“Bersilaturrahmilah dan jagalah lisan kalian.” Nasihat ini tidak hanya khusus diupayakan pada saat berpuasa saja serta tidak hanya berhubungan dengan adab berpuasa semata. Kedati memang dianjurkan untuk menjaga lisan pada saat berpuasa. Tak ada yang lebih afdhal pada bulan ini ketimbang mempelajari ilmu-ilmu agama dan mendengarkan hadis-hadis. Apabila seseorang bisa mcndengarkan atau menghadiri pclajaran tafsir al-Quran, hadis, atau hukum, itu jelas akan membuatnya bahagia. Dan bila tidak dapat mengupayakan hal itu, serulah kebaikan dan cegahlah kemungkaran. Kalau tidak bisa juga, minimal berzikirlah.
Di antara buku-buku penting yang berkenaan dengan fiqh Imamiyah adalah kitab al-Jawahir yang ditulis selama tiga puluh tahun. Penulisnya menyelesaikan kitab berharga ini pada hari ke-23 di bulan Ramadhan. Sekaitan dengan itu, penulis al-Jawahir berkata: “Aku bersyukur kepada Allah yang telah menetapkan penyelesaian buku ini di hari ke-23 di bulan Ramadhan yang mulia.” Malam ke-23 merupakan malam yang paling afdhal di antara seluruh malam yang ada dalam bulan Ramadhan.
Tak ada yang lebih afdhal daripada ilmu pengetahuan. Ilmu merupakan wasilah (perantara) untuk berakal, dan manusia yang berakal memiliki hati yang tenang. Manusia yang berakal tidak akan mengalami siksaan dikarenakan selalu menjaga lisannya. Karena itu, disebutkan dalam bulan ini: “Jagalah lisan kalian.”
Imam Shadiq as meriwayatkan dari ayah-ayahnya, dari Rasulullah saww: “Barangsiapa yang mengenal Allah dan mengagungkan-Nya, maka ia akan mencegah mulutnya dari berbicara, perutnya dari makan, dan menyusahkan dirinya dengan berpuasa dan shalat.”158
Agar seseorang dapat menjaga lisan dan menjaga ucapan-ucapan yang keluar darinya, ia harus mengenal Allah Swt. Orang yang mengenal Allah dan mengagungkan-Nya tidak akan berbicara apapun yang tidak diridhai Allah dan tidak mcngotori perutnya dengan makanan yang haram.
Diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali as bahwa beliau berkata kepada tukang kebun yang bekerja di kebunnya: “Apakah kamu memiliki makan siang?” Tukang kebun berkata: “Aku memiliki makanan yang sangat sederhana yang tidak pantas untukmu.” Imam berkata: “Bawakanlah.” Imam as berdiri dan mencuci tangannya kemudian menyantap makanan tersebut. Setelah itu, beliau memberi isyarat dengan menunjuk perutnya seraya berkata: “Alangkah sayangnya orang yang memasukkan api neraka ke dalam perutnya.”159 Kelezatan makanan hanya terasa pada saat seseorang menyantapnya. Orang yang takut kepada Allah tidak akan mengenyangkan perutnya dengan makanan yang haram dan tidak senantiasa duduk di hadapan setiap hidangan yang penuh dengan makanan. Ia juga akan berupaya untuk mendidik dirinya dengan berpuasa. Orang semacam ini akan selalu berada dalam lindangan dan lutf Allah Swt.
Pada suatu ketika, seseorang berkirim surat kepada Abu Dzar al-Ghifari untuk meminta nasihat.160 Abu Dzarpun menjawabnya dengan: “Janganlah engkau mendhalimi temanmu yang paling dekat.” Kemudian ia kembali mengirimkan surat kepada Abu Dzar untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan pernyataan tersebut.”Orang tidak akan mendhalimi temannya dan aku meminta darimu satu nasihat.” Abu Dzar mernberi jawaban: “Teman seseorang yang paling dekat adalah dirinya sendiri, tidak ada yang lebih dekat daripada jiwanya. Maka janganlah engkau mendhalimi dan merusak dirimu, karena seluruh dosa yang dilakukan seseorang adalah beban yang menguasai jiwanya.”
Al-Quran mengatakan bahwa menjelang ajalnya, sebagian manusia menghadapi pukulan malaikat, baik di wajah maupun di punggung.”Seraya memukul muka dan belakang mereka.”(al-Anfal: 50)
Almarhum Syeikh Muhammad Ali Syah Abadi ―semoga Allah mensucikan jiwanya― yang termasuk guru Imam Khomeini, memiliki buku-buku yang berkenaan dengan persoalan irfan. Salah satunya berjudul Syazrat al-Ma’arif. Dalam buku tersebut, beliau mengatakan: “Tatkala mendekati kematian, malaikat datang memukuli wajah dan punggung sebagian orang.” Siapakah orang-orang yang dipukul malaikat tersebut? Mereka adalah orang-orang menghabiskan umur mereka dan tidak beramal untuk Allah selama hidup di dunia. Mereka datang dengan wajah hitam legam dan tangan yang hampa. Sejumlah malaikat yang diutus untuknya segera memukul wajah mereka sambil berkata: “Umur kalian sudah habis, kalian datang kepada kami dengan tangan yang kosong dan kalian tidak sadar akan diri kalian.”
Dalam ceramahnya yang mulia, Rasul saww berkata: “Orang yang mengenal Allah Swt dan mengetahui keagungan-Nya akan berpuasa untuk Allah.” Orang yang tidak berpuasa adalah orang yang tidak menyadari keberadaan dirinya. Berbeda dengan orang yang berpuasa. Ia akan mengenal dirinya dan ingin melepaskannya dari berbagai sifat hewani. Tatkala mereka mendengar ceramah yang disampaikan Rasul, mereka berkata: “Demi ayah dan ibu kami, wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang yang dicintai oleh Allah?”
Rasul saww bersabda: “Orang-orang yang dicintai oleh Allah diam dan diamnya mereka adalah berfikir, pembicaraan dan ucapan mereka adalah dzikir, mereka melihat dan melihatnya mereka adalah pelajaran, mereka berbicara dan ucapan mereka adalah hikmah, dan mereka berjalan dan berjalannya mereka di antara orang-orang adalah keberkahan. Kalau tidak karena ajal yang telah dituliskan bagi mereka, maka ruh-ruh mereka tidak akan menetap di jasad-jasad mereka, karena takut akan azab dan rindu akan pahala.”
Almarhum Allamah Thabathaba'i ―semoga Allah merahmatinya― menuturkan perkiraannya bahwa Rasulullah saww telah hidup bersama sekitar 12 ribu-an orang. Penulis buku Usud al-Ghabah fi Ma’rifah al- Syahabah ini mempercayai bahwa orang-orang tersebut secara keseluruhan berdiri di satu pihak, kecuali Amirul Mukminin Ali yang berdiri di pihak yang berbeda. Orang-orang tersebut senantiasa berjumpa dengan Nabi dan selama bertahun-tahun shalat di belakang beliau. Selain itu, mereka juga kerap menghadiri majelis-majelis dan mendengarkan ucapannya. Sayang, mereka tidak memiliki ucapan sebagaimana yang dimiliki Amirul Mukminin Ali as. Mereka senantiasa mendengarkan dan menikmati setiap khutbah serta perkataan Nabi. Akan tetapi kelezatan tersebut cepat sekali berlalu.
Salah seorang sahabat berkata kepada Nabi saww: “Kami mendapatkan ucapanmu memiliki banyak manfaat dan kelezatan yang khusus, tetapi kelezatan itu hilang setelah keluar dari majelismu.” Nabi saww bersabda: “Mintalah talong dari kananmu,” sambil mengisyaratkan dengan tangannya.
Artinya, tulislah apa yang kau dengar, kumpulkanlah ucapan-ucapan yang engkau dengar dalam buku khusus, dan pada hari ini tulislah apa yang aku katakan, kemudian bukalah apa yang engkau tulis setelah pulang ke rumah, agar engkau dapat merasakan lezatnya ilmu. Tidaklah ada manfaatnya engkau datang ke satu majelis dan duduk di dekat orang yang berbicara seperti sepotong kayu, kemudian engkau keluar dari majelis tanpa memperoleh manfaat sedikitpun.
Amirul Mukminin Ali as berkata: “Ketika aku pulang dari bepergian, aku langsung pergi menemui Rasulullah dan bertanya kepadanya tentang ayat-ayat yang turun, artinya, serta kejadian yang menyebabkan ayat itu turun dan terkadang Nabi yang mendatangiku dan menjelaskan kepadaku apa-apa yang terlepas dariku dari ayat-ayat, artinya, dan sebab-sebab diturunkannya.”
Al-Quran mengatakan bahwa sebagian orang memancarkan cahaya ―“Dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia.”(al-An’am: 122)
Ketika mereka berjalan di tengah-tengah masyarakat, cahaya dirinya pun akan terpancar dan tersebar. Ucapan mereka adalah cahaya, dan perbuatan mereka juga cahaya. Siapapun yang duduk bersama mereka tidak akan mendengar dari mulutnya kecuali peringatan akan Allah. Ucapan mereka bukanlah berkisar tentang dunia dan perhiasannya, seperti makanan, minuman, maupun pakaian. Seluruh ucapan mereka senantiasa berkaitan dengan ayat-ayat Allah dan wali-wali-Nya. Mereka selalu berbicara tentang apa yang bermanfaat bagi manusia, dan tidak pernah diam kecuali ketika sibuk berpikir dan berdzikir. Jika berada di tengah-tengah masyarakat, mereka menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan. Setiap majelis yang mereka selenggarakan selalu penuh keberkahan, sama halnya dengan majelis Nabi saww. Nabi saww tak pernah membisu atau bingung dalam menjawab pertanyaan seseorang. Sebaliknya, apabila tak seorang pun mengajukan pertanyaan, maka beliaulah yang akan memulainya.
Seseorang, yang melihat Nabi saww dan para sahabatnya sedang duduk berteduh di bawah pohon untuk beristirahat karena letihnya perjalanan161, berkata: “Aku akan datang ke majelis Nabi dan mendengarkan jawaban beliau terhadap pertanyaan sahabat-sahabatnya serta ucapannya jika Nabi yang memulai berbicara.” Hanya duduk-duduk dan tidak berbicara bukanlah termasuk kebiasaan Nabi.
Orang ini mengatakan bahwa ia duduk dan melihat Nabi saww berbicara tentang perbedaan seorang mukmin dan selain mukmin dengan bersabda: “Jika seorang sakit kemudian sembuh, itu merupakan peningkatan bagi agama dan akidahnya, karena ia tahu bahwa ia tidak memiliki kekuatan dalam kesehatannya atau sakitnya dan keduanya tidaklah tetap selamanya. Ia mengetahui bahwa kesehatan harus dimanfaatkan untuk kebaikan manusia dan agama, tetapi itu berbeda dengan selain mukmin. Jika ia sakit maka ia tahu bahwa siapa yang memberinya sakit dan jika ia sembuh, ia tidak tahu siapa yang menyembuhkannya dan tidak tahu apa yang ia harus lakukan di saat sehat. Ia seperti unta betina yang ketika pemilik mengikatnya ia tidak tahu kenapa dan untuk apa ia diikat. Jika ia dilepaskan dari ikatannya, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan dan kemana ia akan pergi.”
Rasulullah saww senantiasa memanfaatkan setiap waktunya untuk berbicara mengenai segala hal yang bermanfaat bagi manusia dan mengingatkan mereka tentang Allah Swt, sekalipun berada dalam perjalanan.
Dalam melihat alam ini, para wali Allah akan senantiasa menggunakan kaca pandang tauhid. Darinya, mereka juga selalu mengambil banyak pelajaran. Dalam arti, mereka telah melampaui berbagai sifat yang hina menuju sifat-sifat yang baik. Orang yang melihat berbagai kejadian alam namun tetap tidak berubah menjadi lebih baik, tidak bisa disebut sebagai orang yang telah mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian tersebut. Yang terjadi malah sebaliknya. Namun, apabila ia telah berhasil melewati sifat- sifat buruk dan memiliki sifat-sifat yang baik, ia bisa disebut sebagai orang yang telah mendapatkan pelajaran darinya.
Pandangan para wali Allah dipenuhi dengan pelajaran. Ucapan mereka adalah dzikir kepada Allah Swt. Sama dengan setiap hukum al-Quran yang merupakan dzikir, setiap petunjuk serta pelajaran yang mereka sampaikan merupakan suatu kearifan. Gerak-gerik mereka di tengah-tengah masyarakat adalah berkah. Mereka mengajarkan kepada manusia tentang kehidupan yang mulia dan sarat dengan kebahagiaan. Keberadaan mereka merupakan wasilah (perantara) bagi sampainya faidh Ilahi serta diturunkannya keberkahan bagi umat Islam. Seluruh sifat yang melekat pada diri mereka bertolak belakang dengan orang-orang yang disebutkan al-Quran: “Maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya.”(al-Nur: 45) Sebagian manusia laksana hewan yang melata, di mana setiap usahanya hanya ditujukan untuk memenuhi tuntutan perut belaka. Sementara para wali Allah merupakan orang yang membawa kebaikan dan keberkahan bagi orang lain.
Di antara sahabat-sahabat Imam Ali al-Ridha as yang tinggal di kota Qum, terdapat salah seorang yang bernama Zakaria bin Adam yang wafat dan dimakamkan di pekuburan (Syaikhan) di kota Qum. Semasa hidupnya, Zakaria pernah menulis surat kepada Imam as agar diperbolehkan untuk pergi meninggalkan kota Qum. Sebabnya, sebagaimana yang tertulis dalam suratnya, ulama-ulama besar di kota tersebut telah meninggal dunia dan dirinya tidak terbiasa hidup bersama orang-orang yang waktu itu masih hidup.
Imam as kemudian membalas suratnya: “Janganlah engkau keluar; keberadaanmu di kota Qum adalah keberkahan bagi penduduknya. Allah Swt menolak bencana dengan berkah keberadaanmu, sebagaimana Allah menolak bencana dari kota ayahku (al-Kadzimiyyah) dengan berkah keberadaan beliau.” Ia merupakan salah satu wali Allah yang kehidupan dan kematiannya menjadi keberkahan bagi selainnya.
Telah kami katakan sebelumnya bahwa mustahil bagi kita untuk meraih maqam para imam. Namun untuk mencapai maqam murid-murid mereka merupakan hal yang mudah, karena terbukti bahwa orang-orang biasa pun mampu meraihnya. Mereka bukanlah para imam dan bukan pula putra- putrinya. Mereka menjadi wali Allah melalui usaha dan belajar. Jalan ini mudah ditempuh oleh setiap orang. Jika tidak, maka setiap anjuran dan motivasi dari para imam untuknya tidak akan pernah ada.
Imam Shadiq as berkata: “Paling baiknya orang yang memberikan syafaat adalah aku dan ayahku, kepada Himran bin A’yun. Kami memegang tangannya dan kami tidak melepaskannya dan kami mengajarnya hingga ia masuk ke surga bersama kami.”162 Himran bin A’yun adalah murid Imam Baqir as dan Imam Shadiq as. Ia adalah seorang pemuda biasa yang kemudian menjadi ulama dan berhasil mencapai maqam ini.
Tak seorang pun yang mengatakan sulit untuk meraih maqam wali Allah. Pada hari kiamat, kita akan tahu bahwa jalan menuju maqam ini terbuka lebar, tetapi kita tidak berusaha untuk meraihnya. Seandainya tidak ada qadha dan qadar Ilahi, dan manusia memiliki usia dan waktu kehidupan tertentu, maka para wali Allah tidak akan mau tinggal di dunia ini barang sebentar pun.
Jika umat manusia memiIiki nilai-nilai spiritual semacam ini, mereka tidak akan pernah takut terhadap berbagai intimidasi kekuatan Timur maupun Barat. Nilai-nilai spiritual yang agung ini telah dimiliki umat Islam berkat lutf dari Allah Swt. Sebab kalau tidak, umat mana yang mampu bersabar dan bertahan di bawah gelegar roket-roket ini dan oleh setiap penggelandangan dan pengusiran? Tak lain kecuali Islam dan Revolusi Islam-lah yang mampu mengantarkan manusia menuju maqam ini. Akidah Islam-lah yang menjadikan manusia mampu menanggung seluruh kesulitan dan ancaman, karena tak seorang pun yang rela dengan kezaliman kecuali orang-orang hina.
Imam Ali as berkata: “Tidak ada orang yang mampu memikul penganiayaan kecuali orang yang hina.”163 Orang yang mulia tidak akan pernah merestui kezaliman dan kesewenang-wenangan. Orang yang tetap bertahan tinggal di bawah sambaran roket, tak akan pernah merasakan kepedihan akibat melayangnya ruh dari tubuhnya. Apabila tertembak sehingga darah mengalir dari tubuhnya, seorang prajurit Islam, penjaga revolusi, atau tentara rakyat akan merasakan kelezatan dan tidak akan pernah merasakan sakit ketika ruhnya ditarik dari jasadnya. Adapun jika orang munafik atau kafir terkena serangan jantung, ia akan merasa tersiksa tatkala ruhnya dicabut.
Perspektif keagamaan tentunya berbeda dengan perspektif kedokteran. Dokter berkata: “Seseorang mati ketika ia sudah dingin.” Tetapi agama berkata: “Seseorang mati ketika pindah dari alam dunia ke alam barzah.” Siksaan apa yang akan diterima manusia ketika berpindah ke alam barzah? “Seraya memukul muka dan belakang mereka.”(al-Anfal: 50) Inilah keadaan yang dialami orang-orang kafir dan orang-orang munafik ketika berpindah ke alam barzah.
Ketika menjawab pertanyaan seseorang yang bertanya apakah syuhada di Karbala merasakan sakitnya besi, pedang, dan belati, Imam Baqir as berkata: “Ya, seperti seorang di antara kalian yang merasakan cubitan temannya di jarinya.”164 Ketika mendapat tikaman dan pukulan pedang dan belati, para syuhada Karbala hanya merasakan sakit seperti ini. Sebabnya ruh seseorang yang memiliki hubungan dengan alam akhirat tidak akan pernah merasakan sakit. Adapun jika ruh hanya berhubungan dengan badan, seseorang akan merasakan sakit yang luar biasa.
Demikianlah keadaan di medan perang. Begitu pula dengan shalat, karena shalat merupakan mihrab sekaligus medan peperangan dengan setan ―orang-orang yang berjihad dan melaksanakan shalat rindu bertemu dengan Allah Swt. Seandainya tidak ada qadha dan qadar Ilahi, mereka tidak akan pernah mau tinggal di dunia barang sebentar pun.
Dalam ceramahnya kepada Hammam, Imam Ali as berkata: “Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang rindu untuk pergi ke alam tersebut.”165 Makna seperti ini juga terkandung dalam hadis Rasul saww: “Mereka adalah wali Allah.” Jelas, mereka telah meraih wilayah, mencapai rahasia puasa, mengetahui adab puasa, menjaga diri serta lisannya, serta mengerjakan berbagai hukum dan adab berpuasa. Mereka telah menemukan jalan yang dapat mengantarkan mereka pada rahasia berpuasa.
Hal ini sesuai dengan apa yang telah dijelaskan Nabi saww dalam berbagai ceramahnya di bulan Sya’ban, yang berbunyi: “Jagalah lisan-lisan kalian.” Artinya, jagalah lisan kalian dengan bertata-krama, baik ketika berpuasa di siang hari maupun ketika berbuka di malam hari, dikarenakan manusia harus beranjak dari tingkatan adab menuju tingkat rahasia-rahasianya.
“Dan jagalah pandangan kalian terhadap apa yang tidak diperbolehkan untuk memandangnya.” Janganlah kalian memandang apa yang diharamkan Allah Swt. Kadangkala, seseorang memandang seorang perempuan yang bukan muhrimnya.”Pandangan adalah panah di antara panah-panah Iblis.”166 Namun, melalui latihan dan penyucian jiwa, seseorang dijamin bisa keluar dari bahaya ini. Begitu pula dengan melihat rahasia-rahasia orang lain yang termasuk diharamkan. Nabi saww bersabda: “Janganlah kalian, di bulan ini, melihat sesuatu yang telah diharamkan Allah.”
“Dan kasibilah yatim orang-orang sebagaimana kalian mengasihi yatim kalian.” Kalau kalian mencintai dan mengasihi anak orang lain, terutama anak-anak para Syuhada, niscaya mereka akan berlemah lembut dan mengasihi anak-anak kalian. Berlemah-lembutlah terhadap anak-anak orang lain, terutama meraka yang kehilangan ayahnya, karena hal itu amat mereka perlukan. Kelembutan semacam ini laksana semen yang menguatkan dan mengikat dinding dengan bangunan, lantai dengan batu, sehingga bangunan menjadi kuat.
Demikian pula dengan kelembutan. Ia merupakan pengikat antara satu dengan yang lain dan menjadikan mereka seperti satu jasad. Allah berfirman: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”(an-Nisaa: 9).
Janganlah kalian menzalimi anak-anak orang lain. Sebab jika hal ini terjadi, maka anak-anak kalian juga akan dizalimi. Setelah meninggal dunia, seseorang akan senantiasa melihat keadaan keluarganya. Ia akan mendatanginya setiap hari, terutama pada waktu zuhur, demi mengetahui apa yang dilakukan anak-anak dan keluarganya. Seperti apakah keluarganya itu melaksanakan shalat dan pekerjaan apa yang menyibukkan mereka.
Adapun orang-orang yang setelah wafat mendapatkan fasilitas yang lebih baik, mereka akan mengunjungi rumah-rumah mereka setiap hari. Adapun orang-orang yang setelah wafatnya tidak merdeka hanya datang satu kali dalam seminggu. Bahkan sebagian lagi yang lebih tidak merdeka hanya akan mendatangi rumahnya sekali dalam sebulan. Adapun orang-orang yang sangat tidak merdeka akan mengunjungi keluarganya satu kali dalam setahun. Biar bagaimanapun, hubungan mereka dengan rumahnya masing-masing tidak akan terputus sama sekali.
“Dan bertobatlah kepada Allah dari dosa-dosa kalian.” Dalam bulan ini, mintalah pengampunan dosa-dosa kalian kepada Allah Swt, “Dan angkatlah tangan-tangan kalian kepada Allah dengan berdoa di waktu-waktu shalat kalian.” Jika seseorang membaca doanya dengan tenang, berarti ia telah menjaga adab berdoa dengan cara yang lebih baik. Karena itu, janganlah berdoa untuk diri sendiri. Tapi berdoalah untuk seluruh umat manusia. Dan janganlah mengajukan sesuatu kepada Allah dengan berkata: “Ya Allah, berikanlah kepadaku ini atau itu.”
Acapkali manusia meminta sesuatu kepada Allah dengan terburu-buru serta menginginkan agar hal tersebut cepat-cepat dikabulkan. Padahal, boleh jadi permintaannya tersebut mengandung bahaya tertentu.167 Allah Swt mengajarkan doa kepada kita sebagaimana yang difirmankan-Nya: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.”(al-Baqarah: 201) Ya Allah, berikanlah kepadaku kebaikan di dunia, sesungguhnya aku tidak tahu dimanakah letak kebaikan. Banyak orang mengira bahwa nilai kebajikan terdapat pada harta. Padahal kehancuran bagi dirinyalah yang justru terdapat di dalamnya, Dengan demikian, manusia seharusnya meminta kebajikan kepada Allah Swt dan jangan pernah mengajukan sesuatu apapun kepada-Nya. Mungkin saja Allah menjadikan seorang mukmin serba kekurangan dari sisi ekonomi. Namun Ia tidak sampai menghancurkan air mukanya serta tidak menjadikannya hina dihadapan orang lain.
Dalam salah sebuah hadis diriwayatkan bahwa kedati seorang mukmin lemah dari segi ekonomi, namun air mukanya tetap terjaga. Kelemahan ekonomi bukanlah sebuah kehinaan. Sebaliknya, kehinaan terjadi ketika air muka seseorang tidak terjaga.
Seseorang boleh saja memiliki harta. Namun itu bukanlah sebuah kemuliaan. Allah Swt tidak akan merendahkan seorang mukmin jika ia meminta kebajikan dari-Nya dan tidak mengajukan sesuatu kepada-Nya. Karena terkadang harta menjadikan seseorang lupa dari mengingat Allah. Amat sedikit orang berharta yang menunaikan seluruh hak-haknya.
Dalam diskusi yang terjadi antara Imam Ali as dengan Khidr, Khidr berkata: “Alangkah indahnya ketawadhuan (kerendah-hatian) orang-orang kaya atas orang-orang miskin, karena mengharap apa yang ada di sisi Allah.”168 Sedangkan Imam Ali as berkata: “Lebih indah dari itu adalah kesombongan orang-orang miskin atas orang-orang kaya karena bertawakal kepada apa yang ada pada Allah.” Lebih tinggi dari kerendahan hati orang-orang kaya atas orang-orang miskin adalah ketiadaan perhatian orang-orang miskin terhadap apa yang dimiliki orang-orang kaya lantaran bertawakal dan bersandar atas apa yang ada pada Allah Swt.
Fadhilah (keutamaan) dan kemuliaan merupakan ketawadhu’-an orang-orang kaya atas orang-orang miskin. Akan tetapi yang lebih baik lagi adalah kemuliaan orang-orang miskin yang tidak memperhatikan harta orang-orang kaya. Islam mewasiatkan kepada manusia agar bertata krama antarsesama mereka ―baik itu orang muslim maupun kafir. Imam Ali as berkata: “Jadikanlah orang-orang munafik sadar melalui lisanmu dan ikhlaskanlah kecintaanmu kepada orang mukmin. Jika duduk di antaramu orang Yahudi, maka perindahlah majelismu.169 Jika seorang Yahudi duduk, maka hendaklah kamu duduk dan bertata krama bersamanya dengan baik. Kamu harus menjaga sopan santun Islam dalam ucapanmu kepadanya. Jika sopan santun dan nilai-nilai spiritual masyarakat menjadi seperti apa yang diinginkan Islam, maka tidak akan ada orang yang berusaha untuk mengumpulkan harta dan kekayaan, karena jika mereka melihat orang kaya yang tidak menghiraukan orang miskin dan tidak memberinya bantuan, maka penghormatan mereka baginya menjadi berkurang. Jika orang kaya masuk ke dalam sebuah majelis, maka ia tidak disamhub sehagaimana penyambutan bagi orang miskin, karena ia tidak menghiraukan orang-orang miskin, tetapi ia hanya menghiraukan hartanya.”
Islam menyatakan, jika seseorang mendirikan rumah dan membuatnya menjadi beberapa tingkat, malaikat mengatakan kepadanya: “Wahai orang paling fasik di antara orang-orang yang fasik, kemanakah engkau hendak pergi?”170 Sebabnya, motivasi untuk membangun rumah tersebut tak lain bersumber dari kesombongan dan kecongkakan.
Referensi:
158. Syaikhal-Baha’i, Arbain, hadis ke-2.
159. Muhaddis Qummi, al-Kina wa al-Alqab, juz 3, hal. 138.
160. Ad-Dilmy, Irsyad al-Qulub.
161. Tafsir Tantawy.
162. Syaikhal-Baha’i, al-Iktisas, hal.191-192.
163. Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-29,
164. Syaikh al-Saduq, Ma’ani al-Akbar, Bab “Ma’na al-Maut”, hadis ke-4 dan ke-5.
165. Nahj al-Balaghah, Hikmah ke-193.
166. Bihar al-Anwar, juz 104, ha1. 38; Man la Yahdhuru al-Faqih, juz 4, hal. 11.
167. “Mungkin kalian menyukai sesuatu sedangkan itu buruk bagi kalian.”
168. Nahj al-Balaghah, kata-kata hikmah.
169. Syaikh al-Mufid, al-Iktisas, hal. 225.
170. Abu Abdillah as berkata: “Apabila seseorang membangun {bangunan} lebih dari delapan tingkat, ia akan dipanggil: ‘Wahai orang yang paling fasik, arah mana yang engkau inginkan?’” Lihat, Wasail al-Syi’ah, juz 3, hal. 566.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email