Pesan Rahbar

Home » » Wakil Ketua MPR dan Fahri Hamzah Tak Setuju Rekomendasi NU Soal Koruptor

Wakil Ketua MPR dan Fahri Hamzah Tak Setuju Rekomendasi NU Soal Koruptor

Written By Unknown on Tuesday 5 April 2016 | 16:59:00

Karikatur hukuman mati koruptor

Wakil Ketua MPR Mahyudin mengaku tidak sependapat dengan rekomendasi Nahdlatul Ulama (NU) terkait pemberian hukuman mati bagi para koruptor.

“Undang-Undangnya kan belum sampai ke sana, sekarang kan hukuman maksimal 20 tahun. Kita ikuti UU saja dulu,” kata Mahyudin kepada Republika, Selasa 11 Agustus 2015.

Politikus Partai Golkar itu beralasan, saat ini berbagai negara di dunia sudah mulai membatasi hukuman mati. Indonesia pun, lanjutnya, harus melakukan kajian mendalam lagi terkait hukuman mati, baik dari segi hak asasi manusia maupun definisi korupsi itu sendiri yang masih belum jelas.

“Jangan sampai ada pasal yang berada di grey area (wilayah abu-abu). Misalnya, sekarang kan ada yang memperkaya orang lain. Itu kan harus dikaji lagi, definisinya diperjelas,” ujarnya.

Meski begitu, ia mengapresiasi rekomendasi NU tersebut. Rekomendasi tersebut, lanjutnya, dapat dijadikan masukan untuk merevisi UU terkait, seperti UU Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

“Opini, wacana boleh tapi kan harus disesuaikan dengan UU saja. Nanti aspirasi itu menjadi masukan untuk merevisi ke depan,” kata Mahyudin.

Hal senada diungkapkan politisi PKS, Fahri Hamzah. Ia mengatakan, penerapan hukuman mati bagi koruptor tak semudah itu diterima. Pasalnya, hukum Indonesia dinilainya masih rancu soal definisi korupsi.

“Tidak semudah itu di dunia, semua harus dibahas hukum mati koruptor. Koruptor itu apa?,” ungkap Fahri di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin 10 Agustus 2015.

Wasekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu lantas melontarkan pertanyaan ke para ulama dan tokoh agama, tentang alasan mewabahnya korupsi di Indonesia.

Bagi Fahri, tidak semua tindakan yang dianggap korupsi oleh KPK adalah perbuatan melanggar hukum, salah satunya soal pemberian hadiah atau gratifikasi.

“Definisi korupsi terlalu dikembangkan ke mana-mana. Contoh, tradisi memberi hadian dalam korupsi disebut gratifikasi, tapi kalau di hadits nabi dianjurkan untuk memberi kalau saling mencintai. Jangan ikut narasi tanpa perdebatan,” cetusnya.

Sebelumnya, Komisi Bahtsul Masa’il Waqi’iyah dalam Muktamar ke-33 NU sepakat atas penerapan hukuman mati terhadap koruptor.

Koruptor dianggap layak dihukum mati karena dampak dari perbuatannya menimbulkan kerugian yang luar biasa. Selain koruptor, hukuman mati juga dianggap layak diberikan untuk pelaku pembunuhan, produsen, pemasok, pengedar narkoba, dan perampok.

(Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: