Pesan Rahbar

Home » » Profil dan Nasab Aminah Binti Wahb Dalam Pustaka Islam

Profil dan Nasab Aminah Binti Wahb Dalam Pustaka Islam

Written By Unknown on Saturday 12 November 2016 | 06:55:00

Makam Sayyidah Aminah yang sudah di porak-porandakan Wahabi mekah

Aminah binti Wahb (Bahasa Arab: آمِنة بنت وَهْب ) wafat 46 tahun sebelum Hijrah atau bertepatan dengan tahun 576 M adalah ibu Nabi Muhammad Saw dan salah seorang pembesar kaum Qurays yang sangat dihormati.

Ia menikah 53 atau 54 tahun sebelum tahun Hijriyah dengan Abdullah bin Abdul Muthalib.

Dari hasil pernikahannya dengan Abdullah ia melahirkan Muhammad 52 tahun sebelum tahun Hijriah.

Disaat putranya masih berusia 4 atau 6 tahun, Aminah meninggal dunia ketika melakukan perjalanan ke Madinah. Iapun dimakamkan di sebuah termpat yang bernama Abwa.


Nasab dan Kelahiran

Aminah lahir di kota Mekah [1]. Ayahnya bernama Wahab, seorang pembesar dari Bani Zahrah, kakeknya bernama Abdu Manaf bin Zuhrah. Nenek ayahnya adalah Atikah binti Auqash bin Murrah bin Hilal al-Sulaimah, salah seorang dari tiga ‘Awatik yang dibanggakan Rasulullah Saw dengan mengatakan,

 انا ابن العَواتک من سُلَیم 

yang artinya, “Aku adalah putra dari al-‘Awatik dari Bani Sulaim."[2]

Ibu Aminah bernah Barah, kakek ibunya bernama Abdul ‘Aza dan nenek ibunya bernama Ummu Habaib bin Asad bin Abdul ‘Aza bin Qusha, sementara ibu Ummu Habaib bernama Barrah binti ‘Auf.[3]

Dengan nasab tersebut, Rasulullah Saw pernah berkata, “Allah Swt telah memindahkan saya dari rahim-rahim yang suci dan bersih dan menjadikanku dari sebaik-baiknya silsilah/nasab.”


Pernikahan dengan Abdullah

Aminah menikah dengan Abdullah bin Abdul Muthalib. Ia saat itu dikenal sebagai perempuan terbaik dari kalangan Quraysh.[4]

Sebelum Abdullah melamar Aminah, sejumlah perempuan telah ditawarkan kepada Abdullah seperti putri Naufal bin Aasa, Fatimah binti Marra, Laila Adwiyah dan lainnya,[5] namun Abdullah menjatuhkan pilihan untuk meminang Aminah.

Diceritakan, ketika Abdullah melamar Aminah, banyak perempuan yang patah hati dengan keputusan tersebut.[6]

Acara dan pesta pernikahan dua pembesar Quraysh tersebut berlangsung selama tiga malam tiga hari. Sepanjang pesta pernikahan tersebut, Abdullah tetap mengenakan pakaian pengantin tradisional dan menetap di dalam rumah.[7]

Rumah yang menjadi kediaman pengantin baru tersebut memiliki tangga dari batu yang berhubungan langsung dengan pintu yang menghadap ke arah utara. Rumah tersebut memiliki halaman berukuran panjang 12 meter dengan lebar 6 meter.

Pada bagian dinding sebelah kanan terdapat pintu yang mengarah kepada kubah. Ditengah rumah terdapat sebuah kamar yang dindingnya terbuat dari kayu dan merupakan kamar tidur utama dari rumah tersebut dan itu pula yang menjadi kamar pengantin mereka.[8]


Wafatnya Abdullah

Kehidupan rumah tangga Aminah dan Abdullah dipenuhi rasa cinta dan kasih, dan tidak sedikitpun diwarnai dengan pertengkaran. Hanya berselang beberapa hari pasca pernikahan, Abdullah melakukan perjalanan dagang dan karena menderita sakit, iapun meninggal dunia di Yastrib, dan dimakamkan di kota tersebut.

Ketika Aminah mendengarkan kabar mengenai kematian suaminya, iapun bersenandung pilu: Menurut sebagian catatan sejarah, wafatnya Abdullah hanya berselang sedikit dengan kelahiran putranya, Muhammad.[9]

Sebagian pula menyebutkan, kematian cepat Abdullah pasca pernikahannya menunjukkan kehendak Allah Swt, Muhammad lahir dari hubungan pernikahan Abdullah dan Aminah.[10]


Kelahiran Muhammad Saw

Sauda binti Zuharah al-Kalabiyah adalah seorang pendeta Quraysh suatu hari berkata kepada Bani Zuharah, “Diantara kalian ada aka nada seorang perempuan yang akan memberikan peringatan atau akan ada seorang Nabi yang akan lahir. Pertemukanlah saya dengan setiap perempuan kalian untuk saya ketahui orangnya.”

Setelah dipertemukan dengan kaum perempuan Quraysh, perempuan pendeta ini berkata mengenai Aminah, “Perempuan ini akan menjadi Nabi atau darinya akan lahir seorang nabi.”[11]

Mengenai kehamilannya, Aminah pernah berkata, “Saya sama sekali tidak menyadari akan kehamilan saya dan tidak sebagaimana umumnya perempuan yang sedang mengidam, saya sama sekali tidak merasakan adanya hal-hal yang berat. Siapapun yang dekat dengan saya, baik saya dalam keadaan tidur atau terjaga dia akan berkata, “Saya rasa kamu ini sedang hamil?”. Maka saya berkata, “Saya tidak tahu.” Dikatakan kepada saya, “Kamu sedang mengandung seseorang yang akan menjadi pemimpin umat ini.” [12]

Dalam periwayatan lain disebutkan, Aminah berkata, “Sewaktu yang mengandung, seseorang berkata kepada saya, anda telah mengandung janin yang kelak akan menjadi pemimpin ummat, ketika ia lahir, ucapkanlah:

 اعیذه بالواحد من شر کل حاسد 

dan berilah ia nama Muhammad."[13]

Aminah melahirkan Muhammad pada hari 17 Rabi’ul Awal tahun Gajah, berbeda dengan versi Ahlusunnah yang meyakini peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 12 Rabi’ul Awal. [14]

Berita kelahiran Muhammad menjadi kabar yang sangat menggembirakan bagi Bani Hasyim. Sewaktu berita tersebut sampai ke telinga Abu Lahab dan itu menggembirakan hatinya, ia membebaskan budaknya, Tsauibah Aslamiyah yang membawa kabar tersebut kepadanya.[15]

Abdul Muththalib memberikan nama Muhammad pada bayi yang dilahirkan Aminah, yang membuat kaum Quraisy bertanya-tanya mengapa dinamakan dengan nama itu. Abdul Muththalib menjawab, “Aku inginkan dia menjadi yang terpuji di langit dan di bumi.”[16]


Masa Mengasuh Muhammad

Aminah pasca melahirkan, ia mengasuh sendiri bayinya. Awalnya, karena disebabkan keterbatan materi dan ketidaksanggupan untuk menyewa pengasuh, Aminah menolak setiap tawaran orang yang hendak mengasuh bayinya.

Namun pada akhirnya ia menyerahkan Muhammad dibawah pengasuhan Halimah Sa’diyah, karena Muhammad juga butuh pengasupan ASI. Setelah 2 tahun berada dalam pengasuhannya, Halimahpun membawa kembali Muhammad kepada ibu kandungnya, namun karena kecintaannya, ia meminta izin agar Muhammad tetap bersamanya beberapa tahun lagi dan tinggal bersamanya di perkampungan di gurun pasir. Aminah menyepakati permohonan tersebut.[17]

Ketika Muhammad berusia 5 tahun 2 hari, ia mengembalikan Muhammad kepada ibunya.[18]


Perjalanan ke Madinah dan Wafatnya

Aminah pada tahun ketujuh tahun Gajah mengajak Muhammad melakukan perjalanan ke Yastrib untuk menziarahi makam ayahnya di kota tersebut. Sayangnya, dalam perjalanan kembali dari Yastrib, Aminah meninggal dunia karena sakit dan dimakamkan di Abwah.

Ummu Aimanlah yang kemudian mengantar Muhammad untuk kembali ke Mekah dan tiba 5 hari setelahnya di kota tersebut.[19]


Peristiwa Beristighfarnya Nabi Muhammad Saw

Disebutkan oleh sejumlah perawi bahwa sepulangnya Nabi Muhammad Saw dari perang Tabuk, ia memutuskan untuk melakukan ibadah haji dan umrah.

Oleh karena itu, ia melakukan perjalanan dari kota Madinah ke Mekah. Ditengah perjalanan setibanya di makam ibunya, dalam doanya ia meminta agar ibunya diampunkan dosa-dosanya, namun permintaan tersebut tidak dikabulkan oleh Allah Swt. Peristiwa tersebut menandai turunnya ayat [20]:

آیه وَمَا کانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلاَّ عَن مَّوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِياهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأوَّاهٌ حَلِيمٌ

Terjemahan:

Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya (baca: pamannya, Azar), tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah ia janjikan kepadanya. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa ia adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (Qs. At-Taubah: 114]

Demikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud:

Suatu hari Rasulullah Saw berziarah kemakam kaum Muslimin dan kamipun mengikutinya. Setibanya, ia duduk dihadapan makam, lalu menangis serta berdoa. Kamipun turut menangis dan berdoa. Ia bertanya, “Mengapa kalian menangis?”. Kami menjawab, tangismu menjadi penyebab kami menangis. Nabi Muhammad Saw berkata, “Kubur dihadapanku ini mengingatkanku pada ibuku. Allah mengizinkanku menziarahinya, namun tidak mengizinkanku untuk memohonkan ampun untuknya.” Kemudian turunlah ayat:

مَا کانَ لِلنَّبِی وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَن يسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِکينَ وَلَوْ کانُواْ أُوْلِی قُرْبَی مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

Terjemahan:

Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (mereka), sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam. (Qs. At-Taubah: 113)

Penyebab menangisnya Rasulullah Saw adalah hal tersebut.”[21]

Menurut versi Syiah, riwayat-riwayat diatas tidak mutawatir, karena Syiah secara ijma meyakini bahwa Abu Thalib, Aminah binti Wahab dan Abdullah bin Abdul Muththalib serta kakek Rasulullah Saw sampai ke Nabi Adam As kesemuanya adalah orang-orang beriman.[22]

Aqidah Syiah tersebut terdapat dalam literature-literatur Syiah.

Sebagaimana yang disampaikan Imam Shadiq As, “Jibril As menemui Rasulullah Saw dan berkata, Wahai Muhammad! Allah Swt menitip salam untukmu dan berfirman, “Aku telah mengharamkan neraka Jahannam buat sulbi yang engkau lalui, buat rahim yang mengandungmu dan pangkuan yang mengasuhmu. Sulbi itu adalah sulbi Abdullah bin Abdul Muththalib, rahim itu rahim Aminah binti Wahab dan pangkuan itu pangkuan Abu Thalib –menurut versi yang diriwayatkan Ibn Fadhal- dan Fatimah binti Asad.”[23]

Selain itu, riwayat-riwayat yang menjadi dasar keyakinan bahwa Aminah binti Wahab meninggal dalam keadaan kufur memiliki sejumlah kejanggalan, sebagaimana misalnya yang disampaikan Allamah Amini yang menulis, “Apakah Nabi Muhammad Saw di hari Tabuk, itupun setelah ayatnya turun sampai saat itu tidak mengetahui bahwa Ia dan sahabat-sahabatnya tidak diperkenankan untuk mengharapkan ampunan untuk penyembah berhala?. Dan bagaimana mungkin Nabi Muhammad menginginkan dari Allah Swt agar ibunya diampuni? apakah Nabi menganggap ibunya berbeda dengan manusia yang lain?. Apakah riwayat ini hanya rekayasa yang sengaja dibuat-dibuat untuk menjatuhkan kehormatan Rasulullah Saw dan kesucian silsilahnya dengan menyebut ibunya adalah penyembah berhala?.”[24]

Allamah Amini menambahkan, “Sebagian menafsirkan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan memohon ampunan untuk mayat[25] sehingga tidak sesuai dengan riwayat-riwayat tersebut.”[26]


Catatan Kaki:

1. Aisyah Abdurahman, Aminah Madare_e Payambar, hlm. 74.
2. Aisyah Abdurahman, Aminah Madare_e Payambar, hlm. 80-81.
3. Aisyah Abdurahman, Aminah Madare_e Payambar, hlm. 81.
4. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld. 1, hlm. 156.
5. Rujuk: Ibnu Katsir, al-Kāmil fi al-Tārikh, jld. 2, hlm. 8.
6. Aisyah Abdurahman, Aminah Madare_e Payambar, hlm. 103.
7. Nawiri, Nihāyatu al-Arab, jld. 16, hlm. 57.
8. Aisyah Abdurahman, Aminah Madare_e Payambar, hlm. 103.
9. Aiti, Tārikh Payāmbar Islam, hlm. 41.
10. Aisyah Abdurahman, Aminah Madare_e Payambar, hlm. 128.
11. Aisyah Abdurahman, Aminah Madare_e Payambar, hlm. 114, yang dinukil dari kitab Raudha al-Anfi, jld. 1, hlm. 4.
12. Nawiri, Nihayatu al-Arab, jld. 16, hlm. 64.
13. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld. 1, hlm. 158.
14. Aiti, Tārikh Payāmbar Islam, hlm. 43.
15. Aisyah Abdurrahman, Aminah Madar_e Payambar, hlm. 150.
16. Aisyah Abdurrahman, Aminah Madar_e Payambar, hlm. 153.
17. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, hlm. 162-164.
18. Ibnu Abdul Barra, al-Isti’āb fi Ma’rifah al-Ashhāb, jld. 1, hlm. 29.
19. Ibnu Abdul Barra, al-Isti’āb fi Ma’rifah al-Ashhāb, jld. 1, hlm. 30.
20. Suyuti, al-Dur al-Mantsur fi al-Tafsir bil Mātsur, jld. 3, hlm. 283.
21. Suyuti, al-Dur al-Mantsur fi al-Tafsir bil Mātsur, jld. 3, hlm. 284.
22. Aiti, Tārikh Payāmbar Islam, hlm. 42.
23. Kulaini, al-Kāfi, jld. 1, hlm. 446.
24. Al-Ghadir, matan Arab, cet. 5, jld. 8, hlm. 10-12.
25. Amini, al-Ghadir, jld. 8, hlm. 18.
26. Thabari, Jāmi’ al-Bayān, jld. 11, hlm. 33.


Daftar Pustaka:

1. Aiti, Muhammad Ibrahim, Tārikh Payāmbar Islam, riset: Abu al-Qasim Garachi, penerbit Universitas Tehran, Tehran. 1378 S.
2. Ibnu Atsir, Ali bin Muhammad, al-Kāmil fi al-Tārikh, Dar Shar, Beirut.
3. Ibnu Abdu al-Barra, Yusuf bin Abdullah, al-Isti’āb fi Ma’rifah al-Ashhāb, riset: Ali Muhammad Bajawi, Dar al-Jail, Beirut.
4. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, riset: Ibrahim Abyari, Musthafa Saqa, Abdul Hafidz Syabali, Dar al-Ma’rifah, Beirut.
5. Amini, Abdul al-Husain, al-Ghadir, terj. Akbar Tsabut, cet. 5, Bunyad Bi’tsat, Tehran, 1391 S.
6. Zarqani, Muhammad bin Abdl Baqi, Syarh al-‘Allamah al-Zarqani ‘ala al-Mawāhib al-Daniyah bin Manh al-Muhammadiyah, riset: Muhammad Abdul Aziz al-Khalidi, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut.
7. Suyuti, Abdurahman bin Abi Bakar, al-Dur al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Mātsur, Kitab Khaneh Ayatullah Mar’asyi Najafi, Qom.
8. Thabari, Muhammad bin Jarir, Jāmi’ al-Bayān fi Tafsir al-Qur’an (Tafsir Thabari), Dar al-Ma’rifah, Beirut.
9. Aisyah Abdurahman binti al-Syathi, Aminah Madar_e Payāmbar Saw, terj. Sayid Muhammad Taqi Sajjadi, cet. 3, Muassasah Intisyarat Nabawi, Tehran, 1379 S.
10. Nawiri, Ahmad bin Abdul Wahab, Nihāyah al-Arab fi Funun al-Adab, Dar al-Kutub wa al-Watsaiq al-Qaumiyah, Kairo.

(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: