Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Batavia. Show all posts
Showing posts with label Batavia. Show all posts

Jawa di bawah Kekaisaran Perancis

 William V
 
Pada akhir abad ke 18, tepatnya pada tahun 1785, terjadi kerusuhan di Negeri Belanda antara kelompok “Orangists” yang mengingkan langgengnya kekuasaan William V dan kelompok “Patriot” yang menginginkan tegaknya demokrasi di pemerintahan, kelompok ini sangat terpengaruh dan terinspirasi dengan revolusi di Amerika. Namun demikian kedudukan William V sangat kuat karena didukung oleh Kerajaan Inggris yang kemudian meminta bantuan sekutunya di Eropa, Prusia, untuk membantu mengatasi kerusuhan yang terjadi dan menangkapi orang-orang “Patriot”. Karena kejadian tersebut hampir sekitar 40.000 anggota “Patriot” melarikan diri ke Perancis.
 Tahun 1789 pecahlah Revolusi Perancis dan kemudian berujung kepada aneksasi Perancis ke Negeri Belanda pada tahun 1795. Pasukan Perancis tidak menemui banyak kesulitan mengalahkan Belanda bahkan William V pun melarikan diri ke Inggris. Kemenangan Perancis atas Belanda sekaligus mendukung kaum “Patriot” untuk membuat sistem pemerintahan baru yang sejiwa dengan revolusi Perancis. Pada tahun yang sama kaum “Patriot” medirikan “Republik Batavia”.

Tetapi pada tahun 1806, Napoleon Bonaparte merubah “Republik Batavia” menjadi “Kerajaan Hollandia” sebagai kerajaan satelit bagi Perancis dengan menempatkan adiknya Louis Bonaparte sebagai rajanya. Karena Louis Bonaparte tidak begitu cakap memimpin Hollandia, maka pada bulan Juli tahun 1810, Napoleon menurunkan saudaranya itu dan menggabungkan Hollandia dengan Kekaisaran Perancis.

Kabar penggabungan Hollandia dengan Kekaisaran Perancis terdengar oleh Gubernur Jenderal Daendles di Pulau Jawa (Herman Willem Daendles tiba di Pulau Jawa pada Januari 1808) pada Januari 1811, kemudian ia memutuskan untuk segera menaikkan bendera Perancis di gedung-gedung pemerintah di Batavia.

“Periode Perancis” di Jawa tepatnya hanya berlangsung tujuh bulan, yaitu dari Februari hingga Agustus 1811.
Pada dasarnya saat itu Kekaisaran Perancis hanya memiliki satu koloni saja di nusantara, yaitu Pulau Jawa, yang menurut Benard de Saxe Weimar Eisenbach adalah, “Satu-satunya yang tegak di Samudera Hindia seperti menantang kekuasaan Inggris”. Sementara itu koloni-koloni yang lain telah jatuh ke tangan Inggris sebagai akibat perpanjangan dari perperangan Perancis dan Inggris di Benua Eropa, diantaranya :
(a) Ambon jatuh ke tangan Inggris pada tanggal 19 Februari 1810
(b) Menado pada tanggal 24 Juni 1810
(c) Ternate pada tanggal 26 Agustus 1810
(d) dan lainnya.

Inggris sendiri mendarat di Cilincing pada Agustus 1811 di bawah pimpinan Jenderal Sir Auchmuty. Tentara Belanda mundur sampai ke Striswijk (Salemba) serta Meester Cornelis (Jatinegara) dan akhirnya pasukan Kekaisaran Perancis itu menyerah setelah pertempuran di sekitar daerah Kramat.. Kekuasaan Kekaisaran Perancis di Pulau Jawa secara resmi berakhir pada tanggal 13 September 1811.

Pada tahun 1839, M. Mijer menuliskan, “Suatu kesalahan politik yang dilakukan Daendles yang tidak dapat dimaafkan adalah kepercayaannya yang terlalu berlebihan terhadap keampuhan dan jiwa besar Kaisar Perancis. Kalau saja ia mempertahankan pulau itu untuk negerinya sendiri, dia akan mendapatkan kejayaan yang abadi dimata rekan-rekannya, dimata generasi penerus …”

Pustaka :
(1) Orang Indonesia & Orang Perancis. Bernard Dorleans. Kepustakaan Populer Gramedia. 2006.
(2) http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_the_Netherlands

Kisah Sukarno dan Jakarta Yang Bercerita

Sebuah kota bukan sekedar tembok-tembok beton, ia adalah susunan narasi..sebuah penceritaan

Minggu ini warga DKI Jakarta akan mencari Gubernurnya, saya rasa sudah cukuplah kita memahami siapa yang akan memimpin Jakarta sesuai dengan pilihan kita dan aturan demokrasi yang fair, mungkin yang terbaik di hari minggu yang rileks ini kita bercerita bagaimana sebuah kota menjadi tata ruang yang bercerita.

Dari seluruh pemimpin-pemimpin Indonesia sepanjang negeri ini berdiri. Mungkin yang paling terobsesi dengan Jakarta adalah Sukarno, Dia-lah yang mengubah wajah Jakarta yang tadinya hanya berpusat sebagai tempat kongkow sosialita Hindia Belanda yang berpusar di Harmoni Societet, menjadi skup Jakarta yang meluas, sebuah Jakarta yang tidak terbatas hanya Harmoni Societet, tetapi Jakarta yang hidup di jantung degup rakyat banyak, sebuah etalase bagi panggung kerakyatan. Bila di masa De Jonge, Batavia adalah role model keberhasilan kolonial dalam pemerintahan tata kota dengan pembangunan perumahan elite bagi juragan-juragan perkebunan, jenderal-jenderal Hindia Belanda dan pejabat tinggi Gubernemen, maka bagi Sukarno : “Jakarta bukan saja kemenangan rakyat untuk berdaulat, tapi juga menceritakan pada dunia bagaimana rakyat hidup di tengah kota, budaya urban rakyat kecil tidak digusur oleh pemodal”Sukarno, sendiri secara terus terang berkata “Aku menyukai orang-orang mencuci di sepanjang kanal Gadjah Mada-Hayam Wuruk”

Bagi Sukarno, Jakarta adalah sebuah penceritaan kemenangan, sebuah titik nol kilometer nyawa yang dibangun untuk menghidupkan sebuah bangsa. -Bila di akhir masa kekuasaannya, ia diledek oleh para mahasiswa KAMI sebagai orang tua pikun “Patung dikira celana”. Maka sesungguhnya, Bung Karno menangis melihat tingkah anak muda Indonesia yang gagap memahami seni, gagal mencintai kebudayaan.
Ada satu sisi yang menarik dalam konsep penceritaan tata ruang kota Sukarno untuk Jakarta, terutama sekali soal monumen. -Sukarno memang pada awalnya adalah seorang Arsitek, ketika menjadi mahasiswa ia memiliki nilai sempurna untuk menggambar. Imajinasinya hidup, bila ia menggambar sesuatu ia tidak sekedar menggambar objek tapi menggambar bagaimana objek itu bergerak dan bekerja, penafsiran bukanlah sekedar suatu yang beku dan mati, ia menafsirkan dengan amat lugas, ia paham ruang dialektik suatu karya.

Kekaguman Sukarno dengan monumen adalah ketika ia mengunjungi Rusia pada medio tahun 1950-an,  Ia melihat sendiri bagaimana patung-patung dan monumen menjadi gambaran cita-cita sebuah bangsa. Tapi puncak kekaguman Sukarno bukanlah di Moskow, namun ketika ia mengunjungi Amerika Serikat pada tahun 1956 saat ia melihat Monumen Kemerdekaan Amerika Serikat, sebuah patung obelisk dengan julangannya yang meninju langit, disitu Sukarno terdiam bahkan hatinya bergetar, dia berpikir “dari patung inilah Jefferson memulai pemikirannya, seluruh bangsa bergerak menuju pembebasannya”. Sukarno juga mengunjungi Mesir, ia berdiri di depan Piramida, lalu ia mengunjungi sungai Nil bersama Gamal Abdel Nasser, Sukarno paham bangsa Mesir baru tak perlu bikin monumen karena sejarahnya sendiri adalah Monumen.

Di Jakarta Sukarno kemudian gandrung membangun jiwa dari sebuah bangsa ini. Pertama kali yang ia bangun adalah Monumen Nasional.  Konsep Monumen Nasional (Monas) sebenarnya diinginkan Sukarno karena ia terobsesi dengan Menara Eiffel, kepada beberapa orang Sukarno mengeluh karena Presiden De Gaulle memusuhinya dan tak mengundangnya ke Paris, padahal ia amat ingin ke Paris dan melihat Eiffel, Sukarno pernah membaca satu cerita yang ditulis pada sebuah koran tentang bagaimana berkebudayaannya kota Paris, sehingga ketika pasukan NAZI Jerman masuk, salah seorang komandan pasukannya menangis karena harus mengebom sisi-sisi kota. -Bagaimana bisa saya menghancurkan kebudayaan. Kata komandan Pasukan NAZI Jerman itu, seorang Kolonel Angkatan Darat-. Sukarno menceritakannya ini pada satu pagi di tahun 1953, dengan seorang arsitek ternama bernama Silaban. Tapi rencana ini ditunda karena kisruh politik, soal Parlemen yang melebar ke pengusiran warga Belanda sampai pada pemberontakan daerah.

Lalu Bung Karno berkhayal dan berimajinasi,  ”Apakah kita bisa menjadikan Jakarta sebagai ‘Tweede de Eiffel?’ apakah bisa Eiffel yang nyawa orang Perancis bisa dibangun dalam nyawa orang Jakarta, dengan apa rakyat Indonesia mengenangnya. “Silaban, saya paham setiap manusia pasti mengenang dimana ia berasal, dimana ia lahir, orang Amerika Serikat mengenang negaranya dengan Gedung Putih dan gedung-gedung yang tinggi itu, orang Perancis mengenang menara Eiffel, bagaimana dengan orang Indonesia? dengan apa ia mengenang negaranya? ‘ Sukarno menatap mata Silaban dengan amat tajam.

Saat itu tahun 1953sebagai Presiden RI ia tidak begitu sibuk, karena pekerjaan sebagai pemimpin praktis diambil Perdana Menteri di Kabinet, ia tidak lagi memegang ruang eksekusi pemerintahan. Ia hanya sekedar pralambang dari kepemimpinan politik. Saat itu Indonesia menganut Demokrasi Parlementer. – Di tahun 1954 diadakan sayembara membangun Monumen Nasional. Sukarno sudah mendapatkan data-data bahwa kemungkinan Jepang akan membayar biaya ganti rugi Perang. Sementara di Parlemen sendiri Konferensi Medja Bundar 1949 digugat oleh kelompok Murba, mereka minta dibatalkan. Sukarno mengambil kesempatan politik : -Mengusir Belanda, menjadikan Proyek perebutan Irian Barat sebagai politik diam-diam menendangi pantat orang Parlemen dan menjadikan Revolusi Nasional pengalihan aset sebagai pusat perjuangan baru. Sukarno berhitung dana Pampasan Jepang akan cukup membiayai proyek-proyek baru tersebut. Ia juga akan menjadikan Jakarta sebagai kota lambang Revolusi.

Pada tahun 1960, sudah masuk sekitar 100-an karya konsep Monumen Nasional, namun panitia sama sekali tak ada yang meloloskan. -Akhirnya dengan sedikit putus asa, panitia menunjuk Silaban untuk membuat gambarnya, namun Silaban membuat gambar dengan nada spektukular, sangat luar biasa besar. Ketika diajukan kepada Bung Karno, Bung Karno menggeleng-geleng “Biayanya terlalu tinggi, ekonomi kita tidak cukup biayai ini” kata Bung Karno. Silaban membalasnya dengan agak ketus “Ya, tunggu saja Pak sampai ekonomi kita membaik”. Sukarno melotot dan berkata “Aku bukan orang yang diciptakan untuk menunggu, kerjakan tapi sesuaikan dengan keadaan”


Akhirnya Silaban tetap mengerjakan dengan dibantu RM Soedarsono sebuah monumen bergaya minimalis tapi begitu bernyawa, di atas lahan 80 hektar. Sukarno menggunakan kebiasaan tata ruang kabupaten untuk membangun tata ruang kota DKI. Dalam tata ruang kabupaten ada ciri pokok yang dikenal : Alun-Alun, Masjid Agung di sebelah barat Alun-Alun, Keraton Kadipaten di sebelah utara Alun-Alun dan Kantor Kepatihan Kadipaten dan Karesidenan di sebelah selatan Kadipaten. -Nuansa ini diikuti Bung Karno, ia memerintahkan tanah Ikada 80 Hektar adalah Alun-Alun Indonesia, sebuah lapangan kebudayaan.

Pembangunan Monas Medio tahun 1960-an (Sumber Photo : LIFE)

Monas adalah ‘Lapangan Kebudayaan’ disitu Bung Karno bermimpi besar, akan ada panggung teater, Museum dan seluruh pergerakan kesenian rakyat bermula disitu, kemudian dari titik garis lurus Monas akan bertemu dengan Gelora Bung Karno yang melambangkan ‘Suasana Gerak Olah Raga Rakyat’ Bung Karno bermimpi : Kelak disuatu hari bangsa ini akan menjadi bangsa besar, dimana Rakyatnya yang bebas merdeka  membangun kehidupan, menguasai olahraga dunia”.  Stadion Gelora Bung Karno Senayan di masanya adalah Stadion paling besar sedunia.

Bung Karno juga membangun patung-patung, namun ada ciri khas Bung Karno yaitu bila ia membangun Patung, ia membangun sebuah penceritaan, sudut-sudut kota bernarasi. Seperti misalnya Patung Selamat Datang, ia membuat dua orang melambai, ‘Datanglah datang di Tanah Jakarta, Tanah Gerbang Indonesia”. Begitu kata M. Yamin, salah seorang Menteri Sukarno yang amat gandrung dengan Kebudayaan,  melihat Hotel Indonesia dan meninjau rencana pembuatan Patung Selamat Datang, tak lama kemudian M Yamin meninggal sebelum sempat pembukaan Hotel Indonesia dan peresmian Patung Selamat Datang.

Di Cikini ada hadiah Patung yang teramat cantik dari Pemerintahan Moskow,   Patung ini dibuat oleh ayah anak Matvel Manizer dan Otto Manizer, seorang ahli pahat dari Sovjet Uni. Patung ini bercerita seorang anak bangsa dari kaum tani berjuang pergi bertempur dan ibunya menangis. Bung Karno karena patung bukan sekedar sosok, tapi Patung adalah sebuah media reflektif yang dihentikan oleh waktu sebagai cermin bagaimana kenangan disimpan di laci-laci langit pikiran banyak orang.

Konflik Sukarno-Suharto membuat Jakarta terkepung tentara (Sumber Photo : LIFE)

Di akhir pemerintahannya ketika pasukan tak dikenal mengepung Istana Negara, Gubernur DKI yang juga teman ngobrol Bung Karno, Henk Ngantung ditangkap tentara Pro Suharto karena ia bagian dari Lekra, seluruh kawan-kawan Bung Karno satu persatu diciduk. Bung Karno sendirian dalam ruang sunyi-nya. Ia memilih Ali Sadikin sebagai ganti Sudiro, Sukarno tak begitu suka dengan Sudiro yang terlalu birokratis, ia ingin Ali paham bagaimana cara pikir Sukarno.

Soeharto tahu bahwa pengangkatan Ali Sadikin adalah ‘bargain’ diam-diam dengan Sukarno bahwa Angkatan Darat akan berhadapan ‘head to head’ dengan Angkatan Laut, apalagi di Surabaya Panglima KKo Hartono sudah siap perang dengan Soeharto. “Tinggal tunggu perintah Bung Karno”.  Tapi Soeharto tak terpancing untuk mendongkel Ali, bahkan Ali didiamkan sampai tahun 1977.

Justru Jakarta di Jaman Ali Sadikin inilah, mengalami lompatan luar biasa.  Ali Sadikin dijadikan barometer untuk mengukur tingkat keberhasilan memimpin Jakarta. Ali bukanlah pemimpin DKI yang sekedar nge boss, tapi ia benar-benar membawa Jakarta melompati sejarah, dari sekedar The Big Village menjadi kota modern yang berkebudayaan sesuai dengan apa yang diinginkan Sukarno.

Di tangan Ali, Jakarta dibawa sebagai kota dengan warganya bergerak. Ia membangun gelanggang-gelanggang kesenian, ia membangun pasar-pasar rakyat, ia membangun jalan-jalan. Di tengah masa kekuasaan Suharto yang tak begitu menyukainya dan Ali disuruh nyari duit sendiri untuk pembangunan DKI padahal Pemerintah Pusat baru saja dapat bantuan besar dari negara maju. Ali Jalan terus!…ia pakai dana judi untuk bangun Jakarta dan ini ia bertarung dengan banyak orang. Sikap keras Ali dikenang banyak orang sebagai tonggak nol kilometer kepemimpinan DKI.

Tugu Tani, Landmark terbesar DKI setelah Monas Pernah terancam digusur karena dangkalnya penafsiran sejarah atas tata ruang kota (Sumber Photo : LIFE)

Setelah era Sukarno dan mundurnya Ali Sadikin di tahun 1977, Jakarta hanya sekedar kota yang bergerak tanpa arah.  Manusia Indonesia gagal mengapresiasi sejarah. Ada cerita soal Patung-Patung di Jakarta yang menarik,  saat itu di akhir tahun 1982 Letjen (Purn) Sarwo Edhie Wibowo berkata dalam sebuah wawancara yang momennya waktu itu adalah ‘Peringatan hari kesaktian Pancasila’. Sarwedi berkata : “Patung itu patung Pak Tani Komunis. Mana ada petani kita sikap angkuhnya begitu. Tidak ada! Di Indonesia mana ada petani yang angkuh? Petani kita sopan-sopan,” Lalu ucapan itu dibumbui kalimat provokatif : “Kalau patung Pak Tani BTI (Barisan Tani Indonesia-organisasi PKI Red), apa haru kita pasang terus?”. Cetusan Sarwedi saat itu menjadi polemik yang amat menarik dan berita di koran-koran. Berbondong-bondong pejabat lain menjilat ucapan Sarwedi, seperti Daoed Joesoef yang katanya orang berbudaya itu ia berkata : “. “Kalau benar patung Pak Tani dan istrinya itu melambangkan petani bersenjata seperti dalam pikiran negara-negara komunis, sudah jelas untuk zaman sekarang sudah tidak tepat lagi,”

Untung ucapan-ucapan penggusuran Patung Pak Tani di counter oleh Adam Malik, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI, bung Kancil yang terkenal dengan prinsip hidupnya ’semua bisa diatur’.  berkata keras :
“Salah sama sekali jika dikatakan bahwa patung itu berbau kolone kelima,” kata Wapres. Menurut Adam Malik, tatkala mengunjungi Uni Soviet sekitar 1960, Bung Karno memintanya–waktu itu ia menjabat Dubes di Moskow –mencari pematung terkenal Rusia, Manizer, untuk membuat patung perjuangan pembebasan Irian Barat. “Dengan demikian patung tersebut bukan hadiah atau hasil pemikiran orang Soviet, melainkan pesanan dan pemikiran Bung Karno sendiri,”
(Majalah Tempo, 16 Oktober 1982)

Soeharto tentu berhati-hati melihat polemik ini, waktu itu Gubernur DKI R Suprapto juga tidak menanggapi ucapan emosional Sarwo Edhie Wibowo soal patung Pak Tani itu.  Dan sampai sekarang Patung Pak Tani tetap menjadi simbol prapatan Cikini, sebuah landmark kota Jakarta yang tak tergusur.

Tapi apakah kemudian Patung Pak Tani yang selamat, tentu tidak dimasa setelah Ali Sadikin banyak patung yang dipindah, yang paling terkenal adalah pemindahan patung Diponegoro karya pematung Italia yang sudah amat terkenal di Monas dipindah ke Jalan Diponegoro tanpa memperhatikan konteks.

Di masa Sutiyoso pernah ada ide bahwa setiap jalan yang bernama Pahlawan akan dibuatkan patung-nya,  ide Sutiyoso ini kelak jadi tertawaan banyak orang karena selain berbiaya besar, bagaimana patung adalah penceritaan bukan hanya membangun sosok yang kaku. Di masa Orde Baru yang terkenal dengan sikap ‘Anti Intelektual’ terhadap kebudayaan yang menyangkut ruang kekuasaan maka Patung-Patung yang didirikan di masa itupun berkisar soal sosok, soal perkelahian seperti pejuang yang mengangkat bambu runcing, jarang dibangun patung yang bercerita, satu-satunya patung yang bercerita dan menjadi landmark di masa Orde Baru adalah patung Arjuna Wijaya yang dibangun Nyoman Nuarta, Suharto menggambarkan dirinya di masa pertarungan maraton dengan Bung Karno, selain semar yang jadi idola Suharto, Suharto yang gemar berpuasa itu selalu mengindentikkan dirinya dengan Arjuna, sementara Bung Karno diidentikkan dengan Adipati Karno, pertarungan Arjuna dengan Adipati Karno dimana di pihak Arjuna kusir kudanya adalah Kresna dan dipihak Adipati Karno kusir kudanya adalah Prabu Salya.  Suharto mendeskripsikan puncak Mahabharata adalah pertarungan antara Arjuna dan saudara kandung lain bapak, Adipati Karno. Dan sejarah memang mencatat Suharto memenangkan pertempurannya 1966/1967 sementara Sukarno di internir di wisma Yaso, terpuruk dan menua, seperti Patung Pancoran yang dilibas dua baris jalan layang.

Anton DH Nugrahanto.

(Dimuat pertama kali di Kompasiana, bila mencopas harus ditulis nama penulis dan media kompasiana sebagai media pertama pemuatan tulisan).




Menyusuri Venesia dari Timur


Pemandangan nona dan nyai Belanda yang semarak sudah digantikan dengan bajaj dan mikrolet yang berjejalan di tengah kemacetan lalu-lintas.
OLEH: DARMA ISMAYANTO

JIKA kita berkunjung ke Kali Besar menjelang sore hari, sesekali sebuah perahu melintasi kali. Bukan perahu pedagang, melainkan perahu kayu kecil, dinakhodai seorang lelaki yang sibuk “memancing” sampah dengan ganconya.

Kegemerlapan Kali Besar sudah lama hilang. Tak ada lagi pemandangan seperti abad ke-17-18 saat noni-noni atau nyai Belanda melintas dengan pakaian serbamewah di atas kereta kudanya. Kini, cuma ada pemandangan kendaraan umum seperti bajaj dan mikrolet yang terjebak kemacetan lalu-lintas. Orang Belanda menyebut Kali Besar di tepian muara Sungai Ciliwung ini dengan nama De Groote Rivier.
Tom Pires dalam catatan perjalanannya yang melegenda, Suma Oriental, menyebutkan pada 1513 Kali Besar merupakan jalur transportasi utama dari Sunda Kelapa menuju pusat Kerajaan Sunda (saat ini dikenal sebagai daerah Bogor). Butuh waktu dua hari bagi para pelintas untuk mencapai Kerajaan Sunda.

Jatuh ke tangan Belanda pada 1619, pelabuhan Sunda Kelapa, yang waktu itu direbut dari kekuasaan Kerajaan Demak dan telah berganti nama menjadi Jayakarta, segera kembali berganti nama menjadi Batavia. Dikomandoi Jan Pieterzoen Coen, Batavia dibangun dekat dengan muara Sungai Ciliwung. Desain kota yang akan dibangun Coen menyerupai kota-kota di Belanda dengan kanal-kanal yang membelah kota dan pepohonan rindang di kanan dan kirinya.

Melanjutkan tugas Coen, Gubernur Jenderal Jacques Specx membawa perkembangan kota itu makin pesat. Pada 1631-1632, Kali Besar yang semula berkelok diluruskan menjadi parit terurus dan lurus menerobos kota. Aliran Ciliwung pun jadi memanjang dari Harmoni ke Kali Besar. Usai proyek rampung, pembangunan di kali yang airnya mengalir di tengah pusat pemerintahan kota Batavia itu pun makin marak. Dengan kanal-kanal yang mengelilingi kota, Batavia sempat dijuluki “Venesia dari Timur”.

Di sepanjang Kali Besar, di masa pemerintahan Belanda, bangunan-bangunan sederhana segera berganti menjadi bangunan mewah bergaya Eropa. Pada abad ke-17, di masa awal Batavia, sepanjang Kali Besar menjadi kawasan tempat tinggal elit dan kemudian berkembang menjadi kawasan bisnis yang cukup riuh. Ini ditandai dengan kemunculan gedung-gedung perkantoran dan pasar antara lain Pasar Sayur, Pasar Pisang, Pasar Ayam, dan Pasar Beras.
 
Beberapa bangunan legendaris yang berdiri di kawasan ini antara lain Toko Merah. Dinamai seperti itu karena, selain interior rumah terbuat dari kayu bercat merah, eksteriornya mendapat nuansa warna merah dari penggunaan material batu bata. Pada 1851, gedung ini digunakan sebagai toko oleh warga keturunan Tionghoa bernama Oey Liaw Kon. Berdiri pada 1730, awalnya bangunan dua tingkat ini digunakan sebagai tempat tinggal Gustaaf Willem Baron G. Von Imhoff, yang kemudian menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia-Belanda (1743-1750). Selain Imhoff, gubernur jenderal lain yang pernah menempati adalah Jacob Mossel, Petrus Albertus van der Parra, dan Reinier de Klerk. Bangunan ini adalah hunian terbesar saat itu di Batavia.

Selain Toko Merah, ada juga bangunan rumah milik Baron Freidrich von Wurmb, seorang kaya berkebangsaan Jerman. Wurmb adalah pendiri Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen atau Perhimpunan Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia. Sebelum ditempati Wurmb, awalnya bangunan ini berfungsi sebagai kantor Bank of China. Masyarakat Indonesia menyebutnya gedung Singa Kuning, karena dua patung singa berwarna kuning berada di depan pintu bangunan.

Bangunan lain yang tak boleh dilupakan adalah Jembatan Kota Intan. Jembatan yang berdiri di ujung muara Kali Besar Timur ini dibangun pada 1628. Kapal-kapal yang mengangkut komoditas dari dan ke Pelabuhan Sunda Kelapa dikutip cukai ketika melewati jembatan jungkit itu. Selain itu, di Kali Besar Barat juga berdiri ophaalbrug (jembatan kayu yang bisa diangkat).

Selama abad ke-17 hingga awal abad ke-18, kawasan Kali Besar selalu ramai oleh berbagai aktivitas. Tidak hanya perdagangan tapi juga percintaan. Sinyo-sinyo dan noni-noni yang tengah kasmaran, seperti ditulis Alwi Shahab dalam Batavia Kota Hantu, saat malam terang bulan, terutama malam Minggu, menyanyi sambil memetik gitar menjelajahi kanal dengan perahu.

Namun tak ada yang abadi. Citra kawasan “cantik” sepanjang Kali Besar mulai memudar di akhir abad ke-18. Willard A. Hanna dalam Hikayat Jakarta mencatat, gempa bumi yang bukan main dahsyatnya pada 4 dan 5 November 1699 menyebabkan gedung-gedung rusak parah serta mengacaukan persediaan air dan sistem pengaliran air di seluruh daerah. Gempa itu, disertai letusan gunung api dan hujan abu, menyebabkan terusan-terusan menjadi penuh lumpur. Aliran sungai Ciliwung membawa banyak endapan.

John Crawfurd dalam bukunya Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countrie, menulis bahwa gempa dan letusan gunung menyebabkan kali-kali di Batavia, bahkan tanggul-tanggulnya, penuh dengan lumpur. Dan keadaan itu menimbulkan wabah malaria yang menewaskan banyak orang. Banyak orang juga terserang diare karena kebiasaan meminum langsung air aliran Kali Besar tanpa direbus terlebih dulu. Padahal di masa itu Kali Besar sudah tercemar.

Selain itu, endapan lumpur menyebabkan kapal-kapal besar maupun sedang tak dapat melintas di Kali Besar. Kapal besar terpaksa “parkir” di luar; barang-barangnya dipindahkan ke sampan-sampan untuk dibawa melintas di Kali Besar. Sementara kapal berukuran sedang harus ditarik dan didorong oleh para buruh jika ingin melintasi Kali Besar.

Penanganan atas kondisi buruk itu baru dilakukan pemerintahan H.W. Daendels (1808-1811) ketika Batavia berada di bawah kekuasaan Prancis. Daendels merelokasi pusat kota dari kawasan Kota ke Weltevreden (Gambir-Lapangan Banteng). Untuk mengatasi kekurangan biaya, beberapa gedung di kawasan Kota dihancurkan, termasuk benteng kota dan istana gubernur jenderal. Bahan bangunan yang masih bisa dipakai diambil dan digunakan untuk membangun gedung di kawasan Weltevreden.
 
Pembenahan terus dilakukan sampai 1817 di bawah pemerintahan Belanda yang ditegakkan kembali. Parit-parit yang penuh genangan air ditimbun. Tanggul-tanggul kali yang rusak diperbaiki. Ditangani langsung para insinyur yang cakap, pengerjaan itu berhasil menormalkan aliran sungai.

Tak lagi menjadi pusat kota bukan berarti sepanjang Kali Besar jadi mati. Justru dengan pengalihan pusat kota, kawasan tersebut jadi makin terbuka. Sejak 1870 banyak gedung perkantoran berdiri, terutama kantor perdagangan, transportasi, perbankan, dan jasa ekspor-impor. Antara lain Chartered Bank of India, Australia, dan China; perusahaan asuransi Zee en Brand Verzekerings Maatschappij Sluyters & Co; The Ships Agency Ltd; Internatio; dan penerbit buku Kolff & Co. Hingga 1960-an, Kali Besar merupakan daerah pusat kantor-kantor perdagangan internasional.

Memasuki 1970, kawasan sepanjang Kali Besar sebagai pusat bisnis mulai kehilangan pamor. Perlahan kawasan ini mulai ditinggalkan. Seperti dilakukan Daendels, banyak orang memindahkan kantor mereka ke daerah Selatan, yaitu di seputaran Gambir atau Lapangan Banteng. Gedung-gedungnya, yang ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya, kian tak terurus.
 
Sejak 1990-an pemerintah kota Jakarta lewat berbagai program terus berikrar untuk merevitalisasi kawasan ini. Tapi sepertinya hingga saat ini belum kentara hasilnya. “Venesia dari Timur” belum kembali.

Terkait Berita: