Pesan Rahbar

Home » , , , , » Orang Betawi, Teori Castles, dan Langgar

Orang Betawi, Teori Castles, dan Langgar

Written By Unknown on Sunday 16 November 2014 | 00:02:00


Banyak sejarawan lokal yang masih saja mengekor pada perspektif kolonialis dalam menelusuri asal-usul orang Betawi. Mereka ini termakan oleh studi dari Lance Castles yang menulis “The Ethnic Profile of Jakarta” yang dimuat di satu majalah Indonesia terbitan Cornell University bulan April 1967. Menurut
Castles, orang Betawi berasal dari budak-budak yang berasal dari berbagai daerah yang didatangkan Belanda pada pertengahan abad ke-19.

Pandangan Castles ini berangkat dari sebuah catatan harian orang Belanda (daghregister) yang hidup di dalam kota benteng Batavia tahun 1673, juga dari catatan Raffles ‘History of Java’ (1815), catatan kependudukan dari Encyclopaedia van Nederlansche Indie (1893), dan sensus penduduk yang dilakukan kolonialis Hindia Belanda (1930). Dalam pandangan Castles, daerah Kali Besar merupakan pusat dari asal-usul orang Betawi. Padahal daerah ini merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda.

Ngawurnya Castles

Sebagai seorang peneliti, Castles jelas bersikap ceroboh dengan mengabaikan keberadaan penduduk asli yang sudah hidup beranak-pinak berabad-abad sebelum kedatangan Belanda, bahkan jauh sebelum kedatangan Portugis. Situs kapak batu di daerah Condet yang ditemukan oleh tim arkeolog Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta ditahun 1970-an dengan tegas telah membantah Teori Castles. Situs kapak batu, beliung batu, pahat batu, dan sebagainya yang ditemukan berasal dari masa 1.000-1.500 tahun SM. Benda-benda itu digali dari tepian sungai Ciliwung, di daerah Condet dan Kalibata Pejaten, Jakarta Selatan.1 Situs ini membuktikan jika nenek moyang orang Betawi, sudah hidup di wilayah tersebut berabad-abad sebelum negara Portugis dan Belanda lahir, bahkan sebelum kelahiran Nabi Isa a.s.!

Sejarawan Sugiman MD memperkuat pandangan itu dengan menyatakan, “Pada masa itu, di Condet dan beberapa tempat di Jakarta sudah ditempati nenek moyang bangsa Indonesia.”2 Hal ini menandakan jika di zaman batu (Neolitikum), wilayah Condet dan sekitarnya telah mengenal peradaban. Bahkan pada 1971, di Pejaten-Pasar Minggu, ditemukan lampu perunggu dan lampu kuil yang menandakan di daerah tersebut telah ada kepercayaan atau agama.

Sejarawan Betawi, Drs. H. Ridwan Saidi yang pernah berdebat keras dengan Castles menegaskan jika Teori Castles tidak memiliki pijakan yang kuat secara ilmiah. Berdasakan penelitian lapangan yang dilakukannya, ditambah dengan penelitian arsip dan berbagai literatur, Ridwan Saidi menyatakan, “Di utara Condet, terdapat pelabuhan Kalapa yang menjadi bagian dari Krajan Salakanagara yang sudah berdiri pada tahun 100 M. Dalam kitab Wangsakerta, disebutkan jika wilayah ini telah ramai disinggahi para pedagang dari Maghribi, India, dan juga bangsa Tiongkok. Dengan sendirinya, warga sekitar telah menyerap banyak pengaruh dan adat istiadat asing. Bahkan kosakata Arab seperti “Adat, Kramat, Alim, dan Kubur”, telah ada di wilayah cikal bakal Betawi jauh sebelum Islam menyebar di wilayah ini pada abad ke-15 M.”3

Selain Ridwan Saidi, sejarawan Uka Tjandarasasmita juga menegaskan jika paling tidak sejak zaman neolitikum atau batu baru (3500 – 3000 tahun SM) daerah Jakarta dan sekitarnya dimana terdapat aliran-aliran sungai besar seperti Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, Citarum, pada tempat-tempat tertentu sudah didiami orang. Beberapa tempat yang diyakini berpenghuni manusia itu antara lain Cengkareng, Sunter, Cilincing, Kebon Sirih, Tanah Abang, Rawa Belong, Sukabumi, Kebon Nanas, Jatinegara, Cawang, Cililitan, Kramat Jati, Condet, Pasar Minggu, Pondok Gede, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Kelapa Dua, Cipete, Pasar Jumat, Karang Tengah, Ciputat, Pondok Cabe, Cipayung, dan Serpong. Jadi menyebar hampir di seluruh wilayah Jakarta.

Dari alat-alat yang ditemukan di situs-situs itu, seperti kapak, beliung, pahat, pacul yang sudah diumpam halus dan memakai gagang dari kayu, disimpulkan bahwa masyarakat manusia itu sudah mengenal pertanian (mungkin semacam perladangan) dan peternakan. Bahkan juga mungkin telah mengenal struktur organisasi kemasyarakatan yang teratur.4

Islam di Betawi

Nenek moyang orang Betawi bukanlah beragama Hindu atau Budha seperti yang disangkakan banyak kalangan saat ini, melainkan suatu bentuk keyakinan terhadap arwah leluhur. “Jejak Budha pada orang Betawi jelas nihil. Jejak Hindu paling-paling dari Tarumanegara atau Pajajaran. Tapi orang banyak lupa jika Hindu adalah agama kerajaan, yang hanya dianut para elit kerajaan, tidak orang-orang kecilnya. Agama asli orangorang Betawi adalah agama lokal, yakni pemujaan terhadap arwah leluhur. Sisa-sisa
keyakinan itu kini masih ada di Kranggan, Pondok Gede, Bekasi,” ujar Ridwan.

Ketika Islam mulai menyinari utara Sumatera di abad ke-7, bukan tidak mungkin orang Islam sudah ada pula di wilayah pelabuhan Kalapa, cikal bakal Jakarta. Hal ini mengingat para pedagang Arab sudah berkeliling Nusantara hingga ke Maluku dan Timor. Namun sejauh ini catatan pertama memang baru dari Babad Tanah Jawa atau pun Carios Parahyangan yang sama-sama mengisahkan kedatangan Syekh Quro atau juga dikenal sebagai Syekh Hasanuddin dari Cempa5 ke Jawa yang diperkirakan terjadi di
penghujung abad ke-15.

“…. penyebar awal Islam di masyarakat Betawi adalah orang-orang Melayu, maka tidak sulit bagi pendakwah itu untuk menyampaikan pesannya. Mereka masuk dalam rongga-rongga budaya lokal. Istilah lokal seperti sembahyang dan puasa tetap dipergunakan, begitu juga dengan istilah sorga dan niraka, atau neraka, sebagai istilah yang telah dikenal oleh komunitas lokal. Tidak dipaksa untuk menggunakan istilah shalat, shaum, jannah, naar,” tulis Ridwan.

Orang-orang Islam awal di Betawi dianggap oleh Penguasa Pajajaran sebagai orang-orang yang melanggar ajaran Sanghyang Siksha Kandang Karesian. Sebab itu, dalam lidah orang Pajajaran, orang Islam awal di Betawi disebut sebagai kaum Langgara dan tempat beribadahnya disebut Langgar.

Penyebar Islam awal di Betawi berasal dari Pattani yang berhubungan dekat dengan Kerajaan Islam Moghul yang bermazhab Hanafi. Tarekat Syekh Abdul Qadir al-Jilani berasal dari mazhab ini. Sebab itu, nama Syekh Abdul Kadir Jaelani masyhur di komunitas Muslim Betawi. Namun lama-kelamaan mazhab ini memudar dengan kian bersinarnya mazhab Syafii yang memang lebih lengkap compedium hukum Islamnya. Walau demikian, kedekatan orang betawi dengan Syekh Abdul Kadir Jaelani tetap terpelihara sampai kini dengan masih banyaknya gambar Syekh Jaelani dipasang di dinding-dinding rumah asli
orang Betawi.

Para ulama seperti Syekh Quro (Karawang), Datuk Ibrahim (Condet), Datu Biru (Jatinegara), Dato Tonggara (Cililitan), Mak Datu Tanjung Kait (Tangerang), Kumpi Datu (Depok) dan lainnya merupakan para dai yang mengislamkan Jakarta dan sekitarnya. Mengenai Fatahillah, agak mengherankan jika orang percaya dia sebagai orang yang mengislamkan Jakarta karena jejak dakwah Fatahillah yang berasal dari Cirebon (menyerbu Jakarta tahun 1527) tidak ada sisa-sisanya sama sekali dalam kultur warga Betawi saat ini. Bahkan di hari penyerbuannya itu, syahbandar terakhir Pelabuhan Kalapa dan juga tokoh Islam Betawi, bernama Wak Item terbunuh.

“Fatahillah dengan ribuan pasukannya menyerbu Sunda Kalapa. Dia kemudian membangun istana dikelilingi tembok tanah di tepi barat Kali Besar. Orang-orang Betawi yang sudah memeluk Islam diusir dari istana, dan sekitar tiga ribuan rumahnya dibumihanguskan. Jejak dakwah Fatahillah atau pengaruh Islam Cirebon, tidak ada di Jakarta. Saya belum pernah melihat gambar Walisongo menggantung di dinding rumah orang Betawi, kecuali gambar Buroq dan Syekh Jaelani,” demikian Ridwan Saidi.(rz)


Footnotes:
1 Ridwan Saidi, dalam Seminar ‘Pengembangan Pelestarian Budaya Betawi’, 6 Oktober 2001, di Taman Ismail Marzuki,
Jakarta.
2 Sugiman MD; Jakarta, Dari Tepian Air ke Kota Proklamasi’.
3 Ridwan Saidi; Tinjauan Kritis Penyebaran Islam di Jakarta, Kepercayan Penduduk Krajan Merin Salakanagara Awal
abad Masehi di Bekasi; Makalah Seminar ‘Meluruskan Sejarah Islam di Indonesia’, IKIP Muhammadiyah; Jakarta,
2008.
4 Uka Tjandarasasmita; Jakarta Raya dan Sekitarnya, Dari Zaman Pra Sejarah Hingga Kerajaan Pajajaran; 1977.
5 Menurut Ridwan, cempa adalah Pattani, Thailand selatan. Karena pada abad tersebut sudah berdiri kerajaan Melayu
islam. Perkiraan orang jika Cempa itu Kamboja sama seklai tidak ada dasarnya.
Sumber: Majalah Muslim Digest Edisi 09 /2010
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: