Wawancara Eksklusif dengan Sekjen ABI, Drs. Ahmad Hidayat, MA
Ustaz, bagaimana sebenarnya takfirisme dalam pandangan Syiah?
Takfirisme
menurut Syiah itu sebenarnya adalah gejala yang timbul dalam masyarakat
Islam ketika mereka mencoba menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an terkait
dengan kata-kata ‘kafir’ dan ‘pengkafiran.’
Fenomena ini sebenarnya
bukan sesuatu yang baru terjadi.Tapi ini sudah berjalan sepanjang
sejarah kehidupan manusia. Persoalannya adalah, bagaimana atau siapa
semestinya yang memiliki otoritas untuk menjatuhkan vonis kekafiran
seseorang.
Dalam Al-Qur’an kita tahu betul banyak ayat-ayat yang
menyinggung tentang prilaku manusia yang kemudian Allah Swt sebutkan
sebagai orang-orang kafir. Ayat yang suka digunakan oleh orang-orang
yang kemudian merasa dirinya berhak untuk mengkafirkan misalnya dalam
Al-Qur’an Allah menyebutkan man lam yahkum bima anzalallahu faulaika
humul kafirun. Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka
dia disebut kafir.
Nah, dari pemahaman secara skriptualis terhadap
ayat ini memungkinkan setiap orang untuk dengan mudah menyatakan
kekafiran terhadap orang lain. Misalnya saja, ada kelompok yang
sedemikian ekstremnya, hidup di sebuah negara, yang di negara itu hukum
Islam tidak diberlakukan, hukum Allah tidak diberlakukan, maka negara
itu adalah negara kafir. Sebagian orang yang ekstrem dalam memahami ayat
ini bahkan menganggap Indonesia ini adalah negara kafir.
Tentu ini
berbahya bagi kehidupan suatu tatanan budaya dan peradaban yang dibangun
oleh suatu negara. Karena itu fenomena takfirisme yang muncul
belakangan ini di Indonesia sungguh mengancam eksistensi bangsa dan
negara. Sungguh mengancam positioning negara yang menghormati
pluralitas, yang menghormati perbedaan antar pemahaman dari seluruh
warganegara di Indonesia ini.
Jika fenomena mengkafirkan sudah ada sejak dulu, lantas apa yang mesti dilakukan?
Begini,
kita tahu bahwa ada ayat-ayat di dalam Al-Qur’an yang memberi ruang
kepada setiap orang di dalam menemukan sebuah sistem keyakinan dan
kepercayaannya. Dan sampai pada tingkat tertentu, ketika proses dialog
yang beradab yang Allah sebutkan di dalam Al-Qur’an bahwa ud’u illa
sabili rabbika bil hikmah wal mau’idhati hasanah wa jaddilhum billati
hiya ahsan. Bahwa mengajak orang kepada kebenaran, kepada Islam, itu
harus dengan cara-cara yang baik, yang bijak. Dan sampai pada tingkat
ketika membicarakan dan mendialogkannya harus dengan cara-cara yang
terhormat dan beradab.
Nah, ini artinya apa? Sebenarnya agama Islam
memberikan kesempatan kepada setiap orang dalam mencoba mengukuhkan
sistem pemahaman dan keyakinannya melalui sebuah dialog yang sepadan,
beradab. Bukan hanya karena kita berbeda pendapat, maka saya serta-merta
mengatakan bahwa Anda kafir. Ini yang berbahaya.
Dan ini yang
menimpa sekelompok orang yang mengaku Islam, lalu mengklaim dirinya
layak untuk mewakili Tuhan dan mengkafirkan orang lain. Padahal
sebenarnya otoritas untuk mengkafirkan seseorang itu adalah otoritas
Allah Swt dan otoritas Nabi Muhammad Saw. Karena itu kita tak boleh
secara gamblang menuduh, hanya karena saya berbeda dengan Anda dalam
memahamai satu teks ayat, maka Anda kafir.
Maka Anda saya kafirkan. Ini berbahaya.
Ini
betul-betul akan merusak agama Islam sebagai agama yang mengedepankan
dialog dengan cara beradab. Yang mengedepankan diskusi dengan cara
baik-baik dengan kelompok mana pun.
Kita tahu Nabi Muhammad Saw
datang di tengah-tengah masyarakat yang tidak sepenuhnya, atau semuanya
bahkan, tidak mempercayai Allah Swt, kecuali orang-orang yang memelihara
Baitullah, Ka’bah. Yaitu mereka yang berasal dari keturunan Nabi
Ibrahim dan Ismail as, yang tak pernah musyrik dan menyembah selain
Allah Swt.
Nabi memperlakukan orang-orang itu secara baik dan
mengajak mereka berdialog secara baik. Sampai kita lihat sejarah Nabi di
Thaif. Nabi sampai diusir, dilukai, berdarah-darah tubuhnya, lalu
Jibril datang dan berkata, “Ya Muhammad ya Habiballah, kalau Engkau
meminta kepada Allah Swt agar aku menghancurkan orang-orang Thaif, maka
aku akan hancurkan orang Thaif”. Tapi apa kata Nabi? “Tidak, jangan ya
Jibril. Seandainya mereka tahu siapa aku maka mereka akan
berbondong-bondong untuk mengikuti ajaran yang aku sampaikan dari Allah
Swt.”
Nah ini ajaran moral yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw.
Yang semestinya menghindarkan orang Islam, atau yang mengaku Islam untuk
tidak serta-merta mudah mengkafirkan orang lain.
Ada tuduhan
sekelompok orang bahwa Syiah juga melakukan takfirisme dengan mencela
sahabat dan istri Nabi. Bagaimana tanggapan Ustaz?
Apa yang saya
sebutkan tadi itu bersifat umum. Bahwa fenomena takfirisme itu fenomena
manusiawi. Maksud saya, dia bisa hadir di kelompok mana pun, mau mengaku
Ahlusunnah ataupun dia yang mengaku Syiah. Di dalam kelompok-kelompok
Islam, ada kelompok ekstrem. Tetapi tidak boleh karena prilaku kelompok
ekstrem ini kita hukumi secara sama kepada setiap penganut kelompok itu.
Jangan
karena ada satu Ahlusunnah suka mengkafirkan orang lain, lalu kita
mengatakan bahwa Ahlusunnah itu kelompok takfiri. Sebagaimana halnya
bila ada satu atau beberapa orang dalam kelompok Syiah yang mengkafirkan
orang lain lalu menganggap bahwa Syiah itu adalah kelompok yang suka
mengkafirkan orang lain.
Yang harus kita lakukan adalah menelisik
lebih dalam prinsip-prinsip ajaran Islam yang dijadikan sebagai
keyakinan secara mu’tabar kepada seluruh ulama, baik yang ada dalam
Sunni, mau pun yang ada dalam Syiah. Dan kita akan temukan bahwa dalam
Sunni mau pun di Syiah menolak yang namanya takfirisme itu.
Di Syiah,
para ulama Syiah mengecam orang-orang yang melakukan pengkafiran
terhadap sahabat Nabi, istri Nabi, kepada orang-orang yangmenyatakan
dirinya Allah Tuhanku, kiblatku adalah Ka’bah, Muhammad adalah Nabiku
yang terakhir, dan Al-Qur’an adalah kitabku, haram hukumnya untuk
dikafirkan. Dalam hal ini, baik Syiah mau pun Sunni mengharamkan setiap
pengikutnya mengkafirkan orang-orang yang disebut sebagai Ahlul Kiblat.
Syiah sendiri sangat konsisten dengan itu.
Maaf, Ustad. Lantas
bagaimana pandangan Ustad dengan ulah orang yang mengaku ulama Syiah dan
dia mencela sahabat serta istri-istri Nabi seperti Yasir al-Habib dari
London itu? Yang tindakannya lalu dijadikan dalil oleh kelompok yang
anti-Syiah bahwa Syiah itu juga suka mengkafirkan?
Berdasarkan
informasi yang kami dapatkan, Yasir Habib ini adalah orang yang
disusupkan, masuk mengaku sebagai Syiah. Sebagaimana para orientalis.
Kita di Indonesia ada Snouck Hurgronje, dia adalah seorang orientalis
yang disusupkan masuk Islam, dan pekerjaannya memecah-belah umat Islam
di Indonesia waktu itu. Dan terbukti berhasil waktu itu. Begitu pula
yang dilakukan si Yasir Habib itu.
Dia adalah seseorang yang
disusupkan masuk seakan-akan seorang Syi’i, lalu kemudian memunculkan
berbagai pernyataan-pernyataan. Yang pernyataan-pernyataan itu memang
ada di sebagian kitab Syiah, tetapi oleh ulama belakangan, ulama ushuli
yang mu’tabar, dan sebagian yang masih hidup menyatakan bahwa itu
tertolak. Artinya, apa yang ada dalam kitab-kitab itu kita nyatakan
tertolak. Demi kemaslahatan dan demi persatuan Islam.
Karena itu
Syiah memiliki sikap tegas, bahwa pengkafiran yang dilakukan oleh orang
seperti Yasir Habib dan orang-orang yang bersamanya adalah orang-orang
yang disusupkan oleh Zionisme atau oleh Amerika Serikat atau oleh
orang-orang yang tidak senang dengan persatuan umat Islam. Karena umat
Islam kalau bersatu, Sunni dan Syiah ini adalah sebuah kekuatan yang
sangat dahsyat untuk membangun peradaban dunia yang bermartabat.
Kalau
ada orang yang mengaku Syiah tapi masih mencela dan mengkafirkan
sahabat dan istri Nabi, apakah dia masih bisa dianggap Syiah, Ustaz?
Tidak.
Mereka sejatinya bukan Syiah. Sebagaimana orang-orang Sunni yang
mengkafirkan Syiah, saya yakin mereka pun tak layak disebut sebagai
pengikut Ahlusunnah sejati.
Ustaz, apa pengaruh dari takfirisme ini bagi Syiah? Terutama bagi Syiah yang ada di Indonesia?
Pertama, saya ingin mengatakan begini.
Bahwa gejala takfirisme ini adalah gejala perusakan terhadap peradaban.
Gejala perusakan terhadap tatanan kehidupan manusia. Gejala tentang
perusakan terhadap hak-hak asasi manusia. Karena itu yang terancam
dengan munculnya kelompok takfiri, bukan hanya Syiah.
Betul saya sebagai seorang penganut
Islam mazhab Syiah Imamiah Itsna Atsariyah, meyakini bahwa Islam yang
saya anut sama dengan Islam yang dianut oleh Islam Ahlusunnah wal
Jama’ah. Yang Allah Swt yang disembah sama, Al-Qur’annya sama, Nabinya
sama, kiblatnya sama, yang prinsip-prinsip teologinya juga sama, kecuali
sistem penjelasnya yang berbeda dan persoalan-persoalan furu’ yang
berbeda. Namun itu tidak lantas menyebabkan seseorang boleh disebut
kafir.
Nah, karena itu ketika gejala takfirisme
itu merebak di mana-mana, maka sungguh, yang pertama kali seharusnya
merasa terancam adalah peradaban manusia yang menghargai perbedaan.
Kalau bangsa Indonesia membiarkan
kelompok takfiri, ini sama dengan membiarkan kelompok vandalisme,
kelompok terorisme, dan kelompok yang akan melakukan perusakan. Yang
nantinya sasarannya bukan hanya Syiah, tapi sasarannya adalah siapa saja
yang dianggap tidak sepaham atau tidak mengikuti pahaman yang dibangun
oleh kelompok takfiri maka layak dilenyapkan dari muka bumi ini.
Termasuk eksistensi NKRI.
Karena itu sebenarnya yang harus paling
merasa terancam dengan ancaman takfirisme di Indonesia ini adalah negara
ini. Dan siapa pun yang menjadi pejabat negaranya atau pemerintahannya
bertanggung jawab untuk menertibkan kelompok takfiri ini. Karena gerakan
takfirisme tidak saja bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, tapi
juga bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Prinsip-prinsip
ajaran kemanusiaan yang dianut oleh setiap orang yang berakal sehat.
Siapa lagi yang sebenarnya terancam oleh takfirisme ini?
Yang sebenarnya harus merasa terancam
lagi adalah mayoritas masyarakat Indonesia ini, yakni Muslim Ahlusunnah
wal Jama’ah, yang diwakili oleh Muhammadiyah dan NU. Kita sama tahu,
sebagian besar ritual agama yang dijalankan oleh NU itu dianggap bid’ah
oleh kelompok takfiri. Dan bid’ah itu ujungnya, kalau kita lihat
rentetan hadis itu, ujungnya di neraka. Artinya orang yang masuk neraka
itu adalah orang yang kafir.
Dan sesungguhnya ketika mereka
membid’ahkan apa yang diamalkan NU, misalnya ziarah kubur, tahlilan,
maulidan, dan ritual-ritual lainnya yang ada dan sudah menjadi kebiasaan
umat Islam di Indonesia, yang bukan tak punya penjelasan di dalam hadis
Nabi, itu dianggap bid’ah, maka itu sama saja dengan menghukumi 90%
umat Islam di Indonesia ini akan masuk neraka. Dan siapa saja yang
dianggap pantas masuk neraka berarti dianggap kafir juga. Karena itu
saya kira kelompok kedua yang harus merasa terancam adalah mayoritas
umat Islam di Indonesia.
Bagaimana sikap ABI sendiri dalam menghadapi kelompok takfiri ini?
Kami, masyarakat Muslim Syiah, sebagai
bagian tak terpisah dari entitas Muslim Indonesia tentu bertanggung
jawab untuk memberikan penjelasan kepada bangsa ini. Kepada setiap
kelompok masyarakat, termasuk kepada kelompok yang suka mengkafirkan,
bahwa pengkafiran yang mereka lakukan itu keliru, itu salah paham, itu
salah kaprah.
Sebaiknya takutlah kepada Allah Swt,
untuk menjatuhkan tuduhan pengkafiran kepada setiap orang yang shalat
menghadap kiblat, yang haji ke baitullah, yang menyembah Allah Swt, yang
di rumahnya membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an, yang mencintai Rasulullah
Saw dan keluarga suci beliau. Kalau saudara-saudara kita yang ada di
kelompok takfiri itu menyadari, insha Allah gejala-gejala itu akan
hilang dari bumi Indonesia yang kita cintai.
Kami juga bersilaturahmi dengan Kiai
Said Agil Siradj, ketua PBNU. Kami silaturahmi dengan Pimpinan Pusat
Muhammadiyah Prof. Din Syamsuddin, dan menyampaikan kekhawatiran yang
sama. Sekaligus mengajak, ayolah sebagai bagian dari anak bangsa, kita
yang sama-sama seagama Islam, kita turut bertanggung-jawab untuk menjaga
stabilitas bangsa ini, keharmonisan bangsa ini. Untuk menjaga bangsa
ini hidup dalam prinsip tasamuh.
Tasamuh itu adalah prinsip toleransi.
Dan toleransi itu adalah ajaran agama Islam yang diakomodir oleh bangsa
ini dengan Pancasila dan UUD 1945. Kita sebenanrya sangat berharap
Muhammadiyah, NU, dan seluruh ormas Islam yang ada di Indonesia ini
untuk duduk bareng, duduk bersama dan mengajak kelompok-kelompok yang
saling mengkafirkan itu agar kita sama saling memahami, agar kita saling
membangun pengertian di antara kita. Bahwa tidak ada tujuan yang kita
lakukan dalam seluruh program yang kita kerjakan ini kecuali
mengembalikan pandangan hidup kita, cara hidup kita, sikap kita, dan
tujuan hidup kita hanya pada Allah Swt. Karena hanya dengan itulah kita
selamat.
Terima kasih atas kesempatan
wawancaranya, Ustaz. Sebagai penutup, mungkin ada pesan dan harapan yang
ingin ABI sampaikan kepada umat Islam di Indonesia?
Ya. Harus dimengerti bahwa Syiah, dengan
ABI sebagai salah satu ormasnya, tidak mengajak siapa pun masuk Syiah.
Tidak juga mengajak orang masuk ABI. Tapi kami mengajak orang kembali
kepada Allah Swt, pada Al-Qur’an Muhammad Saw. Kita juga berharap bahwa
NU, Muhammadiyah dan ormas lain tidak mengajak orang masuk ke NU atau
Muhammadiyah. Tapi mengajak orang masuk ke Islam menuju Allah Swt, untuk
Rasulullah Saw, untuk Al-Qur’an.
Karena kita ini sebenarnya ‘ndak punya
umat. NU ‘ndak punya umat. Yang punya umat itu hanya Muhammad
Rasulullah. Ahlulbait Indonesia itu ‘ndak punya umat. ‘Ndak boleh
mengklaim punya umat. Muhammadiyah juga tidak boleh mengklaim ini umat
propertinya. NU jangan mengklaim ini umat propertinya. Syiah juga jangan
mengklaim ini umat propertinya. Ini umat adalah umatnya Muhammad
Rasulullah Saw.
Jadi kita semua berbondong-bondong lewat
ormas, lewat organisasi kita masing-masing kembali kepada Nabi, kembali
kepada Allah Swt. Bukan kepada Syiah, bukan kepada Muhammadiyah, bukan
kepada NU, bukan kepada ormas-ormas apa pun. Ormas ini, atau sekte atau
pun mazhab ini hanya sebagai media saja. Kita melihatnya sebagai sarana
untuk mempelajari Al-Qur’an, untuk mempelajari tauladan hidup Nabi, yang
dari itu muncul kecintaan jiwa Islami yang kuat.
Kalau prinsip ini dimiliki semua pihak, saya percaya umat Islam akan bisa hidup rukun di mana pun mereka berada.
Sumber: shabestan