Pemandangan nona dan nyai Belanda yang semarak sudah
digantikan dengan bajaj dan mikrolet yang berjejalan di tengah kemacetan
lalu-lintas.
OLEH: DARMA ISMAYANTO
JIKA kita
berkunjung ke Kali Besar menjelang sore hari, sesekali sebuah perahu
melintasi kali. Bukan perahu pedagang, melainkan perahu kayu kecil,
dinakhodai seorang lelaki yang sibuk “memancing” sampah dengan ganconya.
Kegemerlapan Kali Besar sudah lama
hilang. Tak ada lagi pemandangan seperti abad ke-17-18 saat noni-noni
atau nyai Belanda melintas dengan pakaian serbamewah di atas kereta
kudanya. Kini, cuma ada pemandangan kendaraan umum seperti bajaj dan
mikrolet yang terjebak kemacetan lalu-lintas. Orang Belanda menyebut
Kali Besar di tepian muara Sungai Ciliwung ini dengan nama De Groote Rivier.
Tom Pires dalam catatan perjalanannya yang melegenda, Suma Oriental, menyebutkan
pada 1513 Kali Besar merupakan jalur transportasi utama dari Sunda
Kelapa menuju pusat Kerajaan Sunda (saat ini dikenal sebagai daerah
Bogor). Butuh waktu dua hari bagi para pelintas untuk mencapai Kerajaan
Sunda.
Jatuh ke tangan Belanda pada 1619,
pelabuhan Sunda Kelapa, yang waktu itu direbut dari kekuasaan Kerajaan
Demak dan telah berganti nama menjadi Jayakarta, segera kembali berganti
nama menjadi Batavia. Dikomandoi Jan Pieterzoen Coen, Batavia dibangun
dekat dengan muara Sungai Ciliwung. Desain kota yang akan dibangun Coen
menyerupai kota-kota di Belanda dengan kanal-kanal yang membelah kota
dan pepohonan rindang di kanan dan kirinya.
Melanjutkan tugas Coen, Gubernur
Jenderal Jacques Specx membawa perkembangan kota itu makin pesat. Pada
1631-1632, Kali Besar yang semula berkelok diluruskan menjadi parit
terurus dan lurus menerobos kota. Aliran Ciliwung pun jadi memanjang
dari Harmoni ke Kali Besar. Usai proyek rampung, pembangunan di kali
yang airnya mengalir di tengah pusat pemerintahan kota Batavia itu pun
makin marak. Dengan kanal-kanal yang mengelilingi kota, Batavia sempat
dijuluki “Venesia dari Timur”.
Di sepanjang Kali Besar, di masa
pemerintahan Belanda, bangunan-bangunan sederhana segera berganti
menjadi bangunan mewah bergaya Eropa. Pada abad ke-17, di masa awal
Batavia, sepanjang Kali Besar menjadi kawasan tempat tinggal elit dan
kemudian berkembang menjadi kawasan bisnis yang cukup riuh. Ini ditandai
dengan kemunculan gedung-gedung perkantoran dan pasar antara lain Pasar
Sayur, Pasar Pisang, Pasar Ayam, dan Pasar Beras.
Beberapa bangunan legendaris yang
berdiri di kawasan ini antara lain Toko Merah. Dinamai seperti itu
karena, selain interior rumah terbuat dari kayu bercat merah,
eksteriornya mendapat nuansa warna merah dari penggunaan material batu
bata. Pada 1851, gedung ini digunakan sebagai toko oleh warga keturunan
Tionghoa bernama Oey Liaw Kon. Berdiri pada 1730, awalnya bangunan dua
tingkat ini digunakan sebagai tempat tinggal Gustaaf Willem Baron G. Von
Imhoff, yang kemudian menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia-Belanda
(1743-1750). Selain Imhoff, gubernur jenderal lain yang pernah
menempati adalah Jacob Mossel, Petrus Albertus van der Parra, dan
Reinier de Klerk. Bangunan ini adalah hunian terbesar saat itu di
Batavia.
Selain Toko Merah, ada juga bangunan
rumah milik Baron Freidrich von Wurmb, seorang kaya berkebangsaan
Jerman. Wurmb adalah pendiri Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen atau Perhimpunan Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia.
Sebelum ditempati Wurmb, awalnya bangunan ini berfungsi sebagai kantor
Bank of China. Masyarakat Indonesia menyebutnya gedung Singa Kuning,
karena dua patung singa berwarna kuning berada di depan pintu bangunan.
Bangunan lain yang tak boleh dilupakan
adalah Jembatan Kota Intan. Jembatan yang berdiri di ujung muara Kali
Besar Timur ini dibangun pada 1628. Kapal-kapal yang mengangkut
komoditas dari dan ke Pelabuhan Sunda Kelapa dikutip cukai ketika
melewati jembatan jungkit itu. Selain itu, di Kali Besar Barat juga
berdiri ophaalbrug (jembatan kayu yang bisa diangkat).
Selama abad ke-17 hingga awal abad
ke-18, kawasan Kali Besar selalu ramai oleh berbagai aktivitas. Tidak
hanya perdagangan tapi juga percintaan. Sinyo-sinyo dan noni-noni yang
tengah kasmaran, seperti ditulis Alwi Shahab dalam Batavia Kota Hantu, saat malam terang bulan, terutama malam Minggu, menyanyi sambil memetik gitar menjelajahi kanal dengan perahu.
Namun tak ada yang abadi. Citra kawasan “cantik” sepanjang Kali Besar mulai memudar di akhir abad ke-18. Willard A. Hanna dalam Hikayat Jakarta
mencatat, gempa bumi yang bukan main dahsyatnya pada 4 dan 5 November
1699 menyebabkan gedung-gedung rusak parah serta mengacaukan persediaan
air dan sistem pengaliran air di seluruh daerah. Gempa itu, disertai
letusan gunung api dan hujan abu, menyebabkan terusan-terusan menjadi
penuh lumpur. Aliran sungai Ciliwung membawa banyak endapan.
John Crawfurd dalam bukunya Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countrie,
menulis bahwa gempa dan letusan gunung menyebabkan kali-kali di
Batavia, bahkan tanggul-tanggulnya, penuh dengan lumpur. Dan keadaan itu
menimbulkan wabah malaria yang menewaskan banyak orang. Banyak orang
juga terserang diare karena kebiasaan meminum langsung air aliran Kali
Besar tanpa direbus terlebih dulu. Padahal di masa itu Kali Besar sudah
tercemar.
Selain itu, endapan lumpur menyebabkan
kapal-kapal besar maupun sedang tak dapat melintas di Kali Besar. Kapal
besar terpaksa “parkir” di luar; barang-barangnya dipindahkan ke
sampan-sampan untuk dibawa melintas di Kali Besar. Sementara kapal
berukuran sedang harus ditarik dan didorong oleh para buruh jika ingin
melintasi Kali Besar.
Penanganan atas kondisi buruk itu baru
dilakukan pemerintahan H.W. Daendels (1808-1811) ketika Batavia berada
di bawah kekuasaan Prancis. Daendels merelokasi pusat kota dari kawasan
Kota ke Weltevreden (Gambir-Lapangan Banteng). Untuk mengatasi
kekurangan biaya, beberapa gedung di kawasan Kota dihancurkan, termasuk
benteng kota dan istana gubernur jenderal. Bahan bangunan yang masih
bisa dipakai diambil dan digunakan untuk membangun gedung di kawasan
Weltevreden.
Pembenahan terus dilakukan sampai 1817
di bawah pemerintahan Belanda yang ditegakkan kembali. Parit-parit yang
penuh genangan air ditimbun. Tanggul-tanggul kali yang rusak diperbaiki.
Ditangani langsung para insinyur yang cakap, pengerjaan itu berhasil
menormalkan aliran sungai.
Tak lagi menjadi pusat kota bukan
berarti sepanjang Kali Besar jadi mati. Justru dengan pengalihan pusat
kota, kawasan tersebut jadi makin terbuka. Sejak 1870 banyak gedung
perkantoran berdiri, terutama kantor perdagangan, transportasi,
perbankan, dan jasa ekspor-impor. Antara lain Chartered Bank of
India, Australia, dan China; perusahaan asuransi Zee en Brand
Verzekerings Maatschappij Sluyters & Co; The Ships Agency Ltd;
Internatio; dan penerbit buku Kolff & Co. Hingga 1960-an, Kali Besar
merupakan daerah pusat kantor-kantor perdagangan internasional.
Memasuki 1970, kawasan sepanjang Kali
Besar sebagai pusat bisnis mulai kehilangan pamor. Perlahan kawasan ini
mulai ditinggalkan. Seperti dilakukan Daendels, banyak orang memindahkan
kantor mereka ke daerah Selatan, yaitu di seputaran Gambir atau
Lapangan Banteng. Gedung-gedungnya, yang ditetapkan sebagai Bangunan
Cagar Budaya, kian tak terurus.
Sejak 1990-an pemerintah kota Jakarta
lewat berbagai program terus berikrar untuk merevitalisasi kawasan ini.
Tapi sepertinya hingga saat ini belum kentara hasilnya. “Venesia dari
Timur” belum kembali.