Haji Mohammad Soeharto dan Hajah Siti Fatimah Hartinah Soeharto (Ibu Tien). Foto: repro Perjalanan Ibadah Haji Pak Harto.
Perjalanan haji Presiden Soeharto dan keluarganya ditengarai bermuatan politik.
OLEH: ANNISA MARDIANI
Dibaca: 5292 | Dimuat: 8 Juli 2014
SEORANG siswa
kelas tiga sekolah dasar, Tyar Fitriyanyah Ahyar, pada 20 Oktober 1984
menulis surat untuk Presiden Soeharto. “Kata guru saya juga papa saya,
orang muslim harus pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Kok Pak
Presiden belum menunaikan haji?” tulisnya dalam surat yang dimuat dalam Anak Indonesia dan Pak Harto, sebuah buku kumpulan surat anak-anak Indonesia untuk Presiden Soeharto yang disunting G. Dwipayana dan S. Sinansari.
Soeharto bukan tak ingin. Sepulang umroh
pada 1978, dia mengatakan ingin segera berhaji. “Tapi, saya pikir waktu
itu keadaan negara kita masih perlu pemikiran dan tenaga untuk
melaksanakan pembangunan, maka terpaksa saya tunda,” ujar Soeharto
seperti dikutip Berita Buana, 28 Juni 1991.
Tujuh tahun setelah Tyar menulis surat,
Soeharto dan isterinya, Ibu Tien, putra-putrinya, menantu, serta dokter
pribadi, pengawal, fotografer pribadi, dan pembimbing haji K.H. Qosim
Nurzeha berangkat ke Tanah Suci.
“Presiden Soeharto ke Tanah Suci
semata-mata ingin mewujudkan niatnya sebagai hamba Allah untuk beribadah
dan jangan dikait-kaitkan dengan masalah lain, termasuk politik,’’ ujar
Menteri Sekretaris Negara, Moerdiono kepada Merdeka, 5 Juni 1991.
Setiba di Jedah pada 17 Juni 1991,
Gubernur Mekah, Pangeran Majid bin Abdul Azis, yang mewakili Raja Fahd,
menyambut Soeharto dan rombongan. Kerajaan Arab Saudi menyediakan
penginapan di Royal Guest House untuk Soeharto dan rombongan selama
melakukan rangkaian ibadah haji. Juga perkemahan khusus di Arafah.
Kegiatan Soeharto diawali dengan
perjalanan ke Madinah untuk berziarah ke makam Nabi Muhammad, Abu Bakar
dan Umar bin Khattab. Setelah itu, dia menjalankan rangkaian haji pada
umumnya. Dia mendapat pengawalan dari tentara Kerajaan Arab Saudi,
sebagai fasilitas yang disediakan kerajaan bagi kepala negara selama
menunaikan ibadah haji.
Pada 22 Juni 1991, Soeharto mendapat
surat dari Raja Fahd. Raja Fahd dalam suratnya memberikan pilihan nama
yakni Mohammad atau Ahmad bagi Soeharto dan Siti Fatimah atau Siti
Maryam bagi isterinya. Sepulang dari Tanah Suci pada 26 Juni 1991,
Soeharto lebih suka menggunakan nama Haji Mohammad Soeharto, sementara
istrinya Hajah Siti Fatimah Hartinah Soeharto.
Banyak yang menengarai aktivitas
keagamaan Soeharto memiliki dimensi politis. Menurut Robert Hofner,
sampai paruh pertama 1990-an, Soeharto selalu dipandang sebagai
Jawa-muslim yang sekuler (abangan) ketimbang muslim yang saleh. Namun,
tulis Hefner dalam Politik Multikultural, “Dalam tahun-tahun
belakangan kemudian Soeharto mulai menampilkan diri sebagai seorang
muslim yang saleh dalam upaya untuk mendapatkan dukungan dari komunitas
Islam.”
Tanda-tanda Soeharto menoleh Islam sudah
terlihat. Dari pemberian restu pemakaian jilbab, berdirinya bank-bank
syariah, hingga berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Namun terlepas dari alasan politis, perjalanan haji itu adalah
serangkaian ibadah pemenuhan kewajiban muslim menjalankan rukun Islam
kelima.
Post a Comment
mohon gunakan email