Anak-anak Arab di Surabaya, 1923. (Foto: KITLV).
Kedatangan orang-orang Arab-Hadramaut membawa pula kebudayaannya. Turut mewarnai praktik kehidupan masyarakat lokal.
DI Nusantara, orang-orang Hadrami bukan hanya mencari penghidupan yang lebih baik dengan berdagang. Beberapa dari mereka kemudian berperan dalam menyebarkan agama Islam. Bahkan beberapa dari mereka membangun dan mempunyai pengaruh kuat di kerajaan-kerajaan atau kesultanan. Di Kalimantan, misalnya. “Kesultanan Pontianak di bawah keluarga Algadrie adalah yang paling menonjol, sedangkan kesultanan Berau juga memiliki bangsawan-bangsawan keturunan Arab yang sudah beberapa generasi melakukan asimilasi. Kesultanan yang terbesar di Kalimantan Timur, Kutai Kertanegara, memiliki pejabat dan penasehat keturunan Arab yang paling banyak,” tulis Burhan D. Magenda, “Dinamika Peranan Politik Keturunan Arab di Tingkat Lokal”, dimuat di jurnal Antropologi.
Di Jawa, van den Berg menemukan adanya sebuah keluarga Arab yang menduduki posisi penting di Kesultanan Yogyakarta. Mereka menghilangkan ciri-ciri Arab mereka dan menjadi orang Jawa. Sayangnya, van den Berg tak menjelaskan lebih lanjut keluarga tersebut. Siti Hadayati Amal dari Universitas Indonesia mengisi kekosongan itu lewat penelitiannya.
Dari informan-informannya, Siti Hayati menyoroti jejak Sayid Alwi Ba’abud (1724-1815), saudagar kuda asal Hadramaut yang juga dikenal sebagai ulama dan tabib. Dia bersahabat dengan Sultan Hamengku Buwono II dan diangkat menjadi penasihat agama (penghulu) di Keraton Yogyakarta. Hubungan terjalin kian erat melalui perkawinan Sayid Hasan Al Munadi, anak Alwi Ba’abud, dengan BRA Samparwadi, putri Sultan.
“Bagi sang Sultan –yang dikenal berwatak keras dan sangat tidak menyukai Belanda, hubungan besan dengan Alwi Ba’abud merupakan upaya untuk memperoleh legitimasi agama atas kekuasaan politiknya. Bagi Alwi Ba’abud, hubungan besan dengan Sultan merupakan upaya legitimasi politik atas kepentingannya menyebarkan agama Islam di wilayah Kesultanan Yogyakarta,” tulis Siti Hadayati Amal dalam “Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar Tembok Keraton Yogyakarta”, dimuat jurnal Antropologi Indonesia Vol 29 No 2 tahun 2005.
Dari perkawinan Sayid Hasan Al Munadi dengan BRA Samparwadi, lahirlah Ibrahim atau Raden Mas Haryo Madiokusumo. Tahu bahwa Belanda bersikap tak adil terhadap orang Jawa dan Arab, dia sebagai keturunan Arab-Jawa mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro. Dalam peperangan, nama Madiokusumo adalah Pekih. Menariknya, pada masa perang, mereka bertukar pakaian. Diponegoro mengenakan pakaian Arab (sorban dan jubah) sebagai penanda dia seorang pemimpin spritual, sementara Ibrahmim mengenakan pakaian Jawa –yang diikuti keturunan-keturunannya. Setelah penangkapan Diponegoro, Ibrahim diasingkan ke Penang dan kemudian dipindahkan ke Ambon sampai meninggal dunia.
Pengaruh dan kedekatan dengan kekuasaan masih berlangsung beberapa tahun kemudian, bahkan hingga kini.
Pada awal abad ke-20, masyarakat Hadhrami di Hindia Belanda memulai perkembangan budaya yang luar biasa, dengan mendirikan sejumlah organisasi, sekolah, dan berbagai majalah. Sehingga, menurut Ulrike Freitag, mereka layak disebut diaspora karena, “mereka menunjukkan dampak intelektual khusus bagi masyarakat di Asia Tenggara pada Hadhramaut."
(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email