Guru spiritual Soeharto (selain dari lingkungan keluarga):
1. Romo Marto Pangarso (dari Bantul-Yogyakarta), dikenal sebagai guru Soeharto dalam arti sesungguhnya.
Ia berhubungan dengan Marto saat memimpin BKR di Yogyakarta. Konon, Marto yang kerap melakukan ritual di Candi Prambanan ini bisa membaca tanda-tanda.
Sejumlah syarat lelaku dari Marto yang terbilang berat pernah dilakukan Soeharto demi memenuhi ramalannya, seperti bersemedi di Gua Srandil (di Cilacap).
Marto meninggal tahun 1980, sebelum meninggalnya Soeharto sempat membangun Padepokan Sendang Semanggi Kasihan Bantul (tempat Marto mengumpulkan pengikutnya dari pelosok Jawa setiap 35 hari).
2. Romo Diat (dari Semarang)
Dukun ini kerap menginjakkan Istana Negara ( berbeda dengan Marto yang tidak pernah). Selain memberikan nasehat spiritual, ia juga memberi perlindungan gaib, untuk kediaman keluarga Cendana maupun di Istana Negara.
3. Soedjono Hoemardani
Konon ialah yang mengatur hari atau apa saja yang harus dilakukan dan diperbuat keluarga Cendana jika mereka ingin selamat.
Sebagai catatan:
– Soedjono inilah yang memelopori pemberlakuan Ketetapan MPR menyangkut aliran kepercayaan yang menghebohkan itu.
– Ki Ageng Selo mengaku kalau saat tahun 1970 pernah diperintahkan menanam bunga wijaya kusuma di Istana Negara yang diambil Soedjono dari P. Nusakambangan. Tujuannya agar 1973 Soeharto terpilih lagi menjadi Presiden.
4. Soedjarwo, kerabat Ibu Tien dari Mangkunegara.
5. Darundrio, dikenal ahli kanuragan-membuat tubuh kebal senjata tajam-kerap diminta keluarga Cendana untuk upacara spiritual kejawen.
6. Mbah Diran (dari Jakarta Pusat), dikenal sebagai pawang hujan. Jasanya sering digunakan Mbak Tutut untuk proyek jalan tolnya.
7. Sejumlah dukun atau penasehat spiritual yang mengelilingi Soeharto, selama ini tak pernah jelas . Namun Ki Ageng Selo pernah menyebut tak kurang daari 50 orang.
Perubahan Soeharto terjadi sejak:
– Para penasehat spiritual utamanya Marto, Diat dan Soedjono satu per satu meninggal. Puncaknya ketika Ibu Tien meninggal.
– Sejumlah paranormal Jawa melihat sejak perekonomian Indonesia mulai tumbuh. Soeharto mulai menumpuk kekayaan. Saat itulah Sri Sultan HB ke IX melihat Soeharto mulai melanggar ajaran Jawa. Sebagai bentuk “protes”nya beliau menolak dicalonkan kembali menjadi wapres.
Masyarakat juga mulai merasakan bahwa di bawah ORBA penggusuran tanah dan lahan terjadi dimana-mana. Th 1991, proyek Kedung Ombo misalnya telah membuat belasan ribu orang Jateng kehilangan rumah, tanah dan kuburan leluhur mereka. Padahal dalam konsep Jawa kuburan adalah sesuatu yang sangat dihormati. Pakar filsafat Jawa (Damarjati) mengungkapkan bahwa Pak Harto telah menerapkan filsafat Jawa yang salah.
Sementara pakar filsafat Franz Magnis Suseno mengemukanan, menunjuk “manajemen kekuasaan” Soeharto selama ini “mengoper” pola kekuasaan Raja Jawa. Pola inilah yang membuat pembantunya “yes-men”.
Dalam ilmu perdukunan Jawa Soeharto terkena tulah kelakuannya sendiri. Malam sebelum ia terkena stroke, saat hujan lebat mengguyur Jakarta, sebuah pohon cemara besar di rumah salah seorang keluarga Cendana tumbang. Pertanda buruk !!! Tumbang juga akhirnya !!!!!!!!!!!
Sumber: Dikutip dari berbagai sumber