Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dien Syamsudin
Ketua Umum PP Muhammadiyah
Dien Syamsudin mengajukan judicial review untuk membatalkan 3
undang-undang, yang disebutnya sebagai jihad konstitusi organisasi Islam
di Indonesia itu.
Jihad konstitusi itu telah memukul kalangan investor di sektor
minyak, gas dan air, dan langkah terakhirnya itu kembali menjadi
ancaman.
Muhammadiyah, sebuah gerakan sosial berbasis keagamaan Islam di
samping Nahdlatul Ulama, telah mengidentifikasi 115 undang-undang yang
dinilai melanggar prinsip konstitusional, yakni bahwa sumber daya alam
harus dikuasai oleh negara untuk kepentingan rakyat Indonesia.
“Kami tidak akan berhenti selama ada undang-undang yang bertentangan
dengan konstitusi. Ini adalah jihad konstitusional kami, itu perjuangan
sosial kita,” kata Din Syamsuddin, mengatakan kepada Reuters dalam
sebuah wawancara.
Dia mengatakan Muhammadiyah pekan ini mengajukan permintaan untuk
ulasan peradilan (judicial review) di Mahkamah Konstitusi. UU Tahun 1999
tentang valuta asing, UU Tahun 2007 tentang Investasi dan UU Tahun 2009
tentang listrik itu melanggar konstitusi.
Jika pengadilan menerima klaim ini, dasar hukum untuk konvertibilitas
mata uang rupiah akan dibuang, perlindungan investor asing yang
diperlakukan pada tingkat lapangan bermain akan hilang, dan hak operator
swasta untuk menjalankan pembangkit listrik akan dihapus.
Bagi penganut pasar bebas, upaya kelompok ‘jihad’ ini dinilai aneh.
Namun,, namun aktivisme warga mereka sudah membalikkan dua
undang-undang.
Pada 2012, Muhammadiyah berhasil memangkas kemampuan pemerintah untuk
berkontrak dengan perusahaan swasta di sektor minyak dan gas.
Dua bulan lalu, hukum yang mengatur penggunaan air berhasil diubah.
Para pebisnis di sejumlah sector, seperti tekstil dan minuman botol,
menghadapi ketidakpastian setelah aturan yang memungkinkan izin air
diberikan kepada sektor swasta itu dihentikan.
Hal ini menjadi tantangan baru bagi Presiden Joko Widodo, yang
memenangkan pemilu 6 bulan lalu dengan mengangkat harapan investor dari
reformasi yang akan melepaskan birokrasi negara, mengatasi korupsi, dan
memukul mundur kepentingan.
Di tengah keraguan bahwa ia dapat memenuhi harapan-harapan itu,
Widodo mengatakan dalam pertemuan Forum Ekonomi Dunia di Jakarta pekan
ini bahwa Indonesia terbuka bagi investor asing, bila mereka mengalami
masalah, pemerintah akan menyelesaikannya.
Ketidakpastian dan kebingungan
Arif Budimanta, staf khusus Menteri Keuangan, mengatakan bahwa
pemerintah, yang membutuhkan modal asing untuk mewujudkan ambisi
infrastruktur, akan menyiapkan tim hukum untuk melawan tantangan terbaru
dari Muhammadiyah.
Tapi investor asing khawatir. “Saya tidak akan bertaruh terhadap
keputusan yang menguntungkan oleh pengadilan itu,” kata Arian Ardie,
konsultan risiko Amerika-Indonesia dengan bisnis di sektor udang dan
pembangkit listrik.
“Ini adalah perubahan mendasar dalam undang-undang dasar yang
mengatur perdagangan di Indonesia,” tambahnya. “Ini pasti memberi saya
jeda dalam hal membuat investasi masa depan di sini.”
Jakob Sorensen, Kepala Kamar Dagang Eropa di Jakarta, mengatakan
pemerintah perlu turun tangan dan meyakinkan investor asing. “Kami
benar-benar kurang jelas. Kami membutuhkan arah kebijakan yang jelas,”
katanya.
Sebuah pengadilan negeri Jakarta membuat putusan yang jarang pada
bulan lalu, yang mengakibatkan pembatalan kontrak dengan perusahaan
swasta, termasuk satu unit Prancis Suez Environnement untuk memasok air
di Ibu Kota Indonesia.
Perusahaan-perusahaan, yang kontraknya akan berlaku sementara,
mengajukan banding terhadap putusan. Awalnya mereka tidak terpengaruh
oleh putusan Mahkamah Konstitusi pada hukum air karena menyediakan air
untuk keperluan umum.
Analis politik Kevin O’Rourke mengatakan pengadilan telah memutuskan
untuk tidak memutus pada beberapa kasus dalam beberapa tahun terakhir.
Ini menunjukkan “kurangnya penghargaan untuk fundamental ekonomi, serta
kecenderungan untuk menerima interpretasi melengking dari konstitusi”.
Dia mengatakan bahwa jika UU tahun 1999 tentang devisa itu dibatalkan
maka tidak otomatis membuat mata uang non-konversi, karena hukum belum
diganti. Namun, parlemen harus melewati undang-undang baru yang
memperhitungkan pandangan pengadilan kebebasan valuta asing dan kontrol.
“Sementara ini, ada ketidakpastian dan kebingungan tentang status
hukum, dan sekitar konvertibilitas mata uang, ini mungkin membebani
sentimen investor, menekan pasar,” kata O’Rourke dalam sebuah catatan
penelitian.(
Tribunnews.com)