Tahun 2008.
Pemerintahan Bush telah merancang rencana-rencana untuk menjatuhkan
pemerintahan Hamas setelah kemenangannya dalam pemilu legislatif pada
Januari 2006. Upaya kudeta itu dibantu oleh orang kuat Fatah, Mohammad
Dahlan, yang terus memprovokasi Hamas untuk melakukan aksi preventif
mengambil-alih Jalur Gaza, demikian diungkap oleh majalah AS Vanity Fair
dalam edisi Aprilnya.
“Pemerintah telah sepakat, ‘Kami harus menghancurkan orang-orang ini
[Hamas].’ Dengan kemenangan Hamas dalam pemilu, agenda kebebasan telah
mati,” kata seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri kepada majalah
itu.
Seraya mengutip sejumlah dokumen-dokumen rahasia, serta didukung
pernyataan-pernyataan dari pejabat-pejabat AS, baik yang mantan maupun
yang masih menjabat, Vanity Fair mengatakan Presiden George W. Bush,
Menlu Condoleezza Rice, dan Deputi Penasehat Keamanan Nasional Elliott
Abrams mendukung penggulingan Hamas secara paksa ini.
Ketika serangan-serangan Israel dan pembekuan bantuan finansial Barat
tidak menghasilkan apa-apa, Rice berkata kepada Presiden Palestina
Mahmoud Abbas untuk memecat pemerintahan yang didominasi Hamas sesegera
mungkin, lalu mengumumkan keadaan darurat serta menyerukan pemilu baru.
“Jadi kita telah sepakat? Anda akan membubarkan pemerintahan (Hamas)
ini dalam dua minggu?” tanya Rice kepada Abbas pada Oktober 2006,
delapan bulan setelah Hamas secara demokratis terpilih untuk menjalankan
pemerintahan, menurut seorang pejabat yang menghadiri pertemuan
tersebut.
“Mungkin tidak dua minggu. Beri saya satu bulan. Tunggulan hingga
setelah Idul Fitri,” jawab Abbas kepada Rice setelah acara buka puasa
Ramadhan di Ramallah.
Ketika Abbas tidak bergerak cukup cepat, konsulat jenderal AS di
Yerusalem Barat, Jake Walles, bergegas datang ke Ramallah untuk memberi
ultimatum.
“Anda harus memperjelas niat anda untuk menyatakan sebuah keadaan
darurat dan membentuk sebuah pemerintahan darurat,” kata Walles kepada
Abbas, sebagaimana dicatat dalam sebuah memo yang didapatkan oleh Vanity
Fair.
“Orang Kita”
Bosan
dengan kelambanan Abbas, pemerintah Bush berpaling kepada bekas
penasehat keamanan Abbas, Mohammad Dahlan, untuk memimpin sebuah pasukan
elit demi menggulingkan Hamas.
Para pejabat Amerika mengatakan kepada Vanity Fair bahwa Bush tidak
bisa menemukan sekutu yang lebih baik di wilayah Palestina selain
daripada Dahlan untuk melaksanakan skema-skemanya.
Bush bahkan secara publik memuji Dahlan sebagai seorang “pemimpin yang baik dan solid”.
Secara pribadi, sebagaimana dikisahkan para pejabat Israel dan AS, Bush menggambarkan Dahlan sebagai “orang kita”.
“Mereka yang bertanggung jawab untuk mengimplementasikan kebijakan
ini mengatakan, ‘Lakukan apa pun yang perlu dilakukan. Kita harus dalam
posisi mendukung Fatah untuk mengalahkan Hamas secara militer, dan hanya
Mohammad Dahlan yang mempunyai kelicikan dan kekuatan untuk melakukan
ini,” kata seorang pejabat Deplu AS.
Dahlan meminta kepada Letnan Jenderal Keith Dayton, koordinator
keamanan AS bagi Palestina, untuk menyediakan dana dan senjata yang
diperlukan untuk menggulingkan pemerintahan Hamas.
“Saya membutuhkan sumber-sumber daya yang substansial. Kami tidak
memiliki kapabilitas itu,” kata Dahlan kepada Dayton menurut seorang
pejabat AS yang mencatat pertemuan mereka pada November 2006.
Karena gagal mendapatkan persetujuan Kongres bagi 86,4 juta dolar
untuk mendukung kekuatan militer Abbas melawan Hamas, pemerintah Bush
mulai berpaling kepada opsi-opsi lain agar dapat menuntaskan misi ini.
Menurut pejabat-pejabat Deplu AS, Rice kemudian bertemu dengan para
pemimpin dari empat negara Arab, Mesir, Jordan, Arab Saudi, dan Uni
Emirat Arab, dan meminta mereka untuk menyediakan pelatihan militer
kepada pasukan Abbas dan membelikan bagi pasukan itu persenjataan.
Namun, rencana pemerintah Bush sedikit terganggu setelah Arab Saudi
menginisiasi sebuah kesepakatan damai antara Fatah dan Hamas di kota
suci Mekkah setelah berminggu-minggu terlibat konfrontasi berdarah.
Rice pun bergerak kepada “Plan B” dan meminta Abbas untuk
“membubarkan pemerintahan Hamas”, sekali lagi dengan menggunakan pasukan
elit Dahlan yang kali ini sudah dipersenjatai dan dilatih oleh Mesir
dan Jordan.
Ketika kabar mengenai rencana kudeta ini terungkap di sebagian
suratkabar Arab dan Israel, Hamas bersiap diri dan mengambil aksi
preventif dengan mengambil-alih Jalur Gaza.
Sejak saat itu, wilayah Gaza yang miskin itu terus menjadi korban
boikot ekonomi yang massif dari Barat dan sanksi-sanksi Israel, termasuk
blokade terhadap perbatasan-perbatasan laut, darat, dan udara.
David Wurmser, seorang neokonservatif yang mengundurkan diri sebagai
penasehat senior Timur Tengah Wapres Dick Cheney pada Juli 2007, menuduh
pemerintahan Bush telah terlibat dalam sebuah ‘perang kotor’ dalam
upaya memberikan kemenangan kepada kediktatoran Abbas yang korup.
Wurmser percaya bahwa Hamas tidak bermaksud mengambil-alih Gaza hingga Fatah memaksanya melakukan hal itu.
“Bagi saya, ini terlihat bahwa apa yang terjadi bukanlah sebuah
kudeta oleh Hamas tetapi sebuah upaya kudeta oleh Fatah yang
diantisipasi Hamas sebelum hal itu terjadi.”
Kegagalan.
Strategi militer Bush di Gaza, yang membuat Hamas semakin kuat
daripada sebelumnya telah menimbulkan keretakan di tubuh
pemerintahannya.
“Setiap orang kini saling menyalahkan,” kata seorang pejabat
Departemen Pertahanan AS. “Kami duduk di sana di Pentagon dan berkata,
‘Siapa yang merekomendasikan hal ini?”
Beberapa tokoh neokonservatif, yang hingga akhir tahun lalu masih
berada di dalam pemerintahan, mengatakan bahwa Bush tidak belajar dari
masa lalu, dimana ia bergantung kepada orang seperti Mohammad Dahlan
untuk menyelesaikan persoalan ketimbang bertindak secara langsung.
Bergantung kepada proksi seperti Dahlan, kata mantan duta besar AS di
PBB John Bolton, merupakan sebuah “kegagalan institusional, kegagalan
strategi.”
Menurut Vanity Fair, pemerintahan Bush kini berpikir ulang tentang penolakan mentah-mentah untuk berbicara kepada Hamas.
Beberapa staf Dewan Keamanan Nasional dan Pentagon baru-baru ini
meminta sejumlah pakar untuk melakukan riset tentang Hamas dan para
simpatisan utamanya.
“Mereka mengatakan bahwa mereka tidak akan berbicara kepada Hamas,”
kata salah seorang pakar itu,”tetapi pada akhirnya mereka harus
melakukan hal itu. Ini tidak bisa dihindari.”
Dokumen-dokumen yang diperoleh Vanity Fair.
Dalam laporan lengkapnya,
“The Gaza Bombshell”,
jurnalis Vanity Fair David Rose memperoleh beberapa dokumen yang
memperkuat informasi adanya rencana kudeta yang disponsori AS terhadap
pemerintahan terpilih Hamas di Palestina.
- Sebuah memo yang
berisi poin-poin pembicaraan antara konsulat jenderal AS di Yerusalem,
Jake Walles, dengan Mahmoud Abbas pada akhir Oktober atau awal November
2006. Dalam memo itu, Walles mendesak Abbas untuk membubarkan
pemerintahan Palestina yang dipimpin Hamas jika Hamas menolak mengakui
hak Israel untuk eksis, seraya menjanjikan bahwa AS beserta
sekutu-sekutu Arabnya akan memperkuat pasukan militer Fatah demi
menghadapi kemungkinan reaksi Hamas.
- Dokumen “Plan B”
yang menunjukkan strategi Deplu AS yang dibuat setelah Abbas membuat
kesepakatan pada Januari 2007 untuk membentuk sebuah pemerintahan
bersatu antara Fatah dan Hamas, sesuatu yang mengecewakan AS. “Plan B”
diakui keotentikannya oleh pejabat-pejabat senior Deplu dan oleh
pejabat-pejabat Palestina yang melihatnya di dalam kantor Abbas. Dokumen
ini menggarisbawahi skenario-skenario yang mungkin bagi Abbas untuk
menjatuhkan Hamas dari kekuasaan dan memperkuat pasukan keamanannya
dalam menghadapi konsekuensi konfrontasi yang tidak bisa dihindari.
- “Plan B” kemudian dikembangkan menjadi “rencana aksi bagi presiden Palestina”,
sebuah cetak biru bagi sebuah kudeta besar terhadap pemerintahan
bersatu Abbas sendiri. Ini merupakan draf yang diracik oleh tim bersama
Amerika dan Jordan. Para pejabat yang mengetahuinya pada saat itu
mengatakan bahwa itu berasal dari Deplu. Lampiran keamanan dalam dokumen
itu memerinci percakapan rahasia antara orang kuat Palestina, Mohammad
Dahlan, dan Letjen Keith Dayton.
- Draf final
dari rencana aksi tersebut sebagian besarnya mengadopsi dokumen-dokumen
sebelumnya, tetapi menunjukkan bahwa rencana itu telah dipikirkan dari
sejak awal oleh Abbas dan para stafnya. Draf ini juga diakui
keotentikannya oleh pejabat-pejabat yang memiliki akses informasi pada
saat itu.[ia]
Sumber: (VF, islamonline)