Tatkala al-Mutawakil (847-864) berkuasa, ia melihat bahwa posisinya
sebagai khalifah perlu mendapatkan dukungan mayoritas. Sementara,
setelah peristiwa mihnah terjadi mayoritas masyarakat adalah pendukung
dan simpatisan Ibn Hanbal. Oleh karenanya al-Mutawakil membatalkan paham
Mu’tazilah sebagai paham negara dan menggantinya dengan paham Sunni.
Pada saat itulah Sunni mulai merumuskan ajaran-ajarannya. Salah seorang
tokohnya, al-Shafi’i munyusun ‘Ushul al-Fiqh yang di dalamnya mengandung
ajaran tentang Ijma’ dan Qiyas. Dalam bidang Hadith lahir tokoh Bukhari
dan Muslim.
Dalam bidang Tafsir, lahir al-Tabbari dan Ibn Mujahid. Pada masa
inilah kaum Sunni menegaskan sikapnya terhadap posisi Uthman dan ‘Ali
dengan mengatakan bahwa masyarakat terbaik setelah nabi adalah Abu
Bakar, Umar, Uthman dan ‘Ali.
Berbeda dengan Mu’tazilah, pertikaian antara Sunni (Ahl al-Hadith) dan Shi’ah selalu diwarnai demensi politik..
Secara umum, pemikiran kelompok Sunni menekankan pada ketaatan absolut terhadap khalifah yang sedang berkuasa secara singkat dapat dikatakan bahwa pemikiran politik Sunni pertama
kali muncul sebagai respon reaktif terhadap pemikiran-pemikiran Shi’ah
dan Khawarij pada masa khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib.
Dalam proses pembentukannya, ideologi Sunni ternyata tidak dapat
dilepaskan dari pemikiran keagamaan mereka dan adanya
ketegangan-ketegangan dengan golongan lain untuk memperoleh pengakuan
dari penguasa. Dalam masa formal ideologi Sunni tersebut, misalnya telah
terjadi polemik intelektual antara al-Syafi’I dengan ulama-ulama
Khawarij dan Mu’tazilah, dan perebutan mencari pengaruh politik dari
para khalifah yang sedang berkuasa.
Diperlukan waktu hampir beberapa abad untuk sampai pada proses
terbentuknya pemikiran politik Ahl al-Sunnah ini, terhitung sejak mulai
diperkenalkannya pada masa awal Islam, sahabat, tabi’in sampai pada
pengukuhannya dalam Risalah al-Qadiriyyah.
Istilah ini (ahl al-Sunnah wa-Jama’ah) awalnya merupakan nama bagi
aliran Asy’ariyah dan Maturidiah yang timbul karena reaksi terhadap
paham Mu’tazilah yang pertama kali disebarkan oleh Wasil bin Ato’ pada
tahun 100 H/ 718 M dan mencapai puncaknya pada masa khalifah ‘Abbasiyah,
yaitu al-Ma’mun (813-833 M), al-Mu’tasim (833-842 M) dan al-Wasiq
(842-847 M). Pengaruh ini semakin kuat ketika paham Mu’tazilah dijadikan
sebagai madzab resmi yang di anut negara pada masa al-Ma’mun.
Jika ada perbedaan pokok antara teman-teman syi’ahdengan kalangan
Islam yang lain, maka hal itu terletak dalam sikap yang mereka
kembangkan terhadap tradisi Islam klasik tersebut.
Sikap syi’ah adalah tidak mengabaikan sama sekali khazanah
intelektual Islam klasik sunni, tetapi juga tidak menganggapnya sebagai
“benda suci” yang tak boleh diutak-utik. Banyak pandangan yang
dikemukakan oleh sarjana Islam di masa lampau yang masih tetap relevan
dengan keadaan sekarang; tetapi tak sedikit pula yang sudah kehilangan
relevansi sama sekali sehingga kami tak segan-segan untuk menafsirkannya
kembali.
Dengan kata lain, sikap yang dikembangkan oleh syi’ah adalah hendak
membaca kembali tradisi intelektual Islam klasik secara kritis. Jika
kami mengkaji kembali pemikiran Al-Mawardi, Ibn Taymiyah, Ibn Rushd,
al-Ghazali, dll., maka bukan berarti kami hendak menerima gagasan mereka
apa adanya, tanpa kritik atau interpretasi ulang.
Setiap generasi memiliki tantangannya masing-masing, dan ia akan dituntut untuk merumuskan jawaban sesuai dengan tantangan itu.
Sekarang, umat Islam hidup dalam konteks sejarah yang sudah berbeda
dengan generasi al-Mawardi, dan kerena itu tantangan yang dihadapinya
sudah sama sekali berbeda. Mengutip pendapat al-Mawardi tanpa
memperhatikan konteks sejarah dan tantangan yang berbeda itu sama saja
dengan terjatuh pada anakronisme sejarah.
Tentu warisan intelektual Islam dari generasi masa lampau sunni
penting untuk dijadikan sebagai sumber ilham guna merumuskan jawaban
untuk tantangan yang dihadapi umat saat ini. Tetapi warisan itu tak
boleh dianggap sebagai hal yang sakral sehingga harus disungkup
rapat-rapat agar kedap dari segala bentuk kritik.
SEBAGIAN kalangan dalam Islam ada yang beranggapan bahwa sarjana Islam sunni di masa lampau telah mencapai suatu “
maqam” atau tingkat kecanggihan intelektual yang sangat tinggi yang sulit ditandingi oleh generasi sekarang.
Ulama masa lampau juga telah menulis apa saja yang dibutuhkan oleh
umat Islam berkenaan dengan ajaran Islam. Tugas umat Islam sekarang
hanya sekedar melaksanakan apa yang sudah ditulis oleh mereka itu.
Sebuah ungkapan terkenal menggambarkan sikap hormat pada masa lampau
secara berlebihan ini: “
ma taraka al-awa’ilu li al-awakhiri syai’an” (generasi lampau tak meninggalkan ruang sedikitpun bagi generasi belakangan).
Jika ada seseorang yang berani mengkritik pendapat ulama masa lampau,
orang bersangkutan akan didamprat dengan sebuah argumen yang sangat
khas, “
Emangnya siapa kamu kok berani mengkritik pendapat ulama klasik? Apakah kamu memiliki ilmu yang setara dengan mereka?”
Sikap semacam ini, menurut saya, sama sekali tidak tepat. Sikap
seperti ini, dalam bentuk yang ekstrem, akan terjatuh pada
“pengkultusan” ulama masa lampau, seolah-olah pendapat mereka begitu
sucinya sehingga tak boleh dikritik atau ditafsirkan ulang.
Masalah yang dihadapi oleh umat Islam saat ini begitu banyak dan
kompleks, dan karena itu menantang generasi sekarang untuk merumuskan
jawaban baru yang sama sekali berbeda. Terlalu banyak masalah yang
dihadapi oleh umat Islam saat ini yang tak akan kita temukan solusinya
dalam karya-karya ulama masa lampau.
Contoh sederhana adalah bentuk negara Iran modern yang menempatkan
semua warga negara dalam kedudukan yang sama, tanpa memandang perbedaan
agama, suku, atau latar-belakang budaya. Ini adalah fenomena baru yang
tak pernah ada presedennya dalam praktek bernegara pada masa lampau,
sejak zaman Nabi hingga runtuhnya kekhilafahan Usmaniah pada abad 20.
Konsep “warga negara” dan “kewarganegaraan” (
muwathana, citizenship)
sebagaimana kita kenal dalam konteks negara modern saat ini, misalnya,
tak pernah kita temukan presedennya dalam praktek bernegara di masa
lampau, baik dalam seharah Islam atau sejarah bangsa-bangsa lain.
Tentu saja, karya-karya mengenai fiqh politik yang ditulis oleh
sarjana Islam klasik seperti al-Mawardi, al-Baqillani, al-Haramain, Ibn
Taymiyah, dll. bisa dijadikan sebagai sumber ilham untuk merumuskan
jawaban atas tantangan baru yang dihadapi oleh umat Islam saat ini.
Tetapi, secara umum, seluruh karya sarjana klasik itu ditulis dalam
konteks sejarah yang berbeda sehingga tidak semua yang mereka tulis
masih relevan dengan keadaan sekarang.
————————————————————————————-
Teori proyeksi dalam studi hadis sunni : bahwa banyak hadis
sebetulnya muncul dan “dibuat” belakangan sebagai bagian dari
debat-debat di kalangan ulama sunni, kemudian dinisbahkan ke belakang (projected back) kepada Nabi.
teori proyeksi hanya mungkin akan benar -sebagian- untuk hadis-hadis
yang memang tidak punya syahid, tapi kalau sebaliknya (punya syahid,
apalagi banyak) teori proyeksi agak kesulitan untuk diterapkan.
Sebagian materi hadits mempunyai persamaan di kalangan kelompok-kelompok Islam, seperti Sunni dan Syi’ah Imamiyyah;
padahal, kelompok ini telah memisahkan diri dari kelompok Ahlus
Sunnah sejak wafatnya Nabi saw. Tidak hanya itu saja, kelompok-kelompok
tersebut juga saling berperang dalam rentang waktu yang cukup lama, dan
saling menuduh kelompok lain telah menyimpang dari Islam.
Abu Hanifah, salah seorang ahli hukum Islam paling terkemuka, bahkan
boleh dikatakan sering mengabaikan hadith dalam menulis hukum Islam.
Padahal, koleksi hadith tersedia. Kenapa? Kekhawatiran yang sama ,
hadith sunni terlalu rentan dipalsukan!”
Hadis hadis TENTANG SEMUA SAHABAT ADiL, hadis hadis
jaminan surga kepada 3 khalifah, hadis hadis pujian kepada Mu’awiyah
dan sejenisnya hanyalah hadis hadis politik REKAYASA PENGUASA dan
ulama penjilatnya.
masalah hadis-hadis politik, tinggal bagaimana kearifan kita dalam
memahaminya. iya to! alias tak seluruhnya dr turats klasik kita itu
BAIK. jangan hanya “taken for granted”
bahwa hadist yg diriwayatkn oleh Imam Bukhari yg sejak kita belajar
Islam sudah ditanamkan bahwa itu hadist sahih- sulit rasanya menerima
pandangan yg sebaliknya. Karena suatu hal yg ditanamkan ratusan atau
bahkan ribuan tahun, sebagai kebenaran hampir mutlak, butuh keberanian
intelektual utk menerima kekritisan cara berpikir yg berbeda dgn
pendapat umum Ummat Islam. Karena salah-salah kita bisa dianggap keluar
dari millah ini, ujung-ujungnya dikafirkan, ngeri coy.
Letakkan sebuah kursi di tengah ruangan. Panggil 10 orang duduk
mengitari kursi itu. Suruh mereka menulis tentang kursi satu itu. Maka
akan muncul 10 cerita yang berbeda. Tidak seorangpun boleh mengatakan
ceritanya yang paling benar dan yang lain salah. Orang lain yang akan
memilih, cerita mana yang paling masuk akal. Kita tidak perlu saling
memaki karena semua orang punya hak untuk berpendapat dan untuk memilih.
hadits dibukukan jauh setelah sumber aslinya wafat. jelas saja
menyisakan ruang untuk berbagai kemungkinan dan kepentingan. disinilah
kemudian terletak sumber kontroversi yang juga dipicu penggolongan
derajat hadits dan munculnya kelompok-kelompok dengan pendekatan berbeda
terhadap kekyatan hukum sebuah hadits.
Minimal syi’ah beragama dengan Iman dan Akal yg Sehat.
justru menurut saya metode sanad itu lebih memiliki banyak kelemahan
mas. bukannya untuk menentukan jujur ato tidak seseorang akan sangat
sulit, subyektifitas pasti bermain di sini. misal, perawi A dianggap
jujur sama Z, tapi belum tentu dia dianggap jujur ama X. Nah kalo gitu,
bukannya yang muncul malah ilmu mencari2 kesalahan orang lain, asal
menemukan sedikit kecacatan, maka dianggap riwayatya lemah. Saya kira
menilai dari sisi matan, dan membandingkannya degan nilai2 universal
dari Al-quran akan lebih bagus untuk menilai sebuah hadits. At least
lebih obyektif.
hal yg sangat wajar jika kita rajin menelaah hadist2 suni bahkan yg
muktabar sekalipun, dimana akan banyak kontradiksi di dalam masalah
penghukumannnya (ta’dil wa jarh ).
contoh saja: salah seorang perawi sahih Buhori, Haritz bin Uthman
jelas dia adalah pendukung bani Umayah, ia melaknat Imam Ali 70x di pagi
hari dan 70x di sorenya secara rutin…namun apa juga yg dikatakan Ahmad
bin Hambal:”haritz bin uthman adalah Tsiqot!”.
kemudian dalam soheh Muslim pun diceritakan bahwa Muawiyah La.
memerintahkan Sa’ad bin Abi waqos untuk menghina dan mencerca Imam Ali a
Hadith sangat rentan untuk dipalsukan. Patut dicatat bahwa dengan
metode mirip-mirip beginilah agama tauhid yang dibawa Muhammad
dimetamorfosis menjadi mazhab sunni yang pro oknum sahabat zalim..
Yang menjadi teka-teka saya selama ini adalah hadis-hadis politik
sunni itu kok “klop” benar dengan kepentingan penguasa Mu’awiyah dan
Abbasiyah zaman itu. Kalau memang hadis ini sudah ada dari “
sono“-nya,
kenapa tidak dikutip pada saat situasinya relevan, yaitu waktu Usman
diberontak oleh penduduk Mesir? Kenapa hadis-hadis itu tidak dikutip Abu
Bakar waktu perang melawan kaum pembangkang zakat? Kenapa hadis itu tak
dipakai oleh Ali untuk menghadapi perlawanan Mu’awiyah? Dst. dst.
verifikasi hadis melalui
metode sanad sunni juga tidak bisa
memberikan kepastian apapun, kebalikan dari yang diyakini oleh banyak
sarjana hadis selama ini. Sebab, kalau kita telaah proses verifikasi
sanad, akan kelihatan sekali bahwa fondasinya cenderung subyektif.
Fondasi sanad adalah pendapat seseorang bahwa si A atau si B yang
menjadi perawi hadis bisa dipercaya karena dia seorang yang baik (
‘adl, bukan fasik), hafalannya bisa dipercaya (
dhabth), dan pernah bertemu langsung dengan perawi sebelumnya (
muttashil).
Menurut saya, fondasi seperti ini mengandung banyak soal, meskipun
sebagai sebuah “temuan”, metode itu cemerlang dan pantas kita hormati.
Poin saya, metode itu tidak memberikan fondasi sekukuh seperti dikira
oleh banyak orang selama ini. Sebab, dasar pokok dari metode sanad
adalah penilaian seseorang atas “kualitas” orang lain yang menjadi rawi.
Hadis sunni datang kepada kita bukan karena ada dokumen tertulis yang
ada sejak dari zaman Nabi.
hadis dirawat melalui ingatan para rawi, sejak zaman sahabat hingga
ke generasi para kolektor hadis. Sebagaimana kita tahu, aktivitas awal
untuk mencatat hadis baru dimulai secara sporadis pada abad kedua
Hijriyah, artinya satu abad lebih setelah Nabi wafat. Imam Bukhari,
kolektor yang paling bertanggung jawab atas kodifikasi hadis itu,
meninggal pada 870 M. Nabi meninggal pada 632 M. Anda bisa hitung
sendiri jarak antara keduanya.
Dalam metode sanad sunni, perawi hanya mengungkapkan apa yang ia dengar/lihat sehingga like-dislike.
Bagaimanapun, penilaian seseorang sudah tentu mengandung unsur-unsur
subyektif. Dan ingatan manusia, seberapapun sempurnanya, tentu
mengandung kemungkinan meleset.
Pendapat yang pernah dikemukakan oleh Mahmud Abu Rayyah dalam “
Adhwa’ ‘Ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah”
(Telaah Atas Sunnah Muhammad) patut dipertimbangkan di sini. Dia
mengatakan dalam buku itu yang membuat saya terkesima saat membacanya
pertama kali dan selalu saya ingat hingga sekarang: menurut informasi
dari Imam Bukhari sendiri, dia menyeleksi dari sekitar 300 ribu hadis
untuk menyusun kitab koleksi hadisnya yang dianggap sebagai paling
otoritatif oleh umat Islam itu. Sebagaimana kita tahu, Sahih Bukhari
hanya memuat sekitar 2600an hadis.
Kata Abu Rayyah: bayangkan, Imam Bukhari menyuling 2600an hadis yang
dianggap valid dari 300 ribuan hadis. Apa yang bisa disimpulkan dari
fakta ini? Kata Abu Rayyah: dengan rasio 300.000:2600an, kita bisa
mengatakan bahwa hadis pada umumnya adalah palsu atau lemah. Yang valid
hanyalah perkecualian saja. Tentu, kita berbicara mengenai era Imam
Bukhari. Dengan kata lain, pada zaman itu, betapa pervasif dan luas
sekali persebaran hadis-hadis palsu atau minimal lemah. Begitu luasnya
persebaran hadis palsu sehingga Abu Rayyah membuat semacam hukum: hadis
yang palsu adalah “
norm“, sementara hadis yang shahih adalah “
exception“.
Tentu pendapat Abu Rayyah ini disanggah banyak sarjana, antara lain
yang paling kondang adalah Muhammad ‘Ajaj al-Khatib melalui bukunya yang
sekarang sudah menjadi klasik, “
Al-Sunnah Qabl al-Tadwin” (Sunnah Nabi Sebelum Era Kodifikasi, terbit pertama kali 1963).
Saya tidak memihak salah satu kubu dalam perdebatan ini. Belum tentu
kritik-kritik Abu Rayyah benar sepenuhnya, begitu juga sanggahan
lawan-lawannya belum tentu menjawab dengan memuaskan keberatan-keberatan
yang diajukan oleh Abu Rayyah. Yang bisa dipelajari dari perdebatan ini
hanya satu: validitas hadis memang masih mengandung masalah di
sana-sini. Pangkal masalahnya satu: hadis tidak pernah direkam dalam
dokumen tertulis sejak pada masa Nabi yang bisa diverifikasi langsung.
Hadis datang ke kita melalui sebuah ingatan. Sebagaimana setiap ingatan,
sudah tentu ada masalah di sana menyangkut seberapa jauh validitas
ingatan itu dan bagaimana mengeceknya. Seberapapun kuatnya sebuah
ingatan, ia tetap sangat “
precarious” dan rentan.
Di sinilah saya mengajukan sejumlah pertanyaan mengenai hadis yang
sangat populer dan dianggap valid selama ini, yaitu hadis yang berbunyi,
“
Taraktu fikum amrain ma in tamassaktum bihima lan tadhillu abadan, Kitaballahi wa sunnata rasulihi” (Sabda Nabi SAW: Aku tinggalkan bagi kalian
dua hal, jika kalian memegangnya erat-erat, kalian tak akan pernah sesat, yaitu Kitab Tuhan dan sunnah rasul-Nya).
Pertama, teks hadis ini tidak seragam seperti ini. Ada beberapa versi
redaksi untuk hadis ini (saya sudah tak ingat persis). Ini menandakan
bahwa ingatan sangat rentan mengalami distorsi (meskipun ulama hadis
umumnya mengatakan bahwa “
riwayat al-hadith bi al-ma’na” diperbolehkan, alias meriwayatakan hadis tidak secara harafiah seperti diucapkan Nabi, sebaliknya hanya menceritakan “
the gist” atau pengertian umumnya saja).
Kedua, hadis ini di kalangan Syi’ah memiliki redaksi yang sama sekali
lain. Di kalangan mereka, “dua hal” yang ditinggalkan Nabi itu adalah
Kitab Tuhan, alias Quran, dan keluarga Nabi (
ahl al-Bait).
Dalam pandangan saya, redaksi kalangan Syi’ah ini lebih masuk akal
ketimbang redaksi kalangan Sunni. Alasan saya adalah berikut ini.
Jika Nabi menghendaki umat Islam untuk berpegang pada sunnah Nabi,
ini sulit diterima secara rasional, sebab sunnah Nabi tidak pernah
dibukukan secara relatif baku seperti Quran. Jika Nabi menghendaki
berpegang pada sunnah, apa yang sebetulnya disebut sunnah dalam benak
Nabi sendiri? Sebab pada masa Nabi sama sekali belum ada koleksi hadis
yang relatif standar dan bisa diikuti oleh umat Islam. Sunnah, pada era
Nabi, sahabat, dan tabi’in, masih merupakan kategori yang cair sekali.
Hadis sunni tidak sekokoh Quran karena yang terakhir ini lebih solid
sebagai sebuah teks, dan konon sudah dicatat dalam dokumen tertulis
sejak pada masa Nabi (meskipun sekali lagi, dokumen itu sudah tak ada
sekarang, antara lain karena, konon, dihancurkan oleh khalifah Usman,
sehingga sulit pula kita lakukan verifikasi ulang).
Yang menarik, Nabi sendiri melarang penulisan hadis, sebagaimana dapat kita baca melalui sabdanya, “
La taktubu ‘anni ghair al-Quran”
(Janganlah kalian mendokumentasikan dari diriku sesuatu selain Quran).
Larangan penulisan hadis juga dipraktekkan secara keras oleh khalifah
Umar. Khalifah kedua ini gampang naik pitam jika ada seseorang dengan
mudah meriwayatkan hadis. Dia pernah mendamprat Abu Hurairah karena
sedikit-sedikit meriwayatkan hadis. “
Rationale” di balik
larangan ini sangat masuk akal: jika sunnah Nabi didokumentasikan, ada
kekhawatiran ia akan campur-baur dengan Quran. Biarlah yang
didokumentasikan Quran saja, sementara hadis tetap menjadi “
living tradition” yang tak tercatat.
Kesimpulan saya: amat mustahil memegangi sesuatu yang tak jelas
sosoknya seperti sunnah pada zaman itu. Yang lebih masuk akal, Nabi
memerintahkan umat Islam untuk berpegang pada Quran yang sebagai teks
lebih solid dan bisa dirujuk bersama-sama, plus keluarga Nabi yang juga
bisa dirujuk bersama-sama. Dengan demikian, redaksi kalangan Syi’ah
untuk hadis di atas lebih masuk akal. Perintah untuk “berpegang” pada
keluarga Nabi masih mengandung pengertian artinya harus menjadikan
keturunan Nabi sebagai khalifah sepeninggal Nabi.
Teori proyeksi dalam studi hadis:
sayang sekali pemikiran-pemikiran seperti ini hanya bisa dijumpai di
blog. Kalau saja pemikiran-pemikiran seperti ini muncul di masjid,
musholla, atau langgar, saya yakin sedikit banyak akan mengubah
paradigma kita dalam memahami hadis.
Inti teori ini adalah bahwa banyak hadis sebetulnya muncul dan
“dibuat” belakangan sebagai bagian dari debat-debat di kalangan ahli
fikih perdana, kemudian dinisbahkan ke belakang (
projected back)
kepada Nabi. Kasus kongkretnya adalah: misalkan saja seorang ahli fikih
sedang berdebat tentang suatu hukum. Lalu ia “menciptakan” sebuah hadis
guna memberikan legitimasi dan otoritas pada pedapatnya itu, dan
menisbahan hadis “buatan”-nya itu kepada Nabi.
Praktek “membuat hadis” palsu sangat luas terjadi dalam sejarah Islam
perdana, terutama di kalangan para “da’i” dan penceramah yang disebut “
al-qash-shash“.
Agar ceramahnya menarik perhatian umat dan diperhatikan, seorang
qash-shash sengaja menciptakan sebuah hadis dan dinisbahkan kepada Nabi.
Taha Husain di tahun 30an pernah menerbitkan sebuah buku, “
Fi al-Shi’r al-Jahili”
yang kontroversial yang berisi studi kritis atas syair-syair Arab pra
-Islam. Menurut studi dia, banyak syair Arab yang selama ini dianggap
sebagai syair pra-Islam atau jahiliyyah, sejatinya dibuat jauh setelah
Islam datang sebagai bagian dari tradisi eksegesis atau penafsiran
Quran.
Sebagaimana kita tahu, salah satu metode tafsir yang berkembang pada
fase awal adalah dengan cara menerangkan sejumlah kosa-kata yang artinya
ambigu dalam Quran dengan merujuk kepada syair-syair pra-Islam. Menurut
Taha Husain, syair-syair ini diciptakan belakangan lalu diproyeksikan
ke belakang, yakni ke masa jahiliyyah.
Tetapi, teori proyeksi ini membantu kita dalam memahami beberapa hadis secara lebih proporsional.
Yang menarik, hadis-hadis politik itu muncul dan beredar di masyarakat jauh setelah khalifah empat (
al-khulafa’ al-rashidun)
berlalu. Hadis-hadis ini muncul setelah sarjana Islam mulai menulis
literatur yang sering disebut sebagai “fiqh al-Siyasah” atau fikih
politik.
Salah satu penulis penting di bidang ini adalah Abu al-Hasan ‘Ali
al-Mawardi (w. 450 H/1058 M), seorang juris penting dari lingkungan
mazhab Syafii. Sebagaimana kita tahu, al-Mawardi hidup kira-kira empat
abad lebih sepeninggal Nabi. Al-Mawardi hidup pada masa dinasti
Abbasiyah, terutama pada fae awal saat imperium ini berada di tangan
orang-orang Saljuk. Oleh beberapa sarjana, buku al-Mawardi yang
terkenal,
Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, dianggap sebagai semacam
cara untuk memberikan legitimasi pada dinasti Abbasiyah berhadapan
dengan lawan-lawannya, seperti dinasti Fatimiyyah di Mesir.
Observasi lain yang relavan mengenai hadis-hadis “politik” adalah
sebagai berikut: kenapa hadis-hadis ditu cocok dan pas benar dengan
kondisi politik yang berkembang pada era kedinastian Islam?
Hadis riwayat Hisyam b. ‘Urwah dari Abi Shalih dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda: “Sayalikum
ba’di wulatun fayalikum al-barru bi birrihi wa al-fajiru bi fujurihi
fa-sma’u lahum wa athi’u fi kulli ma wafaqa al-haqqa, fa in ahsanu fa
lakum wa in asa’u fa lakum wa ‘alaihim.”
Artinya: Setelah aku meninggal, kalian akan diperintah oleh
penguasa yang baik dengan kebaikannya dan penguasa yang jahat dengan
kejahatannya. Kalian harus patuh mendengarkan dan menaati mereka dalam
hal-hal yang sesuai dengan kebenaran. Jika mereka berbuat baik, maka
kebaikan itu akan berguna buat kalian. Tetapi jika mereka berbuat jahat,
kalian tak rugi apa-apa, sebaliknya yang rugi adalah mereka sendiri.
Logiskah?
Nabi memerintahkan umat Islam untuk taat kepada seorang penguasa, tak
peduli apakah mereka adil atau tiran, sebagaimana terbaca dalam hadis
yang kedua.
Yang lebih mengagetkan adalah sabda Nabi berikut ini, “
Fa in ahsanu falakum wa in asa’u falakum wa ‘alaihim“.
Sesuai dengan sabda ini, jika seorang penguasa bertindak adil, maka
yang diuntungkan adalah rakyat; jika penguasa bertindak lalim, maka
rakyat tak dirugikan apapun; kelaliman itu hanya merugikan penguasa
bersangkutan.
Saya nyaris tak percaya bahwa Nabi mengeluarkan statemen seperti ini.
Bagaimana mungkin penguasa yang tiran tidak merugikan rakyat? Apakah
masuk akal Nabi mengeluarkan statemen seperti ini?
Jika hadis ini memang benar-benar pernah diucapkan oleh Nabi, kenapa
beberapa sahabat memberontak pada Usman, khalifah ketiga, saat ia
dituduh mempraktekkan kebijakan-kebijakan yang “nepotistik” dan
meresahkan banyak masyarakat, hingga akhirnya dia terbunuh?
Apakah
sahabat melanggar perintah Nabi untuk tunduk pada penguasa, baik
penguasa adil ataupun jahat?
Kontradiksi-kontradiksi historis semacam ini tidak pernah dijawab
secara memuaskan dalam literatur fikih siyasah, dan sebaliknya ditutup
rapat-rapat melalui doktrin “
al-shahabi ‘udul“, para sahabat
adalah adil. Pokoknya diandaikan saja bahwa generasi sahabat pasti
benar, tak mungkin mereka berbuat salah. Kalau pun mereka berbuat
sesuatu yang tampaknya salah, itu adalah hasil ijtihad mereka. Ijtihad
yang salah tetap mendapat pahala. Solusi semacam ini hanyalah melarikan
diri dari masalah, bukan menghadapinya dengan “jantan”.
Riwayat Muslim dari Abu Hazim, ia berkata: “Selama lima
tahun aku bersahabat dengan Abu Hurairah dan aku pernah mendengarnya
menceritakan sebuah hadis dari Nabi, “Kanat banu Isra’ila tasusuhum
al-anbiya’ kullama halaka nabiyyun khalafahu nabiyyun, wa innahu la
nabiyya ba’di, wa satakunu khulafa’u fa taktsuru.” Qalu: Fama ta’muruna?
Qala, “Fu bi bai’at al-awwali fa al-awwali wa a’thuhum haqqahum fi inna
l-Laha sa’iluhum ‘amma istar’ahum.”
Artinya: Bangsa Israel dulu diperintah oleh para nabi; setiap
satu nabi meninggal, maka nabi lain akan menggantikannya. Sementara itu
tak ada nabi lagi sepeninggalku, yang ada hanyalah para
khulafa’/pengganti, dan mereka akan banyak jumlahnya. Para sahabat
bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepada kami untuk menghadapi
mereka. Nabi berkata: Berikanlah dan penuhilah ba’iat kalian kepada
khalifah pertama, lalu yang berikutnya, dan seterusnya. Berikanlah hak
mereka, sebab Allah akan meminta pertanggungjawaban kelak mengenai
segala hal yang menjadi tanggung-jawab mereka.
Di sana kita temukan suatu kesejajaran antara nabi dengan khalifah.
Khalifah pada masa Islam sama kedudukannya dengan nabi-nabi pada bangsa
Israel. Karena tak ada nabi lagi sepeninggal Nabi Muhammad, maka yang
muncul sebagai “penguasa” yang melanjutkan misi Nabi adalah para
khalifah. Oleh karena itu, seperti kita baca dalam penutup hadis itu,
umat Islam diperintahkan untuk memberikan hak kepada para khalifah itu.
Yang disebut dengan hak di sini adalah ketaatan.
Sekali lagi, hadis ini tak pernah diungkit-ungkit saat terjadi pembangkangan atas Usman, dan juga Ali, khalifah keempat.
Apa kesimpulan yang hendak saya capai dengan observasi ini? Saya
menduga dengan kuat, bahwa hadis-hadis politik ini adalah hadis palsu
yang “diciptakan” belakangan untuk menjustifikasi penguasa-penguasa
dalam dinasti Islam. Sebagaimana kita tahu, banyak sekali khalifah Islam
yang bertindak tiranik dan despotik. Hadis-hadis politik ini jelas
menguntungkan mereka secara politik, sebab menekankan ketaatan rakyat,
walaupun seorang penguasa menempuh kebijakan yang tak menguntungkan
mereka.
Saya hampir tak bisa percaya bahwa Nabi mengatakan bawa seorang
penguasa yang zalim tak membawa kerugian apa-apa bagi rakyat. Hadis
semacam ini kemungkinan besar dibuat belakangan dan “dinisbahkan” atau
“diproyeksikan” ke belakang sebagai sabda Nabi.
Verifikasi hadis hanya dengan metode sanad atau mata rantai transmisi
sebagaimana selamaini ditempuh oleh kesarjanaan Islam tradisional sama
sekali tak memadai. Metode proyeksi ini membantu kita untuk melakukan
verifikasi dengan metode non-sanad.
Sebetulnya metode ini sudah dibuka kemungkinannya dalam studi hadis
sendiri. Sebagaimana kita tahu, dalam studi ilmu-ilmu hadis (
mushthalah al-hadith) kita kenal dua metode kritik (
naqd),
yaitu kritik sanad dan kritik matan atau teks hadis. Kritik sanad sudah
dikembangkan dengan canggih oleh sarjana Islam, tetapi kritik matan
kurang banyak dicoba. Metode proyeksi bisa masuk dalam kritik matan itu.
etelah sekian lama hilang, propaganda untuk meruntuhkan otoritas hadis
sunni mulai dicuatkan oleh sarjana-sarjana barat, seperti Ignaz
Goldziher, Snouck Hurgronje, dan sebagainya. Ignaz Goldziher, misalnya,
meragukan otentitas hadits Nabi saw sebagai sumber hukum Islam.
Hanya saja, propaganda mereka belum dianggap mampu meruntuhkan otoritas
hadis sunni sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran secara ilmiah.
Baru setelah terbit dua buah buku karya Prof Joseph Schacht, yakni The
Origins of Muhammadan Jurisprudence, pada tahun 1950, dan buku An
Introduction to Islamic Law, pada tahun 1960, kaum orientalis mengklaim
telah berhasil meruntuhkan otoritas sunnah Nabi saw sebagai sumber hukum
secara obyektif-ilmiah. Bahkan, mereka menyakini telah berhasil
menemukan sebuah teori yang bisa membuktikan bahwa hadits-hadits hukum
yang terdapat di dalam kitab-kitab fikih mu’tabar adalah buatan
ulama-ulama fikih abad kedua dan ketiga hijriyyah.
Teori ini dibangun di atas sebuah asumsi bahwa selama abad kedua dan
ketiga hijriyah, para ulama fikih terbiasa memproyeksikan
pendapat-pendapat mereka sendiri kepada ucapan Nabi saw melalui
sanad-sanad yang mereka buat sendiri. Berdasarkan asumsi ini, kaum
orientalis berkesimpulan; hampir-hampir, tidak ada hadits hukum dari
Nabi saw yang dianggap otentik. Keseluruhannya adalah kreasi ulama-ulama
fikih abad kedua dan ketiga Hijriyyah, bukan benar-benar berasal dari
Nabi saw.
Di dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Joseph Schacht
menyatakan bahwa; system isnaad (rantai periwayatan) yang digunakan
untuk membuktikan keotentikan hadits sunni sama sekali tidak didukung
oleh sumber-sumber sejarah. Masih menurut Schacht, system ini dibuat
oleh para ulama fikih abad kedua dan ketiga Hijriyyah secara bohong
untuk menisbatkan pendapat-pendapat mereka sendiri ke belakang kepada
sumber-sumber sebelumnya [perbuatan, ucapan dan persetujuan Nabi saw].
Dengan kata lain, Schact ingin kita mempercayai bahwa praktek hukum
di abad kedua dan ketiga hijriyyah adalah palsu dan buatan ahli fikih
abad tersebut, bukan benar-benar berasal dan bersumber dari praktek Nabi
saw dan para shahabat. Ia menyatakan bahwa praktek hukum abad kedua dan
ketiga hijriyyah ada terlebih dahulu sebelum adanya hadits Nabi dan
isnaad (system periwayatan). Hadits Nabi beserta isnaad (system
periwayatan) hanyalah alat yang sengaja dibuat ahli fikih abad kedua dan
ketiga Hijriyyah untuk mengesankan bahwa pendapat pribadi mereka
berasal dan bersumber dari praktek Nabi saw.
Benarkah praktek hukum abad kedua hijriyyah adalah pendapat pribadi ahli
fikih abad itu yang kemudian dinisbahkan ke belakang sampai kepada
sunnah Nabi saw? Benarkah hadits-hadits hukum yang terdapat di dalam
kitab-kitab fikih mu’tabar adalah kreasi ulama fikih abad kedua dan
ketiga Hijriyyah?
Pihak syi’ah hanya MENERiMA SEBAGiAN HADiS SUNNi, sebagian lagi ditolak !!
Orientalis tidak sepenuhnya benar.
Memang benar, tidak semua hadits sunni yang sampai di tangan kita,
keseluruhannya adalah shahih. Ada hadits yang sengaja dibuat-buat
(dipalsukan) untuk memperkuat posisi kelompok atau madzhab tertentu,
atau untuk membela rejim tertentu; ada hadits yang diriwayatkan oleh
orang-orang yang memiliki reputasi ilmiah dan personalitas yang buruk,
dan lain sebagainya. Namun, kita juga tidak boleh menyatakan bahwa
seluruh hadits Nabi itu palsu dan dibuat-buat. Rasanya sulit diterima
oleh akal sehat, bahwa seluruh praktek hukum yang ada di abad kedua dan
ketiga Hijriyyah adalah kreasi ulama fikih abad itu, dan sama sekali
tidak bersumber dari praktek hukum Nabi.
Pasalnya, ada hadits-hadits Nabi saw yang sampai ke tangan kita
melalui periwayatan yang akurat dan dituturkan oleh perawi-perawi yang
memiliki kredibilitas ilmu dan personalitas. Selain itu, gejala dan
praktek pemalsuan hadits sudah disadari sepenuhnya oleh ulama-ulama kaum
Muslim, terutama ulama hadits. Oleh karena itu, sejak dini, mereka
telah mencurahkan tenaga untuk meneliti dan mengklasifikasi hadits; mana
yang shahih, mana yang dlaâif, mana yang dibuat-buat (palsu), dan
sebagainya. Tidak hanya itu saja, mereka juga menggariskan metodologi
penelitian terhadap hadits baik sanad maupun matan– yang lebih kokoh
dan komprehensif. Upaya tersebut mereka lakukan demi menjaga sunnah Nabi
saw dari pemalsuan, sekaligus menjamin bahwa prinsip keyakinan dan
praktek hukum yang mereka jalankan benar-benar bersumber dari Nabi saw.
Pada dasarnya, al-Quran sendiri telah menjelaskan prinsip-prinsip dasar
ilmu hadits. Al-Quran menyatakan, “hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan
teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum
tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu [TQS Al Hujuurat (49): 6].
banyak materi hadits hukum (matnu al-hadits) yang mempunyai persamaan
di kalangan kelompok-kelompok Islam, seperti Sunni dan Syi’ah
Imamiyyah;
padahal, kelompok ini telah memisahkan diri dari kelompok Ahlus
Sunnah sejak wafatnya Nabi saw. Tidak hanya itu saja, kelompok-kelompok
tersebut juga saling berperang dalam rentang waktu yang cukup lama, dan
saling menuduh kelompok lain telah menyimpang dari Islam.
Seandainya pemalsuan hadits hukum terjadi pada abad kedua dan ketiga
Hijriyyah, tentunya, tidak ada satupun hadits hukum yang secara
bersamaan terdapat dalam kitab kelompok-kelompok Islam tersebut. Namun,
kenyataan justru menunjukkan; sebagian materi hadits hukum yang memiliki
persamaan dan keterkaitan di tengah-tengah kelompok-kelompok Islam
tersebut.
tuduhan Schacht bahwa sanad-sanad hadits telah diduplikasi sedemikian
rupa oleh ulama abad kedua dan ketiga Hijriyyah dengan memakai nama
orang lain, agar pendapat mereka bisa dinisbahkan kepada sumber pertama,
yaitu Rasul, shahabat, dan tabi’in tidak sepenuhnya benar.
Mazhab Sunni akan berantakan jika kitab hadis sunni beredar sesuai dengan versi aslinya !
Oleh karena itu ulama sunni perlu mengedit teks, meringkas matan dan
membersihkan sebagian hadis yang menghantam doktrin sunni agar
mazhabnya tetapa tegak
Sebagian Hadis hadis sunni tidak akan kami terima karena bertentangan satu sama lain dan tidak sesuai dengan Al Quran.
Dalam konteks Islam, proses semacam ini bisa kita lihat dengan jelas.
Pada zaman Nabi sendiri, kita tidak pernah menjumpai akidah yang
disebut sebagai Ahlussunnah wal Jamaa’h atau dogma Sunni. Kelompok ini
pun muncul jauh setelah generasi Nabi. Pada zaman Nabi, banyak hal yang
berkaitan dengan agama masih bersifat “bahan mentah”. Bahan mentah itu
tercermin dalam teks-teks sebagaimana kita jumpai dalam Quran atau
ucapan Nabi. Bahan mentah itu kita jumpai pula dalam contoh dan teladan
yang pernah diberikan oleh Nabi, apa yang sering disebut sebagai “
sunnah” atau tradisi.
Teks-teks itu mengandung banyak kemungkinan interpretasi. Oleh karena
itu, dari teks yang sama, bisa muncul pelbagi pandangan, pendapat, dan
aliran. Dengan prosedur tertentu, kelompok yang disebut Sunni merumuskan
dogma tertentu yang dianggap benar. Itulah yang disebut sebagai “dogma
kelompok yang selamat” (
‘aqidat al-firqa al-najiya).
Tetapi, ortodoksi tidaklah bersifat tunggal. Dalam setiap agama
selalu ada banyak ragam ortodoksi. Setiap kelompok berusaha merumuskan
sejumlah dogma yang mereka anggap tepat dan benar. Dalam Islam, agama
yang saya ketahui dengan baik, kita jumpai banyak ragam ortodoksi. Ada
ortodoksi yang dikembangkan oleh kelompok Sunni, Syi’ah, Mu’tazilah,
Khawarij, dan seterusnya. Apa yang dianggap benar dalam dogma Sunni
belum tentu benar dalam pandangan orotodksi yang lain, misalnya Syi’ah
atau Mu’tazilah.
Yang perlu kita lihat juga, apa yang disebut sebagai ortodoksi tidak
sebatas pada dogma yang berkaitan dengan aspek-aspek teologis. Ortodoksi
juga berlaku dalam hal-hal yang berkenaan dengan ritual (
‘ibadah)
atau cara bertindak yang benar menurut agama (moralitas). Dalam Islam,
kita kenal suatu disiplin kajian yang disebut dengan fiqh, yaitu hukum
yang mengatur tindakan sehari-hari seorang yang beriman. Sebagaimana ada
banyak ragam ortodoksi pada level akidah atau dogma, begitu juga ada
banyak ragam ortodoksi pada level fiqh. Dari teks yang sama, yaitu Quran
dan hadis, muncul banyak interpretasi dalam bidang hukum. Masing-masing
mazhab mencoba melakukan standardisasi atas pelbagai ragam pendapat itu
dengan cara menyeleksi mana pendapat yang sesuai dengan standar
tertentu dan mana yang tidak. Lahirlah sejumlah mazhab dalam Islam.
Sekurang-kurangnya, kita kenal lima mazhab yang populer di masyarakat
Islam sekarang ini: mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali dan Ja’fari.
Dalam masing-masing mazhab, terdapat ortodoksi tertentu. Belum tentu
pendapat yang dianggap ortodoks dalam mazhab tertentu adalah benar alias
ortodoks dalam mazhab yang lain.
Setiap aliran dan mazhab tentu berpandangan bahwa dogma dan pendapat
yang mereka kemukakan adalah konsisten dengan teks fondasional dalam
agama, yakni, dalam konteks Islam, Quran dan sunnah. Sebagaimana sudah
saya katakan, dari teks yang sama dalam sebuah agama, bermunculan
interpretasi yang berbeda. Suatu interpretasi tertentu boleh saja
dianggap tak konsisten atau malah menyimpang dari teks fondasional,
tetapi kelompok yang mengajukan interpretasi itu sudah tentu tak setuju
dengan anggapan tersebut. Kelompok itu akan berpendapat bahwa
interpretasi yang ia ajukan sesuai dengan teks agama yang ada. Kenapa
teks yang sama melahirkan interpretasi yang berbeda, tentu hal ini
disebabkan oleh banyak hal. Salah satu sebab yang relevan di sini adalah
konteks sosial atau metode interpretasi yang berbeda. Karena konteks
sosial dan metode yang dipakai berbeda, maka muncul mazhab fikih yang
berbeda di kawasan Kufah, Madinah dan Irak, misalnya.
Contoh berikut ini menarik kita simak. Hingga abad kedua Hijriyah,
kedudukan sunnah atau hadis Nabi sebagai sumber hukum Islam masih
diperdebatkan dengan keras. Imam Syafii (w. 204 H/820 M) menulis karya
yang terkenal , “
Al-Risalah“, sebagai sebentuk sanggahan
terhadap kelompok-kelompok lain yang tak menganggap sunnah sebagai
sumber otoritatif dalam penetapan hukum. Dalam “
al-Umm“, karya
Imam Syafii yang lain, kita jumpai polemik yang cukup hangat antara dia
dengan penduduk Madinah, yakni mereka yang mengikuti pendapat Imam
Malik. Polemik ini berkisar pada kedudukan sunnah sebagai sumber yang
otoritatif. Berkat Imam Syafii-lah kemudian sunnah pelan-pelan diakui
sebagai dasar yang mantap untuk menetapkan hukum. Karena itu, ia disebut
sebagai “pembela sunnah Nabi”, atau
nashir al-sunnah.
Umat Islam yang hidup setelah Imam Syafii dengan mudah melihat sunnah secara
taken-for-granted sebagai
sumber yang otorittaif dalam Islam. Padahal keadaannya tidak demikian
sebelum periode Imam Syafii. Sebelum itu, banyak pihak dalam Islam yang
menganggap sumber-sumber lain di luar Quran sebagai lebih otoritatif
ketimbang sunnah Nabi. Para sarjana hukum Islam dari kawasan Irak lebih
cenderung memakai “pendapat” atau “akal” sebagai sumber yang lebih
otoritatif ketimbang sunnah. Penduduk Madinah di bawah kepemimpinan Imam
Malik menganggap bahwa tradisi masyarakat Madinah lebih otoritatif
ketimbang sunnah Nabi.
Sementara itu, di luar lingkungan “sarjana agama”, kedudukan sunnah
juga masih dipersoalkan. Sebuah anekdot yang menarik layak kita sebut di
sini, yakni tentang Ibrahim ibn Sayyar al-Nazzam (w. 840 M), salah
seorang tokoh penting dalam sekte Mu’tazilah dari aliran Basrah.
Al-Nazzam adalah salah satu pemikir Islam klasik yang sangat orisinal
dan kreatif, meskipun karya-karyanya tak satupun yang sampai ke tangan
kita. Pendapat-pendapatnya bisa kita baca melalui buku-buku doksografi
(buku tentang sejarah seke dan aliran dalam Islam), seperti
al-Milal wa al-Nihal karya al-Syahrastani (w. 1153 M), atau karya-karya muridnya sendiri, yaitu al-Jahiz (w. 869 M), seperti “
Al-Bayan wa al-Tabyin” dan “
Kitab al-Hayawan“.
Al-Nazzam adalah seorang rasionalis tulen yang tidak dengan mudah
menerima sebuah hadis begitu saja. Di mata dia, hadis-hadis yang kita
terima dari Nabi harus ditimbang dengan akal. Jika hadis-hadis itu
bertentangan dengan akal, dia tak segan-segan untuk menolaknya. Karena
itu, dia, misalnya, menolak sejumlah hadis yang memuji-muji kucing (
al-sinnaur) dan meremehkan anjing (
al-kalb). Sebuah hadis terkenal memuji kucing sebagai binatang yang gemar “menggelendot” pada manusia (
innahunna min al-tawwafati ‘alaikum),
dan karena itu air yang dijilat oleh kucing tidak dianggap kotor atau
najis. Sementara itu, anjing dianggap kotor dan najis, bahkan bejana
yang dijilat anjing haruslah dicuci hingga tujuh kali menurut sebuah
hadis yang terkenal.
Al-Nazzam tidak menerima hadis seperti ini karena, menurut dia,
berlawanan dengan akal. Dia, antara lain, mengatakan bahwa manfaat
anjing lebih besar ketimbang kucing; kenapa kucing mesti lebih dipuji
ketimbang anjing. Kucing gemar memangsa burung yang menjadi mainan
anak-anak, sementara anjing justru bisa menjadi binatang pemburu yang
bermanfaat bagi manusia. Kucing kerap memangsa binatang dan serangga
yang kotor, seperti ular, kalajengking, dan kelelawar. Dengan makanan
yang kotor seperti itu, bagaimana mungkin air liur kucing dianggap tidak
kotor dan najis? Sementara makanan anjing justru lebih baik dan bersih
ketimbang kucing, tetapi air liurnya dianggap najis. Ini jelas tak masuk
akal. Kesimpulannya: anjing lebih memiliki manfaat dan gaya hidup yang
lebih baik ketimbang kucing. Karena itu, menurut al-Nazzam, hadis yang
memuji-muji kucing dan meremehkan anjing ia tolak karena tak masuk akal.
(Baca Ahmad Amin,
Duha al-Islam, vol. 3, hal. 87, edisi Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Libanon, 2004).
Anekdot tentang al-Nazzam ini saya kutip sekedar untuk memberikan
gambaran bahwa kedudukan sunnah dan hadis Nabi tidak sekukuh seperti
yang dibayangkan umat Islam saat ini. Ada suatu fase dalam sejarah Islam
di mana kedudukan sunnah masih diperdebatkan dengan sengit. Posisi
sunnah menjadi mantap karena proses yang berjalan secara
berangsung-angsur dan tidak mendadak begitu saja. Dengan metode dan
argumen tertentu sebagaimana dikemukakan oleh Imam Syafii, sunnah
pelan-pelan menjadi bagian dari doktrin ortodoks Sunni. Tidak semua
kelompok dalam Islam tentu menerima argumen Imam Syafii tersebut.
Ortodoksi, sekali lagi, tidak muncul mendadak dan sekali jadi. Ia
lahir dalam suatu proses pelan-pelan. Apa yang kita anggap sebagai dogma
dalam ajaran Islam saat ini, belum tentu merupakan dogma yang ‘angker’
pada masa-masa awal Islam. Contoh yang baik adalah sejumlah dogma yang
dianggap sebagai salah satu kriteria untuk menentukan apakah seseorang
menjadi bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah atau tidak.
Ambillah
contoh karya ‘Abd al-Qahir ibn Thahir ibn Muhammad al-Baghdadi (w. 1037
M),
Al-Farq Bain al-Firaq. Al-Baghdadi adalah salah satu
sarjana penting dalam aliran Asy’ariyah. Ia mencoba merumuskan sejumlah
dogma standar yang harus dipercayai oleh seorang pengikut sekte Sunni.
Ada lima belas dogma standar menurut al-Baghdadi yang harus diimani oleh
seluruh umat Islam. Mereka yang tak mempercayai dogma ini adalah sesat.
Banyak di antara dogma-dogma itu yang menarik kita telaah kembali.
Misalnya, ia mengatakan bahwa seorang Muslim harus percaya bahwa alam
raya adalah baru, dalam pengertian diciptakan dalam konteks waktu
kronologis (
temporally created), atau, memakai istilah yang sering dipakai dalam teologi Islam, “
hadits” (Baca
Al-Farq, hal. 283, edisi Dar al-Ma’rifah, Beirut, cet. ke-3, 2001).
Dogma lain: seorang Muslim harus mengetahui sifat-sifat Tuhan dengan
prosedur penetapan dan argumen seperti dikenal dalam tradisi teologi
Islam, terutama tradisi Asy’ariyah. Seorang yang mengingkari sama sekali
sifat-sifat bagi bagi Tuhan, sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh
kelompok Mu’tazilah, Jahmiyyah atau para filosof, adalah sesat dalam
standar dogma Sunni sebagaimana dirumuskan oleh al-Baghdadi.
Sebagaimana kita tahu, al-Baghdadi hidup pada ke-11 Masehi atau ke-5
Hijriyah. Pada saat ia hidup, doktrin Asy’ariyah sudah mapan, dan tugas
seorang teolog seperti al-Baghdadi adalah mempertahankan dogma itu dari
lawan-lawan doktrinalnya. Dogma Sunni yang ia rumuskan jelas sangat
dipengaruhi oleh doktrin teologis yang ia anut. Belum tentu dogma yang
ia rumuskan ini disepakati oleh sarjana Islam yang lain. Dogma-dogma ini
beberapa tahun kemudian dikritik keras oleh Ibn Rushd (w. 1198 M),
sebagaimana bisa kita lihat dalam karyanya,
al-Kashf ‘An Manahij al-Adillah.
Dalam pandangan Ibn Rushd, seorang Muslim hanya dituntut untuk beriman
dengan metode yang sederhana seperti terdapat dalam Quran dan sunnah
Nabi. Metode pembuktian Tuhan yang sangat rumit sebagaimana dirumuskan
oleh kaum Asy’ariyyah bukanlah bagian dari dogma agama. Orang yang
beriman tidak dengan cara Asy’ariyah bukan berarti sesat. Metode dan
argumentasi teologis yang dipakai oleh kaum Asy’ariyah, dalam pandangan
Ibn Rushd, sama sekali tak ada dalam Quran dan sunnah.
Dengan kata lain, apa yang dianggap ortodoks oleh al-Baghdadi
tidaklah demikian di mata Ibn Rushd. Kedua sarjana itu mempunyai
perspektif yang berbeda mengenai dogma pokok dalam masalah teologi.
Kalau kita telaah dengan cermat, kelima-belas dogma yang ia rumuskan itu
adalah “temuan belakangan”, bukan sesuatu yang sudah ada pada zaman
Nabi sendiri. Boleh jadi sudah ada embrio yang mengarah kepada
dogma-dogma itu dalam teks-teks agama, yaitu Quran dan sunnah. Tetapi
sebagai dogma resmi dengan rumusan ketat sebagaimana kita lihat dalam
bukunya al-Baghdadi, jelas ia adalah “invensi” atau temuan yang
dirumuskan belakangan.
Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai dogma ortodoks adalah
suatu konstruksi atau susunan yang diciptakan sendiri oleh manusia
dengan suatu penalaran tertentu. Dogma itu tidak mesti ada dalam sumber
asli. Sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, sumber asli dalam agama
mirip dengan sebuah “bahan mentah”. Dari sumber yang sama, pengikut
agama bersangkutan bisa melakukan proses “manufaktur” dan melahirkan
hal-hal baru yang sebelumnya tak ada dalam teks awal.
Kesimpulan pokok yang hendak saya tuju adalah bahwa selain ortodoksi
lahir dalam sebuah proses dan dibuat oleh manusia, suatu dogma menjadi
ortodoks juga karena ada orang-orang tertentu yang membuatnya menjadi
ortodoks. Dogma-dogma yang dirumuskan oleh al-Baghdadi sebagai ortodoks
bukanlah dogma ortodoks pada zaman Nabi dan sahabat sesudahnya.
Dogma-dogma itu dianggap ortodoks karena dibuat demikian oleh seorang
teolog, yaitu al-Baghdadi, dan kemudian diikuti oleh orang-orang lain
yang sepakat dengan dia.
Dengan kata lain, sebuah ortodoksi bukan semata-mata kata benda,
tetapi juga kata kerja. Ia bukan sekedar “ortodoks”, tetapi juga
sekaligus “
ortodoksifikasi“, jika saya boleh memakai istilah
ini, yakni proses suatu dogma menjadi ortodoks. Karena itu, apa yang
disebut sebagai ortodoksi adalah sesuatu yang terus mengalami evolusi.
Ia tidak ada, kemudian ada, kemudian juga bisa tidak ada lagi. Suatu
ortodoksi kerapkali berkaitan dengan konteks tertentu. Ketika konteks
itu sudah berlalu, bukan mustahil dogma yang semula dianggap ortodoks
itu akan pelan-pelan meleleh, memudar, dan bahkan hilang sama sekali.
Sejumlah dogma Sunni yang dirumuskan oleh al-Baghdadi dalam penghukung
Al-Farq Bain al-Firaq itu, jika kita baca dalam konteks sekarang, sudah kelihatan “
old-fashioned“,
atau ketinggalan zaman, dan sama sekali tak nyambung dengan tantangan
kontemporer yang diahadapi oleh umat Islam saat ini. Oleh karena itu,
umat Islam bisa merumuskan kembali ortodoksi baru, sebab tantangan dan
konteks zaman yang mereka hadapi sudah berbeda sama sekali.
Catatan penutup yang layak saya kemukakan adalah berkaitan dengan
karakter ortodoksi itu sendiri. Di mana-mana, selalu ada watak inheren
dalam ortodoksi yang mengarah kepada “
closure” dan “
enclosure“,
alias ketertutupan dan sekaligus juga penutupan diri. Ortodoksi selalu
cenderung eksklusif. Hasil akhir praktis yang muncul dari sana sangat
khas, yaitu sikap mudah memandang kelompok yang berasal dari ortodokasi
lain sebagai sesat, kafir, murtad, dsb. Dalam terminologi klasik, kita
kenal istilah “
ahl al-ahwa‘”, yakni orang-orang yang mengikuti “
whim”
atau kemauan mereka sendiri yang sifatnya subyektif. Kelompok-kelompok
yang berpandangan di luar kerangka ortodoksi disebut dengan orang-orang
heterodoks yang hanya mengikuti hawa nafsu mereka sendiri. Mereka tak
mengikuti standar tertentu yang obyektif sebagaimana dianut oleh
pengikut ortodoksi tertentu. Kelompok yang dituduh demikian akan menuduh
balik lawannya sebagai pengikut hawa nafsu pula. Terjadilah proses
saling menilai yang kadang-kadang berujung pada konflik. Ini semua
berasal dari kecenderungan ortodoksi yang selalu mengarah pada penutupan
diri.
Seorang suku Kurdi Sunni
Iran memegang tasbih sambil duduk di situs bersejarah di kota Sanandaj,
provinsi Kordistan, 763 km barat laut Teheran.
Dimanakah letak perbedaan dua mazhab besar Islam, Sunni dan Syiah ?
Ternyata, menurut Ketua Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI)
Jalaluddin Rahmat, terletak dasar hadits yang digunakan kedua aliran
besar itu.
“Sunni memiliki empat mazhab Hambali, Syafi’i, Maliki dan Hanafi.
Apakah ajaran keempat mazhab itu sama? Tidak ada yang berbeda,” katanya
dalam seminar dan deklarasi Majelis Sunni Syiah Indonesia (MUHSIN) di
Masjid Akbar, Kemayoran, Jakarta, Jumat (20/5/2012).
Jalaluddin mengatakan perbedaan keduanya hanya terletak pada hadits.
Jika hadits Sunni paling besar berasal dari sahabat nabi seperti Abu
Hurairoh, maka hadtis Syiah berasal dari Ahlul Bait (Keluarga Nabi
Muhammad SAW).
“Jadi bukan berarti ajaran Sunni itu salah, dan Syiah sebaliknya,” katanya.
Hal senada diutarakan Duta Besar Iran untuk Indonesia Mahmoud
Farazandeh, yang menyebut “Perbedaan Sunni dan Syiah di Iran lebih
bermuatan politik.
===============================================
HADITS sunni :
Al Muwatho’
Shohih Bukhori
Shohih Muslim
Al Mustadrok
Sunan Abu Daud
Sunan Nasa’i
Sunan Tirmidzy
Sunan Daruquthny
Sunan Ahmad
Sunan Syafi’i
Sunan Abdur Rozaq
Sunan Ibnu Majah
.
TAFSIR
Versi syi’ah, didalam ALQURAN tidak ada satupun ayat yang
menyatakan “sahabat Nabi SAW yang menentang imamah Ali dijamin surga
!!”
Tidakkah anda heran kenapa kitab kitab hadis sunni edisi lengkap sengaja disembunyikan ???
Datanglah ke pesantren , adakah barang tersebut ???
Tidakkah anda heran kenapa kitab kitab hadis banyak diedit dan diringkas ???
Tidakkkah anda heran kenapa banyak hadis disembunyikan ulama ??
Sehingga anda terkejut kejut, kok hadis ini ada padahal dulu tidak dinamppakkan para ustad..
Motifnya : motif politik agar mazhab sunni tetap tegak…
Jika kitab hadis beredar sesuai asli, maka akan nampak kontradiksi dan pertentangan antar hadis
Jika kitab hadis beredar sesuai asli, maka akan nampak kebenaran syi’ah..
Ini bukan fitnah apalagi provokasi.
Syi’ah dan Sunni sepakat tentang keorisinilan Al Quran. Syi’ah tidak
sepakat tentang keorisinilan semua hadis sunni yang “berlabel shahih”.
Logika : Bukhari mengumpulkan 600.000 hadis tetapi Cuma 7000 yang dia
anggap orisinil pasca seleksi ? Nah dari 7000 itulah syi’ah menseleksi
dan meninjau ulang mana hadis yang orisinil dan mana hadis yang dibuat
buat !
Tidak ada kesepakatan sunni – syi’ah tentang keorisinilan semua hadis Nabi SAW, ini berbeda dengan masalah ayat ayat Al Quran.
Karena hadis sunni tidak dihapal dan tidak dicatat sejak awal secara
sistematis, maka ahlul hadis sunni kebingungan untuk memastikan mana
hadis yang betul betul berasal dari Nabi (orisinil) dan mana hadis yang
dibuat buat…
Bukhari mengumpulkan 600.000 hadis tetapi Cuma 7000 yang dia anggap orisinil pasca seleksi..
Nah dari 7000 itulah syi’ah menseleksi dan meninjau ulang mana hadis
yang orisinil dan mana hadis yang dibuat buat antek antek raja zalim
!!
Pertanyaan :
- Apakah Bukhari maksum sehingga kitab hadisnya 100% benar ?
- Ada hadis hadis dalam kitab Bukhari yang saling bertentangan, Apakah
masuk akal Nabi SAW mengucapkan sabda sabda yang saling saling
berlawanan alias plin plan ??? Ingat, Nabi SAW itu maksum (infallible)
Legenda :
1. Imam Ahmad bin Hanbal yg hafal 1.000.000 hadits (1 juta hadits)
tapi hanya sempat menulis sekitar 20.000 hadits saja, maka 980.000
hadits lainnya sirna ditelan zaman ????????????? Apakah yang hilang itu
benar benar hilang atau cuma mitos legenda ???
2. Bukhari hafal 600.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya
dimasa mudanya, namun beliau hanya sempat menulis sekitar 7.000 hadits
saja pada shahih Bukhari dan beberapa kitab hadits kecil lainnya, dan
593.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman ?????? Apakah yang hilang itu
benar benar hilang atau cuma mitos legenda ???
Syi’ah dan Sunni sepakat tentang keorisinilan Al Quran. Syi’ah tidak
sepakat tentang keorisinilan semua hadis sunni yang “berlabel shahih”.
Logika : Bukhari mengumpulkan 600.000 hadis tetapi Cuma 7000 yang dia
anggap orisinil pasca seleksi ? Nah dari 7000 itulah syi’ah menseleksi
dan meninjau ulang mana hadis yang orisinil dan mana hadis yang dibuat
buat !
3. Albani bukan pula Hujjatul Islam, yaitu gelar bagi yg telah hafal
300.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya, bagaimana ia mau hafal
300.000 hadits, sedangkan masa kini jika semua buku hadits yg tercetak
itu dikumpulkan maka hanya mencapai kurang dari 100.000 hadits.
AL Imam Nawawi itu adalah Hujjatul islam, demikian pula Imam Ghazali,
dan banyak Imam Imam Lainnya juga gemar mengedit dan meringkas ringkas
hadis…. Kenapa hadis sunni diedit dan diringkas ??? ya agar mazhab sunni
tetap tegak, segala bau syi’ah dibuang dari hadis.
Bukhari manusia super ??? 16 tahun adalah 8.409.600 menit, jika dalam
tempo 16 tahun Bukhari mampu mengumpulkan 600 ribu hadis saja berarti
Bukhari adalah manusia super yang mampu mencari, menyeleksi dan
menshahihkan 1 hadis dalam tempo 14 menit !!! itu belum dipotong waktu
makan – shalat – tidur – perjalanan… Wow !!
60 minit x 24 jam x365hari x 16 tahun =8.409.600 minit (16 tahun)
hadis yang dikumpul 600,000 dalam tempoh 16 tahun.
8.409.600 dibahagi 600.000 =14,016 minit untuk 1 hadis
adakah imam bukhari mampu mencari,menyeleksi dan mensahihkan hadith itu dalam tempoh 14,016 minit?
itu belum ditolak waktu tidur,makan,solat,aktiviti memanah dan lain
lain.jika ditolak waktu itu mungkin masanya lagi kurang mungkin sekitar 7
minit saja masa yang tinggal.
belum dikira lagi masa perjalanan dari kota ke kota lain dalam mencari hadith.
kita selalu diberikan angka angka ini untuk mewujudkan kekaguman
kepada imam bukhari.tapi adakah angka ini betul setelah dikira
berasaskan matematik
Bukhari lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya
adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin
Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama
Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal
194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang
masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk
Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy.
Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah lepasan Rusia, yang waktu
itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah
Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan
filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan
ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan
lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah.
Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang
masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia
mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu
beliau mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18
tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya “Qudhaya as Shahabah wat
Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).
Bersama gurunya Syekh Ishaq, Bukhari menghimpun hadits-hadits shahih
dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh
80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru
beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali
bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al
Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan
Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip
dalam kitab Shahih-nya.
Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah
Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim
bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim).
Penelitian Hadits.
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan
waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para
perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara
kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah,
Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari
sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali.
Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari
merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan,
melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat,
diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan
apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah
(kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan
sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami’ as-Shahih yang
dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, “perlu
dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari
hal itu” sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia
menyatakan “Haditsnya diingkari”. Bahkan banyak meninggalkan perawi yang
diragukan kejujurannya. Beliau berkata “Saya meninggalkan 10.000 hadits
yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan
meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang
diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan”.
Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu
memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara
berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan.
Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam
kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata
pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan
atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat
dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara
berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada
kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada
159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat
berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli
hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata
karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.
Setelah kitab Shahih Bukhari tersusun, muncullah segelintir ulama
hadits yang mengkritik isi kitab tersebut. Diantaranya Al-Daaraqutni
(wafat 385 H), Abu Ali Al-Ghassani (wafat 365 H), dan lain-lain.
Kritikan para ulama ini (yang tertuju tidak lebih dari 100 hadits) dari
sudut pandang ilmu-ilmu hadits, yang menurut mereka, terdapat juga di
dalamnya hadits yang dhoif.
Yang perlu kita cermati, terdapat perbedaan yang cukup mendasar
antara kritik ulama terdahulu dengan yang datang kemudian. Ulama
terdahulu mengkritik dengan mengacu kepada ilmu-ilmu hadits, sedangkan
pengkritik setelahnya dan terutama akhir-akhir ini, hanya berdasarkan
logika atau juga akal mereka masing-amsing. Diakui ataupun tidak, baik
secara langsung maupun tidak, sedikit banyak mereka terpengaruh dengan
para orientalis atau pola pikir mereka.
Bukhari
manusia super ??? 16 tahun adalah 8.409.600 menit, jika dalam tempo 16
tahun Bukhari mampu mengumpulkan 600 ribu hadis saja berarti Bukhari
adalah manusia super yang mampu mencari, menyeleksi dan menshahihkan 1
hadis dalam tempo 14 menit !!! itu belum dipotong waktu makan – shalat –
tidur – perjalanan… Wow !!
Syi’ah dan Sunni sepakat tentang keorisinilan Al Quran. Syi’ah tidak
sepakat tentang keorisinilan semua hadis sunni yang “berlabel shahih”.
Logika : Bukhari mengumpulkan 600.000 hadis tetapi Cuma 7000 yang dia
anggap orisinil pasca seleksi ? Nah dari 7000 itulah syi’ah menseleksi
dan meninjau ulang mana hadis yang orisinil dan mana hadis yang dibuat
buat !
Tidak ada kesepakatan sunni – syi’ah tentang keorisinilan semua hadis Nabi SAW, ini berbeda dengan masalah ayat ayat Al Quran.
Karena hadis sunni tidak dihapal dan tidak dicatat sejak awal secara
sistematis, maka ahlul hadis sunni kebingungan untuk memastikan mana
hadis yang betul betul berasal dari Nabi (orisinil) dan mana hadis yang
dibuat buat…
Bukhari mengumpulkan 600.000 hadis tetapi Cuma 7000 yang dia anggap orisinil pasca seleksi
Pertanyaan :
- Apakah Bukhari maksum sehingga kitab hadisnya 100% benar ?
- Ada hadis hadis dalam kitab Bukhari yang saling bertentangan, Apakah
masuk akal Nabi SAW mengucapkan sabda sabda yang saling saling
berlawanan alias plin plan ??? Ingat, Nabi SAW itu maksum (infallible)
Legenda :
1. Imam Ahmad bin Hanbal yg hafal 1.000.000 hadits (1 juta hadits)
tapi hanya sempat menulis sekitar 20.000 hadits saja, maka 980.000
hadits lainnya sirna ditelan zaman ????????????? Apakah yang hilang itu
benar benar hilang atau cuma mitos legenda ???
2. Bukhari hafal 600.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya
dimasa mudanya, namun beliau hanya sempat menulis sekitar 7.000 hadits
saja pada shahih Bukhari dan beberapa kitab hadits kecil lainnya, dan
593.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman ?????? Apakah yang hilang itu
benar benar hilang atau cuma mitos legenda ???
Syi’ah dan Sunni sepakat tentang keorisinilan Al Quran. Syi’ah tidak
sepakat tentang keorisinilan semua hadis sunni yang “berlabel shahih”.
Logika : Bukhari mengumpulkan 600.000 hadis tetapi Cuma 7000 yang dia
anggap orisinil pasca seleksi ? Nah dari 7000 itulah syi’ah menseleksi
dan meninjau ulang mana hadis yang orisinil dan mana hadis yang dibuat
buat !
3. Albani bukan pula Hujjatul Islam, yaitu gelar bagi yg telah hafal
300.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya, bagaimana ia mau hafal
300.000 hadits, sedangkan masa kini jika semua buku hadits yg tercetak
itu dikumpulkan maka hanya mencapai kurang dari 100.000 hadits.
AL Imam Nawawi itu adalah Hujjatul islam, demikian pula Imam Ghazali,
dan banyak Imam Imam Lainnya juga gemar mengedit dan meringkas ringkas
hadis…. Kenapa hadis sunni diedit dan diringkas ??? ya agar mazhab sunni
tetap tegak, segala bau syi’ah dibuang dari hadis.
Bukhari manusia super ??? 16 tahun adalah 8.409.600 menit, jika dalam
tempo 16 tahun Bukhari mampu mengumpulkan 600 ribu hadis saja berarti
Bukhari adalah manusia super yang mampu mencari, menyeleksi dan
menshahihkan 1 hadis dalam tempo 14 menit !!! itu belum dipotong waktu
makan – shalat – tidur – perjalanan… Wow !!
60 minit x 24 jam x365hari x 16 tahun =8.409.600 minit (16 tahun)
hadis yang dikumpul 600,000 dalam tempoh 16 tahun.
8.409.600 dibahagi 600.000 =14,016 minit untuk 1 hadis
adakah imam bukhari mampu mencari,menyeleksi dan mensahihkan hadith itu dalam tempoh 14,016 minit?
itu belum ditolak waktu tidur,makan,solat,aktiviti memanah dan lain
lain.jika ditolak waktu itu mungkin masanya lagi kurang mungkin sekitar 7
minit saja masa yang tinggal.
belum dikira lagi masa perjalanan dari kota ke kota lain dalam mencari hadith.
kita selalu diberikan angka angka ini untuk mewujudkan kekaguman
kepada imam bukhari.tapi adakah angka ini betul setelah dikira
berasaskan matematik
Bukhari lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya
adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin
Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama
Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal
194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang
masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk
Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy.
Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah lepasan Rusia, yang waktu
itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah
Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan
filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan
ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan
lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah.
Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang
masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia
mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu
beliau mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18
tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya “Qudhaya as Shahabah wat
Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).
Bersama gurunya Syekh Ishaq, Bukhari menghimpun hadits-hadits shahih
dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh
80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru
beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali
bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al
Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan
Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip
dalam kitab Shahih-nya.
Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah
Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim
bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim).
Penelitian Hadits.
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan
waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para
perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara
kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah,
Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari
sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali.
Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari
merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan,
melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat,
diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan
apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah
(kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan
sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami’ as-Shahih yang
dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, “perlu
dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari
hal itu” sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia
menyatakan “Haditsnya diingkari”. Bahkan banyak meninggalkan perawi yang
diragukan kejujurannya. Beliau berkata “Saya meninggalkan 10.000 hadits
yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan
meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang
diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan”.
Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu
memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara
berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan.
Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam
kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata
pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan
atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat
dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara
berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada
kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada
159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat
berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli
hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata
karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.
Sesuai dengan fitrahnya yang selalu ingin mendapatkan yang terbaik
untuk dirinya dan selalu ingin bersama kebenaran kapanpun dan dimanapun
ia berada, manusia dalam mengarungi kehidupannya selalu berfikir dan
merenungi fenomena-fenomena yang terjadi di planet bumi ini. Proses
tersebut menumbuhkan benih-benih pemikiran yang dapat membuahkan sesuatu
yang bernama ilmu. Tetapi yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah,
apakah ilmu itu sebenarnya? Lebih dalamnya lagi, apakah hakikat ilmu itu
sebenarnya? Kemudian bagaimanakah cara untuk mendapatkan ilmu tersebut?
dan apa konsekuensi yang muncul setelah mendapatkan ilmu tersebut? Apa
yang akan dicapai manusia dengan ilmu yang telah diperolehnya? dan
pertanyaan terakhir adalah, buah ilmu yang sebenarnya itu apa?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang selalu dicari jawabannya oleh setiap
manusia.
Ilmu dan hakikat ilmu
Jikalau kita ingin mengetahui sesuatu, maka yang pertama kali harus kita
lakukan adalah menganalisa objek yang ingin kita ketahui tersebut,
mulai dari keberadaannya, sifat-sifat yang disandangnya, keistimewaan
dan kekurangannya, dan begitu seterusnya sampai pada pertanyaan terakhir
apakah buah yang dapat dihasilkan oleh pengetahuan terhadap objek
tersebut. Adalah sesuatu yang pasti bahwasanya hal ini bukanlah
pekerjaan yang mudah dan dapat di lakukan oleh setiap manusia, hanya
mereka yang mencintai pengetahuan serta mau berjalan seiring dengan
kodrat yang ditentukan oleh Yang Maha Kuasa pada dirinya, dan yang mau
menggerakkan fasilitas kodrat tersebut sebagai jalan untuk mencapai
hakikat sajalah yang dapat melakukannya, sehingga pada akhirnya proses
tersebut dapat mengantarkannya kepada kebahagian dunia dan akhiratnya
kelak.
Kita beranjak dari pertanyaan yang pertama, apakah ilmu itu, dengan
kata lain apakah hakikat ilmu itu? Untuk menjawab pertanyaan pertama
ini, kita membutuhkan kepada beberapa analisa masalah. Jika kita
menengok kembali peradaban manusia mulai dari Nabi Adam as hingga
sekarang, maka kita akan menemukan begitu banyak persepektif tentang
ilmu dari para ilmuwan yang hidup sepanjang sejarah.
Terlepas dari siapakah ilmuwan tersebut, sebagian mereka
mengungkapkan bahwa ilmu adalah kebisaan seseorang untuk melakukan suatu
hal, sebagian yang lain menyatakan bahwa ilmu adalah suatu kekuatan
yang dapat mengantarkan manusia pada tujuannya dan sebagian lagi
meyakini bahwa ilmu adalah ruh yang dapat menghidupkan manusia. Masih
banyak lagi persepektif lainnya tentang definisi ilmu tersebut, sampai
pada masa kejayaan Yunani kuno, di mana kejayaan tersebut berhasil
menembus dunia Islam yang pada akhirnya melahirkan tokoh-tokoh filosof
ternama.
Apabila kita masuk kepada wilayah filosofis, yang mana akar-akar
pemikirannya banyak bergantung pada akal murni (Logical Knowledge), maka
di situpun kita akan menemukan berbagai persepektif dalam
mendefinisikan ilmu yang satu sama lain berbeda. Namun sampai sekarang
ini kalau kita kembali merujuk pada buku-buku logika, maka kita akan
menemukan definisi yang kurang lebih baku tentang ilmu, definisi
tersebut mengatakan ilmu yaitu hadirnya suatu gambaran ke dalam benak
manusia, akan tetapi definisi ini masih bisa kita diskusikan dan kita
pertanyakan kembali, apakah gambaran yang masuk ke dalam benak manusia
itu merupakan hakikat ilmu itu sendiri, atau hanya sekedar bentuk
dzhohirinya ilmu saja?
Kalu kita melihat literatur khazanah Islam, maka di situ kita akan
menemukan bahwa Islam itu sendiri membagi ilmu menjadi dua bagian, yaitu
ada hakikat (asli), dengan kata lain dzat ilmu itu sendiri, dan ada
pula dzohir atupun far’i (cabang), nah jika yang dimaksud hadirnya
gambaran sesuatu di atas tadi adalah hakikat ilmu itu sendiri, maka
konsekuensinya adalah gambaran yang masuk ke benak tadi akan membawa
manusia tersebut kepada kesempurnaan maknawi, yang mana kesempurnaan
tersebut dapat diaplikasikan di berbagai sisi kehidupan manusia. Akan
tetapi kita menemukan begitu banyak maklumat yang masuk ke benak
manusia, yang saking banyaknya sampai-sampai tidak dapat kita hitung
dengan angka nominal, tetapi gambaran (ilmu) tersebut tidak bisa
mengantarkan manusia kepada kesempurnaan, bahkan sebaliknya gambaran
(ilmu) tersebut justru mengantarkan manusia pada jurang kehancuran.
Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa gambaran yang masuk ke
dalam benak manusia bukanlah hakikat ataupun dzat ilmu, melainkan
bentuk dzohiri ataupun kulit ilmu itu sendiri, karena Islam menjelaskan
bahwa ilmu memiliki jauhar (substansi), dan jauhar tersebutlah yang
memberi arti pada ilmu sehingga manusia dengan ilmunya dapat menjadi
manusia seutuhnya yang dapat berbakti pada sesama manusia dan
meyampaikannya pada puncak kesempurnaan. Apabila jauhar tadi hilang,
maka ilmu tersebut tidaklah berarti lagi dan tidak ada bedanya dengan
kebodohan, sebagaimana Imam Ali (as) menjelaskan hal ini dalam kata
mutiara beliau:
“Berapa banyak orang alim, akan tetapi kebodohannya telah membunuhnya dan ilmu yang bersamanya tidaklah bermanfaat sama sekali”.
Dari pernyataan beliau bisa kita ambil kesimpulan bahwa ilmu adalah
sesuatu dan hakikat ilmu sesuatu yang lain. Akan tetapi apabila manusia
dapat mengaplikasikan kulit atau gambaran ilmu tersebut dengan baik maka
melalui sebuah proses maknawiah, manusia tersebut akan sampai kepada
hakikat ilmu, sekarang apa sebenarnya hakikat ilmu itu? Bagaimana
mungkin seseorang yang sudah menuntut ilmu puluhan tahun bahkan seumur
hidup tapi yang di dapat hanya kulitnya dan sama sekali tidak pernah
merasakan intisarinya!
Hakikat dan buah ilmu dalam perspektif Islam.
Untuk mendapatkan definisi ilmu yang hakiki, maka kita harus merujuk
pada Sohib hakikat yang mengetahui dzohir dan batinnya segala sesuatu,
yang ilmunya tidak akan pernah salah dan tidak terbatas, karena jika
kita mengkaji ilmu mantiq (logika) kita akan menemukan bahwa sampai saat
ini bahkan sampai hari kiamat nanti, tidak ada satu manusiapun baik ia
pakar logika ataupun filosof yang dapat mendefinisikan sesuatu dengan
definisi yang hakiki kecuali para manusia suci yang merupakan
pengejawantahan ilmu Ilahi. Hal ini tidak lain dikarenakan keterbatasan
manusia dalam pengetahuan, oleh karena itulah mereka membuat suatu
konsep dengan berbagai penjelasan dan perinciannya yang sesuai dengan
daya faham yang mereka miliki dan tidak lebih dari itu! Jika kita
kembali pada nas (baik itu ayat ataupun riwayat), maka kita akan
menemukan definisi hakiki dari ilmu itu sendiri.
Kita sering mendengar hadis dari Rasulullah saww yang mana beliau bersabda:
“Ilmu adalah cahaya yang Allah swt letakkan di hati hamba-Nya yang Ia iginkan.”
Jadi hakikat ilmu menurut paling sempurnanya manusia di alam jagat
raya ini adalah sebuah cahaya dan bukan gambaran sesuatu yang masuk ke
dalam benak manusia, sebagimana kita ketahui bahwa cahaya adalah suatu
zat yang suci, dan hal yang suci tidak akan bertemu dengan dengan
sesuatu yang kotor, oleh karena itu dalam proses penerimaan cahaya
diperlukan tata cara yang khusus dan tidak semua orang mempunyai potensi
untuk hal itu.
Adapun gambaran-gambaran yang masuk ke dalam benak manusia merupakan
salah satu perantara untuk menerima cahaya tersebut, yang kemudian
gambaran-gambaran tersebut direnungkan dan difahami serta diamalkan
dengan baik dan ikhlas sehingga pada akhirnya sampai pada cahaya itu
sendiri, jikalau gambaran-gambaran yang masuk ke benak manusia adalah
hakikat ilmu itu sendiri maka kita tidak akan menemukan kefasadan
(kerusakan) serta kehancuran di muka bumi ini, akan tetapi sangat
disayangkan bahwa mayoritas manusia hanya bisa mengambil gambaran ilmu
tersebut tanpa bisa merealisasikannya hingga menjadi cahaya
kesempurnaan.
Dari sinilah kita harus bisa menerima realitas dan janganlah kita
terkejut jikalau kita menemukan manusia yang bertahun-tahun menuntut
ilmu, bahkan sampai orang terkagum-kagum dengan hasil penemuannya, dan
mereka mampu menciptakan berbagai teori yang manusia di zamannya tidak
dapat mencernanya dengan baik, akan tetapi perilakunya tidak sesuai
dengan norma-norma kemanusian, dengan berbagai macam teori dan konsep
yang ia ketahui ia berani melanggar ketetapan-ketetapan agama, bahkan
sampai berani mengorbankan status sosialnya hanya karena ingin mencapai
tujuan dan manfaat pribadinya.
Kondisi yang lebih memprihatinkan kita adalah, realitas tersebut
justru menimpa mereka yang memiliki status sebagai pelajar agama, mereka
yang memiliki peran begitu besar untuk membangun kondisi spiritualitas
bangsa dan negara, kehadiran mereka sebagai pelita-pelita yang dapat
menerangi kegelapan, kemanapun mereka pergi maka di situ akan
terpancarkan cahaya sehingga manusia yang ada di sekitarnya tidak lagi
merasa kegelapan dan pada akhirnya mereka dapat menyampaikan manusia
yang berada di sekelilingnya tersebut pada tujuan mereka.
Akan tetapi apa daya dan upaya kita, ternyata realitas berbicara
lain, kita melihat dan menemukan dengan mata kepala kita sendiri bahwa
begitu banyak orang-orang yang mengaku sebagai pecinta ilmu dan
berstatus sebagai pewaris para Nabi dalam menyampaikan misi-misi suci
Ilahi, ternyata telah menyelewengkan fungsi ilmu itu sendiri. Mereka
mempelajari khazanah ilmu-ilmu Islam akan tetapi mereka tidak
mengamalkan apa yang mereka dapatkan selama masa belajarnya. Mereka
memperdalam ilmu tapi bukan untuk mencapai keridhoan Ilahi melainkan
demi mencapai tujuan dan manfaat pribadi.
Mereka pintar dan dapat mengagumkan setiap orang dalam berargumen
akan tetapi pada saat yang sama mereka melupakan jati diri mereka,
karena kepintaran mereka bukan semata-mata untuk membimbing orang lain
menuju ke jalan Allah melainkan mereka ingin mendapatkan posisi yang
sesuai dengan kecerdasan yang mereka miliki. Jika Islam mengajarkan
untuk tidak memandang kemuliaan manusia hanya dari banyak dan lamanya ia
belajar, maka hari ini realitas itu telah barubah, mereka mengukur
kemuliaan manusia hanya dari kuantitas dan lamanya ia belajar, walaupun
sering sekali kita menemukan orang-orang yang banyak dan lama belajar
cenderung meremehkan orang lain dan menganggap orang lain tidak tahu
apa-apa dan menganggap merekalah yang paling bisa.
Mereka tidak lagi memperhatikan ucapan dan garak gerik mereka yang
bertentangan dengan akhlak islami, hal inilah yang dari jauh-jauh hari
telah diperingatkan oleh Imam Shodiq as:
” Bukanlah ilmu itu dikarenakan banyaknya belajar, sesungguhnya ilmu
adalah cahaya yang mana Allah swt meletakkannya di dalam hati hamba-Nya
yang Ia inginkan”.
Hal ini merupakan khayalan orang-orang yang menganggap bahwa mereka
sudah berilmu, padahal mereka telah lalai akan hakikat dan buahnya ilmu
itu sendiri. Ilmu hakiki tidaklah membuahkan sesuatu yang lain kecuali
rasa takut pada Allah swt, sebagimana Allah menerangkan dalam Al-qur’an
bahwa buah dari ilmu yang hakiki adalah rasa takut kepada-Nya.
” Sesungguhnya hanya dari hamba-hamba-Nya yang berilmu yang takut kepada-Nya”(Al-Fathir:28)
Dan jika kita merujuk kembali kepada nas, maka di situ makna hakikat
ilmu dan siapa saja yang menyandang hakikat tersebut, serta bagaimana
kriteria orang-orang yang menyandang ilmu hakiki akan semakin jelas,
sehingga kita bisa membedakan mana orang yang benar-benar berilmu dengan
orang yang berkhayal bahwa ia berilmu. Wahai para pecinta ilmu! Marilah
kita merenungi kembali apa sebenarnya hakikat ilmu itu, sehingga kita
ataupun mereka yang mengaku pecinta ilmu dan pecinta kebenaran tidak
terjerumus ke dalam jurang kehancuran yang akibat dari semua itu adalah
murka Allah swt, Rasul-Nya dan para penerusnya yang di sucikan oleh
Allah swt dari segala dosa dan kesalahan.[]
Syi’ah dan Sunni sepakat tentang keorisinilan Al Quran. Syi’ah tidak
sepakat tentang keorisinilan semua hadis sunni yang “berlabel shahih”.
Logika : Bukhari mengumpulkan 600.000 hadis tetapi Cuma 7000 yang dia
anggap orisinil pasca seleksi ? Nah dari 7000 itulah syi’ah menseleksi
dan meninjau ulang mana hadis yang orisinil dan mana hadis yang dibuat
buat !
Tidak ada kesepakatan sunni – syi’ah tentang keorisinilan semua hadis Nabi SAW, ini berbeda dengan masalah ayat ayat Al Quran
Karena hadis sunni tidak dihapal dan tidak dicatat sejak awal secara
sistematis, maka ahlul hadis sunni kebingungan untuk memastikan mana
hadis yang betul betul berasal dari Nabi (orisinil) dan mana hadis yang
dibuat buat…
Bukhari mengumpulkan 600.000 hadis tetapi Cuma 7000 yang dia anggap orisinil pasca seleksi..
Nah dari 7000 itulah syi’ah menseleksi dan meninjau ulang mana hadis
yang orisinil dan mana hadis yang dibuat buat antek antek raja zalim
!!
Pertanyaan :
- Apakah Bukhari maksum sehingga kitab hadisnya 100% benar ?
- Ada hadis hadis dalam kitab Bukhari yang saling bertentangan, Apakah
masuk akal Nabi SAW mengucapkan sabda sabda yang saling saling
berlawanan alias plin plan ??? Ingat, Nabi SAW itu maksum (infallible)
Legenda :
1. Imam Ahmad bin Hanbal yg hafal 1.000.000 hadits (1 juta hadits)
tapi hanya sempat menulis sekitar 20.000 hadits saja, maka 980.000
hadits lainnya sirna ditelan zaman ????????????? Apakah yang hilang itu
benar benar hilang atau cuma mitos legenda ???
2. Bukhari hafal 600.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya
dimasa mudanya, namun beliau hanya sempat menulis sekitar 7.000 hadits
saja pada shahih Bukhari dan beberapa kitab hadits kecil lainnya, dan
593.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman ?????? Apakah yang hilang itu
benar benar hilang atau cuma mitos legenda ???
Syi’ah dan Sunni sepakat tentang keorisinilan Al Quran. Syi’ah tidak
sepakat tentang keorisinilan semua hadis sunni yang “berlabel shahih”.
Logika : Bukhari mengumpulkan 600.000 hadis tetapi Cuma 7000 yang dia
anggap orisinil pasca seleksi ? Nah dari 7000 itulah syi’ah menseleksi
dan meninjau ulang mana hadis yang orisinil dan mana hadis yang dibuat
buat !
3. Albani bukan pula Hujjatul Islam, yaitu gelar bagi yg telah hafal
300.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya, bagaimana ia mau hafal
300.000 hadits, sedangkan masa kini jika semua buku hadits yg tercetak
itu dikumpulkan maka hanya mencapai kurang dari 100.000 hadits.
AL Imam Nawawi itu adalah Hujjatul islam, demikian pula Imam Ghazali,
dan banyak Imam Imam Lainnya juga gemar mengedit dan meringkas ringkas
hadis…. Kenapa hadis sunni diedit dan diringkas ??? ya agar mazhab sunni
tetap tegak, segala bau syi’ah dibuang dari hadis.
Bukhari manusia super ??? 16 tahun adalah 8.409.600 menit, jika dalam
tempo 16 tahun Bukhari mampu mengumpulkan 600 ribu hadis saja berarti
Bukhari adalah manusia super yang mampu mencari, menyeleksi dan
menshahihkan 1 hadis dalam tempo 14 menit !!! itu belum dipotong waktu
makan – shalat – tidur – perjalanan… Wow !!
60 minit x 24 jam x365hari x 16 tahun =8.409.600 minit (16 tahun)
hadis yang dikumpul 600,000 dalam tempoh 16 tahun.
8.409.600 dibahagi 600.000 =14,016 minit untuk 1 hadis
adakah imam bukhari mampu mencari,menyeleksi dan mensahihkan hadith itu dalam tempoh 14,016 minit?
itu belum ditolak waktu tidur,makan,solat,aktiviti memanah dan lain
lain.jika ditolak waktu itu mungkin masanya lagi kurang mungkin sekitar 7
minit saja masa yang tinggal.
belum dikira lagi masa perjalanan dari kota ke kota lain dalam mencari hadith.
kita selalu diberikan angka angka ini untuk mewujudkan kekaguman
kepada imam bukhari.tapi adakah angka ini betul setelah dikira
berasaskan matematik.
Bukhari lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya
adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin
Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama
Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal
194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang
masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk
Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy.
Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah lepasan Rusia, yang waktu
itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah
Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan
filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan
ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan
lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah.
Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang
masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia
mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu
beliau mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18
tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya “Qudhaya as Shahabah wat
Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).
Bersama gurunya Syekh Ishaq, Bukhari menghimpun hadits-hadits shahih
dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh
80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru
beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali
bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al
Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan
Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip
dalam kitab Shahih-nya.
Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah
Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim
bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim).
Penelitian Hadits.
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan
waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para
perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara
kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah,
Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari
sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali.
Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari
merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan,
melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat,
diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan
apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah
(kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan
sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami’ as-Shahih yang
dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, “perlu
dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari
hal itu” sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia
menyatakan “Haditsnya diingkari”. Bahkan banyak meninggalkan perawi yang
diragukan kejujurannya. Beliau berkata “Saya meninggalkan 10.000 hadits
yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan
meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang
diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan”.
Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu
memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara
berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan.
Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam
kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata
pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan
atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat
dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara
berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada
kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada
159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat
berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli
hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata
karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.