Barangkali banyak orang kaget saat pemimpin ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) Abu Bakar al-Baghdadi awal Ramadan tahun lalu mengklaim dirinya sebagai khalifah.
Khalifah berarti pemimpin umat Islam sejagat mengatur wilayah – idealnya seluruh daerah di muka bumi – dengan menerapkan syariat Islam.
Sedari awal konsep khalifah ini bernuansa politik atau perebutan pengaruh dan kekuasaan. Tengok saja sejarahnya ketika Abu Bakar dipilih sebagai khalifah pertama menggantikan Nabi Muhammad telah wafat. Pemilihan itu berlangsung di luar rumah duka saat keluarga dekat Rasulullah – Ali bin Abi Thalib (mantu sekaligus sepupu), Fathimah (puteri), serta Hasan dan Husain (cucu) tengah bersedih) – mengiringi kepergian nabi.
Terpilihnya Abu Bakar memicu polemik. Yang tidak setuju adalah kaum Syiah atau pengikut setia Ali. Mereka beranggapan Ali lebih pantas menjadi khalifah perdana lantaran pelbagai keistimewaannya. Dibanding Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan, dia memiliki hubungan darah dengan Rasulullah dan tidak pernah menjadi orang kafir.
Dia adalah mualaf termuda sekaligus rombongan pertama masuk Islam. Saking istimewanya Ali, Nabi Muhammad pernah bersabda: Kalau Aku kota ilmu maka Ali adalah gerbangnya. Karena kentalnya nuansa politik ini pula konflik berdarah pun kerap terjadi dan puncaknya saat pasukan Yazid bin Muawiyah memenggal kepala Husain di padang Karbala (kini wilayah selatan Irak).
Tapi lupakan saja perdebatan tidak ada habisnya itu. Dalam konteks zaman itu, siapa pun di antara empat sahabat nabi paling utama ini menjadi khalifah duluan tidaklah masalah. Mereka memang pantas lantaran berakhlak dan berilmu jempolan.
Namun di masa sekarang masih mendambakan munculnya seorang khalifah seperti sedang berkhayal. Jangankan membentuk sebuah khilafah di muka bumi, membikin khilafah dalam skala kecil di satu sektor saja umat Islam belum mampu. Bahkan, kaum non-muslim lebih mampu mewujudkan itu. Tengok saja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan WTO (Organisasi Perdagangan Dunia). Dua organisasi ini bisa disebut sebagai sebuah khilafah. PBB di bidang politik keamanan dan WTO di sektor ekonomi.
Kalau masih ada pihak memaksakan berdirinya sebuah khilafah Islamiyah berarti harus siap berperang. Jangankan negara non-muslim, negara-negara dihuni mayoritas orang Islam saja boleh jadi bakal menolak.
Rasanya saat ini hingga akhir zaman sulit menyatukan umat Islam sejagat dalam sebuah khilafah. Dalam konteks ajaran saja perbedaan pendapat sudah menimbulkan pertumpahan darah: Syiah lawan Sunni, Syiah versus Wahabi, atau Sunni kontra Wahabi. Masing-masing ingin memaksakan kepada yang lain penafsiran Islam mereka paling benar sehingga selalu saja ribut.
Kalau tetap nekat, ya bakal seperti dilakukan ISIS saat ini. Mereka telah berhasil menciptakan citra buruk atas Islam. Islam adalah agama penuh kebencian dan kemurkaan. Agama menyebarkan ketakutan dan penderitaan. Islam dipenuhi duka dan air mata.
Kalau berkaca dari sikap dan perbuatan mereka, jati diri Islam seolah lenyap. Padahal menurut asal katanya, salama, Islam hakikatnya adalah agama pembawa keselamatan, kedamaian dan kebahagiaan. Islam selalu bersentuhan dengan kemanusiaan. Islam identik dengan peradaban bukan kebiadaban.
Kalau kita mau merenung sedikit saja. Sejatinya tiap orang sudah menjadi khalifah, seperti disebutkan Allah dalam Alquran. Suami adalah khalifah bagi istri dan anak-anaknya. Kalau ini sudah terwujud dengan sendirinya khilafah tidak hanya tercipta dalam sebuah keluarga tapi otomatis bakal terbentuk di lingkungan sekitar bahkan hingga tingkat negara atau dunia sekalipun.
Untuk menjadi khalifah memang perlu berjihad. Tapi camkan sekali lagi: jihad terbesar adalah memerangi hawa nafsu sendiri. Nafsu ingin berkuasa atau dihormati dan dipuja semua manusia mesti diberantas.
(Al-Balad/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email