Sebuah kota bukan sekedar tembok-tembok beton, ia adalah susunan narasi..sebuah penceritaan
Minggu ini warga DKI Jakarta akan mencari Gubernurnya, saya rasa
sudah cukuplah kita memahami siapa yang akan memimpin Jakarta sesuai
dengan pilihan kita dan aturan demokrasi yang fair, mungkin yang terbaik
di hari minggu yang rileks ini kita bercerita bagaimana sebuah kota
menjadi tata ruang yang bercerita.
Dari seluruh pemimpin-pemimpin Indonesia sepanjang negeri ini
berdiri. Mungkin yang paling terobsesi dengan Jakarta adalah Sukarno,
Dia-lah
yang mengubah wajah Jakarta yang tadinya hanya berpusat sebagai tempat
kongkow sosialita Hindia Belanda yang berpusar di Harmoni Societet,
menjadi skup Jakarta yang meluas, sebuah Jakarta yang tidak terbatas
hanya Harmoni Societet, tetapi Jakarta yang hidup di jantung degup
rakyat banyak, sebuah etalase bagi panggung kerakyatan. Bila di masa De
Jonge, Batavia adalah
role model keberhasilan kolonial dalam
pemerintahan tata kota dengan pembangunan perumahan elite bagi
juragan-juragan perkebunan, jenderal-jenderal Hindia Belanda dan pejabat
tinggi Gubernemen, maka bagi Sukarno :
“Jakarta bukan saja
kemenangan rakyat untuk berdaulat, tapi juga menceritakan pada dunia
bagaimana rakyat hidup di tengah kota, budaya urban rakyat kecil tidak
digusur oleh pemodal”Sukarno, sendiri secara terus terang berkata “Aku menyukai orang-orang mencuci di sepanjang kanal Gadjah Mada-Hayam Wuruk”
Bagi Sukarno, Jakarta adalah sebuah penceritaan kemenangan, sebuah
titik nol kilometer nyawa yang dibangun untuk menghidupkan sebuah
bangsa. -Bila di akhir masa kekuasaannya, ia diledek oleh para mahasiswa
KAMI sebagai orang tua pikun
“Patung dikira celana”. Maka
sesungguhnya, Bung Karno menangis melihat tingkah anak muda Indonesia
yang gagap memahami seni, gagal mencintai kebudayaan.
Ada satu sisi yang menarik dalam konsep penceritaan tata ruang kota
Sukarno untuk Jakarta, terutama sekali soal monumen. -Sukarno memang
pada awalnya adalah seorang Arsitek, ketika menjadi mahasiswa ia
memiliki nilai sempurna untuk menggambar. Imajinasinya hidup, bila ia
menggambar sesuatu ia tidak sekedar menggambar objek tapi menggambar
bagaimana objek itu bergerak dan bekerja, penafsiran bukanlah sekedar
suatu yang beku dan mati, ia menafsirkan dengan amat lugas, ia paham
ruang dialektik suatu karya.
Kekaguman Sukarno dengan monumen adalah ketika ia mengunjungi Rusia
pada medio tahun 1950-an, Ia melihat sendiri bagaimana patung-patung
dan monumen menjadi gambaran cita-cita sebuah bangsa. Tapi puncak
kekaguman Sukarno bukanlah di Moskow, namun ketika ia mengunjungi
Amerika Serikat pada tahun 1956 saat ia melihat Monumen Kemerdekaan
Amerika Serikat, sebuah patung obelisk dengan julangannya yang meninju
langit, disitu Sukarno terdiam bahkan hatinya bergetar, dia berpikir
“dari patung inilah Jefferson memulai pemikirannya, seluruh bangsa
bergerak menuju pembebasannya”. Sukarno juga mengunjungi Mesir, ia
berdiri di depan Piramida, lalu ia mengunjungi sungai Nil bersama Gamal
Abdel Nasser, Sukarno paham bangsa Mesir baru tak perlu bikin monumen
karena sejarahnya sendiri adalah Monumen.
Di Jakarta Sukarno kemudian gandrung membangun jiwa dari sebuah
bangsa ini. Pertama kali yang ia bangun adalah Monumen Nasional. Konsep
Monumen Nasional (Monas) sebenarnya diinginkan Sukarno karena ia
terobsesi dengan Menara Eiffel, kepada beberapa orang Sukarno mengeluh
karena Presiden De Gaulle memusuhinya dan tak mengundangnya ke Paris,
padahal ia amat ingin ke Paris dan melihat Eiffel, Sukarno pernah
membaca satu cerita yang ditulis pada sebuah koran tentang bagaimana
berkebudayaannya kota Paris, sehingga ketika pasukan NAZI Jerman masuk,
salah seorang komandan pasukannya menangis karena harus mengebom
sisi-sisi kota.
-Bagaimana bisa saya menghancurkan kebudayaan. Kata komandan Pasukan NAZI Jerman itu, seorang Kolonel Angkatan Darat-. Sukarno
menceritakannya ini pada satu pagi di tahun 1953, dengan seorang
arsitek ternama bernama Silaban. Tapi rencana ini ditunda karena kisruh
politik, soal Parlemen yang melebar ke pengusiran warga Belanda sampai
pada pemberontakan daerah.
Lalu Bung Karno berkhayal dan berimajinasi, ”Apakah kita bisa menjadikan Jakarta sebagai
‘Tweede de Eiffel?’ apakah
bisa Eiffel yang nyawa orang Perancis bisa dibangun dalam nyawa orang
Jakarta, dengan apa rakyat Indonesia mengenangnya.
“Silaban, saya
paham setiap manusia pasti mengenang dimana ia berasal, dimana ia lahir,
orang Amerika Serikat mengenang negaranya dengan Gedung Putih dan
gedung-gedung yang tinggi itu, orang Perancis mengenang menara Eiffel,
bagaimana dengan orang Indonesia? dengan apa ia mengenang negaranya? ‘ Sukarno menatap mata Silaban dengan amat tajam.
Saat itu tahun 1953
, sebagai Presiden RI ia tidak begitu
sibuk, karena pekerjaan sebagai pemimpin praktis diambil Perdana Menteri
di Kabinet, ia tidak lagi memegang ruang eksekusi pemerintahan. Ia
hanya sekedar pralambang dari kepemimpinan politik. Saat itu Indonesia
menganut Demokrasi Parlementer. – Di tahun 1954 diadakan sayembara
membangun Monumen Nasional. Sukarno sudah mendapatkan data-data bahwa
kemungkinan Jepang akan membayar biaya ganti rugi Perang. Sementara di
Parlemen sendiri Konferensi Medja Bundar 1949 digugat oleh kelompok
Murba, mereka minta dibatalkan. Sukarno mengambil kesempatan politik :
-Mengusir Belanda, menjadikan Proyek perebutan Irian Barat sebagai
politik diam-diam menendangi pantat orang Parlemen dan menjadikan
Revolusi Nasional pengalihan aset sebagai pusat perjuangan baru. Sukarno
berhitung dana Pampasan Jepang akan cukup membiayai proyek-proyek baru
tersebut. Ia juga akan menjadikan Jakarta sebagai kota lambang Revolusi.
Pada tahun 1960, sudah masuk sekitar 100-an karya konsep Monumen
Nasional, namun panitia sama sekali tak ada yang meloloskan. -Akhirnya
dengan sedikit putus asa, panitia menunjuk Silaban untuk membuat
gambarnya, namun Silaban membuat gambar dengan nada spektukular, sangat
luar biasa besar. Ketika diajukan kepada Bung Karno, Bung Karno
menggeleng-geleng “Biayanya terlalu tinggi, ekonomi kita tidak cukup
biayai ini” kata Bung Karno. Silaban membalasnya dengan agak ketus “Ya,
tunggu saja Pak sampai ekonomi kita membaik”. Sukarno melotot dan
berkata “Aku bukan orang yang diciptakan untuk menunggu, kerjakan tapi
sesuaikan dengan keadaan”
Akhirnya Silaban tetap mengerjakan dengan dibantu RM Soedarsono
sebuah monumen bergaya minimalis tapi begitu bernyawa, di atas lahan 80
hektar. Sukarno menggunakan kebiasaan tata ruang kabupaten untuk
membangun tata ruang kota DKI. Dalam tata ruang kabupaten ada ciri pokok
yang dikenal : Alun-Alun, Masjid Agung di sebelah barat Alun-Alun,
Keraton Kadipaten di sebelah utara Alun-Alun dan Kantor Kepatihan
Kadipaten dan Karesidenan di sebelah selatan Kadipaten. -Nuansa ini
diikuti Bung Karno, ia memerintahkan tanah Ikada 80 Hektar adalah
Alun-Alun Indonesia, sebuah lapangan kebudayaan.
Pembangunan Monas Medio tahun 1960-an (Sumber Photo : LIFE)
Monas adalah ‘Lapangan Kebudayaan’ disitu Bung Karno bermimpi besar,
akan ada panggung teater, Museum dan seluruh pergerakan kesenian rakyat
bermula disitu, kemudian dari titik garis lurus Monas akan bertemu
dengan Gelora Bung Karno yang melambangkan ‘Suasana Gerak Olah Raga
Rakyat’ Bung Karno bermimpi : Kelak disuatu hari bangsa ini akan menjadi
bangsa besar, dimana Rakyatnya yang bebas merdeka membangun kehidupan,
menguasai olahraga dunia”. Stadion Gelora Bung Karno Senayan di
masanya adalah Stadion paling besar sedunia.
Bung Karno juga membangun patung-patung, namun ada ciri khas Bung
Karno yaitu bila ia membangun Patung, ia membangun sebuah penceritaan,
sudut-sudut kota bernarasi. Seperti misalnya Patung Selamat Datang, ia
membuat dua orang melambai, ‘Datanglah datang di Tanah Jakarta, Tanah
Gerbang Indonesia”. Begitu kata M. Yamin, salah seorang Menteri Sukarno
yang amat gandrung dengan Kebudayaan, melihat Hotel Indonesia dan
meninjau rencana pembuatan Patung Selamat Datang, tak lama kemudian M
Yamin meninggal sebelum sempat pembukaan Hotel Indonesia dan peresmian
Patung Selamat Datang.
Di Cikini ada hadiah Patung yang teramat cantik dari Pemerintahan Moskow,
Patung
ini dibuat oleh ayah anak Matvel Manizer dan Otto Manizer, seorang ahli
pahat dari Sovjet Uni. Patung ini bercerita seorang anak bangsa dari
kaum tani berjuang pergi bertempur dan ibunya menangis. Bung Karno
karena patung bukan sekedar sosok, tapi Patung adalah sebuah media
reflektif yang dihentikan oleh waktu sebagai cermin bagaimana kenangan
disimpan di laci-laci langit pikiran banyak orang.
Konflik Sukarno-Suharto membuat Jakarta terkepung tentara (Sumber Photo : LIFE)
Di akhir pemerintahannya ketika pasukan tak dikenal mengepung Istana
Negara, Gubernur DKI yang juga teman ngobrol Bung Karno, Henk Ngantung
ditangkap tentara Pro Suharto karena ia bagian dari Lekra, seluruh
kawan-kawan Bung Karno satu persatu diciduk. Bung Karno sendirian dalam
ruang sunyi-nya. Ia memilih Ali Sadikin sebagai ganti Sudiro, Sukarno
tak begitu suka dengan Sudiro yang terlalu birokratis, ia ingin Ali
paham bagaimana cara pikir Sukarno.
Soeharto tahu bahwa pengangkatan Ali Sadikin adalah ‘bargain’
diam-diam dengan Sukarno bahwa Angkatan Darat akan berhadapan ‘head to
head’ dengan Angkatan Laut, apalagi di Surabaya Panglima KKo Hartono
sudah siap perang dengan Soeharto. “Tinggal tunggu perintah Bung Karno”.
Tapi Soeharto tak terpancing untuk mendongkel Ali, bahkan Ali
didiamkan sampai tahun 1977.
Justru Jakarta di Jaman Ali Sadikin inilah, mengalami lompatan luar
biasa. Ali Sadikin dijadikan barometer untuk mengukur tingkat
keberhasilan memimpin Jakarta. Ali bukanlah pemimpin DKI yang sekedar
nge boss, tapi ia benar-benar membawa Jakarta melompati sejarah, dari
sekedar
The Big Village menjadi kota modern yang berkebudayaan sesuai dengan apa yang diinginkan Sukarno.
Di tangan Ali, Jakarta dibawa sebagai kota dengan warganya bergerak.
Ia membangun gelanggang-gelanggang kesenian, ia membangun pasar-pasar
rakyat, ia membangun jalan-jalan. Di tengah masa kekuasaan Suharto yang
tak begitu menyukainya dan Ali disuruh nyari duit sendiri untuk
pembangunan DKI padahal Pemerintah Pusat baru saja dapat bantuan besar
dari negara maju. Ali Jalan terus!…ia pakai dana judi untuk bangun
Jakarta dan ini ia bertarung dengan banyak orang. Sikap keras Ali
dikenang banyak orang sebagai tonggak nol kilometer kepemimpinan DKI.
Tugu Tani, Landmark terbesar DKI
setelah Monas Pernah terancam digusur karena dangkalnya penafsiran
sejarah atas tata ruang kota (Sumber Photo : LIFE)
Setelah era Sukarno dan mundurnya Ali Sadikin di tahun 1977, Jakarta
hanya sekedar kota yang bergerak tanpa arah. Manusia Indonesia gagal
mengapresiasi sejarah. Ada cerita soal Patung-Patung di Jakarta yang
menarik, saat itu di akhir tahun 1982 Letjen (Purn) Sarwo Edhie Wibowo
berkata dalam sebuah wawancara yang momennya waktu itu adalah
‘Peringatan hari kesaktian Pancasila’. Sarwedi berkata :
“Patung itu
patung Pak Tani Komunis. Mana ada petani kita sikap angkuhnya begitu.
Tidak ada! Di Indonesia mana ada petani yang angkuh? Petani kita
sopan-sopan,” Lalu ucapan itu dibumbui kalimat provokatif :
“Kalau patung Pak Tani BTI (Barisan Tani Indonesia-organisasi PKI Red), apa haru kita pasang terus?”.
Cetusan Sarwedi saat itu menjadi polemik yang amat menarik dan berita
di koran-koran. Berbondong-bondong pejabat lain menjilat ucapan Sarwedi,
seperti Daoed Joesoef yang katanya orang berbudaya itu ia berkata : “.
“Kalau
benar patung Pak Tani dan istrinya itu melambangkan petani bersenjata
seperti dalam pikiran negara-negara komunis, sudah jelas untuk zaman
sekarang sudah tidak tepat lagi,”
Untung ucapan-ucapan penggusuran Patung Pak Tani di
counter oleh Adam Malik, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI, bung Kancil yang terkenal dengan prinsip hidupnya
’semua bisa diatur’. berkata keras :
“Salah sama sekali jika dikatakan bahwa patung itu berbau
kolone kelima,” kata Wapres. Menurut Adam Malik, tatkala mengunjungi
Uni Soviet sekitar 1960, Bung Karno memintanya–waktu itu ia menjabat
Dubes di Moskow –mencari pematung terkenal Rusia, Manizer, untuk membuat
patung perjuangan pembebasan Irian Barat. “Dengan demikian patung
tersebut bukan hadiah atau hasil pemikiran orang Soviet, melainkan
pesanan dan pemikiran Bung Karno sendiri,”
(Majalah Tempo, 16 Oktober 1982)
Soeharto tentu berhati-hati melihat polemik ini, waktu itu Gubernur
DKI R Suprapto juga tidak menanggapi ucapan emosional Sarwo Edhie Wibowo
soal patung Pak Tani itu. Dan sampai sekarang Patung Pak Tani tetap
menjadi simbol prapatan Cikini, sebuah landmark kota Jakarta yang tak
tergusur.
Tapi apakah kemudian Patung Pak Tani yang selamat, tentu tidak dimasa
setelah Ali Sadikin banyak patung yang dipindah, yang paling terkenal
adalah pemindahan patung Diponegoro karya pematung Italia yang sudah
amat terkenal di Monas dipindah ke Jalan Diponegoro tanpa memperhatikan
konteks.
Di masa Sutiyoso pernah ada ide bahwa setiap jalan yang bernama
Pahlawan akan dibuatkan patung-nya, ide Sutiyoso ini kelak jadi
tertawaan banyak orang karena selain berbiaya besar, bagaimana patung
adalah penceritaan bukan hanya membangun sosok yang kaku. Di masa Orde
Baru yang terkenal dengan sikap ‘Anti Intelektual’ terhadap kebudayaan
yang menyangkut ruang kekuasaan maka Patung-Patung yang didirikan di
masa itupun berkisar soal sosok, soal perkelahian seperti pejuang yang
mengangkat bambu runcing, jarang dibangun patung yang bercerita,
satu-satunya patung yang bercerita dan menjadi landmark di masa Orde
Baru adalah patung Arjuna Wijaya yang dibangun Nyoman Nuarta, Suharto
menggambarkan dirinya di masa pertarungan maraton dengan Bung Karno,
selain semar yang jadi idola Suharto, Suharto yang gemar berpuasa itu
selalu mengindentikkan dirinya dengan Arjuna, sementara Bung Karno
diidentikkan dengan Adipati Karno, pertarungan Arjuna dengan Adipati
Karno dimana di pihak Arjuna kusir kudanya adalah Kresna dan dipihak
Adipati Karno kusir kudanya adalah Prabu Salya. Suharto mendeskripsikan
puncak Mahabharata adalah pertarungan antara Arjuna dan saudara kandung
lain bapak, Adipati Karno. Dan sejarah memang mencatat Suharto
memenangkan pertempurannya 1966/1967 sementara Sukarno di internir di
wisma Yaso, terpuruk dan menua, seperti Patung Pancoran yang dilibas dua
baris jalan layang.
Anton DH Nugrahanto.
(Dimuat pertama kali di Kompasiana, bila mencopas harus
ditulis nama penulis dan media kompasiana sebagai media pertama pemuatan
tulisan).