Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Busana. Show all posts
Showing posts with label Busana. Show all posts

Hitam Tak Hanya Duka


Perjalanan gaun hitam melewati batas waktu dan kelas. 
OLEH: MIRA RENATA/KONTRIBUTOR

HITAM dan dukacita sejak lampau tak terpisahkan. Kebiasaan berbusana hitam dalam perkabungan, menurut Françoise Piponnier dan Perrine Mane dalam Dress in the Middle Ages, berawal dari Spanyol pada abad pertengahan yang kemudian ditiru oleh para bangsawan Prancis dan Inggris. Salah seorang di antaranya Phillip the Good (Duke of Burgundy) yang bersikeras mengenakan hitam sejak terbunuhnya sang ayah, John the Fearless, pada 1419 hingga akhir masa pemerintahannya pada 1467. Tak hanya itu, kereta kuda, rombongan pengawal, dan kediamannya juga berornamen hitam.

Eropa pada abad pertengahan memiliki peraturan tata-cara anggota masyarakat bertingkahlaku sesuai hierarki (dikenal sebagai sumptuary laws). Menurut peraturan, pemakaian busana berkabung hitam terbatas hanya untuk kaum ningrat. Para janda bangsawan wajib mengenakan gaun, penutup kepala, dan kerudung hitam ketika muncul di tempat-tempat umum. Ratu Prancis Catherine de Medici, dalam salah satu lukisan potret setelah suaminya, Raja Henry II,  meninggal pada 1559, dilukis dalam gaun berkabung hitam dengan bordir bulu putih di lengan, lengkap dengan perhiasan dan tudung kepala hitam bermahkota. Kebiasaan mengenakan busana serupa konon berlangsung hingga ketiga putranya melanjutkan tahta kerajaan.

Eksklusivitas busana berkabung hitam oleh kelas ningrat mencair seiring kemunculan kelompok pedagang kaya Eropa akibat perkembangan industri dan perdagangan pada abad ke-17 dan 18. Sebagai sebuah kelas baru yang berpengaruh, para pedagang dan keluarga berupaya keras mengukuhkan identitas mereka. Gaya berbusana meniru para bangsawan, termasuk dalam perkabungan, menjadi salah satu tolok ukur mereka.
Hitam tak selalu terkait kematian. Berbagai tradisi budaya mengartikan hitam secara berbeda. Michel Pastoureau dalam Black: the History of a Color menulis bahwa bangsa Mesir kuno memandang hitam sebagai warna kesuburan, serupa lumpur Sungai Nil.

Hitam juga memiliki konotasi kesucian spiritual. Dalam Seeing through Clothes, Anne Holander menyebutkan tiga ordo Katolik yang mengenakan hitam: baik hitam keseluruhan seperti Ordo Benedictines (abad ke-1) maupun kombinasi hitam-putih Ordo Augustinian (abad ke-13) dan Dominican (abad ke-15). Ketika Oliver Cromwell, seorang Kristen puritan, memerintah Inggris pada 1653-1658, dia melarang warganya hidup bersenang-senang, termasuk berpakaian warna-warni. Warga perempuan diharuskan memakai gaun hitam  panjang yang menutup leher hingga mata kaki, dengan celemek putih dan penutup kepala putih.

Interpretasi hitam sebagai mode busana dimulai sejak abad pertengahan. “Citarasa Spanyol, dengan akar gaya Burgundi, menyebarkan pengaruhnya ke Eropa, serta diikuti oleh Belanda yang mengadaptasi Spanyol; keduanya sangat terbuka akan keindahan suram warna hitam; walau mereka masih terpaku dengan hitam diselingi sedikit putih di bagian leher,” tulis Holander.  

Hitam sebagai mode busana, khususnya perempuan, kian berkembang pada abad ke-19Beberapa edisi La Belle Assemble, sebuah majalah perempuan terbitan Inggris dengan sirkulasi ke wilayah Eropa dan Amerika, memuat popularitas hitam dalam gaun, ikat pinggang, dan topi perempuan. “Gaun-gaun yang digemari terbuat dari beludru hitam yang dipotong pendek, mengembang dengan lipitan brokat hitam. Lipitan brokat ini juga dijahit di ujung hem…, dipadukan dengan lapisan gaun satin putih dikenakan di bawah bahan beludru…” demikian sepenggal deskripsi artikel berjudul “Costume of Paris” dalam majalah tersebut edisi Februari 1823. 

Namun gaun malam hitam cukup berisiko, terutama di mata sekelompok masyarakat Barat abad ke-19 yang konservatif. Karena dianggap kurang sopan, perempuan bergaun malam hitam mendapat “sanksi” dari lingkaran sosialnya. “Kasihan Ellen,” ujar Nyonya Archer singkat; kemudian dengan penuh simpatik menambahkan: “Kita harus selalu mengingat lingkungan eksentrik Medora Manson yang membesarkannya. Apa yang dapat kita harapkan dari seorang perempuan yang diizinkan mengenakan gaun satin hitam dalam perayaan menyambut masa dewasanya?” Itulah sekilas sindiran halus mengenai gaun hitam dan kepantasan sikap seorang perempuan oleh kelas atas New York pada akhir abad ke-19 dalam novel Edith Wharton, The Age of Innocence.

“Skandal” gaun malam hitam bagi perempuan juga terjadi pada 1884 lewat lukisan Portrait of Madame X oleh pelukis John Singer Sargent. Subjek lukisan adalah Madame Pierre Gautreau. Terpukau oleh kecantikannya, Sargent membujuk lewat berbagai cara agar sang bangsawan bersedia dilukis. Di versi awal lukisan, Madame Gautreau mengenakan gaun malam hitam berpotongan leher bentuk hati, dengan salah satu tali gaun terjatuh di pundaknya.

Ketika lukisan tersebut dipamerkan di Salon, Paris, masyarakat luas termasuk sanak-keluarga Gautreau bereaksi keras terhadap pose dan gaun Madame Gautreau yang dianggap sugestif.  Untuk mengurangi efek kemarahan publik, Sargent memperbaiki lukisan tali gaun menjadi pas di pundak.

Gaun hitam mengalami redefinisi pada awal abad ke-20 seiring perubahan peran sosial perempuan di Barat. Tahun 1920 khususnya menjadi tonggak pergerakan kaum perempuan di Amerika dengan pengakuan hak istri sebagai pemilik properti serta hak perempuan berpartisipasi dalam pemilihan umum. Era baru ini diiringi peningkatan daya beli dan konsumerisme massa, yang mendorong industri busana siap pakai.

Ketika perancang Coco Chanel mendesain gaun hitam, dia menerjemahkan semangat era tersebut. Di tangannya, gaun hitam menjadi busana siang dan malam yang memudahkan perempuan beraktivitas. Ilustrasi gaun hitam selutut berlengan panjang Chanel terbit di majalah Vogue Amerika edisi 1 Oktober 1926. Vogue memuji kesederhanaan sekaligus potensi pasar rancangan Chanel, yang disejajarkan dengan mobil Ford. “Busana ‘Ford’ Chanel, seluruh dunia akan memakainya, adalah model 817 dari bahan crepe de chine hitam…”

Pamor gaun hitam Chanel yang kemudian dikenal luas sebagai “little black dress” memuncak pada 1961. Artis Audrey Hepburn mengenakan gaun hitam rancangan Hubert de Givenchy dalam film Breakfast at Tiffany’s. Keanggunan Hepburn dalam balutan little black dress seketika menjadi panutan mode busana dan terus berdampak hingga kini. Gaun hitam, dalam berbagai model dan bahan, kini menjadi pilihan banyak perempuan dalam menghadiri acara formal maupun sosial. Saking populer, Oxford Dictionary of English memasukkan little black dress sebagai kata baru dalam edisi ketiga pada Agustus 2010.

Gaun hitam hingga little black dress yang massal telah mendobrak dominasi mode berbusana. Georg Simmel, sosiolog dan filsuf Jerman, dalam esai‘The Philosophy of Fashion’ mengatakan, “mode selalu berdasarkan kelas… kelas atas membedakan mode mereka dengan kelas lebih rendah, dan mereka akan segera meninggalkannya sesaat setelah kelas di bawahnya mencoba mengikuti.” Namun Simmel juga meyakini keberadaan sebuah keindahan yang klasik, yang menurutnya “bersifat kolektif dan tidak menimbulkan banyak perubahan.”

Little black dress adalah salah satu bukti keindahan klasik sepotong gaun melintasi batas kelas dan waktu.

Budaya Di Balik Kutang


Sempat terhambat karena perang dan gerakan feminis, pemakaian kutang sebagai penopang dada, juga fashion, kini jadi kelaziman.
OLEH: DEVI FITRIA

JEJAK pemakaian kutang/bra dimulai sejak abad ke-3 ketika para perempuan Romawi membebatkan semacam perban untuk membungkus dada mereka saat berolahraga.

Cikal-bakal bra seperti yang kita kenal sekarang diluncurkan kali pertama di Paris, Prancis, pada 1889. Desain bra modern itu dibuat oleh seorang pengusaha pakaian bernama Herminie Cardolle. Bentuknya masih menyerupai korset, pendahulu bra. Bedanya, Cardolle membagi pakaian dalam perempuan itu menjadi dua bagian, perut dan dada. Brassiere yang merupakan akar kata dari bra kali pertama digunakan oleh majalah Vogue pada 1907.

Meski cikal-bakalnya sudah ada, perempuan di masa itu lebih memilih mengenakan korset. Kebiasaan ini sempat hilang ketika Perang Dunia I. Pasalnya, industri militer negara-negara yang terlibat perang, membutuhkan banyak logam untuk memproduksi peralatan perang. Logam pada korset harus dialih-fungsikan untuk kebutuhan yang dianggap jauh lebih mendesak itu.

Pada 1917, Bernard Baruch, Ketua Dewan Industri Perang Amerika secara khusus meminta para perempuan untuk meninggalkan kebiasaan mereka mengenakan korset. Pemakaian korset pada dasarnya membahayakan kesehatan. Meski membentuk tubuh seorang perempuan sesuai standar kecantikan di masa itu, korset membuat susah bernapas, dan pada beberapa kasus ekstrim menyebabkan terjadinya dislokasi organ. Tak sulit bagi perempuan untuk meninggalkan kebiasaan yang sungguh menyiksa tersebut. Hasilnya, sebanyak 28.000 ton logam berhasil “dialih-fungsikan” untuk keperluan industri perang. Jumlah itu cukup untuk membuat dua buah kapal perang besar.

Perempuan harus menemukan alternatif untuk membungkus dada mereka. Pada saat inilah Mary Phelps Jacob, seorang sosialita Amerika, mulai memperkenalkan bra modern yang pertama pada 1910. Jacob bermaksud menghadiri sebuah pesta besar dengan mengenakan sebuah gaun malam tipis berpotongan dada rendah. Rangka korset dari tulang ikan hiu yang hendak dikenakannya mengganggu keindahan gaun yang dipersiapkan sejak jauh hari.

Bersama salah seorang pelayannya, dia membuat pakaian dalam dari dua saputangan sutra yang disatukan dengan pita merah muda. Desain ini kemudian menjadi populer di lingkaran pergaulan Jacobs dan kemudian dipatenkan pada 1914.

Tren fashion kemudian bergeser dari bentuk tubuh montok (yang dimodifikasi dengan menggunakan korset) ke bentuk tubuh kurus dengan dada rata. Gaya yang dianggap modern saat itu adalah gaya busana perempuan yang dibuat praktis tanpa menggunakan banyak bahan dan membuat perempuan lebih mudah bergerak. Pergeseran tren ini diikuti kian aktifnya perempuan di berbagai lapangan pekerjaan. Perempuan yang mengikuti fashion, yang dianggap mencerminkan pemberontakan itu, kemudian lazim disebut flapper.
Bra dengan bentuk modern ini kemudian mulai diproduksi secara massal pada 1920-an. Tapi produksi masal itu belum memperhatikan ukuran individual masing-masing perempuan.

Barulah pada 1922 perempuan bisa mengenakan kutang dengan lebih nyaman ketika Ida dan William Rosenthal merevolusi bentuk bra. Mereka menciptakan ukuran baku bra yang terdiri dari lingkar linear rusuk dan ukuran volume dada (cup size) dengan menggunakan abjad (A, B, C, D, dan seterusnya). Ukuran A sama dengan delapan ons cairan, sementara B setara dengan 13 ons, dan C sama dengan 21, dan seterusnya. Ida dan William kemudian mendirikan perusahaan bra Maidenform yang beroleh kesuksesan luar biasa dan menjadikan pasangan Rosenthal jutawan. Maidenform masih berdiri hingga sekarang.

Bra menjadi bagian dari busana sehari-hari perempuan hingga muncul revolusi pemikiran tentang peran perempuan. Di Amerika, revolusi ini dimulai ketika buku Feminine Mystique karya Betty Friedan terbit pada 1963. Buku itu mempertanyakan peran perempuan, yang seolah dikembalikan ke ranah domestik oleh sistem masyarakat ketika itu.

Hal ini berlanjut hingga 1970-an di mana protes atas ikon-ikon yang dianggap mengekang perempuan dipertanyakan oleh kaum feminis. Germaine Greer, salah seorang feminis intelektual, menyatakan bahwa, “Bra adalah sebuah ciptaan yang menggelikan.”

Sebagai dukungan atas pemikiran itu, banyak perempuan memutuskan untuk tak lagi mengenakan bra. Sedikit banyak hal ini cukup memukul industri bra. Ida Rosenthal, sang industrialis pakaian dalam, hanya menjawab dengan santai, “Kita adalah sebuah demokrasi. Sah-sah saja kalau orang berpakaian atau telanjang. Tapi setelah usia 35, bentuk tubuh perempuan tak mendukungnya untuk tidak mengenakan bra. Waktu berpihak kepada saya.” Belakangan kata-kata Ida itu terbukti ada benarnya.

Meski sempat mengalami hambatan, industri bra terus berkembang. Apalagi ketika Madonna mengenakan sebuah kostum bra yang meruncing di bagian dada. Kostum itu dibuatkan khusus oleh perancang Prancis Jean-Paul Gaultier untuk tur Blonde Ambition pada 1990.

Pada awal abad ke-19, menutup dada belum jadi kelaziman di Indonesia. Kebiasaan mengenakan kutang diperkenalkan Belanda. Dalam novelnya, Pangeran Diponegoro, Remy Sylado menjelaskan asal-muasal istilah kutang.

Saat itu, dalam proyek pembangunan jalan raya pos Anyer-Panarukan, Belanda mempekerjakan budak perempuan dan laki-laki. Don Lopez, seorang pejabat Belanda, melihat budak perempuan bertelanjang dada. Dia kemudian memotong secarik kain putih dan memberikannya kepada salah seorang di antara mereka sembari berkata dalam bahasa Prancis: “tutup bagian yang berharga (coutant) itu.” Berkali-kali dia  mengatakan “coutant.. coutant” yang kemudian terdengar sebagai kutang oleh para pekerja.

Di berbagai negara bra/BH disebut dengan cara berbeda-beda. Di Prancis penahan dada itu disebut soutien-gorge (penopang tenggorokan), di Spanyol sujetar (menopang). Di Jerman bustenhalter, di Swedia bysthallare, dan di Belanda bustehouder –semuanya berarti penopang dada. Sementara dalam bahasa Esperanto (bahasa artifisial yang diciptakan oleh Ludovich Zamenhof, seorang Polandia) bra disebut mamzono yang artinya sabuk dada.

Terkait Berita: