Pesan Rahbar

Home » » SEJARAH ASWAJA DAN PERKEMBANGANNYA. ASWAJA BUKANLAH NU

SEJARAH ASWAJA DAN PERKEMBANGANNYA. ASWAJA BUKANLAH NU

Written By Unknown on Monday 21 March 2016 | 20:40:00


I. Pengantar

Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah ( Aswaja ) sebagai bagian dari kajian ke-Islam-an merupakan upaya yang mendudukkan Aswaja secara proporsional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu.

Pemaksaan suatu aliran tertentu yang pernah berkembang di era tertentu untuk kita yakini, sama halnya dengan aliran teologi sebagai dogma dan sekaligus mensucikan pemikiran keagamaan tertentu. Padahal aliran teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan interpretasi sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya. Jika hal ini mampu kita antisipasi berarti kita telah memelihara kemerdekaan (hurriyah); yakni kebebasan berfikir (hurriyah al-ra’yi), kebebasan berusaha dan berinisiatif (hurriyah al-irodah) serta kebebasan berkiprah dan beraktivitas (hurriyah al-harokah).

Berangkat dari pemikiran di atas, maka persoalan yang muncul adalah siapakah golongan Aswaja itu? Bagaimana perkembanganya? Apakah aliran-aliran Islam yang ada termasuk golongan Awaja ?

II. Pengertian ASWAJA

ASWAJA sesungguhnya identik dengan pernyataan nabi "Ma Ana 'Alaihi wa Ashabi" seperti yang dijelaskan sendiri oleh Rasululloh SAW dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud bahwa :"Bani Israil terpecah belah menjadi 72 Golongan dan ummatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, kesemuanya masuk nereka kecuali satu golongan". Kemudian para sahabat bertanya ; "Siapakah mereka itu wahai rasululloh?", lalu Rosululloh menjawab : "Mereka itu adalah Maa Ana 'Alaihi wa Ashabi" yakni mereka yang mengikuti apa saja yang aku lakukan dan juga dilakukan oleh para sahabatku.

Dalam hadist tersebut Rasululloh SAW menjelaskan bahwa golongan yang selamat adalah golongan yang mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasululloh dan para sahabatnya. Pernyataan nabi ini tentu tidak sekedar kita maknai secara tekstual, tetapi karena hal tersebut berkaitan dengan pemahaman tentang ajaran Islam maka "Maa Ana 'Alaihi wa Ashabi" atau Ahli Sunnah Waljama'ah lebih kita artikan sebagai "Manhaj Au Thariqoh fi Fahmin Nushus Wa Tafsiriha" ( metode atau cara memahami nash dan bagaimana mentafsirkannya).

Dari pengertian diatas maka Ahli Sunnah Wal Jama'ah sesungguhnya sudah ada sejak zaman Rasululloh SAW. Jadi bukanlah sebuah gerakan yang baru muncul diakhir abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah yang dikaitkan dengan lahirnya kosep Aqidah Aswaja yang dirumuskan kembali (direkonstuksi) oleh Imam Abu Hasan Al-Asy'ari (Wafat : 935 M) dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi (Wafat : 944 M) pada saat munculnya berbagai golaongan yang pemahamannya dibidang aqidah sudah tidak mengikuti Manhaj atau thariqoh yang dilakukan oleh para sahabat, dan bahkan banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan.

Secara semantik arti Ahlussunnah wal jama’ah adalah sebagai berikut. Ahl berarti pemeluk, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab maka artinya adalah pengikut aliran atau pengikut madzhab (ashab al-madzhab).

Al-Sunnah mempunyai arti jalan, di samping memiliki arti al-Hadist. Disambungkan dengan ahl keduanya bermakna pengikut jalan Nabi, para Shahabat dan tabi’in. Al-Jamaah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan, Ahlusunnah wal Jama’ah berarti segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, Para Shahabat dan tabi’in.

Nahdlatul ‘Ulama merupakan ormas Islam pertama di Indonesia yang menegaskan diri berfaham Aswaja. Dalam Qanun Asasi (konstitusi dasar) yang dirumuskan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari juga tidak disebutkan definisi Aswaja. Namun tertulis di dalam Qanun tersebut bahwa Aswaja merupakan sebuah faham keagamaan dimana dalam bidang akidah menganut pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam bidang fiqh menganut pendapat dari salah satu madzhab empat (madzahibul arba’ah – Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali), dan dalam bidang tasawuf/akhlak menganut Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali.

III. Historis Pembentukan ASWAJA

Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur’an apakah ia makhluk atau bukan, kemudian debat antara Sifat-Sifat Allah antara ulama Salafiyyun dengan golongan Mu’tazilah, dan seterusnya.

Di wilayah sejarah, proses pembentukan Aswaja terentang hingga zaman al-khulafa’ ar-rasyidun, yakni dimulai sejak terjadi Perang Shiffin yang melibatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dengan Muawiyah. Bersama kekalahan Khalifah ke-empat tersebut, setelah dikelabui melalui taktik arbitrase (tahkim) oleh kubu Muawiyah, ummat Islam makin terpecah kedalam berbagai golongan. Di antara mereka terdapat Syi’ah yang secara umum dinisbatkan kepada pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib, golongan Khawarij yakni pendukung Ali yang membelot karena tidak setuju dengan tahkim, dan ada pula kelompok Jabariyah yang melegitimasi kepemimpinan Muawiyah.

Selain tiga golongan tersebut masih ada Murjiah dan Qadariah, faham bahwa segala sesuatu yang terjadi karena perbuatan manusia dan Allah tidak turut campur (af’al al-ibad min al-ibad) – berlawanan dengan faham Jabariyah.

Di antara kelompok-kelompok itu, adalah sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu Sa’id Hasan ibn Hasan Yasar al-Bashri (21-110 H/639-728 M), lebih dikenal dengan nama Imam Hasan al-Bashri, yang cenderung mengembangkan aktivitas keagamaan yang bersifat kultural (tsaqafiyah), ilmiah dan berusaha mencari jalan kebenaran secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian politik antara berbagai faksi politik (firqah) yang berkembang ketika itu. Sebaliknya mereka mengembangkan sistem keberagamaan dan pemikiran yang sejuk, moderat dan tidak ekstrim. Dengan sistem keberagamaan semacam itu, mereka tidak mudah untuk mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik ketika itu.

Seirama waktu, sikap dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi Ulama setelah beliau, di antaranya Imam Abu Hanifah Al-Nu’man (w. 150 H), Imam Malik Ibn Anas (w. 179 H), Imam Syafi’i (w. 204 H), Ibn Kullab (w. 204 H), Ahmad Ibn Hanbal (w. 241 H), hingg tiba pada generasi Abu Hasan Al-Asy’ari (w 324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H). Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan; meskipun bila ditelusuri secara teliti benih-benihnya telah tumbuh sejak dua abad sebelumnya.

Indonesia merupakan salah satu penduduk dengan jumlah penganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah terbesar di dunia. Mayoritas pemeluk Islam di kepulauan ini adalah penganut madzhab Syafi’i, dan sebagian terbesarnya tergabung – baik tergabung secara sadar maupun tidak – dalam jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama, yang sejak awal berdiri menegaskan sebagai pengamal Islam ala Ahlussunnah wal-Jama’ah.

V. Karakteristik Dan Aspek Cakupan ASWAJA

Ahli Sunnah wal Jama'ah meliputi pemahaman dalam tiga bidang utama, yakni bidang Aqidah, Fiqh dan Tasawwuf. Ketiganya merupakan ajaran Islam yang harus bersumber dari Nash Qur'an maupun Hadist dan kemudian menjadi satu kesatuan konsep ajaran ASWAJA. Kaitannya dengan pengamalan tiga sendi utama ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah mengikuti rumusan yang telah digariskan oleh ulama salaf.
1. Dalam bidang aqidah atau tauhid tercerminkan dalam rumusan yang digagas oleh Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi.
2. Dalam masalah amaliyah badaniyah terwujudkan dengan mengikuti madzhab empat, yakni Madzhab al-Hanafi, Madzhab al-Maliki, Madzhab al-Syafi`i, dan Madzhab al-Hanbali.
3. Bidang tashawwuf mengikuti Imam al-Junaid al-Baghdadi (w. 297 H/910 M) dan Imam al-Ghazali.

Jika sekarang banyak kelompok yang mengaku sebagai penganut Ahlussunnah Wal-Jama’ah maka mereka harus membuktikannya dalam praktik keseharian bahwa ia benar-benar telah mengamalkan Sunnah rasul dan Sahabatnya.

Dilingkunagn ASWAJA sendiri terdapat kesepakatan dan perbedaan. Namun perbedaan itu sebatas pada penerapan dari prinsip-prinsip yang disepakati karena adanya perbedaan dalam penafsiran sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ushulul Fiqh dan Tafsirun Nushus. Perbedaan yang terjadi diantara kelompok Ahli Sunnah Wal Jama'ah tidaklah mengakibatkan keluar dari golongan ASWAJA sepanjang masih menggunakan metode yang disepakati sebagai Manhajul Jami' . Hal ini di dasarkan pada Sabda Rosululloh SAW. Yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim : "Apabila seorang hakim berijtihad kemudian ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala, tetapi apabila dia salah maka ia hanya mendapatkan satu pahala". Oleh sebab itu antara kelompok Ahli Sunnah Wal Jama'ah walaupun terjadi perbedaan diantara mereka, tidak boleh saling mengkafirkan, memfasikkan atau membid'ahkan.

Sebagaimana dinyatakan dimuka, bahwa ASWAJA sebenarnya bukanlah madzhab tetapi hanyalah Manhajul Fikr (metodologi berfikir) atau faham saja yang didalamnya masih memuat banyak aliran dan madzhab. Faham tersebut sangat lentur, fleksibel, tawassuth, I'tidal, tasamuh dan tawazun. Hal ini tercermin dari sikap Ahli Sunnah Wal Jama'ah yang mendahulukan Nash namun juga memberikan porsi yang longgar terhadap akal, tidak mengenal tatharruf (ekstrim), tidak kaku, tidak jumud (mandeg), tidak eksklusif, tidak elitis, tidak gampang mengkafirkan ahlul qiblat, tidak gampang membid'ahkan berbagai tradisi dan perkara baru yang muncul dalam semua aspek kehidupan, baik aqidah, muamalah, akhlaq, sosial, politik, budaya dan lain-lain.

Adapun kelompok yang keluar dari garis yang disepakati dalam menggunakan Manhajul jami' yaitu metode yang diwariskan oleh oleh para sahabat dan tabi'in juga tidak boleh secara serta merta mengkafirkan mereka sepanjang mereka masih mengakui pokok-pokok ajaran Islam, tetapi sebagian ulama menempatkan kelompok ini sebagai Ahlil Bid'ah atau Ahlil Fusuq. Pendapat tersebut dianut oleh antara lain KH. Hasyim Asy'ari sebagaimana pernyataan beliau yang memasukkan Syi'ah Imamiah dan Zaidiyyah termasuk kedalam kelompok Ahlul Bid'ah.

Wal hasil salah satu karakter ASWAJA yang sangat dominan adalah "Selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi". Langkah Al-Asy'ari dalam mengemas ASWAJA pada masa paska pemerintahan Al-Mutawakkil setelah puluhan tahun mengikuti Mu'tazilah merupakan pemikiran cemerlang Al-As'ari dalam menyelamatkan umat Islam ketika itu. Kemudian disusul oleh Al-Maturidi, Al-Baqillani dan Imam Al-Juwaini sebagai murid Al-Asyari merumuskan kembali ajaran ASWAJA yang lebih condong pada rasional juga merupakan usaha adaptasi Ahli Sunnah Wal Jama'ah. Begitu pula usaha Al-Ghazali yang menolak filsafat dan memusatkan kajiannya dibidang tasawwuf juga merupakan bukti kedinamisan dan kondusifnya Ajaran ASWAJA. Hatta Hadratus Syaikh KH. Hasim Asy'ari yang memberikan batasa ASWAJA sebagaimana yang dipegangi oleh NU saat ini sebenarnya juga merupakan pemikiran cemerlang yang sangat kondusif.

VI. Penutup

Dari pengertian diatas maka Ahli Sunnah Wal Jama'ah sesungguhnya sudah ada sejak zaman Rasululloh SAW. Jadi bukanlah sebuah gerakan yang baru muncul diakhir abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah yang dikaitkan dengan lahirnya kosep Aqidah Aswaja yang dirumuskan kembali (direkonstuksi) oleh Imam Abu Hasan Al-Asy'ari (Wafat : 935 M) dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi (Wafat : 944 M) pada saat munculnya berbagai golongan yang pemahamannya dibidang aqidah sudah tidak mengikuti Manhaj atau thariqoh yang dilakukan oleh para sahabat, dan bahkan banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan.

Dengan kemunculannya, Aswaja tetap mempertahankan manhaj-manhaj yang telah ditelorkan oleh para salafussholih sebagai manhajul fikri. Upaya dekonstruktif ini selayaknya dihargai sebagai produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima begitu saja tanpa ada discourse panjang dan mendalam dari pada dipandang sebagai upaya ‘merusak’ norma atau tatanan teologis yang telah ada. Dalam perkembangannya, akhirnya menjadi konsep dasar segala pemikiran Aswaja. Prinsip dasar dari aswaja sebagai manhajul fikri meliputi ; tawasuth (mederat), tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang). Aktualisasi dari prinsip yang pertama adalah bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun tidak terjebak pada mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal sehingga kita tidak terjebak pada paham skripturalisme (tekstual) dan rasionalisme.

Selanjutnya, dalam konteks hubungan sosial, seorang pengikut Aswaja harus bisa menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang lain, yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakan keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari Tuhan. Ini adalah menifestasi dari prinsip tasamuh dari aswaja sebagai manhajul fikri. Dan yang terakhir adalah tawazzun (seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazzun meliputi berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks politik sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan yang tidak seharusnya.

Walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa memandang dan menposisikan segala sesuatu pada proporsinya masing-masing adalah sikap yang paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena itu adalah manifestasi dari sikap pengecut dan oportunis.
____________________________________

Ini Fakta Sejarah Ulama Aswaja Juru Damai Konflik


NU Online
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengurai fakta sejarah tentang kiprah ulama Ahlussunah wal-Jama’ah (Aswaja) dari zaman ke zaman. Ia menyampaikan hal itu di hadapan para pelajar NU saat memperingati hari lahir IPNU ke-60 di aula Perpustakaan Nasional, Jakarta, Senin malam (24/2).

Kiai Said yang mengakui punya ketertarikan tersendiri terhadap sejarah Islam tersebut, pada paparannya, lebih menekankan pada kemunculan ulama Aswaja dengan peran sebagai juru damai konflik sesama umat Islam.

Setelah umat Islam jauh ditinggal Nabi Muhammad, kata kiai yang akrab disapa Kang Said, umat mengalami beragam konflik. Ulama Aswaja Imam Hasan Basri menyelamatkan umat Islam dari pertikaian politik.

Kemudian disusul Imam Abu Hasan Al-Ay’ari menyelamatkan Islam dari liberalisasi kaum rasional (lebih menekankan penggunaan akal) dengan kaum yang tekstual (lebih menekankan teks-teks agama). Konflik dua aliran tersebut memakan korban dengan terbunuhnya Imam Ahmad bin Hanbal.

Pada saat konflik tersebut, muncul ulama Aswaja bernama Abu Hasan Asy’ari. Ia menjadi penengah dengan rumusan menjunjung Al-Quran dan Hadits disamping menggunakan akal sesuai proporsinya.

Konflik selanjutnya antara fuqoha (kalangan ahli fiqih) dan sufiyah (kalangan ahli tasawuf). Korban konflik tersebut adalah Abu Muhyi, Al-Mansur Al-Mahma, dan Al-Hallaj. Tokoh terakhir ini dipenggal kepalanya, dibakar jasadnya, ditaburkan debu dan jenazahnya di sungai Tigris.

Pada situasi itu, umat Islam diselamatkan dengan munculnya Abu Hamid bin Muhammad Al-Ghazali al-Thusi. Imam yang dikenal sebagai hujjatul Islam tersebut menharmoniskan antara fiqih yang legal formal dengan tasawuf yang berbicara hakikat dan batin. “Seandainya tidak ada Imam Ghazali, mungkin masih berkelanjutan konflik itu,” ungkap Kang Said.

Kemudian Hadratusyekh KH Hasyim Asy'ari, pendiri NU, juga berperan menyelamatkan perpecahan umat Islam di Indonesia. Ia menjadi penengah soal bentuk negara Indonesia. “Dulu, kata yang Islam ingin negara Islam, syariat Islam. Kelompok lain ingin negara sekuler, yang lain ingin negara komunis,” kata Kang Said.

KH Hasyim Asy’ari sejak mendirikan NU mendahulukan ukhwah islamiyah dan ukhwah wathaniyah menjadi satu atau membangun persaudaraan umat Islam dengan membangun persaudaraan sebangsa dan setanah Air. Muncullah bentuk negara Indonesia yang tidak sekuler dan agama. “Jadi, bagi Mbah Hasyim mencintai agama sekaligus mencintai tanah air.” (Abdullah Alawi)
___________________________________





Kaum Bughot
Sebuah Tinjaun Teologis dan Historis

Oleh: Ustadz Husein Alkaff

Menyusul desakan agar Gus Dur mundur dari jabatan presiden dari berbagai kalangan, para pendukung berat Gus Dur yang rata-rata berasal dari kalangan Nahdhiyyin, tidak tanggung-tanggung, bersedia menjadi relawan sampai tetes darah terakhir untuk membela Gus Dur. Hal itu diyakininya sebagai jihad, dan mati karenanya adalah mati syahid. Menurut mereka, bahwa kalangan yang meminta , atau memaksa Gus Dur turun merupakan kaum bughot yang harus diperangi. Sampai saat ditulisnya tulisan ini, para kyai NU tengah mengadakan bahtsul masaail di Cilegon, salah satu tema bahasannya adalah sikap para relawan yang siap jihad dan mati demi pemerintahan yang sah.

Sejak Gus Dur menduduki jabatan kepresidenan yang diiringi dengan menaiknya pamor NU dan bertambahnya kiprah para santri di panggung politik, telah muncul istilah dan kata baru yang memperkaya perbedaharaan kamus bahasa Indonesia. Istilah dan kata yang biasa berputar di antara para kyai dan pesantren, yang mereka ambil dari kitab-kitab kuning, sekarang menjadi konsumsi kalangan luar pesantren dan acapkali dipakai dalam media cetak dan elektronik. Diantara istilah pesantren itu, kata "bughot". Kata ini tidak saya dapatkan dari buku Kamus Besar Bahasa Indonesia. Untuk memahami kata itu, saya harus membuka kamus Bahasa Arab yang paling lengkap, Lisan al 'Arab. Saya mendapatkan keterangan yang menarik dari kamus Lisan al 'Arab sehubungan dengan kata "bughot" ini.

Oleh karena itu, tulisan ini ingin menjelaskan makna " bughot " dari sisi etimologi, dan yang lebih penting dari itu, tulisan ini menyoroti kata ini dari sisi kajian teologis dan historis. Mengapa demikian ?. Karena sejak Gus Dur jadi presiden seringkali simbol-simbol keagamaan diangkat, meskipun Gus Dur sendiri tidak setuju dengan itu. Namun, de facto dan hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa bagaimanapun juga beliau adalah seorang kyai yang membawahi ratusan kyai, ribuan santri dan jutaan kaum muslimin tradisionil. Beliau dengan kelompok NU tidak bisa dipisahkan dari simbol-simbol keagamaan. Beliau seorang yang dilahirkan dan dibesarkan dari lingkungan pesantren NU yang sangat konsisten dan mempunyai komitmen yang tinggi dengan doktrin Ahlu sunnah wal jama'ah ( baca: ASWAJA). Doktrin inilah yang melandasi seluruh gerak dan sikap NU. Manusia dalam kehidupan sosialnya tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan, apakah ia berkuasa atau dikuasai. Doktrin ASWAJA yang merupakan interpretasi dari Qur'an dan sunnah nabi, mempunyai pandangan tersendiri tentang kekuasaan dan kepemimpinan. NU sebagai refresentasi dari doktrin ASWAJA mempunyai sikap yang jelas terhadap kekuasaan dan kepemimpinan, baik disaat mereka berkuasa dan memimpin , maupun disaat mereka dikuasai dan dipimpin.

Oleh karena itu, pembahasan tentang "bughot" ,yang berkaitan dengan kekuasaan, dari sisi teologi ASWAJA layak dikaji secara saksama. Demikian pula, kata " bughot " harus ditinjau dari sisi kesejarahan, karena kata ini tidak muncul belakangan ini saja. Kata ini telah ada sejak dari generasi pertama kaum muslimin.


Makna Bughot 

Bughot bentuk jamak ( plural ) dari baaghii ( muzakkar ) atau baghiyah ( muannats ) yang berarti orang yang melakukan kerusakan atau kedzaliman. Ibnu Mandzur al Afriqi dalam kamusnya, Lisan al 'Arab, berkata, " al fi'ah al baghiyah hiya al dhalimah al kharijah 'an al imam al 'adil " (Kelompok baghiyah adalah kelompok dzalim yang keluar dari ketaatan kepada pemimpin yang adil ) { lihat Lisan al 'Arab pada kata " bagha " }.

Yang menarik, Ibnu Mandzur memberikan contoh dari kata " baghiyah " dengan mengutip sebuah hadis Nabi saww. " Beruntunglah 'Ammar putra Sumayyah, yang akan dibunuh oleh kelompok baghiyah ". Hadis ini diriwayatkan dalam beberapa kitab hadis dan sejarah, seperti al Thabari dan al Kamil fi al Tarikh.


Kalau boleh saya uraikan bahwa bughot adalah kelompok yang keluar dari ketaatan kepada pemimpin yang adil, atau kelompok yang melawan pemimpin yang adil. Mereka keluar dan melawan pemimpin yang adil secara dzalim dan untuk melakukan kerusakan dan kekacauan. Atau dengan keterangan lain, ketika ada sekelompok manusia yang menentang dan memerangi pemimpin yang sah ( konstitusional ) dan bersikap adil, tidak dzalim, maka kelompok itu dianggap sebagai kelompok baghiyah.


Bughot dalam Tinjauan Teologis

Saya ingin mengutip pandangan para Mutakallimin dari kaum Salaf dan Khalaf yang termaktub dalam kitab-kitab kuning, dengan tujuan agar orang luar pesantren juga mengetahui isi dari kitab kuning yang dijadikan sebagai referensi oleh para kyai NU dalam forum bahtsul masaail yang sering mereka gelar. Namun sebelum itu, perlu dijelaskan bahwa NU dalam masalah doktrin teologi (aqidah) mengikuti Abu al Hasan al Asy'ari ( 270- 324 Hijriyah ) dan Abu al Manshur al Maturidi ( wafat 333 Hijriyah ) yang kemudian doktrin teologi dua tokoh ini dikenal dengan doktrin kaum khalaf. Sedangkan kaum salaf dikembangkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal ( 213-290 Hijriyah ), seorang imam mazhab fiqih dan mutakallim, dan dilanjutkan oleh Ahmad bin Taymiyah ( wafat 728 Hijriyah), kemudian terakhir oleh Muhammad bin Abdul Wahhab ( 1115-1206 Hijriyyah ). Diantara dua aliran teologi ini ( Salaf dan Khalaf ) terdapat perbedaan yang signifikan dalam masalah-masalah teologis. Mari kita simak pernyataan Imam Ahmad bin Hanbal, tokoh kaum salafi, tentang masalah kepemimpinan, " Dan khilafah (kepemimpinan) berada pada kaum Quraisy selagi masih ada dua orang manusia. Tidak diperbolehkan seorangpun dari umat manusia merebutnya dari mereka dan tidak boleh melawan mereka ".

Kemudian mengatakan, " Dan ( wajib) mentaati orang yang telah diangkat oleh Allah untuk mengurusi urusan kalian. Kamu tidak boleh mencabut tangan ( menolak )dari mentaatinya dan tidak boleh keluar melawannya dengan pedangmu. Kamu harus mendengarkan dan mentaatinya. Jika penguasa memerintahkan kamu dengan sebuah perintah, padahal perintah itu kemaksiatan bagi Allah, maka kamu tidak boleh mentaatinya dan tidak boleh juga melawannya ".( al Sunnah, Ahmad bin Hanbal 44 ) Beliau juga berkata, " Dan barangsiapa keluar melawan seorang pemimpian dari pemimpin-pemimpin kaum muslimin, dan umat manusia telah sepakat dan mengakuinya dengan cara apapun, baik dengan suka rela maupun dengan kekuatan, maka orang yang melawan itu telah meretakkan tongkat kaum muslimin dan melanggar sunnah Rasulullah. Jika orang yang melawan itu mati, maka mati seperti mati jahiliyyah ". ( Tarikh al Madzahib al Islamiyyah, Abu Zahrah jilid 2 halaman 322 ).

Imam Abu al Hasan al Asy'ari, tokoh kaum khalaf, menyatakan bahwa mereka (ASWAJA) berpendapat boleh sholat ied, jum'at dan jama'ah dibelakang setiap imam yang baik maupun fasik. Mereka juga berpendapat boleh mendoakan para pemimpin kaum muslimin dengan kebaikan ,dan mereka tidak membolehkan keluar terhadap mereka ( para pemimpin ) dengan pedang ". (Maqaalaat al Islaamiyyin halaman 323 ).

Berdasarkan kitab-kitab kuning tersebut dan kitab kuning lainnya, NU berpendapat dilarang melawan pemerintah, selagi pemerintahan itu terbentuk secara sah (konstitusional ). Oleh karena itu, mereka tidak pernah melawan pemerintah setelah kemerdekaan. Mereka berdamai dan mendukung pemerintahan yang sah, dengan alasan bahwa pemerintah yang sah adalah ulil amri yang harus ditaati. Dengan demikian segala bentuk perlawanan terhadap pemerintahan yang sah dianggap makar atau bughot yang harus diperangi. Apalagi pemerintahan RI sekarang ini di tangan salah seorang tokoh terbesar mereka, KH. Abdurahman Wahid.


Bughot dalam Tinjauan Historis

Seperti yang dicontohkan oleh Ibnu Mandzur dalam Lisan al 'Arab diatas tadi, bahwa 'Ammar bin Yasir akan dibunuh oleh kelompok baghiyah ( bughot ). Ammar bin Yasir adalah seorang sahabat nabi saww. yang mulia dan setia. Ayahnya adalah Yasir yang mati sebagai syahid dibunuh oleh kaum musyrik Quraisy. Demikian pula ibunya Sumayyah, seorang wanita syahid pertama dalam Islam dibunuh oleh mereka. Keduanya dibunuh di depan mata 'Ammar. 'Ammar dikarunia usia yang panjang sehingga dapat menyaksikan berbagai peristiwa yang menimpa kaum muslimin setelah ditinggalkan oleh Nabi Muhammad saww. Peristiwa yang paling memilukan, yang disaksikan oleh 'Ammar, adalah perpecahan yang mengakibatkan perang saudara pada masa khilafah Amirul mukminin, Ali bin Abi Thalib ra.

Setelah terbunuhnya khalifah ketiga, Usman bin 'Affan, kaum muslimin secara aklamasi meminta Ali bin Abu Thalib untuk tampil sabagai khalifah untuk menggantikan Usman bin 'Affan yang terbunuh. Ali bin Abi Thalib pada mulanya menolak untuk menjadi khalifah mengingat perpecahan di tengah kaum muslimin makin meluas, dan tugas khalifah saat itu amat sangat berat. Namun karena desakan mereka cukup kuat, maka beliaupun menerima permintaan dan harapan mereka. Beliau adalah satu-satunya khalifah dari empat khalifah kaum muslimin yang diangkat secara aklamasi.

Pada masa khilafah beliau yang berlangsung selama kurang-lebih lima tahun ( 35-40 Hijriyah ), telah terjadi tiga perang saudara; antara beliau dengan kelompok lain. Pada perang Jamal ( Unta ), beliau berhadapan dengan Thalhah dan Zubair yang didukung oleh 'Aisyah, istri Nabi saww.; pada perang Shiffin antara beliau dengan Mua'wiyah bin Abu Sufyan, dan pada perang Nahrawan antara beliau dengan kaum Khawarij.

Banyak dari kaum muslimin mendapatkan kesulitan dalam menilai, ketika terjadi peperangan antara kaum muslimin yang melibatkan beberapa sahabat nabi saww., manakah diantara dua kubu yang bertikai itu yang benar dan yang salah ?. Di satu sisi, Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah yang sah, dan juga sahabat dekat nabi saww., tidak boleh diperangi sesuai dengan doktrin ASWAJA, dan di sisi yang lain, terdapat sejumlah sahabat nabi saww.

Hadis Nabi saww. tentang akan terbunuhnya 'Ammar bin Yasir oleh kelompok baghiyah telah memberikan kepada kita tolok ukur kebenaran, sehingga dapat diketahui kelompok manakah yang benar.

Para ahli sejarah bersepakat bahwa ketika perang Shiffin meletus pada tahun 37 Hijriyah, 'Ammar bin Yasir dalam usianya yang sudah lanjut berada bersama pasukan Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib ra. dan ikut serta memerangi Mua'wiyah bin Abu Sufyan. Dalam perang ini, beliau menghembuskan nafas terakhirnya karena dibunuh oleh pasukan Mu'awiyah.

Al Thabari dan Ibnu al Atsir mengungkapkan dalam kitab tarikh mereka, " Ketika 'Ammar bin Yasir hendak berangkat perang berkata, " Hari ini aku akan menjumpai para kekasihku ; Muhammad dan golongangannya ".( Tarikh al Thabari 3 /28 dan al Kamil fi al Tarikh 2/371)

Dalam kedua kitab ini juga diceritakan bahwa ketika disampaikan kepada Muawiyah bahwa 'Ammar dibunuh oleh pasukannya, dan disampaikan pula kepadanya hadis nabi tersebut, dia berkata bahwa sebenarnya yang membunuh 'Ammar bukanlah dia, tetapi kelompok yang membawanya perang, yakni Amirul mukminin Ali bin Abu Thalib ra.

Dengan melihat hadis nabi saww. dan keterangan para ahli sejarah, bahwa kata " bughot " atau "baghiyah" menjadi istilah untuk kelompok yang memerangi pemimpin yang sah dan adil. Dalam hal ini, Mu'awiyah adalah contoh konkrit dari kelompok bughot.


Relevankan Kata " Bughot " Dalam Konteks Pemerintahan RI?

Keterangan di atas tadi adalah doktrin ASWAJA dan bagian dari sejarah Islam. Untuk konteks Indonesia, tentu istilah itu tidak relevan diberikan kepada pihak-pihak yang menghendaki mundurnya Gus Dur, karena istilah ini berlaku dalam sebuah pemerintahan Islam, sementara Indonesia bukanlah pemerintahan Islam sebagaimana yang diakuinya sendiri oleh Gus Dur dan NU. Dalam sistem pemerintahan Islam, yang dijelaskan dalam kitab-kitab kuning, proses pengangkatan pemimpin tidaklah sama dengan yang sekarang berkembang di dunia modern ini. Kemudian cap bughot sendiri berlaku untuk kelompok yang memerangi pemimpin dengan cara yang dzalim dan dengan berbuat kerusakan, seperti yang dilakukan oleh Mu'awiyah, sementara pihak-pihak yang menghendaki turunnya Gus Dur apakah sudah melakukan hal itu ?. Wallahu a'lam. []

(All-About-Wahhabi/NU/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: