Suasana
takzim ketika pentas pembacaan dramatik oleh Landung Simatupang, “Sang
Pangeran: Ke Pengasingan” selama 30 menit pada Rabu, 5 Maret 2014.
Pentas singkat itu digelar di sebuah bekas kamar Dipanagara di Balai
Kota Batavia, kini Museum Sejarah Jakarta, ketika Pengobar Perang Jawa
itu menanti pengasingannya ke Manado. Pentas utuhnya digelar sehari
kemudian di Bentara Budaya Jakarta. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)
“Balai Kota Batavia, di mana
Dipanagaratinggal dari 8 April sampai 3 Mei 1830,” lantun
Landung Simatupang, seniman teater kawakan asal Yogyakarta.“Ia ditempatkan dalam dua kamar panjang di lantai atas permukiman kepala penjara atau
cipiers woning Batavia yang berada langsung di atas penjara bawah tanah itu.”
Pentas pembacaan dramatik itu digelar di gedung bekas Balai Kota Batavia, kini
Museum Sejarah Jakarta pada Rabu malam (5/3). Naskah yang dibacakan Landung bersumber dari
Kuasa Ramalan karya sejarawan Inggris, Peter Brian Ramsay Carey, dan
Babad Dipanagara yang sejak 2013 telah diakui UNESCO sebagai Memory of the World. Malam itu, Carey juga turut menghadirinya.
Landung membacakan kisah Dipanagara di sebuah kamar di lantai dua
sayap barat Museum Sejarah Jakarta. Di kamar itu, pada 184 tahun silam,
Dipanagara dan keluarganya pernah diinapkan selama hampir sebulan,
sebuah penantian menuju ke pengasingannya di Manado.
Landung membacakan kisah
“Sang Pangeran: Ke Pengasingan”
selama 30 menit. Pentas ini merupakan bagian dari pertunukan utama yang
digelar pada hari berikutnya 6 Maret 2014 di Bentara Budaya Jakarta,
pukul 19.30-21.30 WIB.
Pembacaan kisah dramatik itu dipentaskan di empat kota. Pagelaran
pada Maret ini merupakan pentas ketiganya. Sebelumnya dia berpentas di
Magelang pada November 2013 dan di Yogyakarta pada Januari 2014.
Rencana, pentas keempat digelar di Fort Rotterdam pada Juni mendatang.
Kisah yang dibawakan Landung selalu mewakili sejarah Dipanagara yang
berkait dengan tempat pementasannya.
“Museum sedang melakukan pembenahan berupa pembangunan dan konservasi, semoga pada 2014 ini dapat selesai,” ujar
Enny Prihantini,
Direktur Museum Sejarah Jakarta. “Kami dirokemendasaikan untuk
menyediakan ruang untuk Pangeran Dipanagara atau pahlawan-pahlawan
nasional yang pernah dipenjara di sini.”
Enny sangat bangga dan terbantu atas peran Peter Carey dalam
mewujudkan ruang pamer tentang Dipanagara. Kini, sebuah kamar yang
dulunya pernah dihuni sang Pangeran itu bersama istri dan adik
perempuannya telah disiapkan untuk mengabadikan jejak sejarah Dipanagara
di Batavia.
Dalam kesempatan itu, Penerbit Buku Kompas meluncurkan buku
“Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro”
buah karya Peter B.R. Carey. Dia merupakan seorang Profesor Emeritus
di Trinity College, Oxford, Inggris. Kini, dia juga menjabat sebagai
Adjunct Professor di Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Indonesia. Buku tersebut merupakan biografi singkat Sang
Pangeran—sekitar 400 halaman—versi ringkas dari buku
“Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1755” yang telah diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia pada 2012.
Dalam
peluncuran buku “Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)”,
Peter Brian Ramsay Carey menyerahkan salinan dua surat tulisan tangan
Dipanagara kepada Enny Prihantini, Direktur Museum Sejarah Jakarta.
Surat aslinya masih disimpan di arsip akademi militer di Breda, Belanda.
Surat ini ditulis Sang Pangeran tatkala dia berada di Studhuis, kini
Museum Sejarah Jakarta, namun tidak pernah sampai ke penerimanya: Ibunda
dan anak sulung Dipanagara. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)
“Ini satu malam yang sangat spesial bagi saya,” ujar Carey. “Saya
bisa menyaksikan dan menyambung lidah sejarah dari tuturan Mas Landung.”
Sejarah telah dibuat sangat membosankan di sekolah, demikian katanya,
dan pementasan pembacaan dramatik ini menunjukkan bagaimana sejarah bisa
hidup di tengah kita.
“Kahlil Gibran pernah berkata,” ujarnya, “Setelah makan dan minum,
kebetuhan kita selanjutnya adalah bertutur dengan cerita.” Pendapat ini
ada benarnya. Menurut Carey, bangsa Indonesia mempunyai banyak kisah
seperti
Nagarakertagama gubahan Prapanca yang berkisah tentang masa jaya Majapahit, asal-usul orang Bugis dalam
I La Galigo, dan otobiografi dalam
Babad Dipanagara. “Kalau kita lupa akan sejarah, kita adalah betul-betul makhluk yang tidak akan berdaya.”
Malam itu, Carey juga memberikan salinan (hasil foto/pemindaian
digital yang dicetak) dua lembar surat beraksara Jawa, masing-masing
dalam bingkai pigura kaca, kepada Direktur Museum Sejarah Jakarta. Kedua
surat itu merupakan
salinan tulisan tangan Dipanagara
sendiri tatkala dia berada di lantai dua gedung museum ini, sebagai
seorang tawanan yang menanti pengasingannya ke Manado. Satu surat
ditujukan kepada ibundanya, Raden Ayu Mangkarawati, dan surat lainnya
kepada anak yang paling tua, Pangeran Dipanagara Muda.
“Prof. Peter Carey dengan dukungan YAD melakukan serangkaian
penelitian bersama Prof. Wardiman untuk melacak jejak Pangeran
Dipanagara sampai ke negeri Belanda,” ungkap Catrini Pratihari
Kubontubuh dalam kesempatan terpisah. Dia merupakan Direktur Eksekutif
dari Yayasan Arsari Djojohadikusumo (YAD). “Surat
original yang tersimpan rapi di Belanda telah berhasil di-
copy dan salinannya diberikan kepada Kepala Museum Sejarah dan kepada Yayasan Arsari.”
“Dipanagara dengan sangat tergesea-gesa menulis, dan dia titip kepada
Roeps—seorang perwira Belanda yang bertugas mengawalnya—untuk
disampaikan kepada mereka,” kata Carey. Namun, “surat ini tidak pernah
sampai.”
Sumber : National Geographic Indonesia