Tombak Kiai Rondhan, senjata pusaka Diponegoro. Koleksi relik sejarah Museum Nasional.
Pusakanya dirampas Belanda, Diponegoro merasa akan mendapat marabahaya.
OLEH: YUDI ANUGRAH NUGROHO
TEPAT di hari
ulang tahun ke-44 pada 11 November 1829, Pangeran Diponegoro disergap
pasukan gerak cepat ke-11 yang dipimpin Mayor A.V. Michiels, di wilayah
pegunungan Gowong, sebelah barat Kedu. Diponegoro hampir tertangkap,
namun berhasil lolos dari kejaran, walaupun kakinya terluka. Namun
beberapa barang miliknya tertinggal: kuda, peti pakaian, dan yang
terpenting pusakanya yaitu tombak Kiai Rondhan.
Tombak Kiai Rondhan memiliki panjang 54
cm. Batangnya berbahan kayu, berbentuk silinder yang mengecil hingga ke
leher tombak. Terdapat lempeng emas melingkar yang memisahkan bahan kayu
dan lilitan kawat sampai ke leher tombak yang berhias dua batu mulia
(semula empat buah) dan dibalut ukiran emas. Bilah tombaknya berbentuk
segitiga dengan bahan besi.
“Dipanegara percaya bahwa tombak Kiai Rondhan menolak bala,” kata Peter Carey, adjunct professor
(guru besar tamu) Program Studi Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia. Kehilangan tombak pusaka memberinya
isyarat akan timbul kesulitan dan bahaya.
Setelah penyergapan itu, Diponegoro mengembara di hutan wilayah Bagelen barat dengan ditemani pengiring setianya (panakawan), Joyosuroto atau Roto dan Bantengwareng .
Hingga akhir hayatnya pada 8 Januari
1855, Diponegoro tak pernah berjumpa lagi dengan tombak pusakanya.
“Justru pusaka lainnya, keris Kiai Bondoyudo, yang dibawa oleh
Diponegoro ke Manado dikubur bersamanya menurut tradisi keluarga di
Makassar,” ujar Carey.
Tombak Kiai Rondhan beserta pelana kuda
dan keris berjuluk Kiai Nogosiluman dikirim ke Belanda dan
dipersembahkan kepada Raja Willem I (bertahta 1813-1840) sebagai “trofi
perang”. Pusaka itu disimpan di Koniklijk Kabinet van Zeldzaamheden atau kabinet kerajaan untuk barang antik di istana Den Haag.
Menurut Carey, Raden Saleh yang kala itu
magang sebagai pelukis di Belanda (1830-1839) diutus untuk membuat
deskripsi pusaka Diponegoro oleh R.P. van de Kasteele, kepala Koniklijk Kabinet van Zeldzaamheden, pada Januari 1831.
Raden Saleh bertemu dengan keris Kiai
Nogosiluman yang diambil pasukan Belanda saat penangkapan Diponegoro di
Magelang. Beberapa tahun setelahnya, keris Kiai Nogosiluman raib secara
misterius, sedangkan pusaka lainnya dikembalikan ke Indonesia.
Tombak Kiai Rondhan, pelana kuda, dan
lukisan Raden Saleh berjudul “Penangkapan Pemimipin Jawa Diponegoro”
(1857), yang tersimpan di Museum Veteran Tentara Belanda di Bronbeek,
Arnhem, dikembalikan oleh Ratu Juliana (bertakhta 1948-1980) kepada
pemerintah Indonesia pada 1976 di bawah ketentuan "Cultural Accord" yang
ditandatangani pada 1969. Setahun kemudian diselenggarakan pameran di
Museum Gajah (kini Museum Nasional).
Hingga kini, tombak Kiai Rondhan
tersimpan di Museum Nasional sebagai peninggalan Pangeran Diponegoro
atau koleksi relik sejarah dengan nomor inventaris 270 dan pelana kuda
yang kondisinya telah rapuh (nomor inventaris 271). Sementar lukisan
“Penangkapan Pemimpin Jawa Diponegoro” menjadi koleksi Istana
Kepresidenan di Jakarta, kemudian dipindahkan ke Istana Kepresidenan
Gedung Agung di Yogyakarta.