Pesan Rahbar

Jokowi, Neolib?

Written By Unknown on Monday, 27 April 2015 | 14:32:00


Seorang teman aktifis bertanya kepada saya, benarkah Pemerintah Jokowi mengikuti garis kebijakan Neoliberal. Apalagi team yang ada di staf kepresidenan adalah alumni Harvard yang dikenal sebagai kampus penyokong neoliberal. Lihat, lanjutnya, kenyataan kini, semua barang public dikembalikan kepada mekanisme pasar. Subsidi BBM dihapus. Ini jelas melanggar UU dasar 45. Saya bisa maklum pandangannya karena sebegitulah wawasan yang dia punya, yang umumnya dia dapat dari media massa tanpa dasar pengetahuan yang cukup.

Neoliberalisme yang juga dikenal sebagai paham ekonomi neoliberal mengacu pada filosofi ekonomi-politik yang mengurangi atau menolak campur tangan pemerintah dalam ekonomi domestik. Paham ini memfokuskan pada metode pasar bebas, pembatasan yang sedikit terhadap perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi. Saya katakan bahwa pada saat sekarang pemerintah hanya melaksanakan UU dan aturan yang sudah ada.Tidak mungkin pemerintah bekerja diluar UU. Dan kalau kini terkesan pemerintah melaksanakan kebijakan neoliberal maka begitulah keadaan negeri ini sebenarnya setelah dilakukannya amandemen UUD 45. Tak banyak public yang tahu bahwa pancasila sebagai falsafah Negara tidak lagi ada korelasinya dengan UUD. Semua sudah berubah. Yang tetap hanyalah jargon tentang Ketuhanan, persatuan, kemanusiaa, musyawarah dan keadilan social.

Pada tahun 2002, OECD berkantor di DPR sebagai mentor melakukan amandemen UUD 45. Semua partai yang kini berkuasa adalah mereka yang merubah UUD 45. Dari 194 ayat, 3 Pasal Aturan Tambahan, 2 Aturan Peralihan yang terdapat dalam UUD 2002 hanya 25 ayat yang terdapat dalam UUD 45 dipertahankan. Jadi ini bukan amendment tapi merubah UUD 45. Bagaimana struktur Indonesia setelah perubahan UUD 45 ini ?
(1) kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan langsung oleh rakyat;
(2) MPR hanyalah sekedar majelis pertemuan bersama (joint session assembly) yang tidak punya kewenangan mengubah dan menetapkan UUD karena bukan merupakan lembaga tertinggi pelaksana kedaulatan rakyat;
(3) menggunakan sistem presidensial, dan
(4) memisahkan perekonomian nasional dengan kesejahteraan sosial sehingga mengakibatkan sistem perekonomian Negara tidak lagi dilandasi oleh asas pemerataan dan kekeluargaan untuk menciptakan keadilan sosial, tetapi telah berubah menjadi sistem ekonomi individualistis dan bebas seperti pemikiran ekonomi kapitalistis.

Di Era SBY kebijakan pemerintah terfocus kepada bagaimana mendatangkan pajak bagi negara untuk kepentingan APBN. Karena itu pemerintah membuka kanal seluas mungkin bagi modal untuk berkembang walau karena itu meminggirkan para petani, nelayan, dan usaha kecil.

Pada tahun 2002, Asian Development Bank memberikan pinjaman lunak kepada Pemerintah Indonesia untuk mendukung Program Financial Governance and Social Security Reform ( FGSSR) senilai USD 250 juta. Saya ingat ketika bantuan itu diberikan, salah satu teman aktifis berkata bahwa ada dua agenda besar dari program ini, yaitu mereformasi koperasi dan jaminan social dalam Blue Print Economic reform. ST-MPR 2002, secara konstitusional, bangun usaha koperasi tidak lagi dianggap perlu atau wajib dikembangkan di Indonesia. Sehingga secara konstitusi Koperasi sebagai alat perjuangan rakyat dalam bidang ekonomi tidak lagi mendapat tempat istimewa dihadapan Negara. Kemudian diperkuat lagi dalam amandemen UUD 45 Pasal 33 dengan menambah ayat 4. Ayat ini seakan mengingkari secara halus ayat 1,2, dan 3-nya dimana perekonomian disusun secara prinsip demokrasi.

Jadi tidak ada lagi perlakuan istimewa kepada satu pelaku ekonomi. Siapa saja dapat mengusahakan perekonomian secara bebas alias liberalisasi perekonomian. Hal ini tertuang dalam ayat selanjutnya yaitu ayat 5 dimana ketentuan lebih lanjut diatur UU. UU yang mana? lihat saja UU penanaman modal dan UU PMA yang kental sekali nuansa liberalnya. Dampak dari amandemen itu adalah ekonomi tumbuh dengan pesat namun melahirkan gap kaya dan miskin yang sangat lebar, dan MNC AS semakin tak tergoyahkan dari keberadaannya menguasai SDA Indonesia. Jadi memang by design negara ini digadaikan kepada pemodal,terjajah secara sistematis, terjebak secara anggaran yang harus berhutang.

Dengan keadaan tersebut diatas, Jokowi sadar bahwa siapapun yang akan jadi Presiden maka dia harus menghadapi masalah yang disebut dengan jebakan APBN. Mengapa saya katakan jebakan APBN? Karena APBN kita tersandera oleh dua hal yaitu pertama , kewajiban membayar cicilan hutang dan bunga. Sebagian besar pinjaman berupa obligasi ( BOND) yang tidak bisa di reschedule pelunasannya atau di moratorium. Karena meminjam kepada pasar uang sama dengan shark loan. Kedua, anggaran belanja pegawai dan belanja rutin yang semakin membesar karena dampak dari adanya pemekaran wilayah dan beban subsidi yang terus membesar.

Sementara dari sisi penerimaan, sesuai UU negara tidak lagi secara langsung berperan menguasai resource SDA tapi digantikan dengan mekanisme perpajakan dan bagi hasil. Karena memang konsep APBN setelah reformasi menempatkan negara hanya sebagai service provider yang berhak atas fee dari kegiatan modal. Akibatnya penerimaan negara sangat tergantung dari kegiatan produksi dunia usaha khususnya yang mengelola SDA. Kegiatan produksi ini tentu berhubungan dengan ekonomi global. Maklum sebagian besar produksi SDA di export. Apabila ekonomi global suram maka ekonomi kita semakin suram karena terpaksa hutang harus ditambah untuk menutupi sisi penerimaan yang tekor. Namun bila ekonomi global cerah maka penerimaan pajak meningkat, ekonomi makin tumbuh dan hutang harus terus ditambah untuk memacu pertumbuhan. Karena penerimaan pajak baru didapat akhir tahun dan awal tahun harus hutang dulu agar bisa bayar biaya pembangunan.

Apakah jokowi tunduk dengan jebakan APBN sehingga patuh dengan konsep neoliberal ? Ketika Jokowi mengajukan RAPBN-P 2105, saya lega sekali. Bahwa Jokowi keluar dari jebakan APBN dengan memotong anggaran belanja rutin. Caranya menggeser anggaran subsidi dari pos belanja rutin ke Pos Fiskal sehingga pemerintah punya kekuatan besar sebagai penggerak sector real. Sebelumnya by design karena jebakan APBN , pemerintah tidak punya pilihan lain harus ikut neoliberal karena ruang fiscal sangat kecil.
Tapi kini pemerintah leading dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Dengan dana fiscal diatas Rp.300 Triliun maka pemerintah bisa mengintervensi sector produksi khususnya petani agar terjadi swasembada pangan,menggerakan ekonomi desa melalui dana desa agar desa menjadi basis ekonomi rakyat yang kokoh, membangun insfrastruktur eonomi seperti jalan,pelabuhan, bandara, agar logistic system efisien sehingga bisa menekan harga produksi, merevitalisasi Industri hulu dan memperluas industry pengolahan makanan seperti gula, garam.

Meningkatkan modal BUMN agar mampu bersaing dengan asing. Kebijakan memotong belanja rutin memang tidak popular karena membuat orang yang berada di comfort zone merasa terganggu dan mereka tentu marah dengan segala alasan.Itu biasa saja di alam demokrasi. Tiga tahun apabila program Jokowi selesai maka dipastikan ada lebih 100 UU pro neoliberalisme akan di removed dan kita akan kembali kepada Pancasila dan UUD 45 secara murni, itulah alasannya mengapa TNI terlibat langsung dengan program Jokowi.

(Source)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: