Oleh: pengelolakomaht
HIZB DAN AQIDAH NABI YANG DIRAGUKANNYA
Bismillah,
Sesungguhnya sebagian aqidah ummat Islam diambil dari hadits ahad yang shohih, aqidah tersebut antara lain:
- Keyakinan adanya pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir didalam kubur.
- Keyakinan bahwa para pelaku dosa besar yang bertauhid tidak kekal di dalam neraka.
- Keyakinan akan turunnya Isa di akhir zaman.
- Keyakinan akan fitnah Dajjal di akhir zaman.
- Keyakinan atas syafa’at Nabi yang terbesar di padang Mahsyar.
- Keyakinan atas syafa’at Nabi untuk para pelaku dosa besar dari ummatnya.
- Keyakinan terhadap 10 orang shahabat yang dijamin masuk surga.
- Keyakinan akan masuknya tujuh puluh ribu dari Ummat Islam ke Surga tanpa Hisab.
- Dan lain-lain.
Selain itu pada mushaf al Qur’an (mushaf utsmani) sebetulnya ada juga
ayat yang AHAD periwayatannya yaitu QS at Taubah ayat terakhir.
Sebagaimana Imam Bukhari menulis dalam shahihnya sebuah riwayat yang
panjang dari Zaid bin Tsabit yang diminta abu bakar mengumpulkan al
qur’an dst Zaid bin Tsabit berkata : “…. HINGGA AKU DAPATI AKHIR SURAT
AT TAUBAH PADA ABU KHUZAIMAH AL ANSHARI DAN AKU TIDAK MENDAPATKAN ITU
DARI SHAHABAT YANG LAIN, YAITU AYAT LAQAD JA’AKUM RASULUN …dst”. (lihat
al itqann fil ulumil qur’an bab tertib alqur’an dan penghimpunannya).
Sebagian besar aqidah yang disebutkan diatas (seperti Keyakinan adanya
pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir didalam kubur dan seterusnya),
terdapat dalam hadits ahad yang shohih dan semua aqidah yang terdapat
dalam hadits ahad yang shohih adalah mutawatir ma’nawiy. Memang aqidah
diatas tidak tersurat dalam rukun iman yang enam, namun kesemuanya masuk
kedalam butir rukun iman terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wa ala
alihi wa salam, karena semua keyakinan diatas adalah diajarkan dan
diyakini oleh Rasulullah.
Misalnya keyakinan kita adanya alam barzakh, ini juga tidak tersurat
pada rukun iman yang enam, begitu pula keyakinan adanya surga dan neraka
juga tidak tersurat dalam rukun iman yang enam, namun termasuk dalam
butir rukun iman terhadap hari akhir.
Maka barangsiapa menolak mengimani aqidah- aqidah diatas jelas telah merusak pondasi keimanan yang terdapat dalam rukun iman.
Selama ini banyak sekali kalangan yang menolak mengimani aqidah- aqidah diatas dengan berbagai alasan yang canggih.
Berawal dari sosok Ibrahim bin Ismail bin Ulayyah (193 H) manusia di
zaman tabi’in yang pertama kali mengajarkan pada pengikutnya untuk
menolak seluruh hadits ahad sebagai sumber hukum Islam, sehingga ia
menuai kecaman keras dari Imam Asy Syafi’ie, bahkan Imam Asy Syafi’ie
sampai berkata tentang Ibrahim bin Ulayyah : “Diaorang yang sesat. Duduk
dipintu As-Suwal untuk menyesatkan manusia”. (Lihat Lisaanul Mizan Ibnu
Hajar I/34 (64) dan Lihat juga Mausu’ah Ahlis Sunnah I/513).
Saat ini beberapa kelompok cendekiawan muslim juga menyatakan
penolakannya terhadap hadits ahad meskipun sedikit berbeda dengan Ibnu
Ulayyah yang menolaktotal kandungan hadits ahad, mereka para cendekiawan
muslim saat ini hanya menolak sebatas pada kandungan aqidahnya saja.
Hizbut Tahrir sebagai kelompok yang memiliki cita- cita mulia menegakkan
syari’at Islam amat disayangkan ternyata menyimpan dan menyebarluaskan
penyimpangan aqidah yaitu meragukan keyakinan yang terdapat dalam hadits
ahad meskipun hadits tersebut shohih.
Bahkan pendiri Hizbut Tahrir (Taqiyyuddin An Nabhani) mengharamkan
mengambil aqidah kecuali pada riwayat yang mutawatir saja. Hal ini
karena Taqiyyuddin menganggap hadits ahad meskipun shohih, hanya
membuahkan Dhon dan SEMUA Dhon tidak bisa diimani (HARAM DIIMANI).
Taqiyyuddin mengharamkan meyakini aqidah selain dari riwayat yang
mutawatir saja meskipun riwayat tersebut shohih. Taqiyyuddin juga
berpendapat bahwa SEMUA Dhon tidak bisa dijadikan aqidah.
Taqiyyuddin berkata : “….Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan
tadi, yaitu akal serta nash al qur’an dan hadits mutawatir, HARAM
baginya untuk mengimaninya (menjadikan sebagai aqidah)…”
(Lihat Peraturan Hidup dalam Islam, Penulis: Taqiyyuddin an Nabhani,
Judul asli: Nidzomul Islam, Penerjemah: Abu Amin dkk, Penerbit: Pustaka
Thariqul ‘IzzahIndonesia, Cetakan II (revisi), April 1993, halaman 12,
paragraf ke-4 , baris ke-7 dari atas, dan lihat juga As-Syakhshiyah
al-Islamiyah, Taqiyyudin An-Nabhani, Beirut : Al-Quds, 1953, cet. ke-2,
Jilid 1 h.129).
Berikut ini sedikit ulasan tentang sejauh mana penyimpangan aqidah
tersebut melekat pada Hizbut Tahrir. Semoga yang sedikit ini bisa
memberi pencerahan baik bagi para syabab Hizbut Tahrir maupun
untuk kaum muslimin yang saya cintai dimanapun berada :
PERTAMA :
Hibut Tahrir mengharamkan mengimani hadits ahad meskipun shohih dan
mengharamkan semua jenis dhon aqidah padahal ayat ayat al Qur’an yang
dijadikan dalil oleh Hizbut Tahrir, yaitu : Qs. an-Nisa’ : 157; Qs.
al-An’am : 116, 148; Qs. Yunus : 36, 66; dan Qs. an-Najm : 23, 28,
Ayat-ayat ini tidak bisa dijadikan hujjah haramnya semua DHON karena
yang diharamkan dalam ayat ayat ini hanyalah DHON lemah kaum kafir,
seperti :
Persangkaan bahwa Isa alaihis salam mati dibunuh (an Nisa’ 157),
persangkaan bahwa Allah memiliki anak (al An’am 116, 148), persangkaan
bahwa Allah tidak melarang kesyirikan (al An’am 148), persangkaan bahwa
ada sekutu Rabb selain Allah (Yunus 36, 66 dan an Najm 23,28).
Adapun kaidah Ushul “Al Ibratu bi Umuumil lafdhi la bi khushuushis
Sabab” menyebabkan ayat- ayat diatas yang asbabun nuzulnya diperuntukkan
hanya untuk kaum kafir saja menjadi diperuntukkan juga bagi kaum
muslimin yang mengikuti DHON lemah kaum kafir diatas.
Jadi kaidah tersebut tidak lantas mengubah makna ayat menjadi semua
jenis DHON adalah haram diimani, sebagaimana kesimpulan penafsiran
Hizbut Tahrir selama ini.
Dalam hal ini Hizbut Tahrir telah menafsirkan ayat secara aneh dengan
memelintirkan kaidah “Al Ibratu bi Umuumil lafdhi la bi khushuushis
Sabab” secara keliru sehingga sangat berbahaya bagi ummat Islam yang
awwam dalam memahami kaidah ini.
Untuk jelasnya dalam memahami kaidah mulia ini mari kita lihat QS al Baqarah : 170,
Allah berfirman yang artinya :
“Dan apabila dikatakan kepada mereka (orang-orang kafir) : “Ikutilah apa
yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami
hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”.
(QS al Baqarah : 170).
Ayat ini berdasarkan kaidah “Al Ibratu bi Umuumil lafdhi la bi
khushuushis Sabab” berarti peruntukan ayat ini tidak hanya ditujukan
pada orang kafir sebagaimana asbabun nuzulnya, akan tetapi juga
ditujukan pada kaum muslimin yang mengikuti perbuatan maksiat nenek
moyangnya.
Namun tidak lantas ditafsirkan bahwa semua perbuatan nenek moyang adalah
haram diikuti, karena yang dimaksud perbuatan nenek moyang dalam ayat
ini adalah yang maksiat saja khususnya kesyirikannya. Adapun perbuatan
nenek moyang yang sholih (misalnya perbuatan Ibrahim yang berkorban
hewan ternak, menunaikan haji, serta mengkhitan anaknya), maka justru
wajib diikuti.
Demikian pula tafsir ayat al Qur’an yaitu : Qs. an-Nisa’ : 157; Qs.
al-An’am : 116, 148; Qs. Yunus : 36, 66; dan Qs. an-Najm : 23, 28, yang
oleh Hizbut Tahrir disimpulkan kandungan ayat-ayat ini adalah “semua
jenis DHON haram diimani”, ini adalah kesalahan fatal mengingat maksud
DHON dalam ayat-ayat ini adalah terbatas pada DHON lemah kaum kufur
saja, seperti misalnya; DHON bahwa Isa alaihis salam mati dibunuh (an
Nisa’ 157), DHON bahwa Allah memiliki anak (al An’am 116, 148), DHON
bahwa Allah tidak melarang kesyirikan (al An’am 148), DHON bahwa ada
sekutu Rabb selain Allah (Yunus 36, 66 dan an Najm 23,28).
DHON lemah seperti inilah yang dilarang untuk diimani, dan bukan berarti semua jenis DHON adalah dilarang untuk diimani.
Bahkan al Qur’an secara jelas menyatakan bahwa DHON kuat yang berasal
dari aqidah tauhid ummat Islam WAJIB diimani, berdasarkan ayat ayat al
Qur’an berikut :
QS al Baqarah 45-46, QS. at Taubah : 118, QS. al Haaqqah : 21-20 , dan QS. al Baqarah : 249.
Untuk jelasnya simak arti ayat-ayat al Qur’an berikut :
“ Sesungguhnya aku memiliki DHON, bahwa Sesungguhnya aku akan menemui
hisab terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam kehidupan yang
diridhai”. (QS. al Haaqqah : 20-21)
“……. orang-orang yang memiliki DHON bahwa mereka akan menemui Allah,
berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan
golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang
yang sabar.” (QS. al Baqarah : 249).
Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka,
hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, Padahal bumi itu
Luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, dan
mereka memiliki DHON bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah,
melainkan kepada-Nya saja. kemudian Allah menerima taubat mereka agar
mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang. (QS. at Taubah : 118).
“……orang yang khusyu’ adalah orang-orang yang memiliki DHON bahwa mereka
akan bertemu dengan Rabb mereka …..”. (QS al Baqarah 45-46).
Semua ayat diatas menunjukkan bahwa orang orang yang beriman memiliki DHON kuat yang rajih yang sesuai dengan ajaran Islam.
Adalah hal yang mengada-ada jika kemudian para syabab Hizbut Tahrir
mengatakan bahwa ayat- ayat diatas tidak bisa dijadikan landasan hukum,
padahal semua kalimat diatas dari sisi Allah datangnya. Dan secara jelas
Allah mencantumkan kalimat “DHON” pada ayat-ayat tersebut. Bahkan para
ulama ahli tafsir memaknai kalimat “DHON” dalam ayat- ayat diatas
sebagai dhon yang kuat atau bahkan keyakinan.
Bahkan didalam Kamus Arab Indonesia karya Prof. H Mahmud Yunus pada halaman 249 disebutkan :
DHONNUN – DHUNUUNUN (j) berarti : Sangkaan, Dugaan, YAKIN, Syak.
Kamus ini dicetak dan diterbitkan oleh Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/ Pentafsir al Qur’an yang diketuai oleh Prof. H Bustami Abd.
Gani pada tahun 1973 di Jakarta.
Jadi DHON dapat bermakna yakin dan tidak selalu bermakna syak.
Penyimpangan tafsir yang terjadi pada Hizbut Tahrir seperti diatas
kemungkinan muncul karena adanya pendapat Taqiyyuddin An Nabhani
(pendiri Hizbut Tahrir), yang tentu saja akan didukung pengikutnya
mengingat pendapat tersebut tercantum dalam kitab mutabanat Hizbut
Tahrir, yaitu kitab-kitab yang isinya merupakan harga mati bagi pengikut
Hizbut Tahrir.
Berkata Taqiyyuddin (pendiri Hizbut Tahrir) :
“Jadi aqidah seorang muslim itu harus bersandar kepada akal atau pada
sesuatu yang telah terbukti kebenaran dasarnya oleh akal. Seorang muslim
wajib meyakini (menjadikan sebagai aqidah) segala sesuatu yang telah
terbukti dengan akal atau yang datang dari sumber berita yang yakin dan
pasti (Qath’i), yaitu apa-apa yang telah ditetapkan oleh al Qur’an dan
hadits mutawatir. Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi,
yaitu akal serta nash al qur’an dan hadits mutawatir, HARAM baginya
untuk mengimaninya (menjadikan sebagai aqidah)…..”.
(SUMBER : Peraturan Hidup dalam Islam, Penulis: Taqiyyuddin an Nabhani,
Judul asli: Nidzomul Islam, Penerjemah: Abu Amin dkk, Penerbit: Pustaka
Thariqul ‘Izzah Indonesia, Cetakan II (revisi), April 1993, halaman 12,
paragraf ke-4 , baris ke-7 dari atas).
Taqiyudin juga Berkata :
“… Khabar ahad tidak memiliki kedudukan pada masalah aqidah, (maka)
sesungguhnya khabar ahad dengan syarat-syarat yang terkandung di
dalamnya menurut ilmu ushul al-Fiqh tidak bermanfaat kecuali dhon
(praduga), dan dhon tidak diperhitungkan dalam bab aqidah (keyakinan).
(Taqiyyudin An-Nabhani, As-Syakhshiyah al-Islamiyah, (Beirut : Al-Quds, 1953), cet. ke-2, Jilid 1 h.129.)
KEDUA :
Hadits Nabi yang Mutawatir hanya berjumlah 324 buah saja (lihat
http://hadith.al-islam.com), dan dari 324 buah hadits yang mutawatir tersebut hanya sekitar 200-an hadits saja yang memuat materi aqidah.
Sementara hadits yang shohih dalam bukhari dan muslim mencapai
sedikitnya 13.000 buah (Bukhari+Muslim: Menurut penomoran al-Alamiyah,
terdapat 5352 hadits dalam Shahih Muslim. Sedangkan menurut Abdul Baqi,
ada 3033 hadits. Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, Imam Bukhari menuliskan
sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami’al-Shahih yang
dikenal sebagai Shahih Bukhari.)
, dan dari 13.000 buah hadits shohih tadi didalam Shahih Muslim terdapat
sedikitnya 650 hadits tentang aqidah begitu pula didalam shahih bukhari
lebih dari itu sehingga terdapat lebih dari 1.500 hadits tentang aqidah
yang terjamin keshohihannya.
TERNYATA DARI 1.500-an HADITS AQIDAH YANG SHOHIH, HANYA 200-an SAJA YANG MUTAWATIR.
JADI 86,66 % HADITS NABI YANG MEMUAT AQIDAH (dalam Bukhori dan Muslim) ADALAH HADITS AHAD.
Jika mengimani hadits ahad itu haram hukumnya sebagaimana fatwa pendiri
Hizbut Tahrir Taqiyyuddin an Nabhani, maka tentunya Nabi pun tidak akan
meriwayatkan hadits aqidah secara ahad.
Namun kenyataannya 80 % hadits Nabi yang memuat aqidah justru
diriwayatkan Nabi secara ahad ketika sedang berdua atau sedang bersama
sedikit shahabat tanpa mengumpulkan shahabat.
Didalam Islam terdapat sebuah kaidah, jika sesuatu itu hukumnya haram maka jalan menuju sesuatu itu juga haram hukumnya.
Misalnya berzina itu haram maka ikhtilat (campur baur) dan khalwat
(menyendiri) dengan lawan jenis yang bukan mahram secara umum haram
hukumnya karena merupakan jalan menuju zina.
Begitu pula meminum khamr (mabuk) itu haram maka membuat khamr dan menjual khamr haram juga hukumnya.
Contoh lain berjudi itu haram maka membuat dan membeli peralatan judi (kasino) juga haram hukumnya.
Jika mengimani aqidah dari hadits ahad itu haram maka meriwayatkan
hadits aqidah secara ahad pun seharusnya haram hukumnya. Namun
kenyataannya sebagian besar hadits Nabi adalah diriwayatkan secara ahad.
Maka apakah mungkin Nabi melakukan perbuatan yang haram ???
Sungguh aneh jika para syabab meyakini bahwa Nabi tidak mungkin
meriwayatkan hadits aqidah pada beberapa gelintir orang saja, darimana
keyakinan ini diperoleh ?.
Faktanya Nabi bahkan pernah mengajarkan aqidah kepada Muadz bin Jabal ketika berboncengan berdua saja diatas kendaraan.
Dari shahabat Muadz bin Jabal radliallahuanhu beliau menuturkan :
“Aku pernah dibonceng Nabi diatas seekor keledai. Lalu beliau bersabda
kepadaku: “ Hai Muadz, tahukah kamu apa hak Allah yang wajib dipenuhi
oleh para hamba Nya dan apa hak para hamba yang pasti dipenuhi Allah ?”.
Aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” . Beliau pun
bersabda: “Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba Nya ialah
supaya mereka beribadah kepada Nya saja dan tidak berbuat syirik
sedikitpun kepada Nya; sedangkan hak para hamba yang pasti dipenuhi
Allah adalah: bahwa Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak berbuat
syirik sedikitpun kepada Nya”. Aku bertanya: “Ya Rasulullah, tidak
perlukah aku menyampaikan kabar gembira ini kepada orang-orang?”. Beliau
menjawab: “Janganlah kamu menyampaikan kabar gembira ini kepada mereka,
sehingga mereka nanti akan bersikap menyandarkan diri”.
(Lihat Shahih Muslim Kitabul Iman Bab Man LaqiyAllahu ta’ala bil Iman
Ghaira Syakki fihi Dakholal Jannah dan Shahih Bukhari No.2856).
Jika alasannya karena Nabi tidak akan menyembunyikan ilmu pada beberapa
orang saja maka bukankah Nabi telah bersabda “Sampaikan dariku walaupun
satu ayat”, dengan adanya perintah ini maka Nabi tidak bersalah jika
hanya meriwayatkan hadits aqidah kepada beberapa gelintir shahabat saja
mengingat mereka punya kewajiban menyebarluaskannya.
Maka sunnah perbuatan Nabi mengatakan bahwa mengimani hadits ahad yang shohih adalah wajib hukumnya.
KETIGA :
Para shahabat dalam riwayat yang shohih juga me-WAJIB-kan mengimani hadits ahad meskipun tentang aqidah,
Simak riwayat berikut :
Abdullah bin Umar bertanya pada ayahnya, yaitu Umar bin Khathab tentang
hadits bertemakan ‘aqidah ru’yatullah yang disampaikan Sa’ad bin Abi
Waqqash kepadanya, maka Umar berkata padanya : “Jika Sa’ad meriwayatkan
sesuatu kepadamu dari Nabi, maka jangan engkau bertanya lagi kepada
selainnya tentang sesuatu itu”(maksudnya ambilah riwayat itu). (Atsar
shahih riwayat Bukhari, No.202)
Adapun riwayat-riwayat lain tentang Umar menolak penyampaian hadits dari
shahabat adalah lemah dan bertentangan dengan ayat al Qur’an al Hujurat
ayat 6 : “In jaa akum faasiqun binaba’in fatabayyanu”. Yang mafhum
mukholafah nya jika yang menyampaikannya bukan orang fasik (termasuk
shahabat tentunya bukan orang fasik) maka tidak wajib ada tabayyun.
Dalam periwayatan hadits aqidah Umar tidak pernah mempersyaratkan saksi
penguat dari shahabat lain atau dengan kata lain beliau tidak pernah
mempersyaratkan adanya saksi perawi lain, kecuali dalam perkara Qadha’
wa syahadah.
KEEMPAT :
Hizbut Tahrir berdalih dengan kemutawatiran ayat ayat dalam mushaf
Utsmani dan fakta bahwa para shahabat menolak masuknya riwayat ahad ke
dalam pembukuan al Qur’an (mushaf utsmani).
Maka ini adalah pembodohan terhadap ummat Islam tanpa menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.
Padahal para shahabat menolak masuknya riwayat ahad ke dalam al Qur’an
bukan karena dalil aqidah itu wajib mutawatir akan tetapi semata-mata
karena hal itu sunnah Nabi. Yaitu berdasar perilaku Nabi bahwa :
1. Nabi tidak pernah meriwayatkan wahyu (ayat al Qur’an) tanpa mengumpulkan shahabat.
2. Nabi selalu menyuruh juru tulis al Qur’an dan para shahabat untuk menulis wahyu yang turun tersebut.
3. Nabi selalu mengulang-ulang ayat-ayat al Qur’an didepan majelis shahabat dan ketika beliau menjadi imam Sholat.
Hal ini tentunya sangat bertolak belakang dengan periwayatan hadits,
baik masalah aqidah maupun hukum Islam lainnya, karena ketika
meriwayatkan sebuah hadits :
1. Nabi tidak selalu mengumpulkan shahabat bahkan terkadang hanya berdua saja dengan seorang shahabat.
2. Nabi melarang menulis hadits akan tetapi mewajibkan menyebarluaskannya.
3. Nabi tidak mengulang hadits secara persis lafadz haditsnya akan tetapi disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.
Sehingga jelas bahwa kemutawatiran al Qur’an tidak bisa dijadikan dalil mengharamkan meyakini hadits ahad yang shohih.
Karena al Qur’an pada asalnya memang mutawatir dan tidak mungkin ahad sedangkan hadits pada asalnya lazim secara ahad.
Selain itu ditemukan fakta bahwa sebenarnya justru pada mushaf utsmani
ada ayat yang ahad periwayatannya yaitu at Taubah ayat terakhir.
Imam Bukhari menulis dalam shahihnya sebuah riwayat yang panjang dari
Zaid bin Tsabit yang diminta abu bakar mengumpulkan al qur’an dst Zaid
bin Tsabit berkata : “…. HINGGA AKU DAPATI AKHIR SURAT AT TAUBAH PADA
ABU KHUZAIMAH AL ANSHARI DAN AKU TIDAK MENDAPATKAN ITU DARI SHAHABAT
YANG LAIN, YAITU AYAT LAQAD JA’AKUM RASULUN …dst”.
(lihat al itqann fil ulumil qur’an bab tertib alqur’an dan penghimpunannya).
Maka kesimpulannya ternyata memang ada ayat yang tidak mutawatir dalam
mushaf al Qur’an, misalnya dalam kasus ini adalah ayat dari abu
khuzaimah al anshari yaitu ayat akhir surat at Taubah.
Jadi meskipun al Qur’an sendiri asalnya memang wajib mutawatir namun
mushaf al Qur’an sendiri tidak semua ayatnya mutawatir karena dibukukan
saat kondisi para shahabat penghafal banyak yang wafat dalam perang.
Demikian sedikit yang dapat saya sampaikan, kebenaran tidak selalu ada
pada diri saya, namun dalil yang saya utarakan kiranya cukup kuat untuk
membuktikan kekeliruan aqidah Taqiyyuddin dan jumhur syabab Hizbut
Tahrir.
Hidayah kembali kepada Allah subhanahu wata’ala, semoga Allah memudahkan kita menggapainya.
Dhuha, 15 Muharram 1429 H
Penulis:
(pengelolakomaht@yahoo.co.id)
Dewasa ini banyak orang yang kagum dengan
kesungguhan dan tekat yang kuat dari teman-teman di Hizbut Tahrir. Tapi
maaf, adakah selama ini kita mengetahui bahwa Hizbut Tahrir telah
menyimpang dari koridor Islam? Baik al-Quran maupun as-Sunnah. Ada
beberapa hal yang perlu dipertanyakan dalam ajaran Hizbut Tahrir, dimana
bahkan kader Hizbut Tahrir sendiri tidak mengetahuinya. Beberapa hal
diantaranya akan kita kupas.
Masalah pertama yakni masalah aqidah, dimana kita tahu bahwa aqidah
merupakan kunci utama atau pondasinya umat Islam, apabila aqidah rusak
maka rusaklah ibadah hal ini sudah menjadi ijma’ para ulama. Ada
beberapa masalah mengenai aqidah Hizbut Tahrir yang sudah tidak dapat
diterima lagi dan menyalahi al-Quran dan as-Sunnah. Beberapa diantaranya
mengenai pengingkaran hizbut tahrir terhadap adanya Qadha dan qadar
Allah, begitu pula dengan pengingkaran hizbut Tahrir terhadap adanya
hidayah yang diberikan Allah kepada makhluqnya, akan tetapi hizbut
tahrir meyakini bahwa hidayah merupakan hasil usaha manusia, bukan
merupakan pemberian Allah. Taqiyyuddin al-Nabhani, pendiri Hizbut
Tahrir, menegaskan dalam kitabnya:
, juz 1, (Qudus: Mansyurat Hizb al-Tahrir, 1953), hlm. 71-72.)
(HR. Muslim, (hadits no. 4799) dan Ahmad, hadits no. 5627)
Kedua, begitu juga dengan keyakinan hizbut tahrir yang menyatakan
bahwa hidayah dan kesesatan merupakan hasil usaha dari manusia, tidak
datang dari allah, maka pernyataan ini juga jelas menyalahi
firman-firman Allah, diantaranya :
Hadits di atas mengisyaratkan tentang akan lenyapnya kepemimpinan
sentral kaum Muslimin, yang disimbolkan dengan sistem khilafah. Al-Imam
al-Hafizh al-Hujjah Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani berkata,
hadits tersebut merupakan tanda-tanda akan terjadinya kiamat, di mana
umat Islam dipimpin oleh sekian banyak kepala negara. Di jazirah Arab
saja, terdapat lebih dari dua puluh amir, sebagai akibat dari
kolonialisme Barat (Al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani,
, Kairo, Maktabah al-Qahirah, hal. 43. Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Darimi, Abu Nu’aim, al-Hakim dan lain-lain).
Kemudian mengenai adanya siksa kubur, dalam hal ini Hizbut tahrir
tidak mengakui adanya siksa kubur. Pernyataan tersebut dapat kita lihat
dalam buku ad-Dausyiah (kumpulan fatwa-fatwa Hizbut Tahrir mengenai
hadis siksa kubur) menurut buku tersebut, meyakini siksa kubur yang
terdapat dalam hadis tersebut ialah haram, karena hadis tersebut
merupakan hadis Ahad, akan tetapi boleh membenarkannya (dapat ditemukan
dalam kitab Qira’at fi Fikr Hizb al-Tahrir al-Islami, hlm. 93). Masih
banyak masalah-masalah Aqidah lainnya yang tersalah dalam Aqidah Hizbut
Tahrir. Namun, dua masalah itu saja sudah cukup kiranya untuk membuka
mata, terutama mata hati.
pelecehan terhadap Ahl Sunnah wal Jama’ah, Taqiyuddin An-Nabhany dalam Syakhsiyah al-Islamiyah juz 1 hal. 70 menyatakan bahwa “
”. Kata gagal segagal-gagalnya merupakan
penghinaan terhadap Ahl Sunnah wal Jama’ah dan penyamaan Ahl Sunnah wal
Jama’ah dengan jabariah merupakan sebuah celaan yang besar terhadap Ahl
Sunnah wal Jama’ah.
Selanjutnya, berangkat dari masalah aqidah kita beranjak ke masalah
syariat. Hari ini umat islam tertipu dengan cover Hizbut Tahrir selama
ini, melihat cover Hizbut Tahrir yang hari ini dipuji-puji dan
disanjung-sanjung ternyata banyak fatwa Hizbut Tahrir mengenai syariah
yang menyalahi hukum syar’i itu sendiri. Beberapa hal yang difatwakan
Hizbut Tahrir ialah mengenai halalnya seseorang bersalaman dengan orang
lain yang bukan muhrimnya tanpa ada lapis. Pendapat tersebut dapat kita
lihat dalam kitab yang dikarang
yakni kitab Nizamu Ijtima’ fil Islam hlm. 57 dalam kitabnya Taqiyuddin menyatakan “
”.
Yang lebih nyeleneh lagi dalam kitab Milaff an-Nasyarat al-Fiqhiyyah
hlm. 143 juga dapat dilihat dalam kitab Qira’at fi Fikr Hizb al-Tahrir
al-Islami, hlm. 114, Hizbut Tahrir menyatakan bolehnya lelaki melihat
wanita yang merupakan muhrimnya dalam keadaan telanjang begitu juga
sebaliknya kecuali kemaluan besarnya kecuali yakni jalan depan dan jalan
belakangnya, dan boleh melihat mahramnya dalam keadaan telanjang bulat
(masya Allah, na’udzubillah min dzalik).
Aneh kiranya, hizbut tahrir yang pada dasarnya membolehkan melihat
hal-hal yang diharamkan pada lawan jenis, dimana hal tersebut bahkan
termaktub dalam kitab-kitab mereka sendiri belakangan mengatakan hal itu
haram (hal itu dapat dilihat dalam tabloid mereka yang berjudul Media
Ummat memperjuangkan kehidupan Islam, Edisi 39, 19 Rajab-3 Sya’ban 1431
H/ 2-15 Juli 2010) dalam tabloid tersebut mereka mati-matian mengatakan
bahwa pornografi itu haram sementara dalam kitab-kitab rujukan mereka
hal itu merupakan kehalalan. Maka, jangan anda mengaku Hizb Tahrir jika
anda tidak membenarkan perkataan orang yang mendirikan Hizb Tahrir.
Kemudian, ada satu pendapat yang lebih aneh dari pendapat-pendapat di
atas. Yakni, hizbut tahrir beranggapan bahwa orang yang mati sebelum
membai’at seorang khalifah ialah mati jahiliyyah, na’udzubillah min
dzalik. Pendapat tersebut dapat kita lihat di dalam kitab mereka sendiri
yakni
juz. II, bagian III, h. 13 dan 29 sebagaimana taqiyuddin an-nabhani (pendiri Hizb Tahrir) berkata “
h. 4. Dalam kitab yang sama yakni
juz III, h. 15 dinyatakan bahwa “
Pendapat tersebut mereka ambil berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh imam muslim “
Nah,
kalau kita mencoba untuk memahami redaksi hadits tersebut makna hadits
tersebut ialah apabila seseorang membangkang terhadap khalifah yang
sudah ada dan sah, kemudian ia tetap saja membangkang sampai ia mati
maka matinya itu disebut mati jahiliyyah. Maka, jelas bahwa makna yang
difahami bukan seperti yang dimaksudkan oleh Hizb Tahrir. Hal tersebut
diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan dari Imam Bukhari dan Muslim
yang sanadnya lebih kuat “
.” (HR.
Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman z, 3/1476, no. 1847). Hal
yang paling penting ialah, pada awal berdirinya Hizb Tahrir bertekat
akan menegakkan khilafah dalam waktu 13 tahun, kemudian mereka
memperpanjangnya menjadi 30 tahun. Namun, nyatanya sampai sekarang
mereka tetap saja dalam keadaan kosong dan tidak ada satu orang pun yang
mereka usung sebagai khalifah. Maka bisa saja apa yang menjadi pandapat
mereka akan menjadi peluru yang akan membunuh mereka sendiri.
Ketika penulis bertanya kepada pembaca sekalian, apakah
pernyataan-pernyataan ini sudah cukup untuk membongkar kedok Hizbut
Tahrir dalam fatwa-fatwa sesatnya? Kiranya cukup, walau masih banyak
kesesatan lainnya. Hari ini banyak organissasi yang mengatas namakan
dirinya Islam ternyata diam-diam merusak Islam itu sendiri, apakah ini
yang dinamakan dengan Ghazzul Fikri (perang pemikiran) Wa Allahu A’lam.
Akhirnya Rasulullah Saw bersabda yang diriwayatkan oleh imam al-Hakim, Rasulullah bersabda : “
”.
Intinya jangan pernah terbesit ketakutan untk mengatakan sebuah
kebenaran dan salah sekali apabila ada yang mengatakan apabila kita
mengatakan yang buruk dalam agama kepada orang lain jika itu benar maka
itu hanya menjadi gibah semata dan jika itu salah maka menjadi fitnhah,
ini adalah pendapat yang sangat keliru.
Pernyataan penulis : penulis siap membuka forum diskusi kapanpun dan
dimanapun apabila terjadi kesalahan dalam tulisan dan siap merevisinya.
Namun, penulis berharap pembaca membuka hati apabila
pernyataan-pernyataan penulis merupakan kebenaran yang mutlaq.
Wallahul muaffiq ilaa aqwamit thariq. . .