Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Hajah Siti Fatimah Hartinah Soeharto (Ibu Tien). Show all posts
Showing posts with label Hajah Siti Fatimah Hartinah Soeharto (Ibu Tien). Show all posts

Secuil Kisah Hidup Suharto


KISAH HIDUP SUHARTO

OLEH: ANTON

Suharto adalah manusia paling kontroversial di Indonesia. Nilai kontroversinya jauh melebihi Sukarno. Bila Bung Karno dikenal dunia karena ulahnya yang begitu mencengangkan dan sering bikin kejutan, maka Suharto lebih pada nilai misteriusnya. Misteri Suharto adalah kekuasaan yang begitu besar, dan itu dibangun dengan cara yang mungkin orang akan juga tercengang yaitu sikap : Diam. Pendiam bagi Suharto bukan hanya watak tapi merupakan latihan menahan diri yang ekstrem. Bahkan Rosihan Anwar yang pernah bersama Suharto di tahun 1949 sebagai wartawan Republikein mengunjungi Panglima Sudirman di persembunyiannya menghadapi sikap aneh dari seorang Overste (letnan kolonel) muda ini dengan sikap diamnya. “Saya bersama Overste Suharto dan seorang juru potret Frans Mendur menemui Jenderal Sudirman di persembunyiannya sekitar pedalaman hutan Wonosobo, saya diantar oleh Overste Suharto namun sepanjang perjalanan satu hari penuh tidak pernah Suharto bicara sedikitpun, baru ketika ia mempersilahkan kami meminum degan (air kelapa muda) baru ia berkata singkat “Silahkan” setelah itu tidak ada kata-kata lagi. Demikian kira-kira kesan Rosihan Anwar yang ia sering ungkap ke publik jauh-jauh hari ketika Orde Baru sudah berkuasa. Diam itu modal, dan itu adalah prinsip Suharto. Dengan filsafat diam ia membangun kekuasaannya dengan begitu perkasa dan tidak pernah terkalahkan oleh kekuatan politik lokal apapun. Namun ironisnya kekuasaan Orde Baru yang begitu besar justru jatuh karena paradoks-paradoks masyarakat yang dibangunnya. Begitu juga dengan kekejamannya, korupsi bahkan lebih jauh lagi merubah secara fundamental haluan bangsa ini yang diarahkan oleh founding fathers sebagai negara kesejahteraan bersama menjadi negara milik kaum kroni, mungkin sampai detik ini.

Suharto lahir juga dari sebuah sikap aneh seorang ibu. Sukirah, adalah nama Ibu Suharto. Dalam otobiografinya ‘Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya’ yang disusun G Dwipayana, Sukirah digambarkan oleh Suharto sebagai ibu muda yang sedang sulit memikirkan masalah-masalah rumah tangga. Namun banyak catatan di buku-buku sejarah Suharto lain yang banyak menyebutkan Sukirah sedang mengalami problem mental yang sangat sulit. Apa problem mental itu tidak pernah ada penjelasan yang gamblang sampai saat ini. Hanya saja proses kelahiran Suharto merupakan yang berat bagi Sukirah, sebelum Suharto (yang lahir 8 Juni 1921) berumur 40 hari, Sukirah harus menghadapi talak cerai suaminya Kertosudiro. Seorang mantri ulu-ulu (pengatur irigasi) miskin yang kelak sebagai ayah Suharto tidak memainkan peran banyak dalam kehidupan Suharto bahkan banyak pengamat Suharto seperti RE Elson. Suharto tidak pernah menunjukkan rasa hormat yang layak kepada Kertosudiro sebagai ayah kandung. Lalu apakah Kertosudiro itu ayah kandung Suharto? Inilah misteri terbesar dari Suharto yang kerap banyak disebut sebagai anak lembu petheng (anak hasil dari hubungan gelap) dan meyakini bahwa Kertosudiro bukanlah ayah kandung Suharto. Banyak catatan beredar mengenai hal ini, bahkan pelontarnya tidak tanggung-tanggung seperti : Mantan Menteri Penerangan yang dekat dengan Suharto, Mashuri. Mashuri sendiri pernah membuat pernyataan yang menghebohkan bahwa Suharto adalah anak seorang pedagang keliling Cina yang cukup kaya raya. Namun ada juga yang berpendapat bahwa ayah kandung Suharto adalah kerabat Keraton Yogyakarta. Pada tahun 1974 pernah muncul pemberitaan yang menghebohkan dari majalah gossip bernama ‘POP’ sebuah liputan yang menurunkan kisah lama yang beredar bahwa Suharto adalah anak dari Padmodipuro, seorang bangsawan dari trah Hamengkubowono II. Suharto kecil yang umur 6 tahun dibuang ke desa dan disuruh diasuh oleh Kertosudiro. Hal ini kemudian dibantah keras oleh Suharto. Dengan separuh murka Suharto mengadakan konferensi pers di Bina Graha bahwa liputan mengenai asal-usulnya dirinya yang anak bangsawan bisa saja merupakan tunggangan untuk melakukan subversif. Suharto dengan caranya sendiri ingin mengesankan bahwa dia adalah anak desa. Mitos Suharto sebagai anak desa ini digunakan untuk mengaitkan dirinya dengan mayoritas bangsa Indonesia yang di tahun 70-an adalah petani dan menghindarkan kesan bahwa Junta Militer yang dipimpinnya adalah gerakan elite.

Konsep anak haram banyak disebut oleh para biografer Suharto untuk menjelaskan asal-usuk Suharto. Ketidakjelasan asal-usul Suharto secara genealogi sampai sekarang masih belum terpecahkan. Namun dari semua itu Bayi Suharto berada di dunia dengan kondisi keluarga yang kurang menguntungkan. Sukirah yang stress dan senang bertapa serta ayahnya yang datang dan pergi jelas tidak menguntungkan bagi Suharto. Sukirah pernah ditemukan hampir mati disuatu tempat karena memaksa dirinya berpuasa ngebleng (tidak makan dan minum selama 40 hari) di suatu tempat yang tersembunyi dan hilangnya Sukirah sempat pernah membuat panik penduduk desa kemusuk, sehingga para penduduk mencarinya. Sadar dengan kondisi Sukirah yang kurang baik, keluarga Sukirah akhirnya memutuskan untuk menyerahkan pengurusan bayi Suharto kepada kakak perempuan Kertosudiro, isteri dari Kromodiryo. Putra Kromodiryo Amat Idris sangat menyayangi Suharto kecil tiap sore bayi kecil Suharto dibopong-bopong sambil mengitari persawahan. Setelah Suharto bisa jalan ia kerap diajak oleh Kromodiryo ke sawah. Dalam otobiografinya Suharto masih ingat ketika ia berumur empat tahun melihat kaki Kromodiryo terluka karena sabitnya terlepas dari gagang saat sedang bekerja di sawah. Dalam psikologi anak umur antara tiga tahun sampai lima tahun adalah masa golden time, Alam psikologi Suharto tentunya sangat dipengaruhi masa-masa ini. Ibunya yang berat pikiran namun melakukan tapa berat untuk menjawab kesulitan hidupnya jelas akan menurun pada waktu Suharto yang kelak dikemudian hari sangat senang melakukan puasa dan melatih diri untuk menahan apapun atau berlatih menyembunyikan ekspresi emosi-emosinya. Latihan-latihan ini kelak sangat berguna sebagai senjata paling ampuh dalam menghadapi situasi paling sulit sekalipun. Namun keterpecahan keluarga, rasa terbuang oleh keluarga dan tidak diperhatikan akan membangkitkan sikap ingin melindungi keluarganya secara berlebihan inilah yang ketika dimasa Orde Baru nanti sikap yang paling banyak dibenci oleh setiap orang ketika melihat sosok Suharto.

Suharto tidak seperti anak desa lainnya yang harus bekerja di sawah. Dalam usia yang sangat muda ia disekolahkan oleh ayahnya. Inilah yang banyak mengundang pertanyaan para ahli sejarah bahwa Suharto bukan sekedar anak petani desa yang miskin, tapi dia anak haram dari orang kaya yang memperhatikan dirinya dan menyerahkan pada Kertosudiro untuk mengurusnya. Suharto bukanlah murid yang cerdas dan tidak ada berita-berita mengenai masa Suharto di Sekolah Rakyat (setingkat SD). Ini berbeda misalnya dengan cerita Sukarno sewaktu dia masih di SD yang banyak berkisah tentang masa sekolahnya dan apa yang dibacanya, begitu juga dengan Hatta dan Sjahrir. Kesan Suharto di masa SD itu hanya pada ingatannya tentang kerbau-kerbau yang dengan bangga dimilikinya. Dunia Suharto hanya berkutat pada penggembalaan kerbau jauh dari cerita-cerita anak yang didapat dari buku-buku yang kerap dibaca anak-anak SD dari keluarga terdidik seperti Sjahrir yang sejak kecil sudah akrab dengan Karl May atau cerita dari novel-novel Charles Dickens. Setelah ikut dengan kakeknya Atmodiwiryo, Harto kecil tiap usai sekolah menggembalakan kerbau disawahnya, ia senang sekali membawa kerbaunya meniti pematang sawah dan memandikannya. Suatu saat kerbau yang digembalakannya terperosok ke parit dekat pematang sawah dan Suharto tidak bisa mengeluarkan kerbau itu ia lalu menangis keras-keras. Orang-orang berdatangan dan menolong kerbau milik Harto kecil ini. Kenangan tentang kerbau yang terperosok ini diuraikan dalam biografi resminya. Suharto jarang berkelahi dia anak pendiam dan tidak usil atau arogan seperti Sukarno kecil . Namun entah kenapa dia pernah sekali berkelahi dengan temannya sampai berdarah-darah, menurut Suharto karena temannya itu mengatainya ‘Den Bagus Tahi Mabul’ Suharto mengenang anak kecil itu mrongos (tonggos) dan agak pincang, sebuah penggambaran teatrikal orang jahat di benak Suharto. Julukan Den Bagus Tahi Mabul (Den Bagus Tahi Kering) ini sedikit banyak mengungkapkan bahwa setidak-tidaknya penduduk desa tahu bahwa Suharto bukanlah anak jelata, tapi kemungkinan anak keraton yang dipisah dari lingkungannya.

Ditengah masalah keluarga yang menderanya, Suharto terus melakukan kegiatan sekolahnya. Ia sama sekali tidak mendapat perhatian kasih sayang orang tua yang layak. Sepanjang umurnya dihabiskan ngenger kesana kemari. Bahkan setiap tahun ia selalu menyaksikan keluarganya selalu bertengkar karena Suharto kerap menjadi rebutan. Tentu sedikit banyak hal ini mempengaruhi jiwa Suharto kecil. Kebimbangan akan status dirinya diimbangi dengan masa bermain yang mungkin juga berpengaruh terhadap pribadi Suharto. Ada satu hal yang menarik bila diperhatikan dari Suharto muda, yaitu : boleh dikatakan Suharto adalah kawan yang menyenangkan bila ia bermain sesuatu, ia tidak pernah menceritakan masa bermainnya sebagai masa pembentukan watak, tapi menyiratkan pada kita bahwa ia adalah seorang yang pendiam tapi bisa bergabung dengan komunitasnya serta disenangi. Ini berbeda misalnya dengan Bung Karno muda yang dipenuhi kisah keberanian, merasa unggul dan pengalaman yang lucu-lucu seperti keberaniannya masuk ke dalam lapangan Sepak Bola kemudian dia dikeroyok sinyo-sinyo Belanda. Suharto hanya anak kampung biasa yang gemar bermain bola, sebelum bermain bola kawan-kawan Suharto datang mencari Suharto, dan Suharto sedang mengerjakan pekerjaan rumahnya kawan-kawannya membantu pekerjaan itu seperti menimba air. Ada hal yang menarik juga masa muda Soeharto tidak pernah ia bekerja di sawah. Suharto sering digambarkan menggembalakan kerbau, tapi tidak pernah diceritakan ia memacul sawah dan bekerja sebagai petani. Apakah ini berarti memang ia benar-benar anak Keraton yang terasingkan di desa?

Pada tahun 1931 Suharto masuk Schakelschool di Wonogiri, disini ia bersama Sulardi, putra kedua Prawirohardjo menetap di Selogiri pada rumah Sudiarto, kakak tertua Sulardi. Sulardi bisa dikatakan adalah satu-satunya orang yang bersahabat dengan Suharto di masa muda. Di luar nama Sulardi tidak pernah ada nama lain yang disebut Suharto kecuali secara sekilas ada orang kampungnya yang suka bermain bola Kamin dan Warikin. Kelak setelah menjadi Presiden dua orang ini diundang Pak Harto ke Istana. Sulardi ini punya teman sekelas bernama Siti Hartinah, puteri dari bangsawan Mangkunegaran yang ditugaskan di Wonogiri Raden Mas Soemorharjomo. Melalui Sulardi-lah Suharto banyak tahu tentang Siti Hartinah ini, namun Suharto agaknya di awal-awal tidak ambil peduli, ia lebih banyak pusing memikirkan masalah keluarganya. Tak lama Suharto tinggal di Selogiri, ia balik lagi ke Wonogiri lagi-lagi ayahnya Kertosudiro datang menyusul Suharto dan membawa Harto muda ke rumah keluarga Hardjowijono yang juga merupakan kerabat ayahnya. Di rumah Hardjowijono ini banyak diberitakan Suharto diperlakukan layaknya seperti kacung. Namun ketabahan hati Suharto menerima semua pekerjaan yang diberikan padanya membentuk jiwa yang patuh. Dalam jiwa anak muda ada dua pilihan bila ia menghadapi situasi tidak menyenangkan. Ia memberontak dengan melawan semua aturan yang dianggapnya tidak nyaman atau ia akan mematuhi secara total apa yang diperintahkan kepadanya, sehingga kepatuhan itu sendiri akan menutupi ketidaknyamanan dirinya. Rupanya Harto memilih yang kedua, ia bersedia untuk menjadi orang patuh. Kepatuhannya ini kelak yang kemudian membawa dia pada kecocokan dalam bidang militer.

Siapakah Dukun-Dukun Suharto?


Guru spiritual Soeharto (selain dari lingkungan keluarga):

1. Romo Marto Pangarso (dari Bantul-Yogyakarta), dikenal sebagai guru Soeharto dalam arti sesungguhnya.
Ia berhubungan dengan Marto saat memimpin BKR di Yogyakarta. Konon, Marto yang kerap melakukan ritual di Candi Prambanan ini bisa membaca tanda-tanda.
Sejumlah syarat lelaku dari Marto yang terbilang berat pernah dilakukan Soeharto demi memenuhi ramalannya, seperti bersemedi di Gua Srandil (di Cilacap).
Marto meninggal tahun 1980, sebelum meninggalnya Soeharto sempat membangun Padepokan Sendang Semanggi Kasihan Bantul (tempat Marto mengumpulkan pengikutnya dari pelosok Jawa setiap 35 hari).

2. Romo Diat (dari Semarang)
Dukun ini kerap menginjakkan Istana Negara ( berbeda dengan Marto yang tidak pernah). Selain memberikan nasehat spiritual, ia juga memberi perlindungan gaib, untuk kediaman keluarga Cendana maupun di Istana Negara.

3. Soedjono Hoemardani
Konon ialah yang mengatur hari atau apa saja yang harus dilakukan dan diperbuat keluarga Cendana jika mereka ingin selamat.
Sebagai catatan:
– Soedjono inilah yang memelopori pemberlakuan Ketetapan MPR menyangkut aliran kepercayaan yang menghebohkan itu.
– Ki Ageng Selo mengaku kalau saat tahun 1970 pernah diperintahkan menanam bunga wijaya kusuma di Istana Negara yang diambil Soedjono dari P. Nusakambangan. Tujuannya agar 1973 Soeharto terpilih lagi menjadi Presiden.

4. Soedjarwo, kerabat Ibu Tien dari Mangkunegara.

5. Darundrio, dikenal ahli kanuragan-membuat tubuh kebal senjata tajam-kerap diminta keluarga Cendana untuk upacara spiritual kejawen.

6. Mbah Diran (dari Jakarta Pusat), dikenal sebagai pawang hujan. Jasanya sering digunakan Mbak Tutut untuk proyek jalan tolnya.

7. Sejumlah dukun atau penasehat spiritual yang mengelilingi Soeharto, selama ini tak pernah jelas . Namun Ki Ageng Selo pernah menyebut tak kurang daari 50 orang.

Perubahan Soeharto terjadi sejak:
– Para penasehat spiritual utamanya Marto, Diat dan Soedjono satu per satu meninggal. Puncaknya ketika Ibu Tien meninggal.

– Sejumlah paranormal Jawa melihat sejak perekonomian Indonesia mulai tumbuh. Soeharto mulai menumpuk kekayaan. Saat itulah Sri Sultan HB ke IX melihat Soeharto mulai melanggar ajaran Jawa. Sebagai bentuk “protes”nya beliau menolak dicalonkan kembali menjadi wapres.

Masyarakat juga mulai merasakan bahwa di bawah ORBA penggusuran tanah dan lahan terjadi dimana-mana. Th 1991, proyek Kedung Ombo misalnya telah membuat belasan ribu orang Jateng kehilangan rumah, tanah dan kuburan leluhur mereka. Padahal dalam konsep Jawa kuburan adalah sesuatu yang sangat dihormati. Pakar filsafat Jawa (Damarjati) mengungkapkan bahwa Pak Harto telah menerapkan filsafat Jawa yang salah.

Sementara pakar filsafat Franz Magnis Suseno mengemukanan, menunjuk “manajemen kekuasaan” Soeharto selama ini “mengoper” pola kekuasaan Raja Jawa. Pola inilah yang membuat pembantunya “yes-men”.
Dalam ilmu perdukunan Jawa Soeharto terkena tulah kelakuannya sendiri. Malam sebelum ia terkena stroke, saat hujan lebat mengguyur Jakarta, sebuah pohon cemara besar di rumah salah seorang keluarga Cendana tumbang. Pertanda buruk !!! Tumbang juga akhirnya !!!!!!!!!!!

Sumber: Dikutip dari berbagai sumber

Muatan Politik di Balik Soeharto Naik Haji

Haji Mohammad Soeharto dan Hajah Siti Fatimah Hartinah Soeharto (Ibu Tien). Foto: repro Perjalanan Ibadah Haji Pak Harto.

Perjalanan haji Presiden Soeharto dan keluarganya ditengarai bermuatan politik.
OLEH: ANNISA MARDIANI
Dibaca: 5292 | Dimuat: 8 Juli 2014
 
SEORANG siswa kelas tiga sekolah dasar, Tyar Fitriyanyah Ahyar, pada 20 Oktober 1984 menulis surat untuk Presiden Soeharto. “Kata guru saya juga papa saya, orang muslim harus pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Kok Pak Presiden belum menunaikan haji?” tulisnya dalam surat yang dimuat dalam Anak Indonesia dan Pak Harto, sebuah buku kumpulan surat anak-anak Indonesia untuk Presiden Soeharto yang disunting G. Dwipayana dan S. Sinansari.

Soeharto bukan tak ingin. Sepulang umroh pada 1978, dia mengatakan ingin segera berhaji. “Tapi, saya pikir waktu itu keadaan negara kita masih perlu pemikiran dan tenaga untuk melaksanakan pembangunan, maka terpaksa saya tunda,” ujar Soeharto seperti dikutip Berita Buana, 28 Juni 1991.

Tujuh tahun setelah Tyar menulis surat, Soeharto dan isterinya, Ibu Tien, putra-putrinya, menantu, serta dokter pribadi, pengawal, fotografer pribadi, dan pembimbing haji K.H. Qosim Nurzeha berangkat ke Tanah Suci.

“Presiden Soeharto ke Tanah Suci semata-mata ingin mewujudkan niatnya sebagai hamba Allah untuk beribadah dan jangan dikait-kaitkan dengan masalah lain, termasuk politik,’’ ujar Menteri Sekretaris Negara, Moerdiono kepada Merdeka, 5 Juni 1991.

Setiba di Jedah pada 17 Juni 1991, Gubernur Mekah, Pangeran Majid bin Abdul Azis, yang mewakili Raja Fahd, menyambut Soeharto dan rombongan. Kerajaan Arab Saudi menyediakan penginapan di Royal Guest House untuk Soeharto dan rombongan selama melakukan rangkaian ibadah haji. Juga perkemahan khusus di Arafah.
Kegiatan Soeharto diawali dengan perjalanan ke Madinah untuk berziarah ke makam Nabi Muhammad, Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Setelah itu, dia menjalankan rangkaian haji pada umumnya. Dia mendapat pengawalan dari tentara Kerajaan Arab Saudi, sebagai fasilitas yang disediakan kerajaan bagi kepala negara selama menunaikan ibadah haji.

Pada 22 Juni 1991, Soeharto mendapat surat dari Raja Fahd. Raja Fahd dalam suratnya memberikan pilihan nama yakni Mohammad atau Ahmad bagi Soeharto dan Siti Fatimah atau Siti Maryam bagi isterinya. Sepulang dari Tanah Suci pada 26 Juni 1991, Soeharto lebih suka menggunakan nama Haji Mohammad Soeharto, sementara istrinya Hajah Siti Fatimah Hartinah Soeharto.

Banyak yang menengarai aktivitas keagamaan Soeharto memiliki dimensi politis. Menurut Robert Hofner, sampai paruh pertama 1990-an, Soeharto selalu dipandang sebagai Jawa-muslim yang sekuler (abangan) ketimbang muslim yang saleh. Namun, tulis Hefner dalam Politik Multikultural, “Dalam tahun-tahun belakangan kemudian Soeharto mulai menampilkan diri sebagai seorang muslim yang saleh dalam upaya untuk mendapatkan dukungan dari komunitas Islam.”

Tanda-tanda Soeharto menoleh Islam sudah terlihat. Dari pemberian restu pemakaian jilbab, berdirinya bank-bank syariah, hingga berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Namun terlepas dari alasan politis, perjalanan haji itu adalah serangkaian ibadah pemenuhan kewajiban muslim menjalankan rukun Islam kelima.


Terkait Berita: