Pesan Rahbar

Home » » Penyimpangan Akidah Abu Hasan Al Asy’ari, Mari Melihat Akidah Imam Ath Thahawi Sunni Sebagai Perbandingan

Penyimpangan Akidah Abu Hasan Al Asy’ari, Mari Melihat Akidah Imam Ath Thahawi Sunni Sebagai Perbandingan

Written By Unknown on Friday 5 September 2014 | 20:15:00


Coba bandingkan dengan akidah ulama sunni seperti yang dirangkum oleh Imam ath Thahawi dalam Aqîdah-nya:

لا تحويه – أي الله – الجهات الست كسائر المبتدعات

“Allah tidak dimuat oleh enam sisi seperti halnya makhluk.”.


Maksudnya Maha Suci Allah dari berada di sisi tertentu, sebab yang demikian itu meniscayakan bertempat dan dibatasi oleh batas dan segala konsekuensinya, seperti gerak, diam dll dari sifat makhluk.

Referensi:

[1]. Mukhtashar al Ulu, hal, 7, 156, 285
[2]. Al Aqidah Ath Thahawiyah Syarah Wa Ta’liq Al Albani, hal. 25


Saudaraku..

Abu Hasan Al Asy’ari vs Asy’ariyin

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shalallahu’alaihi wassalam, keluarga, shahabat dan segenap pengikutnya.

Imam Abul Hasan Al-Asy’ari berkata dalam Al-Ibanah fi Ushul Diyanah hal. 17 menceritakan aqidahnya:

وَأَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ كَمَا قَالَ ( الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى )

Dan bahwasanya Allah di atas arsy-Nya sebagaimana firman-Nya: “Ar-Rahman tinggi di atas arsy”.

Pada hal. 69-76, beliau memaparkan dalil-dalil yang banyak sekali tentang keberadaan Allah di atas arsy. Di antara perkataan beliau:

وَرَأَيْنَا الْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعًا يَرْفَعُوْنَ أَيْدِيَهُمْ -إِذَا دَعَوْا- نَحْوَ السَّمَاءِ لِأَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ مُسْتَوٍ عَلَى الْعَرْشِ الَّذِيْ هُوَ فَوْقَ السَّمَاوَاتِ, فَلَوْلاَ أَنَّ اللهَ عَلَى الْعَرْشِ لَمْ يَرْفَعُوْا أَيْدِيَهُمْ نَحْوَ الْعَرْشِ

Dan kita melihat seluruh kaum muslimin apabila mereka berdo’a, mereka mengangkat tangannya ke arah langit, karena memang Allah tinggi di atas arsy dan arsy di atas langit. Seandainya Allah tidak berada di atas arsy, tentu mereka tidak akan mengangkat tangannya ke arah arsy.

وَزَعَمَتِ الْمُعْتَزِلَةُ وَالْحَرُوْرِيَّةُ وَالْجَهْمِيَّةُ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ, فَلَزِمَهُمْ أَنَّهُ فِيْ بَطْنِ مَرْيَمَ وَفِيْ الْحُشُوْشِ وَالأَخْلِيَةِ, وَهَذَا خِلاَفُ الدِّيْنِ, تَعَالَى اللهُ عَنْ قَوْلِهِمْ

Dan kaum Mu’tazilah, Haruriyyah dan Jahmiyyah beranggapan bahwa Allah berada di setiap tempat. Hal ini melazimkan mereka bahwa Allah berada di perut Maryam, tempat sampah dan WC. Faham ini menyelisihi agama. Maha suci Allah dari ucapan mereka.

Penjelasan JAKIM kelihatannya aneh.. Bagaimana mungkin Imam Abul Hasan Al Asy’ari rahimahullah pemahamannya bertentangan dengan orang-orang yang mengaku mengikuti beliau sekarang?

Namun itulah kenyataannya. Kalau kita membaca kitab Al Ibanah ‘an Ushul ad Diyanah ataupun Maqolat yang kedua-duanya karya Imam Abul Hasan Al Asy’ari, kita dapati perbedaan antara asy’ariyin sekarang dan pemahaman yang dianut oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari.

Apa saja perbedaannya?

Unduh dulu kitabnya di:

http://www.almeshkat.net/books/archive/books/ebanh.zip


ANTARA ABUL HASAN AL-ASY’ARI DAN ASYA’IRAH

• Mungkin judul ini akan membuat dahi berkenyit, bagaimana tidak?

• Bukankah Asya’iroh adalah pengikut Abul Hasan Al-Asy’ari? Sama halnya Syafi’iyyah adalah pengikut Imam Syafi’i?

• lalu mengapa mesti dipersoalkan?

• Apa bedanya?

• Bukankah itu berarti membingungkan pengikut beliau?


Mari kita berpikir jernih. Mungkin luput dari pengamatan kita, betapa banyak orang yang menggolongkan kepada seseorang atau kelompok namun ternyata tidak selaras dengan pemikiran atau faham orang atau kelompok yang di ikuti, masih segar dalam ingatan kita, Imam Syafi’i berpendapat bahwa mengirim pahala kepada orang yang telah meninggal.

tidak akan sampai sama sekali. Namun anehnya (tapi nyata) orang yang mengaku pengikuti Imam Syafi’i justru menjadi pelopor terdepan dalam mengamalkan amalan ini bahkan memasyarakatkanya.

Namun pengikutnya tidak menyadari. Lebih aneh lagi ucapan yang terlontar dari Pensyarah kitab Ihya Ulumuddin, Imam Az Zabidi dalam kitabnya Ittihaf Sadatul Mutaqiin.

Apabila disebut kaum Ahlussunah wal jama’ah, maka maksudnya ialah orang–orang yang mengikuti rumusan (faham) Asy’ari dan faham Abu Manshur Al-Maturidi. (Lihat I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, KH. Sirojuddin Abbas, hal. 16–17).


Kata Imam al Qurthubi Yang Mengatakan Allah Bertempat Hanya Kaum Jahil Yang Mujassimah

Para ulama Islam tak bosan-bosannya mengingatkan kita terhadap bahaya keyakinan bahwa Allah itu bertempat… dan tempatnya itu di atas langit sana… Akidah yang mengatakan bahwa tempat Allah SWT berada di atas tempat hamha-hamba-Nya!

Kini al Qurthubi berkomentar bahwa akidah itu hanya akidah yang telah masuk dan nyusup ke akal pikiran kaum jahil yang terjebak konsep sesat posturisasi Allah (tajsîm).


Dengarkan komentar beliau!


“Sifat al ‘Aliy/Yang Maha Tinggi dalam ayat di atas (ayat Kursi) yang dimaksud adalah ketinggian kehormatan dan kedudukan bukan ketinggian tempat! Sebab Allah Maha suci dari bertempat di sebuah sudut/sisi. Ath Thabari mengisahkan dari satu kaum bahwa mereka berkata: “Dia Allah Maha Tinggi atas hamba ciptaan-Nya dengan ketinggian tempat-Nya dari tempat makhluk-Nya.” Ibnu Athiyah berkata: “Ini adalah pendapat kaum Jahalah/bodoh yang Mujassimîn/meyakini Allah berjism. Mestinya tidak perlu dihikayatkan.”

Setelah ketarangan para ulama, masihkah kita maragukan penyimpangan akidah yang mengatakan Allah itu bertempat dengan memahami secara awam ayat-ayat tertentu yang mutasyâbihât yang memang biasa kaum penyesat dan juga yang disesatkan berkubang di dalamnya?!

Imam Nawawi menerangkan hadis yang selama ini dijadikan dalil andalan Kaum Salafi dalam akidah bahwa Allah SWT di langit! Maha Suci Allah dari anggapan kaum Mujassimun!



Keterangan Imam Nawawi

هذا الحديث من أحاديث الصفات وفيها مذهبان تقدم ذكرهما مرات في كتاب الايمان: أحدهما : الايمان به من غير خوض في معناه مع اعتقاد أن الله تعالى ليس كمثله شئ وتنزيهه عن سمات المخلوقات، والثاني : تأويله بما يليق به ، فمن قال بهذا قال: كان المراد امتحانُها هل هي موحدة تقر بأن الخالق المدبر الفعال هو الله وحده وهو الذي إذا دعاه الداعي استقبل السماء كما إذا صلى المصلي استقبل الكعبة وليس ذلك لانه منحصر في السماء كما أنه ليس منحصرا في جهة الكعبة، بل ذلك لان السماء قبلة الداعين كما أن الكعبة قبلة المصلين، أو هي من عبدة الاوثان العابدين للاوثان التي بين أيديهم فلما قالت في السماء علم أنها موحدة وليست عابدة للاوثان.

“Hadis ini termasuk hadis-hadis shifât. Tentangnya ada dua aliran (penafsiran), telah lewat berulang kali keterangan tentangnya dalam Kitabul Iman:

Aliran Pertama: Mengimaninya tanpa membincangkan maknanya dengan keyakinan bahwa Allah –Ta’ala- tidak ada sesuatu yang menyerupai-Nya, dan menyucikan-Nya dari sifat-sifat/ciri-ciri makhluk.

Aliran Kedua: mena’wilkannya dengan memaknainya sesuai manka yang layak bagi-Nya. Dan yang mengikuti pendapat ini mengatakan bahwa yang dimaksud dengannya: Menguji si budak wanita itu apakah ia mengesakan Allah dengan meyakini bahwa Dzat Maha Pencipta, Mengatur semesta alam dan yang Maha Berbuat segala sesuatu adalah hanya Allah? Dan Dialah yang apabila seorang pendo’a memanggil-Nya ia menghadap langit, seperti jika ia shalat menghadap ka’bah. Yang demikian bukan dikarenakan Allah terbatas di langit sebagaimana Dia tidak terbatas di sisi/arah ka’bah. Akan tetapi karena langit adalah kiblat para pendo’a sebagaimana ka’bah kiblat shalat, atau dia (si budak wanita itu) adalah penyembah arca yang berada di depan para penyembahnya. Dan ketika ia mengatakan: Dia di langit, Nabi saw. mengetahu bahwa dia seorang yang mengesakan Allah bukan penyembah arca..”

Dari sini dapat Anda mengerti bahwa menerima keshahihan hadis Muslim tidak berarti menerima pemaknaan ala Wahhabi terhadapnya bahwa Allah itu bertempat di langit sana. Sebab pintu ta’wil masih terbuka lebar-lebar!


Keterangan Qadhi ‘Iyâdh

Qadhi ‘Iyâdh menegaskan masalah ini sebagaimana dinukil Imam an Nawawi dalam syarah Shahih Muslim, 5/24:

لا خلاف بين المسلمين قاطبة فقيههم ومحدثهم ومتكلمهم ونظارهم ومقتدهم أن الظواهر الواردة بذكر الله تعالى في السماء كقرل الله تعالى {ءأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الارض} ” ونحوه ليست على ظاهرها بل متأولة عند جميعهم “.

“Tidak diperselisihkan di antara kaum Muslimin, baik ahli fikih, ahli hadis, para teoloq bahwa zahir-zahir nash yang datang menyebut Allah di langit seperti firman Allah: “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (kekuasaan-Nya) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu?’ (QS. Al Mulk [67];16) dan yang semilsanya itu tidak diartikan secara zahirnya akan tetpi menurut mereka nash-nash itu harus dita’wil.”.

(Tour-Mazhab/Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: