Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan
sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era
Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi,
namun hasilnya masih jauh panggang dari api.
Sejarawan di Indonesia umumnya kurang
tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah ekonomi, khususnya seputar
korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para
bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland
Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih
tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang
ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam “budaya
korupsi” yang sudah mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah
peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang
bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di
Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan “perilaku
curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain” dan banyak
menimbulkan tragedi yang teramat dahsyat.
Era Sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi
korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan,
kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi
berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari
(sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan:
Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya),
Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko
Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari
ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda
dan seterusnya sampai terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di
Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.
Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa
mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas
dibahas, namun motif ekonomi – memperkaya pribadi dan keluarga diantara
kaum bangsawan – belum nampak di permukaan “Wajah Sejarah Indonesia”.
Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit
dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para
bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti
atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui
hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha
Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi
karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.
Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram
menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta
menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan
Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian Kasultanan Yogyakarta
juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.
Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena
faktor intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan
Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah adayang meneliti bahwa penyebab
utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajah Indonesia sekitar
350 tahun (versi Sejarah Nasional?), lebih karena perilaku elit
bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang
mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan “character
building”, mengabaikan hukum apalagi demokrasi Terlebih lagi sebagian
besar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi
atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba.
Belanda memahami betul akar “budaya korup” yang tumbuh subur pada
bangsa Indonesia, maka melalui politik “Devide et Impera” mereka dengan
mudah menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara
dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih
parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada
berakhir, serta “berintegrasi’ seperti sekarang. Gelaja korupsi dan
penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan
bangsawan, sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris “belum
mengenal” atau belum memahaminya.
Perilaku “korup” bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara
saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar
“mengkorup” harta-harta Korpsnya, institusi atau pemerintahannya. Kita
pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi.
Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia
kedapatan korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan
bahkan kalau diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan
Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda juga gemar korup.
Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur
Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit
pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang “luar biasa” baik di kalangan
bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat. Buku tersebut
sangat luas memaparkan aspek budaya meliputi situasi geografi, nama-nama
daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim, kandungan mineral,
flora dan fauna, karakter dan komposisi penduduk, pengaruh budaya asing
dan lain-lain.
Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter
penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah
terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih
dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan
persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di
kala orang lain tidak mengetahui.
Hal rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk
harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih
suka mendapat atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem
lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit
kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka
menerima kritik dan saran. Kritik dan saran yang disarnpaikan di muka
umum lebih dipandang sebagai tantangan atau perlawanan terhadap
kekuasaannya. Oleh karena itu budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya
Jawa) cenderung otoriter. Daiam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum
bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat
umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa
kata, kemauan atau kehendak “penguasa”.
Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut
menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga
melakukan “korup” dalam mengambil “upeti” (pajak) dari rakyat yang akan
diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan
kepada Turnenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten
atau propinsi juga mengkorup (walaupun sedikit) harta yang akan
diserahkan kepada Raja atau Sultan.
Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang
standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga
masih kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil
pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan standar upeti
di beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume dan
beratnya, apalagi harganya. Beberapa alasan itulah yang mendorong atau
menye-babkan para pengumpul pajak cenderung berperilaku “memaksa” rakyat
kecil, di pihak lain menambah “beban” kewajiban rakyat terhadap jenis
atau volume komoditi yang harus diserahkan.
Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh
Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942)
minus Zaman Inggris (1811 – 1816), Akibat kebijakan itulah banyak
terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja
misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 – 1837),
Aceh (1873 – 1904) dan lain-lain. Namun, yang lebih menyedihkan lagi
yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah)
juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus
penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel (CS)” yang secara
harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu
adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas
Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat
“manusiawi” dan sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau praktiknyalah
yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya
“Sistem Pemaksaan”. Itu sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru
atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS.
mengganti ungkapan “Sistem Pembudayaan” menjadi “Tanam Paksa”.
Seperti apakah bentuk-bentuk pelang-garan CS tersebut? Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari tanah miliknya dengan tanaman
yang laku dijual di pasar internasional (Kopi, Tembakau, Cengkeh, Kina,
Tebu dan boleh juga Padi, bukan seperti sebelumnya yang lebih suka
ditanam penduduk yaitu pete, jengkol, sayur-sayuran, padi dan
lain-lain). Namun praktiknya ada yang dipaksa oleh “Belanda Item” (orang
Indonesia yang bekerja untuk Belanda) menjdi 2/5, 4/5 dan ada yang
seluruh lahan ditanami dengan tanaman kesukaan Belanda.
2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam
praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering
meng-korup belum tentu Belanda)
3. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan
atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya
ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan ada yang sampai
mati. Jika ada yang tertangkap karena berani melarikan diri maka akan
mendapat hukuman cambuk (poenali sanksi).
4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa
bumi) maka segala kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di
lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu yang diperhitungkan pada
tahun berikutnya.
5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi
kuota, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun
praktiknya dimakan oleh “Belanda Item” atau para pengumpul.
6. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun
pelaksanaannya justru lebih banyak dilakukan oleh “Belanda Item” yang
karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan tidak
mengenal kornpromi.
Era Pasca Kemerdekaan
Bagaimana sejarah “budaya korupsi” khususnya bisa dijelaskan?
Sebenarnya “Budaya korupsi” yang sudah mendarah daging sejak awal
sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka, rupanya
kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama
maupun di Era Orde Baru.
Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat
masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas
korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun
obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali
dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun
ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran,
singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan
Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan
dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah
diharuskan mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar
kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata
kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para
pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran
tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat
berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di
daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan
kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya
pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu
menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua
dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu
meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”.
Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga
negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi
Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari
pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk
menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak
diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan
negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang
cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu
prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio
dalam suatu pertemuan di Bogor, “prestise Presiden harus ditegakkan di
atas semua kepentingan yang lain”.
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran
Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar
(Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno
menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani.
Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya
mengalami stagnasi.
Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus
1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu
memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik
berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad
untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad
itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang
diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas
korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk
rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti
Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena
dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk
rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan
membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap
bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A
Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain
Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan
Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya
tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah
Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas
korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama
setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang
cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan
metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila
ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas.
Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari
dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup
angin tanpa bekas sama sekali.
Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak
dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi
hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus
Korupsi” yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah
membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang
bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta
melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun
yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan
Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali
secara “konkesuen” alias “kelamaan”.
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN
berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU
atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk
Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki
Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat
menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu
judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu,
Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian
masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung
upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan
pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat
yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan
kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses
tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat
Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan
(SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus
Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang
disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN
tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual
aset-aset negara.
Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata
wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas
kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa
mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian
SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The
Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA,
pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi
bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas
korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan
kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi
kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin
kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di
sejumlah DPRD era Reformasi.
Pelajaran apa yang bisa ditarik dari uraian ini? Ternyata upaya untuk
memberantas korupsi tidak semudah memba-likkan tangan. Korupsi bukan
hanya menghambat proses pembangunan negara ke arah yang lebih baik,
yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat.
Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen
dari elit pemerintahan rnenjadi faktor penyebab mengapa KKN masih
tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama dengan
keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan
datang dari hati sanubari rakyat. (amanahonline)
Oleh Amin Rahayu, SS
*Penulis adalah Analis informasi llmiah pada Pusat Dokumentasi dan
Informasi Ilmiah – LIPI, Pengajar llmu Sejarah, Sosiologi dan Tata
Negara.
Source:
http://swaramuslim.net/siyasah/more.php?id=2222_0_6_0_M