Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Pangeran Diponegoro. Show all posts
Showing posts with label Pangeran Diponegoro. Show all posts

Haidar Bagir : Diponegoro Ternyata Menganut Paham Wahdatul Wujud


Jakarta – Intelektual Muslim dan pendiri Mizan Group, Haidar Bagir menilai pahlawan nasional Pangeran Diponegoro sebagai seorang penganut paham Wahdatul Wujud.

Hal itu diungkapkan Haidar saat memberikan materi dalam seminar bartajuk ‘Agama, Politik, dan Keserasian Sosial dalam Perspektif Perbandingan’ yang digelar Akademi Jakarta di Hotel Gren Alia Cikini, Rabu 10 Desember 2014.

Haidar beralasan, penilaianya atas paham fakta Wahdatul Wujud yang dianut Pangeran Diponegoro didasarkan rekam jejak sang Pangeran yang diungkap oleh sejarawan Peter Carey dalam bukunya ‘Destiny: The Life of Prince Diponegoro of Yogyakarta, 1785-1855′.

“Di situ Carey menjelaskan, Diponegoro ternyata menganut paham sufisme wahdatul wujud,” kata Haidar.
Semasa hidupnya, lanjut Haidar, Pangeran Diponegoro sering membaca kitab ‘Al Tuhfah Al Mursalah ila Ruhin Nabiy’ yang merupakan karangan tokoh sufi asal India, Muhammad Ibn Fadhilah al Burhanpuri.
Kitab tersebut, menurut Haidar, menjadi salah satu sumber ajaran wahdatul wujud yang banyak dianut umat Islam di Indonesia pada masa lalu. Saat itu umat Islam Indonesia menempuh spiritualisme dan mistisisme sebagai sebuah upaya mencapai kesempurnaan.

“Kitab itu dulu telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Bahasa Jawa. Kandungan dari kitab itu memengaruhi pemikiran Pangeran Diponegoro dalam melakukan gerakan politiknya,” ujar Haidar.
Wahdatul wujud adalah paham yang menempuh kesadaran eksistensi. Paham ini melihat eksistensi atau wujud secara bergradasi. Bahkan, beberapa kalangan sufi meyakini bahwa orang yang menguasai kesadaran tersebut mampu menyerap kemuliaan dari Tuhan.

Dalam kamus Bahasa Jawa, konsep pemahaman semacam ini dikenal dengan istilah ‘manunggaling kawula Gusti’. Ajaran ini berkembang pesat di Indonesia terutama di tanah Jawa. Beberapa tokoh sufi yang dipengaruhi oleh ajaran ini antara lain Ibnu Arabi, Syekh Siti Jenar, dan Hamzah Fansuri.
“Selain Pangeran Diponegoro, Ayatollah Khomeini juga seorang pengikut tasawuf Wahdatul Wujud,” kata Haidar lagi.

Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) 1830–1870



a. Latar Belakang Timbulnya Sistem Tanam Paksa
Sejak awal abad ke-19, pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membiayai peperangan, baik di Negeri Belanda sendiri (pemberontakan Belgia) maupun di Indonesia (terutama perlawanan Diponegoro) sehingga Negeri Belanda harus menanggung hutang yang sangat besar.
 
Johanes van den Bosch

Untuk menyelamatkan Negeri Belanda dari bahaya kebrangkrutan maka Johanes van den Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia dengan tugas pokok menggali dana semaksimal mungkin untuk mengisi kekosongan kas negara, membayar hutang, dan membiayai perang. Untuk melaksanakan tugas yang sangat berat itu, Van den Bosch memusatkan kebijaksanaannya pada peningkatan produksi tanaman ekspor. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan ialah mengerahkan tenaga rakyat jajahan untuk melakukan penanaman tanaman yang hasil-hasilnya dapat laku di pasaran dunia secara paksa. Setelah tiba di Indonesia (1830) Van den Bosch menyusun program sebagai berikut:
1) Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena pemasukannya tidak banyak dan pelaksanaannya sulit.
2) Sistem tanam bebas harus diganti dengan tanam wajib dengan jenis jenis tanaman yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
3) Pajak atas tanah harus dibayar dengan penyerahan sebagian dari hasil tanamannya kepada pemerintah Belanda.

b. Aturan-Aturan Tanam Paksa
Sistem tanam paksa yang diajukan oleh Van den Bosch pada dasarnya merupakan gabungan dari sistem tanam wajib (VOC) dan sistem pajak tanah (Raffles) dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1) Penduduk desa yang punya tanah diminta menyediakan seperlima dari tanahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasaran dunia.
2) Tanah yang disediakan bebas dari pajak.
3) Hasil tanaman itu harus diserahkan kepada pemerintah Belanda. Apabila harganya melebihi pembayaran pajak maka kelebihannya akan dikembalikan kepada petani.
4) Waktu untuk menanam tidak boleh melebihi waktu untuk menanam padi.
5) Kegagalan panenan menjadi tanggung jawab pemerintah.
6) Wajib tanam dapat diganti dengan penyerahan tenaga untuk dipekerjakan di pengangkutan, perkebunan, atau di pabrik-pabrik selama 66 hari.
7) Penggarapan tanaman di bawah pengawasan langsung oleh kepala kepala pribumi, sedangkan pihak Belanda bertindak sebagai pengawas secara umum.

c. Pelaksanaan Tanam Paksa
Melihat aturan-aturannya, sistem tanam paksa tidak terlalu memberatkan, namun pelaksanaannya sangat menekan dan memberatkan rakyat. Adanya cultuur procent menyangkut upah yang diberikan kepada penguasa pribumi berdasarkan besar kecilnya setoran, ternyata cukup memberatkan beban rakyat. Untuk mempertinggi upah yang diterima, para penguasa pribumi berusaha memperbesar setoran, akibatnya timbulah penyelewengan-penyelewengan, antara lain sebagai berikut:
1) Tanah yang disediakan melebihi 1/5, yakni 1/3 bahkan 1/2, malah ada seluruhnya, karena seluruh desa dianggap subur untuk tanaman wajib.
2) Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.
3) Tenaga kerja yang semestinya dibayar oleh pemerinah tidak dibayar.
4) Waktu yang dibutuhkan tenyata melebihi waktu penanaman padi.
5) Perkerjaan di perkebunan atau di pabrik, ternyata lebih berat daripada di sawah
6) Kelebihan hasil yang seharusnya dikembalikan kepada petani, ternyata tidak dikembalikan.

d. Akibat Tanam Paksa
Pelaksanaan sistem tanam paksa banyak menyimpang dari aturan pokoknya dan cenderung untuk mengadakan eskploitasi agraris semaksimal mungkin. Oleh karena itu, sistem tanam paksa menimbulkan akibat sebagai berikut.

1) Bagi Indonesia (Khususnya Jawa)
a) Sawah ladang menjadi terbengkelai karena diwajibkan kerja rodi yang berkepanjangan sehingga penghasilan menurun drastis.
b) Beban rakyat semakin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, dan menanggung risiko apabila gagal panen.
c) Akibat bermacam-macam beban menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
d) Timbulnya bahaya kemiskinan yang makin berat.
e) Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit di mana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah penduduk menurun drastis. Di samping itu, juga terjadi penyakit busung lapar (hongorudim) di mana-mana.

2) Bagi Belanda.
Apabila sistem tanam paksa telah menimbulkan malapetaka bagi bangsa Indonesia, sebaliknya bagi bangsa Belanda ialah sebagai berikut:
a) Keuntungan dan kemakmuran rakyat Belanda.
b) Hutang-hutang Belanda terlunasi.
c) Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
d) Kas Negeri Belanda yang semula kosong dapat terpenuhi.
e) Amsterdam berhasil dibangun menjadi kota pusat perdagangan dunia.
f) Perdagangan berkembang pesat.

e. Akhir Tanam Paksa
Sistem tanam paksa yang mengakibatkan kemelaratan bagi bangsa Indonesia, khususnya Jawa, akhirnya menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, seperti berikut ini:

1) Golongan Pengusaha
Golongan ini menghendaki kebebasan berusaha. Mereka menganggap bahwa tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal.

2) Baron Van Hoevel


Ia adalah seorang missionaris yang pernah tinggal di Indonesia (1847). Dalam perjalanannya di Jawa, Madura dan Bali, ia melihat penderitaan rakyat Indonesia akibat tanam paksa. Ia sering melancarkan kecaman terhadap pelaksanaan tanam paksa. Setelah pulang ke Negeri Belanda dan terpilih sebagai anggota parlemen, ia semakin gigih berjuang dan menuntut agar tanam paksa dihapuskan.

3) Eduard Douwes Dekker
 
 
Ia adalah seorang pejabat Belanda yang pernah menjadi Asisten Residen Lebak (Banten). Ia cinta kepada penduduk pribumi, khususnya yang menderita akibat tanam paksa. Dengan nama samaran Multatuli yang berarti “aku telah banyak menderita”, ditulisnya buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda (1859) yang menggambarkan penderitaan rakyat akibat tanam paksa dalam kisah Saijah dan Adinda.

Akibat adanya reaksi tersebut, pemerintah Belanda secara berangsurangsur menghapuskan sistem tanam paksa. Nila, teh, kayu manis dihapuskan pada tahun 1865, tembakau tahun 1866, kemudian menyusul tebu tahun 1884. Tanaman terakhir yang dihapus adalah kopi pada tahun 1917 karena paling banyak memberikan keuntungan. 

Budaya Di Balik Kutang


Sempat terhambat karena perang dan gerakan feminis, pemakaian kutang sebagai penopang dada, juga fashion, kini jadi kelaziman.
OLEH: DEVI FITRIA

JEJAK pemakaian kutang/bra dimulai sejak abad ke-3 ketika para perempuan Romawi membebatkan semacam perban untuk membungkus dada mereka saat berolahraga.

Cikal-bakal bra seperti yang kita kenal sekarang diluncurkan kali pertama di Paris, Prancis, pada 1889. Desain bra modern itu dibuat oleh seorang pengusaha pakaian bernama Herminie Cardolle. Bentuknya masih menyerupai korset, pendahulu bra. Bedanya, Cardolle membagi pakaian dalam perempuan itu menjadi dua bagian, perut dan dada. Brassiere yang merupakan akar kata dari bra kali pertama digunakan oleh majalah Vogue pada 1907.

Meski cikal-bakalnya sudah ada, perempuan di masa itu lebih memilih mengenakan korset. Kebiasaan ini sempat hilang ketika Perang Dunia I. Pasalnya, industri militer negara-negara yang terlibat perang, membutuhkan banyak logam untuk memproduksi peralatan perang. Logam pada korset harus dialih-fungsikan untuk kebutuhan yang dianggap jauh lebih mendesak itu.

Pada 1917, Bernard Baruch, Ketua Dewan Industri Perang Amerika secara khusus meminta para perempuan untuk meninggalkan kebiasaan mereka mengenakan korset. Pemakaian korset pada dasarnya membahayakan kesehatan. Meski membentuk tubuh seorang perempuan sesuai standar kecantikan di masa itu, korset membuat susah bernapas, dan pada beberapa kasus ekstrim menyebabkan terjadinya dislokasi organ. Tak sulit bagi perempuan untuk meninggalkan kebiasaan yang sungguh menyiksa tersebut. Hasilnya, sebanyak 28.000 ton logam berhasil “dialih-fungsikan” untuk keperluan industri perang. Jumlah itu cukup untuk membuat dua buah kapal perang besar.

Perempuan harus menemukan alternatif untuk membungkus dada mereka. Pada saat inilah Mary Phelps Jacob, seorang sosialita Amerika, mulai memperkenalkan bra modern yang pertama pada 1910. Jacob bermaksud menghadiri sebuah pesta besar dengan mengenakan sebuah gaun malam tipis berpotongan dada rendah. Rangka korset dari tulang ikan hiu yang hendak dikenakannya mengganggu keindahan gaun yang dipersiapkan sejak jauh hari.

Bersama salah seorang pelayannya, dia membuat pakaian dalam dari dua saputangan sutra yang disatukan dengan pita merah muda. Desain ini kemudian menjadi populer di lingkaran pergaulan Jacobs dan kemudian dipatenkan pada 1914.

Tren fashion kemudian bergeser dari bentuk tubuh montok (yang dimodifikasi dengan menggunakan korset) ke bentuk tubuh kurus dengan dada rata. Gaya yang dianggap modern saat itu adalah gaya busana perempuan yang dibuat praktis tanpa menggunakan banyak bahan dan membuat perempuan lebih mudah bergerak. Pergeseran tren ini diikuti kian aktifnya perempuan di berbagai lapangan pekerjaan. Perempuan yang mengikuti fashion, yang dianggap mencerminkan pemberontakan itu, kemudian lazim disebut flapper.
Bra dengan bentuk modern ini kemudian mulai diproduksi secara massal pada 1920-an. Tapi produksi masal itu belum memperhatikan ukuran individual masing-masing perempuan.

Barulah pada 1922 perempuan bisa mengenakan kutang dengan lebih nyaman ketika Ida dan William Rosenthal merevolusi bentuk bra. Mereka menciptakan ukuran baku bra yang terdiri dari lingkar linear rusuk dan ukuran volume dada (cup size) dengan menggunakan abjad (A, B, C, D, dan seterusnya). Ukuran A sama dengan delapan ons cairan, sementara B setara dengan 13 ons, dan C sama dengan 21, dan seterusnya. Ida dan William kemudian mendirikan perusahaan bra Maidenform yang beroleh kesuksesan luar biasa dan menjadikan pasangan Rosenthal jutawan. Maidenform masih berdiri hingga sekarang.

Bra menjadi bagian dari busana sehari-hari perempuan hingga muncul revolusi pemikiran tentang peran perempuan. Di Amerika, revolusi ini dimulai ketika buku Feminine Mystique karya Betty Friedan terbit pada 1963. Buku itu mempertanyakan peran perempuan, yang seolah dikembalikan ke ranah domestik oleh sistem masyarakat ketika itu.

Hal ini berlanjut hingga 1970-an di mana protes atas ikon-ikon yang dianggap mengekang perempuan dipertanyakan oleh kaum feminis. Germaine Greer, salah seorang feminis intelektual, menyatakan bahwa, “Bra adalah sebuah ciptaan yang menggelikan.”

Sebagai dukungan atas pemikiran itu, banyak perempuan memutuskan untuk tak lagi mengenakan bra. Sedikit banyak hal ini cukup memukul industri bra. Ida Rosenthal, sang industrialis pakaian dalam, hanya menjawab dengan santai, “Kita adalah sebuah demokrasi. Sah-sah saja kalau orang berpakaian atau telanjang. Tapi setelah usia 35, bentuk tubuh perempuan tak mendukungnya untuk tidak mengenakan bra. Waktu berpihak kepada saya.” Belakangan kata-kata Ida itu terbukti ada benarnya.

Meski sempat mengalami hambatan, industri bra terus berkembang. Apalagi ketika Madonna mengenakan sebuah kostum bra yang meruncing di bagian dada. Kostum itu dibuatkan khusus oleh perancang Prancis Jean-Paul Gaultier untuk tur Blonde Ambition pada 1990.

Pada awal abad ke-19, menutup dada belum jadi kelaziman di Indonesia. Kebiasaan mengenakan kutang diperkenalkan Belanda. Dalam novelnya, Pangeran Diponegoro, Remy Sylado menjelaskan asal-muasal istilah kutang.

Saat itu, dalam proyek pembangunan jalan raya pos Anyer-Panarukan, Belanda mempekerjakan budak perempuan dan laki-laki. Don Lopez, seorang pejabat Belanda, melihat budak perempuan bertelanjang dada. Dia kemudian memotong secarik kain putih dan memberikannya kepada salah seorang di antara mereka sembari berkata dalam bahasa Prancis: “tutup bagian yang berharga (coutant) itu.” Berkali-kali dia  mengatakan “coutant.. coutant” yang kemudian terdengar sebagai kutang oleh para pekerja.

Di berbagai negara bra/BH disebut dengan cara berbeda-beda. Di Prancis penahan dada itu disebut soutien-gorge (penopang tenggorokan), di Spanyol sujetar (menopang). Di Jerman bustenhalter, di Swedia bysthallare, dan di Belanda bustehouder –semuanya berarti penopang dada. Sementara dalam bahasa Esperanto (bahasa artifisial yang diciptakan oleh Ludovich Zamenhof, seorang Polandia) bra disebut mamzono yang artinya sabuk dada.

Pusakanya dirampas Belanda, Diponegoro merasa akan mendapat marabahaya. Kembara Pusaka Diponegoro

Tombak Kiai Rondhan, senjata pusaka Diponegoro. Koleksi relik sejarah Museum Nasional.

Pusakanya dirampas Belanda, Diponegoro merasa akan mendapat marabahaya.
OLEH: YUDI ANUGRAH NUGROHO

TEPAT di hari ulang tahun ke-44 pada 11 November 1829, Pangeran Diponegoro disergap pasukan gerak cepat ke-11 yang dipimpin Mayor A.V. Michiels, di wilayah pegunungan Gowong, sebelah barat Kedu. Diponegoro hampir tertangkap, namun berhasil lolos dari kejaran, walaupun kakinya terluka. Namun beberapa barang miliknya tertinggal: kuda, peti pakaian, dan yang terpenting pusakanya yaitu tombak Kiai Rondhan.

Tombak Kiai Rondhan memiliki panjang 54 cm. Batangnya berbahan kayu, berbentuk silinder yang mengecil hingga ke leher tombak. Terdapat lempeng emas melingkar yang memisahkan bahan kayu dan lilitan kawat sampai ke leher tombak yang berhias dua batu mulia (semula empat buah) dan dibalut ukiran emas. Bilah tombaknya berbentuk segitiga dengan bahan besi.

“Dipanegara percaya bahwa tombak Kiai Rondhan menolak bala,” kata Peter Carey, adjunct professor (guru besar tamu) Program Studi Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Kehilangan tombak pusaka memberinya isyarat akan timbul kesulitan dan bahaya.
Setelah penyergapan itu, Diponegoro mengembara di hutan wilayah Bagelen barat dengan ditemani pengiring setianya (panakawan), Joyosuroto atau Roto dan Bantengwareng .

Hingga akhir hayatnya pada 8 Januari 1855, Diponegoro tak pernah berjumpa lagi dengan tombak pusakanya. “Justru pusaka lainnya, keris Kiai Bondoyudo, yang dibawa oleh Diponegoro ke Manado dikubur bersamanya menurut tradisi keluarga di Makassar,” ujar Carey.

Tombak Kiai Rondhan beserta pelana kuda dan keris berjuluk Kiai Nogosiluman dikirim ke Belanda dan dipersembahkan kepada Raja Willem I (bertahta 1813-1840) sebagai “trofi perang”. Pusaka itu disimpan di Koniklijk Kabinet van Zeldzaamheden atau kabinet kerajaan untuk barang antik di istana Den Haag.
Menurut Carey, Raden Saleh yang kala itu magang sebagai pelukis di Belanda (1830-1839) diutus untuk membuat deskripsi pusaka Diponegoro oleh R.P. van de Kasteele, kepala Koniklijk Kabinet van Zeldzaamheden, pada Januari 1831.

Raden Saleh bertemu dengan keris Kiai Nogosiluman yang diambil pasukan Belanda saat penangkapan Diponegoro di Magelang. Beberapa tahun setelahnya, keris Kiai Nogosiluman raib secara misterius, sedangkan pusaka lainnya dikembalikan ke Indonesia.

Tombak Kiai Rondhan, pelana kuda, dan lukisan Raden Saleh berjudul “Penangkapan Pemimipin Jawa Diponegoro” (1857), yang tersimpan di Museum Veteran Tentara Belanda di Bronbeek, Arnhem, dikembalikan oleh Ratu Juliana (bertakhta 1948-1980) kepada pemerintah Indonesia pada 1976 di bawah ketentuan "Cultural Accord" yang ditandatangani pada 1969. Setahun kemudian diselenggarakan pameran di Museum Gajah (kini Museum Nasional).

Hingga kini, tombak Kiai Rondhan tersimpan di Museum Nasional sebagai peninggalan Pangeran Diponegoro atau koleksi relik sejarah dengan nomor inventaris 270 dan pelana kuda yang kondisinya telah rapuh (nomor inventaris 271). Sementar lukisan “Penangkapan Pemimpin Jawa Diponegoro” menjadi koleksi Istana Kepresidenan di Jakarta, kemudian dipindahkan ke Istana Kepresidenan Gedung Agung di Yogyakarta.

Roto, Jenaka Pengiring Diponegoro

Lukisan "Penangkapan Pemimpin Jawa Diponegoro" karya Raden Saleh. Foto: Micha Rainer Pali©Historia.

Roto tak hanya menjadi panakawan atau pendamping Diponegoro. Dia pandai membuat plesetan kata dan membanyol.
OLEH: YUDI ANUGRAH NUGROHO

SOSOK itu berdiri di pilar bagian barat pada lukisan berjudul “Penangkapan Pemimpin Jawa Diponegoro” karya Raden Saleh. Keberadaannya tersembunyi di belakang seorang pasukan Belanda yang memegang senapan. Tampak hanya kepala yang menoleh ke arah timur laut, menyorot sang tokoh sentral, Pangeran Diponegoro. Dia berada dekat sang pangeran yang dikerumuni petinggi militer Belanda di pelataran wisma residen Kedu. Sosok tak bersorban itu adalah Joyosuroto atau kerap disapa Roto, salah satu pengiring atau panakawan Diponegoro.

Sebagai pendamping yang paling intim, dia bersama panakawan lainnya “memiliki gabungan peran; abdi pengiring, guru, penasihat, peramu obat, pembanyol, dan penafsir mimpi,” tulis Peter Carey, sejarawan Trinity College, Oxford, dalam “A Mischievous Young Rogue and a Dwarf; Reflections on The Role of The Panakawan in The Age of Prince Diponegoro (1785-1855).”

Roto seorang warga desa sekitar Tegalrejo yang bergabung dengan Diponegoro tatkala menghimpun kekuatan di Tegalrejo, sebelum perang Jawa berkecamuk. Dia bergabung dengan pengiring lainnya guna mempersiapkan keperluan Diponegoro. Mereka disebut dalam Babad Dipanegara sebagai bocah becik (anak baik).

Dari Tegalrejo, rombongan bertolak ke daerah perbukitan wilayah Selarong pada 1825. Di sana Diponegoro semakin mendalami mistik dan agamanya. Berangkat pergi ziarah dan tinggal di gua-gua. Willem Andrian van Rees (1820-1898), perwira Belanda, melaporkan bahwa Diponegoro kerap ditemani pengikutnya yang paling intim (panakawan). Mereka tinggal di dalam gua, Guwo Secang, yang memiliki dapur.
“Bisa diduga di sanalah panakawan-nya mempersiapkan makan untuk Diponegoro dan menemaninya selama puasa,” ungkap Peter Carey.

Keintiman sang pangeran dan panakawan berubah kala perang Jawa pecah dan Diponegoro mulai menerapkan tata pemerintahan keraton pada rombongannya (Oktober 1825 di Selarong dan November 1825-Agustus 1826 di Kemusuk, wilayah Kulon Progo). Panakawan tak lagi jadi karib tunggal Diponegoro.

Hubungan itu kembali intim pada saat posisi Diponegoro semakin melemah. Dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855, Peter Carey menjelaskan bahwa keadaan itu bermula dari pecahnya hubungan Diponegoro dengan Kiai Mojo yang bersedia berunding dengan Belanda. Keadaan itu diperburuk dengan gugurnya panglima senior, Raden Ngabehi, beserta dua anaknya, dalam pertempuran sengit di perbatasan Bagelen-Mataram pada 21 September 1829.

Tak lama setelah itu, pada 11 November 1829, pasukan gerak cepat ke-11 di bawah komando AV Michiels nyaris menangkap Diponegoro. Dia berhasil lolos dan masuk ke hutan di sebelah barat Bagelen, dengan hanya ditemani dua panakawan: Roto dan Bantengwareng.

Pengembaraannya di dalam hutan begitu berat. Diponegoro berpindah-pindah ke gubug petani dalam kelelahan dan sakit malaria. Kedua panakawan mengurangi deritanya. Roto mencoba menghibur sang pangeran dengan banyolan dan tingkah lakunya yang lucu. Dia seorang penghibur dan sosok yang pandai berkisah.

Dari semua panakawan, Roto adalah pengiring yang berbagi setiap tahap perjalanan Diponegoro di sisa perjalanannya sebagai tahanan menuju pembuangan. Saat di atas kereta residen Kedu menuju perbatasan Semarang, Roto bertugas membawa kotak sirih, suatu tugas pengabdian seorang abdi kepada sang raja.
Tiba di semarang, Diponegoro tinggal selama seminggu di wisma residen Bojong, Semarang. “Dia bertugas menjaga sang pangeran di waktu malam. Tidur di luar pintu, memastikan sang pangeran tidak terganggu dalam menjalani ritual di malam hari,” tulis Peter Carey.

Setiap hari Diponegoro makan di meja residen. Dia mulai menyukai roti putih yang baru dipanggang dan kentang walanda. Roto membuat plesetan terkait “kentang walanda menjadi kentang sabrang yang akan menjadi makanan sehari-hari selama pelayaran ke Manado,” ungkap Peter Carey.

Roto tidak menyertai Diponegoro hingga ke pembuangan di Manado. Dia dikirim pemerintah Belanda ke Tondano, Sulawesi Utara, bergabung dengan Kiai Mojo pada Juni 1839. Roto pun tak berada di sisi Diponegoro pada akhir hayatnya.

Suatu Malam, Melepas Sang Pangeran ke Pengasingan


Suasana takzim ketika pentas pembacaan dramatik oleh Landung Simatupang, “Sang Pangeran: Ke Pengasingan” selama 30 menit pada Rabu, 5 Maret 2014. Pentas singkat itu digelar di sebuah bekas kamar Dipanagara di Balai Kota Batavia, kini Museum Sejarah Jakarta, ketika Pengobar Perang Jawa itu menanti pengasingannya ke Manado. Pentas utuhnya digelar sehari kemudian di Bentara Budaya Jakarta. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

“Balai Kota Batavia, di mana Dipanagaratinggal dari 8 April sampai 3 Mei 1830,” lantun Landung Simatupang, seniman teater kawakan asal Yogyakarta.“Ia ditempatkan dalam dua kamar panjang di lantai atas permukiman kepala penjara atau cipiers woning Batavia yang berada langsung di atas penjara bawah tanah itu.”

Pentas pembacaan dramatik itu digelar di gedung bekas Balai Kota Batavia, kini Museum Sejarah Jakarta pada Rabu malam (5/3). Naskah yang dibacakan Landung bersumber dari Kuasa Ramalan karya sejarawan Inggris, Peter Brian Ramsay Carey, dan Babad Dipanagara yang sejak 2013 telah diakui UNESCO sebagai Memory of the World. Malam itu, Carey juga turut menghadirinya.

Landung membacakan kisah Dipanagara di sebuah kamar di lantai dua sayap barat Museum Sejarah Jakarta. Di kamar itu, pada 184 tahun silam, Dipanagara dan keluarganya pernah diinapkan selama hampir sebulan, sebuah penantian menuju ke pengasingannya di Manado.

Landung membacakan kisah “Sang Pangeran: Ke Pengasingan” selama 30 menit. Pentas ini merupakan bagian dari pertunukan utama yang digelar pada hari berikutnya 6 Maret 2014 di Bentara Budaya Jakarta, pukul 19.30-21.30 WIB.

Pembacaan kisah dramatik itu dipentaskan di empat kota. Pagelaran pada Maret ini merupakan pentas ketiganya. Sebelumnya dia berpentas di Magelang pada November 2013 dan di Yogyakarta pada Januari 2014. Rencana, pentas keempat digelar di Fort Rotterdam pada Juni mendatang. Kisah yang dibawakan Landung selalu mewakili sejarah Dipanagara yang berkait dengan tempat pementasannya.

“Museum sedang melakukan pembenahan berupa pembangunan dan konservasi, semoga pada 2014 ini dapat selesai,” ujar Enny Prihantini, Direktur Museum Sejarah Jakarta.  “Kami dirokemendasaikan untuk menyediakan ruang untuk Pangeran Dipanagara atau pahlawan-pahlawan nasional yang pernah dipenjara di sini.”

Enny sangat bangga dan terbantu atas peran Peter Carey dalam mewujudkan ruang pamer tentang Dipanagara. Kini, sebuah kamar yang dulunya pernah dihuni sang Pangeran itu bersama istri dan adik perempuannya telah disiapkan untuk mengabadikan jejak sejarah Dipanagara di Batavia.

Dalam kesempatan itu, Penerbit Buku Kompas meluncurkan buku “Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro” buah karya Peter B.R. Carey. Dia merupakan seorang  Profesor Emeritus di Trinity College, Oxford, Inggris. Kini, dia juga menjabat sebagai Adjunct Professor di Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Buku tersebut merupakan biografi singkat Sang Pangeran—sekitar 400 halaman—versi ringkas dari buku “Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1755” yang telah diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia pada 2012.


Dalam peluncuran buku “Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)”, Peter Brian Ramsay Carey menyerahkan salinan dua surat tulisan tangan Dipanagara kepada Enny Prihantini, Direktur Museum Sejarah Jakarta. Surat aslinya masih disimpan di arsip akademi militer di Breda, Belanda. Surat ini ditulis Sang Pangeran tatkala dia berada di Studhuis, kini Museum Sejarah Jakarta, namun tidak pernah sampai ke penerimanya: Ibunda dan anak sulung Dipanagara. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

“Ini satu malam yang sangat spesial bagi saya,” ujar Carey. “Saya bisa menyaksikan dan menyambung lidah sejarah dari tuturan Mas Landung.” Sejarah telah dibuat sangat membosankan di sekolah, demikian katanya, dan pementasan pembacaan dramatik ini menunjukkan bagaimana sejarah bisa hidup di tengah kita.
“Kahlil Gibran pernah berkata,” ujarnya, “Setelah makan dan minum, kebetuhan kita selanjutnya adalah bertutur dengan cerita.” Pendapat ini ada benarnya. Menurut Carey, bangsa Indonesia mempunyai banyak kisah seperti Nagarakertagama gubahan Prapanca yang berkisah tentang masa jaya Majapahit, asal-usul orang Bugis dalam I La Galigo, dan otobiografi dalam Babad Dipanagara. “Kalau kita lupa akan sejarah, kita adalah betul-betul makhluk yang tidak akan berdaya.”

Malam itu, Carey juga memberikan salinan (hasil foto/pemindaian digital yang dicetak) dua lembar surat beraksara Jawa, masing-masing dalam bingkai pigura kaca, kepada Direktur Museum Sejarah Jakarta. Kedua surat itu merupakan salinan tulisan tangan Dipanagara sendiri tatkala dia berada di lantai dua gedung museum ini, sebagai seorang tawanan yang menanti pengasingannya ke Manado. Satu surat ditujukan kepada ibundanya, Raden Ayu Mangkarawati, dan surat lainnya kepada anak yang paling tua, Pangeran Dipanagara Muda.

“Prof. Peter Carey dengan dukungan YAD melakukan serangkaian penelitian bersama Prof. Wardiman untuk melacak jejak Pangeran Dipanagara sampai ke negeri Belanda,” ungkap Catrini Pratihari Kubontubuh dalam kesempatan terpisah. Dia merupakan Direktur Eksekutif dari Yayasan Arsari Djojohadikusumo (YAD). “Surat original yang tersimpan rapi di Belanda telah berhasil di-copy dan salinannya diberikan kepada Kepala Museum Sejarah dan kepada Yayasan Arsari.”

“Dipanagara dengan sangat tergesea-gesa menulis, dan dia titip kepada Roeps—seorang perwira Belanda yang bertugas mengawalnya—untuk disampaikan kepada mereka,” kata Carey. Namun, “surat ini tidak pernah sampai.”

Sumber : National Geographic Indonesia

Terkait Berita: