Pesan Rahbar

Home » » Ketika Saudi Bermain Api di Sarang Lebah

Ketika Saudi Bermain Api di Sarang Lebah

Written By Unknown on Monday, 27 April 2015 | 14:39:00

Seroang warga Yaman berjalan di jalan yang rusak setelah serangan oleh pesawat tempur Saudi pada gudang senjat di bukuit Fajj Attan, di ibukota Yaman, Sana’a, 20 April 2015. (Foto: AFP)

Salman bin Abdulaziz yang belum lama dinobatkan sebagai raja Arab Saudi tiba-tiba menggemparkan Timur Tengah dan dunia secara umum. Dia mengirim 185 jet tempur untuk menyerang koalisi militer al-Houthi di Sanaa, ibu kota Yaman, dan beberapa kawasan lain. Ini tak pelak menjadi indikasi kuat terjadinya perubahan krusial dalam kebijakan Arab Saudi dari tahap kehati-hatian, menahan diri, dan kesabaran kepada tahap adu nyali dalam memilih opsi militer ketika sistem dan kepentingan strategisnya dirasa terancam. Hanya saja, perubahan mendadak ini selain penuh resiko juga tidak jelas hasilnya.

Semua data terkait perimbangan kekuatan militer tentu saja menempatkan Saudi pada posisi di atas angin. Negara ini mengoleksi perlengkapan militer terkini, termasuk jet tempur buatan Amerika Serikat (AS) jenis F-15 dan F-16 dan penangkis serangan udara, serta memiliki pasukan darat dengan jumlah lebih dari 150,000 personil.

Di saat lawannya, Yaman, sepintas lalu terlihat lemah dan hanya berbekal senjata usang dan apa adanya, Saudi dalam tiga tahun terakhir justru telah memborong beberapa jet tempur dan tank buatan AS, Jerman dan negara-negara Eropa lainnya dengan dana fantastis sebesar 150 milyar Dolar AS, atau sebanding dengan anggaran negara Yaman selama 40 tahun atau lebih.

Namun demikian, keunggulan kekuatan militer bukanlah jaminan untuk menang dalam peperangan di era kontemporer. Serangan udara, seberapa hebatpun, bukan ukuran untuk dapat mencetak kemenangan.

Yaman memiliki karakteristik geografis dan kemanusiaan yang sangat keras, dan Sanaa bisa jadi merupakan satu-satunya ibu kota yang tidak pernah tunduk kepada pendudukan asing dan Arab, sehingga imperium Ottoman, Portugis dan Inggris memilih mengurungkan niat untuk mendudukinya. Raja Abdulaziz al-Saud dari Arab Saudi sendiri juga meminta anaknya, Faisal, yang memimpin pasukan Saudi di Najran dan Jizan, Yaman, agar segera pulang ketika berada dalam perjalanan untuk menduduki Sanaa di awal ekspansi Saudi.

Orang-orang Yaman, baik dari kelompok al-Houthi maupun lawan-lawannya, adalah para petempur tangguh.

Kemudian, kalaupun Saudi begitu gegabah dan percaya diri karena merasa didukung oleh lebih dari 10 negara Arab dan Islam, termasuk Mesir, Sudan, Jordania dan Pakistan, pihak lawannya juga memiliki koalisi yang tak kalah hebatnya, yaitu Irak, Suriah, Iran dan negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan).

Koalisi dalam negeri Yaman sendiri antara al-Houthi dengan kelompok loyalis mantan presiden Yaman Ali Abdullah Saleh bisa jadi juga tak kalah hebatnya dibanding koalisi luar negeri. Doktrin pasukan yang bertempur memainkan peranan besar dalam mobilisasi kekuatan. Pihak yang berperang di tanah air sendiri untuk mempertahankan kehormatan bangsanya memiliki motivasi yang jauh lebih besar dibanding pasukan asing yang menyerang, apalagi pilot-pilot yang berada di ketinggian.

Bela Presiden Yang Sah
Rezim Saudi mengklaim bahwa serangan udaranya adalah demi membela presiden Yaman yang “sah”, Abd Rabbuh Mansur Hadi dan pemerintahannya. Namun siapa yang menentukan sah atau tidaknya seorang presiden, dan dengan tolok ukur apa? Apakah ukurannya karena telah terjadi pemberontakan atau kudeta militer? Ataukah yang menjadi ukuran adalah demokrasi yang termanifestasi dalam pemilu yang bebas dan bersih?

Jika yang menjadi ukuran adalah realitas yang ada di lapangan sebagaimana yang terjadi di Libya, Yaman dan Irak pra-konflik maka semua kepala negara yang berkuasa di negara-negara itu adalah pemimpin yang sah dan legitimated. Demikian pula halnya dengan rezim-rezim dinasti dan feodalistik.

Sedangkan jika yang menjadi ukuran adalah demokrasi, maka kalaupun itu relevan sepenuhnya dengan Mansur Hadi, namun sangat tidak relevan dengan kasus Presiden Mesir Mohamed Morsi. Tapi lantas mengapa koalisi militer yang sama tidak dibentuk untuk mengembalikan Morsi kepada kedudukannya?

Peta Konflik Sesungguhnya
Isu keabsahan tak perlu dibahas lebih jauh di tengah kondisi di mana logika sekarang sudah tidak berlaku lagi. Sorotan sebaiknya lebih difokuskan pada cakrawala yang lebih jauh ke depan dengan mengangkat pertanyaan mengenai prospek Yaman dalam satu, dua atau lima tahun ke depan? Bagaimana peta kekuatan di Yaman? Dalam konteks yang sama juga muncul pertanyaan bagaimana dampak prospek Yaman terhadap kerajaan Arab Saudi dan negara-negara sekutunya serta kawasan Semenjung Arab dan sekitarnya?

Patut diketahui bahwa apa yang dilakukan Saudi sekarang adalah aksi menabuh genderang perang terhadap Iran, bukan terhadap Ansarullah atau kelompok Syiah al-Houthi. Dengan kata lain, Saudi telah mengubah keadaan dari perang boneka (proxy war) menjadi perang langsung dan terbuka dengan tujuan memulihkan wibawanya di kawasan setelah mengalami erosi akibat diterjang arus pendekatan AS terhadap Iran, kesolidan pemerintah Suriah di depan badai ambisi Saudi untuk menggulingkannya, memburuknya situasi di Libya, serta keberhasilan Iran menancapkan pengaruhnya di empat negara Arab, yaitu Irak, Suriah, Yaman dan Lebanon serta pada elemen-elemen penting Palestina (Hamas dan Jihad Islam). Hanya saja, apakah opsi militer akan dapat memulihkan wabawa Riyadh dan mampu membendung pengaruh Iran?

Para petinggi rezim Saudi sudah pasti tahu persis bahaya dan resiko yang akan mereka hadapi di Yaman. Memang, al-Houthi dan koalisinya di dalam negeri tidak memiliki pesawat tempur supermodern. Kalaupun memiliki beberapa gelintir pesawat tempur usang maka itu sudah atau akan dapat dihancurkan oleh serangan udara Saudi.

Namun demikian, apa yang dimiliki oleh al-Houthi dan koalisinya sekarang maupun di masa mendatang adalah kekuatan raksasa manusia di darat. Bukan tidak mungkin mereka telah mengadopsi pengalaman Hizbullah di Lebanon serta gerakan Hamas dan Jihad Islam di Gaza, yakni memiliki kekuatan rudal penyeimbang, dan itu dikonsentrasikan di provinsi Sa’dah yang berbatasan dengan Saudi.

Kepala Komisi Keamanan Nasional Iran melontarkan statemen tegas, Kamis (26/3/2015). Dia memastikan bahwa api yang disulut Saudi akan menyambar Saudi sendiri karena, menurutnya, perang tidak akan berhenti di satu tempat saja.

Ini merupakan sinyalemen kuat bahwa bisa jadi Iran akan merembetkan perang ke dalam wilayah Saudi dengan cara membangkitkan para pendukungnya di semua wilayah provinsi al-Sharqiyyah, Saudi, atau menularkan perang ke Bahrain dan negara-negara Arab Teluk Persia lainnya yang juga tak sepi dari simpatisan Iran.

Yaman Bukan Pengecualian
Harus dingat baik-baik, dampak invasi udara pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Libya tidak lantas berhenti pada tumbangnya rezim Moammar al-Qaddafi, melainkan berlanjut dengan keadaan yang lebih mencekam dan diriuhkan oleh gemuruh aksi kelompok-kelompok militan angker semisal al-Qaedah, Ansar al-Shari’ah dan belakangan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Kondisi yang sama terulang di Suriah dan Irak.

Jika demikian, maka dengan alasan apa Yaman akan dikecualikan, dan bagaimana nanti interaksi yang harus terjadi dengan fenomena baru ini?
Saudi sedang bermain api dengan resiko yang tak kepalang tanggung besarnya dan bisa jadi sudah terjebak dalam zona perang bernama “perang atrisi”, perang berkepanjangan hingga titik darah penghabisan.

Antara “Badan Gurun” dan “Badai Mematikan”
Bisa jadi orang akan beralasan bahwa Saudi tidak memiliki opsi lain sehingga melancarkan operasi “Badai Mematikan” (Ashifah al-Hazm) sebagaimana operasi Badan Gurun yang pernah dilancarkan AS untuk mengusir pasukan Irak dari Kuwait. Alasan ini tidak cukup kuat mengingat badai pertama berbeda dengan badai kedua. Badai pertama berlangsung di bawah komando AS dengan armada laut dan udara serta didukung setengah juta pasukan yang melibatkan 30 negara, dan itupun dilancarkan untuk mengusir pasukan pencaplok sebuah negara, sedangkan badai kedua jelas tidak demikian. Apa yang terjadi bahkan sebaliknya, yakni bahwa – diakui atau tidak- para petempur Yaman berjuang mempertahankan tanah airnya atau sebagian wilayahnya.

Dan yang lebih penting lagi, AS dan sekutunya yang sudah bertualang lebih dari 15 tahun di kawasan pada akhirnya – sebagai koreksi atas kesalahan Badai Gurun berupa invasi ke Irak- terpaksa keluar secara memalukan dari Irak setelah bertahan mendudukinya selama 10 tahun.

Yaman, baik dulu maupun sekarang dan di masa mendatang, adalah ibarat sarang lebah, atau bahkan lebih tepatnya lubang ular berbisa. Karena itu, jangan coba-coba mendekatinya.

Sebagaimana terjadi di Irak selama 10 tahun atau lebih, dan Suriah selama empat tahun ini, hanya Allah Swt Yang Maha Mengetahui sampai kapan konflik Yaman akan terus mendera. 

(Disadur dari tulisan wartawan senior Timur Tengah Abdel Bari Atwan pada editorial situs berita Rai al-Youm).

(Mahdi-News/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: