Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label istana merdeka. Show all posts
Showing posts with label istana merdeka. Show all posts

Siapakah Dukun-Dukun Suharto?


Guru spiritual Soeharto (selain dari lingkungan keluarga):

1. Romo Marto Pangarso (dari Bantul-Yogyakarta), dikenal sebagai guru Soeharto dalam arti sesungguhnya.
Ia berhubungan dengan Marto saat memimpin BKR di Yogyakarta. Konon, Marto yang kerap melakukan ritual di Candi Prambanan ini bisa membaca tanda-tanda.
Sejumlah syarat lelaku dari Marto yang terbilang berat pernah dilakukan Soeharto demi memenuhi ramalannya, seperti bersemedi di Gua Srandil (di Cilacap).
Marto meninggal tahun 1980, sebelum meninggalnya Soeharto sempat membangun Padepokan Sendang Semanggi Kasihan Bantul (tempat Marto mengumpulkan pengikutnya dari pelosok Jawa setiap 35 hari).

2. Romo Diat (dari Semarang)
Dukun ini kerap menginjakkan Istana Negara ( berbeda dengan Marto yang tidak pernah). Selain memberikan nasehat spiritual, ia juga memberi perlindungan gaib, untuk kediaman keluarga Cendana maupun di Istana Negara.

3. Soedjono Hoemardani
Konon ialah yang mengatur hari atau apa saja yang harus dilakukan dan diperbuat keluarga Cendana jika mereka ingin selamat.
Sebagai catatan:
– Soedjono inilah yang memelopori pemberlakuan Ketetapan MPR menyangkut aliran kepercayaan yang menghebohkan itu.
– Ki Ageng Selo mengaku kalau saat tahun 1970 pernah diperintahkan menanam bunga wijaya kusuma di Istana Negara yang diambil Soedjono dari P. Nusakambangan. Tujuannya agar 1973 Soeharto terpilih lagi menjadi Presiden.

4. Soedjarwo, kerabat Ibu Tien dari Mangkunegara.

5. Darundrio, dikenal ahli kanuragan-membuat tubuh kebal senjata tajam-kerap diminta keluarga Cendana untuk upacara spiritual kejawen.

6. Mbah Diran (dari Jakarta Pusat), dikenal sebagai pawang hujan. Jasanya sering digunakan Mbak Tutut untuk proyek jalan tolnya.

7. Sejumlah dukun atau penasehat spiritual yang mengelilingi Soeharto, selama ini tak pernah jelas . Namun Ki Ageng Selo pernah menyebut tak kurang daari 50 orang.

Perubahan Soeharto terjadi sejak:
– Para penasehat spiritual utamanya Marto, Diat dan Soedjono satu per satu meninggal. Puncaknya ketika Ibu Tien meninggal.

– Sejumlah paranormal Jawa melihat sejak perekonomian Indonesia mulai tumbuh. Soeharto mulai menumpuk kekayaan. Saat itulah Sri Sultan HB ke IX melihat Soeharto mulai melanggar ajaran Jawa. Sebagai bentuk “protes”nya beliau menolak dicalonkan kembali menjadi wapres.

Masyarakat juga mulai merasakan bahwa di bawah ORBA penggusuran tanah dan lahan terjadi dimana-mana. Th 1991, proyek Kedung Ombo misalnya telah membuat belasan ribu orang Jateng kehilangan rumah, tanah dan kuburan leluhur mereka. Padahal dalam konsep Jawa kuburan adalah sesuatu yang sangat dihormati. Pakar filsafat Jawa (Damarjati) mengungkapkan bahwa Pak Harto telah menerapkan filsafat Jawa yang salah.

Sementara pakar filsafat Franz Magnis Suseno mengemukanan, menunjuk “manajemen kekuasaan” Soeharto selama ini “mengoper” pola kekuasaan Raja Jawa. Pola inilah yang membuat pembantunya “yes-men”.
Dalam ilmu perdukunan Jawa Soeharto terkena tulah kelakuannya sendiri. Malam sebelum ia terkena stroke, saat hujan lebat mengguyur Jakarta, sebuah pohon cemara besar di rumah salah seorang keluarga Cendana tumbang. Pertanda buruk !!! Tumbang juga akhirnya !!!!!!!!!!!

Sumber: Dikutip dari berbagai sumber

Untuk Kedua Kalinya Istana Merdeka Dikepung Pasukan Soeharto

Note: Foto pinjam dari TIME

RENCANA Sukarno menggelar sidang Komando Operasi Tertinggi (KOTI) tanggal 14 Maret 1966 gagal total. Seperti beberapa hari sebelumnya, tanggal 11 Maret 1965, Istana Merdeka kembali dikepung oleh pasukan pendukung Soeharto dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang sekarang dikenal dengan nama Kopassus.


Tadinya dalam rapat yang urung digelar itu Sukarno bermaksud menjelaskan posisi dan arti Surat Perintah 11 Maret 1966 yang diberikannya kepada Soeharto. Dia juga bermaksud mengklarifikasi kabar yang menyebutkan pasukan Soeharto, dengan menggunakan SP 11 Maret, telah melakukan penangkapan terhadap sejumlah menteri. Laporan tentang penangkapan menteri ini disampaikan oleh menteri transmigrasi yang juga rektor Universitas Bung Karno (UBK) dan anggota Tim Epilog, Muhammad Achadi.

Begitu mengetahui rumahnya juga diduduki oleh pasukan pendukung Soeharto, Achadi yang sehari-hari dikawal oleh Resimen Pelopor (Menpor) Polri, mendatangi rumah menteri/panglima angkatan kepolisian Irjen Sutjipto Judodihardjo untuk mendapatkan penjelasan mengenai apa yang terjadi.

Mendengar laporan tentang penangkapan menteri, Sutjipto Judodihardjo lalu menyarankan agar Achadi menemui Sukarno keesokan harinya di Istana Merdeka.

Begitulah, kata Achadi pada suatu sore dua pekan lalu di Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat. Dia pun mengikuti saran Sutjipto dan melaporkan penangkapan-penangkapan itu kepada Sukarno keesokan harinya.
Sukarno yang sehari sebelum itu mendapatkan laporan berbeda dari Soeharto, meminta agar Achadi tidur di guest house Istana Merdeka. Dia juga meminta agar Achadi memberikan laporan dalam rapat KOTI keesokan hari. Kata Bung Karno, Soeharto pun akan hadir dalam rapat itu.

Tetapi, seperti yang telah diceritakan di atas, rapat itu gagal digelar. Istana Merdeka kembali dikepung oleh pasukan pro Suharto. Sementara Bung Karno, merasa dirinya berada dalam ancaman, meminta Komandan KKO Mayjen Hartono mengawalnya ke Istana Bogor.

Menurut cerita Achadi, Soeharto sempat mendatangi Bung Karno dan meminta agar Bung Karno tetap tinggal di Istana Merdeka. “Keadaan di luar tidak aman,” begitu kata Soeharto seperti ditiru Achadi.
Tetapi Bung Karno yang sudah curiga dengan keadaan tak menggubris kata-kata Soeharto. Dia tetap melangkah ke luar menuju mobil yang akan membawanya ke Bogor.

Di halaman Istana Merdeka, menurut informasi yang diperoleh Achadi kemudian dari Pak Parto, supir Bung Karno, hampir saja terjadi bentrokan antara pasukan KKO dengan RPKAD.

Begitu melihat mobil Sukarno hendak meninggalkan halaman, sekelompok tentara pro Soeharto dengan senjata dalam posisi siaga mendekat hendak menghentikan laju mobil. Namun mereka memilih mundur setelah tahu bahwa Komandan KKO Hartono juga ikut mengawal Bung Karno.
“Kalau Bung Karno disikat, Hartono pasti akan melakukan action. Dia punya satu kompi yang bersiaga di silang Monas,” cerita Achadi.

Sementara itu, melihat Bung Karno meninggalkan Istana Merdeka, Achadi juga tak mau tinggal berlama-lama di Istana yang sudah terkepung. Dia memilih segera menghindar.

Dengan pengawalan Menpor, Achadi mengikuti rombongan Bung Karno ke Bogor. Tetapi karena Istana Bogor juga dikepung tentara, Achadi memilih melanjutkan perjalanan ke markas Menpor di kawasan puncak.
“Di tempat itu saya menunggu langkah Hartono menghalang-halangi gerak pasukan Soeharto, seperti yang diperintahkan Bung Karno. Tapi kan kita akhirnya tidak bisa ngapa-ngapain,” kata Achadi lagi.

Keesokan harinya, 15 Maret 1966, Soeharto resmi mengumumkan penangkapan menteri-menteri yang dituding terlibat dalam peristiwa pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira muda Angkatan Darat, dinihari 1 Oktober 1965.

Terkait Berita: