua, ada niat untuk menyerupai ritual kaum kafir.
Hari raya Natal menurut syariat dilarang beserta atribut-atributnya ritual khususnya. Seperti jubah pendeta, pakaian biarawati, topi Yahudi, nyanyian rohaninya dan lain-lainnya. Maka, menyerupai dalam hal ini dilarang.
Merujuk kepada penjelasand dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra maka kaum Muslim memakai dasi dan jas yang biasa dipakai orang Barat yang kafir tidak apa-apa. Sebab pakaian tersebut bukan pakaian khusus ritual serta kita tidak ada niat untuk tasyabbuh. Dalam hal ini, dasi, kemeja dan jas dzatnya tidak haram sebab bukan pakaian khusus ibadah orang kafir. Seperti kata Ibn Hajar, meniru hal-hal yang baik – yang bukan termasuk ritual ibadah – diperbolehkan.
Perayaan tahun baru dan Natal merupakan tradisi kaum Nasrani yang berasal dari kaum paganisme penyembah dewa matahari. Maka secara dzat ritual tersebut merupakan ritual kaum kafir.
Maka, kegiatan dzikir, tabligh akbar dan kegiatan positif lainnya pada malam tahun baru, secara dzat bukan ritual haram. Justru hukum asalnya adalah sunnah. Maka, di sini tidak memenuhi syarat sampai haram sebagaimana dijelaskan di atas. Kegiatan ini masuk kategori yang diperbolehkan oleh Ibn Hajar.
Tidak ada niat dalam kegiatan tersebut demi untuk meramaikan hari raya kafir. Justru untuk menghalihkan kaum Muslimin pada kegiantan-kegiatan yang positif. Sebagaimana kita diperbolehkan membukan toko, berlibur, mengadakan kegiatan pengajian dan seminar pada hari Minggu. Kita bukan bermaksud ikut mensyi’arkan hari Minggu dengan cara kegiatan tersebut. Tapi memanfaatkannya dengan menghalihkan kepada kegiatan yang bernilai ibadah.
Kegiatan tersebut bukan termasuk saddu al-Dzara’i sebab kegiatan tersebut tidak menyebabkan mafsadah. Menurut imam al-Syatibi, ada tiga criteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang. Pertama,perbuatan yang asalnya boleh itu mengandung kerusakan. Kedua, mafsadah lebih kuat daripada maslahah. Ketiga, perbuatannya tersebut mengandung lebih banyak unsur mafsadahnya.
Menonton TV hukum asalnya adalah boleh. Namun karena di dalamnya banyak tontonan maksiat maka menontonnya bisa haram. Bukan berarti, jika ada acara dan program yang baik maka boleh ditonton, tidak masuk sad al-Dzara’i.
Cara-cara itu yang pernah digunakan para mubaligh Walisongo dahulu. Mereka melakukan islamisasi tradisi dengan menghilangkan unsur-unsur Hindu dan Animisme kemudian memasukkan unsur Islam ke dalam tradisi. Kita saat ini sudah terbiasa menggunakan istilah-istilah berbau Hindu seperi ‘Surga’, ‘Neraka’, dan lain-lain. tapi pemahaman kita bukan sebagaimana dipahami orang Hindu. Surga bagi kita adalah al-Jannah sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an dan Hadis.
Post a Comment
mohon gunakan email