Pesan Rahbar

Home » , » Sumanto Al Qurtubi: Budaya Kafir Dalam Islam

Sumanto Al Qurtubi: Budaya Kafir Dalam Islam

Written By Unknown on Tuesday 1 August 2017 | 11:13:00

H. Sumanto Al Qurtuby, Dosen di King Fahd University for Petroleum and Gas, Arab Saudi.

Jika istilah “kafir” itu dimaknai sebagai “non-Islam” (meskipun saya sendiri tidak setuju dengan pemaknaan ini seperti yang sudah sering saya tulis), maka sesungguhnya hampir tidak ada satu pun kebudayaan yang lazim dan jamak dipraktikkan oleh umat Islam dari zaman bahula hingga dewasa ini yang asal-muasalnya seratus persen murni “diciptakan” oleh kaum Muslim.

Hampir semua tradisi dan kebudayaan umat Islam itu diadopsi dan dimodifikasi dari berbagai tradisi dan kebudayaan masyarakat non-Muslim yang jauh sudah ada dan eksis di Arab & Timur Tengah jauh sebelum Islam hadir di kawasan ini di abad ke-7 M. Bahkan doktrin dan ajaran-ajaran Islam fundamental pun diinspirasi dari berbagai doktrin dan ajaran non-Islam.

Kalau kita membaca dengan teliti dan seksama sejarah sosial-kultural-politik peradaban masyarakat di Timur Tengah, maka kita akan tahu bahwa aneka tradisi & kebudayaan yang belakangan diklaim oleh (sebagian) umat Islam itu sesungguhnya berasal dari “kebudayaan kafir”.

Sebut saja misalnya hijab dan cadar (niqab, burqa, khimar, dlsb) yang sudah lama dipraktekkan oleh masyarakat Assyria pada tahun 5,000 SM yang kemudian turun-temurun diadopsi dan dipraktikkan oleh berbagai masyarakat di zaman imperium-imperium Neo-Assyria di zaman pra-Islam seperti Babilonia, Partha, Roman, Sasania, Media, Persia, dlsb.

Merekalah yang memperkenalkan tradisi dan budaya hijab dan cadar itu ke masyarakat Yahudi, Arab, dan aneka suku di Asia. Yang menarik, jika sebagian umat Islam mengklaim hijab dan cadar itu sebagai “properti Islam”, sejumlah kelompok “Yahudi Garis Lurus” seperti kelompok Heredi Burqa mengklaim hijab dan cadar itu adalah “properti Yahudi”.

Kemudian tradisi sunat (atau memotong sebagian kulit yang “ngklewer” menutupi kepala penis) sudah ada sejak zaman Mesir Kuno dan dipraktikkan oleh berbagai suku di Afrika. Lebih detailnya, silakan baca buku Vilheml Thomsen, “History of Circumcision” yang menguraikan tentang aneka tradisi sunat atau khitan dengan berbagai motif dan tujuannya.

Nah, ketika Islam hadir di kawasan Semenanjung Arab, sebagian tradisi & kebudayaan non-Islam dan non-Arab yang dipandang baik dan bermanfaat kemudian diserap, diadopsi, dan diberi “makna baru” oleh kaum Muslim sesuai dengan konteks sosio-kultural masyarakat Arab.

Karena umat Islam dan Bangsa Arab tidak tinggal sendirian melainkan membaur dengan masyarakat agama dan suku-bangsa lain, maka sudah wajar jika mereka saling-menyerap berbagai tradisi & kebudayaan umat manusia.

Oleh karena itu, jika ada umat Islam dewasa ini yang ngotot menolak “budaya non-Islam” yang dianggap bertentangan dengan “budaya Islam”, maka orang-orang jenis ini pada hakikatnya lupa bahwa sesunggunya tidak ada sebuah kebudayaan di dunia ini, termasuk kemudian yang diklaim sebagai “kebudayaan Islam”, yang murni dan eksklusif milik sebuah kelompok agama dan masyarakat.

Tidak ada sama sekali sebuah kebudayaan yang murni dan eksklusif kecuali mungkin kebudayaan yang dikembangkan oleh masyarakat terisolir seperti suku Eskimo di Kanada atau Kalahari di Afrika. Selebihnya, kebudayaan ada dan berkembang karena saling pinjam-meminjam satu sama lain melalui proses interaksi antarindividu dan masyarakat.

Nah, sekarang jangan hobi main klaim lagi ya? Malu atuh sama tentangga sebelah he he

(suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: