Kebutuhan manusia pada agama dan tafsiran yang benar tentang agama tersebut adalah sesuatu yang abadi. Nabi besar Muhammad SAWW datang dan membawa agama Islam sebagai agama Tuhan yang terakhir, dan seluruh hukum-hukumnya telah diterangkan secara sempurna. Dan setelah beliau wafat, dengan dalil-dalil akal harus ada seseorang yang dipilih dari seluruh manusia yang memiliki kemampuan seperti Nabi dalam bidang ilmu dan Ismah (keterjagaan dari dosa), dan mereka adalah tidak lain para imam yang terpilih.
ان الارض لا يخلو من حجة اما ظاهرا و اما مغفورا
“Sesungguhnya, bumi tidak akan pernah kosong dari seorang Hujjah(Imam), baik ia tampak ataupun tersembunyi”[1]
Syarah:
Sabda ini adalah bagian petikan dari tauqiat (komunikasi tertulis) yang ditulis oleh Imam Zaman af kepada Usman bin Said Al-‘Amri dan putranya Muhammad, beliau setelah berpesan banyak tentang beberapa masalah, kemudian beliau mengingatkan pada suatu permasalahan berikut, beliau bersabda: …dipermukaan bumi, harus selalu ada hujjah Allah SWT, dan tidak dapat dibayangkan walau sedetik pun jika tidak ada seorang Imam Yang maksum (Terjaga dari dosa).
Kebutuhan manusia dan makhluk lainnya kepada seorang imam adalah kelanjutan dari kebutuhan mereka kepada seorang rasul. Kebutuhan manusia kepada seorang yang maksum, baik itu seorang rasul ataupun imam, dapat kita teliti dari beberapa sudut pandang dan pendapat yang berbeda. Salah satunya adalah kebutuhan mereka kepada undang-undang Ilahi dan penafsirannya dari seorang yang maksum. Dalam buku-buku teolog, telah dibuktikan melalui dalil-dalil akal bahwa manusia untuk memperbaiki kehidupan dunianya dan sampai pada kebahagiaan abadi di akherat kelak, membutuhkan seorang rasul.
Kebutuhan manusia pada agama dan tafsiran yang benar tentang agama tersebut adalah sesuatu yang abadi. Nabi besar Muhammad SAWW datang dan membawa agama Islam sebagai agama Tuhan yang terakhir, dan seluruh hukum-hukumnya telah diterangkan secara sempurna. Dan setelah beliau wafat, dengan dalil-dalil akal harus ada seseorang yang dipilih dari seluruh manusia yang memiliki kemampuan seperti Nabi dalam bidang ilmu dan Ismah (keterjagaan dari dosa), dan mereka adalah tidak lain para imam yang terpilih.
Dikarenakan lemahnya masyarakat dalam menerima kebenaran, Imam Zaman af juga mengingatkan pada satu ponit penting, bahwa tidak semua dari para imam harus memimpin suatu pemerintahan atau selalu hadir dan berada di tengah-tengah masyarakat, sebagaimana juga para nabi dan para washi terdahulu yang tidak semuanya juga mencapai pada sebuah pemerintahan dan sebagian dari mereka juga tidak hadir dalam beberapa waktu di tengah-tengah masyarakat. [ ](Sahib Al-Zaman)
[1] Kamaluddin jilid 2, hal 511, Biharul Anwar jilid 53 hal. 191 catatan ke 19.
IMAMAH : PELANJUT KENABIAN.
MAKNA IMAMAH
Pelanjut kenabian dan pembimbing selain
nabi sebagimana disebutkan sebelumnya adalah sebuah keharusan pula. Dan
dalam mazhab ahlul bait, pelanjut tersebut dikenal dengan imam, yang
menjadi washi (penerima wasiat), khalifah (pengganti), dan wali (pemimpin) setelah Nabi saw. Jadi imamah adalah konsep kepemimpinan yang diyakini oleh umat syiah.
Imamah merupakan bahasa Arab yang berakar dari kata imam. Kata imam sendiri berasal dari kata “amma” yang berarti “menjadi ikutan”. Kata imam berarti
“pemimpin atau contoh yang harus diikuti, atau yang mendahului”. Orang
yang menjadi pemimpin harus selalu di depan untuk diteladani sebagai
contoh dan ikutan. Kedudukan imam sama dengan penanggung jawab urusan umat. Dalam al-Quran, kata imam
memiliki banyak makna sesuai dengan konteksnya, dan salah satu maknanya
adalah pemimpin. Dan pemimpin tersebut bisa dalam makna negatif maupun
positif, dalam makna pemimpin umum maupun khusus yang bersifat
spiritual.[1]
Kata imam yang berarti pemimpin
dalam arti luas dan bersifat umum bisa digunakan untuk sebutan pemimpin
pemerintahan atau pemimpin politik (sekuler), dan bisa pula untuk
pemimpin agama. Sedangkan dalam arti pemimpin yang bersifat khusus,
yakni sebagai pemimpin spiritual, bisa saja berimplikasi politik karena
dipengaruhi oleh tuntutan keadaan. Karena, pada kenyataannya, upaya
melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat dalam ajaran
Islam, tidak hanya menyangkut pribadi tapi juga kehidupan kolektif,
sebab itu, urusan seorang imam bisa berdimensi politis.[2]
Secara istilah, imam adalah
seorang yang memegang jabatan umum dalam urusan agama dan juga urusan
dunia sekaligus. Dengan demikian Islam tidak mengenal pemisahan mutlak
agama dan negara, dunia dan akhirat, mesjid dan istana, atau ulama dan
politikus. Inilah yang menjadikan penganut syiah, tidak hanya memandang
para imam sebagai pengajar agama, tetapi juga sebagai pengatur segala
urusan umat yang berhubungan dengan pranata-pranata sosial, politik,
keamanan, ekonomi, budaya, dan seluruh kebutuhan interaksi umat lainya.
Dalam syiah konsep imamah berarti
meyakini bahwa Allah swt melalui lisan Nabi-Nya telah mengangkat
orang-orang yang memiliki kualitas tinggi untuk menjadi pemimpin umat
setelah wafatnya Nabi Muhammad saaw.
KEDUDUKAN IMAMAH SEBAGAI USHULUDDIN.
Keyakinan pada posisi imamah ini begitu mendasar dalam mazhab syiah imamiyah, sehingga dijadikan salah satu prinsip agama (ushuluddin), selain keyakinan pada ketuhanan (tauhid), keadilan (al-adl), kenabian (an-nubuwah), dan hari kebangkitan (al-ma’ad).
Sehingga secara sederhana dapat dikatakan, seseorang dapat disebut
sebagai penganut syiah jika ia mempercayai adanya imam yang dipilih Nabi
saaw, yang secara formal berhak penuh melanjutkan kedudukan
menggantikan Nabi Muhammad sebagai Imam seluruh umat, yang dalam
keyakinan syiah, orang yang dipilih nabi tersebut adalah Ali bin Abi
Thalib, kerabat dan menantu beliau.
Sebagai dasar pikirnya, syiah meyakini bahwa kebijaksanaan Tuhan (al-hikmah al-ilahiah) menuntut perlunya pengutusan para rasul untuk membimbing umat manusia. Demikian pula mengenai imamah, yakni
bahwa kebijaksanaan Tuhan juga menuntut perlunya kehadiran seorang imam
sesudah meninggalnya seorang rasul guna terus dapat membimbing umat
manusia dan memelihara kemurnian ajaran para nabi dan agama Ilahi dari
penyimpangan dan perubahan. Selain itu, untuk menerangkan
kebutuhan-kebutuhan zaman dan menyeru umat manusia ke jalan serta
pelaksanaan ajaran para nabi. Tanpa itu, tujuan penciptaan, yaitu
kesempurnaan dan kebahagiaan, al-takamul wa al-sa’adah, sulit dicapai, karena tidak ada yang membimbing, sehingga umat manusia tidak tentu arah dan ajaran para nabi menjadi sia-sia.[3]
Hal ini juga berdasar pada wahyu ilahi.
Misalnya, di dalam al-Quran, Allah berfirman bahwa manusia diperintahkan
untuk bergabung dengan orang-orang yang takwa dan benar, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bergabunglah bersama orang-orang yang benar” (QS. Al-Taubah: 119).
Ayat ini tidak berlaku untuk satu masa
saja, tapi untuk seluruh zaman. Seruan agar orang-orang beriman
bergabung dalam barisan orang-orang benar, al-shadiqin,
pertanda adanya imam maksum yang harus diikuti pada setiap zaman,
sebagaimana disebutkan oleh banyak mufassir sunni dan syiah terhadap
makna ayat ini.[4]
KRITERIA IMAMAH: ISHMAH DAN ILMU.
Imam yang menggantikan Nabi Saw bukanlah
sembarang orang, tetapi harus memiliki sejumlah sifat yang dimiliki Nabi
Saw. oleh karena itu, persyaratan menjadi Imam tidak cukup harus
seorang Quraisy, seperti yang diyakini sahabat ketika itu, tetapi harus
pula memiliki syarat-syarat lain, yaitu ‘ismah (kemampuan menjaga diri dari dosa walau sekecil apa pun) dan ilm (ilmu yang sempurna).[5]
Dalam hal ini, berdasarkan pada nas-nas yang shahih, syiah menegaskan
bahwa orang yang memiliki sifat demikian hanyalah orang-orang tertentu
(bukan semuanya) dari ahlul bait yang memiliki kedekatan dengan Nabi Saaw. Ahlul bait
nabi yang dimaksud sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran (Q.S.
al-Ahzab: 33) diantaranya adalah Imam Ali bin Abi Thalib dan kedua
anaknya, Imam Hasan dan Imam Husain.
Imamah yang memiliki sifat ‘ismah perlu,
karena syariat tidak akan dapat berjalan tanpa adanya kekuasaan mutlak
yang berfungsi memelihara serta menafsirkan pengertian yang benar dan
murni (tanpa melakukan kesalahan) terhadap syariat itu. Begitu pula
dengan ilmu imam, mestilah suci dan bersifat hudhuri (kehadiran langsung objek ilmu) dan syuhudi (tersaksikan
dengan mata batin) atau bantuan gaib dan taufik ilahiah. Selain itu,
struktur jasmani, otak serta urat syaraf, dan potensi ilmiah para imam
sempurna dan senantiasa mendapat pertolongan ilahi. Semua itu, mutlak
diperlukan untuk sampainya pesan-pesan ilahi secara jelas dan sempurna,
tanpa cacat dan kesalahan.[6]
Ishmah dan ilmu berjalan seiring dan saling dukung. Maksudnya, ishmah
diperoleh salah satunya melalui ilmu yang sempurna. Dengan ilmunya,
seorang imam mengetahui hukum-hukum agama dan akibat-akibat yang
ditimbulkan karena melanggar ajaran-ajaran agama tersebut. Dengan ilmu
yang yakin (ilmu al-yakin) dan menyaksikan konsekuensi perbuatannya (ain al-yakin),
seorang imam akan senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan maksiat dan
dosa. Laiknya seperti orang yang mengetahui dengan ilmunya yang pasti
bahwa minyak panas akan dapat melukai dan menghancurkan kulitnya, maka
ia tidak akan mau mencelupkan tangannya ke dalam kuali yang berisi
minyak panas, walaupun hal itu belum pernah dicobanya.
Syiah, selain menggunakan dalil akal untuk menetapkan ‘ishmah para Imam,
juga mengajukan dalil naqli, al-Quran dan hadits. Diantaranya yang
cukup jelas adalah firman Allah kepada Nabi Ibrahim as, bahwa imam akan
diangkat dari keturunannya, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, ’sesungguhnya
Aku menjadikan engkau Imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata:
‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.’ Allah berfirman: “Janjiku
(ini) tidak berlaku untuk orang yang zalim. (Q.S. al-Baqarah: 124).
Ayat ini membicarakan tentang kisah Nabi
Ibrahim as. yang setelah melewati fase kenabian dan kerasulan, dan
setelah lulus dalam sejumlah ujian berat, maka Nabi Ibrahim as. diangkat
menjadi Imam seluruh manusia. Dengan kesungguhannya, Nabi Ibrahim
meminta kepada Allah agar jabatan ini diberikan juga kepada sebagian
keturunannya, tetapi Allah menegaskan kepada Nabi Ibrahim bahwa
orang-orang zalim dan para pendosa tidak akan mencapai posisi ini.
Frase terakhir dari ayat di atas
menegaskan bahwa ketetapan Allah tidak akan mengenai orang-orang yang
zalim. Allamah Thabathabai menjelaskan bahwa dalam hal ini, secara
terperinci kelompok manusia dibagi pada empat posisi, yaitu :
- Manusia yang zalim sepanjang umurnya.
- Manusia yang tidak zalim sepanjang umurnya.
- Manusia yang zalim di awal umurnya, dan tidak diakhir umurnya.
- Manusia yang tidak zalim di awal umurnya, tetapi zalim diakhirnya.[7]
Merujuk pada pembagian ini, maka kelompok
manusia yang kedualah yang berhak mendapat dan diangkat menjadi imam,
karena tidak pernah berbuat zalim alias maksum, seperti ditegaskan oleh
ayat di atas. Sebab seseorang yang berbuat dosa adalah orang zalim atas
dirinya, sesuai dengan firman Allah, “…di antara mereka ada yang manganiaya diri mereka sendiri.” (Q.S. Fatir: 32).
Selain ayat di atas, Allah juga menegaskan kepada manusia untuk mematuhi pemimpin melalui firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya), dan ulil amri diantara kamu.” (Q.S. al-Nisa’: 59).
Ayat tersebut menunjukkan bahwa ulil amri yang
wajib ditaati adalah pemimpin yang senantiasa cocok dengan hukum Allah
Swt. Ketaatan mutlak tidak akan pernah dilaksanakan kecuali jika
pemimpin tersebut adalah orang yang maksum. Sebab, jika mereka berbuat
kesalahan, maka harus ditegur dan ditolak saat itu juga. Sikap semacam
ini bertentangan dengan keharusan taat kepada mereka. Akhirnya dua
perintah Allah akan menjadi saling berbenturan, padahal keduanya
menuntut adanya pelaksanaan untuk menghindari murka Yang Maha Kuasa,
dalam arti kata taat kepada mereka.[8]
Sedangkan ayat yang secara jelas menyebutkan ahlul bait adalah ayat tathir, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai ahlul bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.” (Q.S. al-Ahzab: 33)
Para ulama ahli hadis, tafsir, dan
sejarawan menyatakan bahwa ayat di atas turun kepada lima orang, yaitu
Nabi Muhammad Saw, Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan dan Husein. Hal
ini dapat ditemukan dalam banyak literatur baik di kalangan sunni maupun
syiah seperti Musnad Ahmad bin Hambal, Mustadrak al-Hakim, Sunan al-Turmizi, tafsir Al-Tabari, Tarikh Baghdadi dan lain-lain.[9] Bahkan beberapa buku ditulis khusus untuk menguraikan tentang ayat tersebut, diantaranya[10]:
- Sayid Syahid al-Qadhi Nurullah al-Tusturi, Al-Sahab al-Mathir fi Tafsiri Ayat Tathir.
- Allamah Baha’uddin Muhammad bin Hasan al-Isfahani yang dikenal dengan gelar al-Fadhil al-Hindi, Tathir at-Tathir.
- Allamah Sayid Abdul Baqi al-Husaini, Syarhu Tathir at-Tahir.
- Syekh Abdul Karim bin Muhammad bin Thahir al-Qummi, Al-Shuwar al-Munthabaah.
- Syekh Ismail bin Zainal Abidin yang bergelar Misbah, Tafsir Ayat at-Tathir.
- Syekh Muhammad Ali bin Muhammad Taqi al-Bahrain, Jala’ul Dhamir fi Halli Musykilat Ayat Takhir.
- Allamah Syekh Abdul Husain bin Mustafa, Aghlab ad-Dawain fi Tafsiri Ayat Tathir.
- Syekh Luthfullah Ash-Shafi, Risalah Qayyimah fi Tafsiri Ayat Tathir.
- Sayid Ja’far Murtadha al-Amili, Ahlulbait fi Ayat at-Tathir.
- Syekh Muhammad Mahdi ash-Shifi, Kitab fi Maqal Ayat Tathir.
- Sayid Ali al-Muwahhid al-Abthahi, Ayat Tathir fi Ahadits al-Fariqain.
- Syekh Ja’far Subhani, Ayat at-Tathir.
- Sayid Kamal haydari, al-Ishmah.
Dengan demikian, nas-nas al-Quran di atas
secara jelas mengungkapkan bahwa, kepemimpinan ilahiah dalam Islam
tidaklah berakhir setelah Rasulullah saw wafat. Akan tetapi, garis imamah dilanjutkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib dan orang-orang suci dari keturunannya melalui jalur Imam Ali dan Fatimah al-Zahra as.
Dan batasan di atas mengenai imamah
tampak bahwa untuk mencapai kedudukan ini dituntut syarat-syarat yang
sangat berat, baik dari sisi taqwa, yaitu telah mencapai tingkat ishmah, kemaksuman yang menjadikan seseorang terpelihara
dari perbuatan-perbuatan dosa dan kesalahan, serta memiliki ilmu dan
pengetahuan yang mencakup seluruh bidang pengetahuan dan aturan agama
serta pengetahuan tentang manusia dan kebutuhannya untuk setiap zaman.
Setidaknya ada tiga syarat penting yang mesti dimiliki seseorang untuk
menduduki posisi Imamah yaitu :
- Merupakan pilihan dan diangkat oleh Allah swt, bukan diangkat oleh masyarakat umum
- Memiliki keilmuan yang mencakup keseluruhan ilmu yang diperoleh secara ladunni dari sisi Allah swt.
- Maksum dari segala kesalahan dan kekeliruan serta dosa.[11]
Ketiga syarat tersebut mengindikasikan
bahwa orang yang menjadi imam mestilah diangkat oleh Allah, seperti
halnya para Nabi, bukan diangkat oleh manusia. Namun, orang yang
diangkat Allah swt haruslah orang yang memiliki kualitas kenabian secara
lahiriah dan ruhaniah seperti yang disyaratkannya memiliki ilmu dan
kemaksuman. Orang-orang yang memiliki kualitas seperti ini hanya Allah
swt yang mengetahuinya, karena hanya Dialah yang senantiasa mengawasi
manusia dengan kecermatan, ketelitian, dan pengawasan yang tidak mungkin
dihinggapi kekeliruan.
Selain itu, Imamah juga
merupakan petunjuk pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan Ilahi yang mesti
dijalankan manusia. Tuhan dianggap adil karena Ia ingin manusia
berjalan di garis yang benar; Tuhan pencipta manusia dan tidak akan
membiarkan makhluk-Nya dalam kesesatan. Untuk misi itulah para rasul dan
imam diutus oleh Tuhan.
PENGANGKATAN DAN PENUNJUKKAN IMAM.
Seperti disebutkan di atas bahwa
pengangkatan atau penunjukan imam merupakan hak preogratif Allah swt,
yang disampaikan melalui wahyu dan lisan Rasulullah saaw. Manusia
tidaklah memiliki peran dalam pemilihan tersebut, disebabkan penentuan
seorang imam menunut kelayakan zatiah, yakni kelayakan yang mana pada diri seseorang telah tertanam sifat-sifat dan kriteria imam seperti ishmah dan ilmu secara sempurna dan telah menjadi jati dirinya.
Imamah dalam pandangan kaum syiah tidak
hanya merupakan suatu sistem pemerintahan, tetapi juga rancangan Tuhan
yang absolut dan menjadi dasar syariat, yang kepercayaan kepadanya
dianggap sebagai penegas keimanan. Khwajah Nasiruddin at-Thusi
sebagaimana dikutip oleh Murtadha Muthahhari menggunakan ungkapan ilmiah
dan mengatakan bahwa Imam adalah luthf (karunia) Allah.
Maksudnya seperti kenabian dan berada di luar otoritas manusia.
Karenanya, Imam tak dapat dipilih berdasarkan keputusan manusia. Seperti
Nabi Saw, Imam ditunjuk berdasarkan ketetapan Allah Swt. Bedanya, Nabi
berhubungan langsung dengan Allah Swt, sedangkan Imam diangkat oleh Nabi saw setelah mendapat perintah dari Allah Swt.[12]
Pandangan ini diperkuat dengan penunjukan langsung Rasulullah Muhammad saaw untuk menjadikan Imam Ali sebagai pemimpin (maula, waliy) seluruh kaum muslimin sesaat setelah menyelesaikan haji wada’. Peristiwa bersejarah ini dikenal dengan “hadits ghadir khum” yang mencapai derajat mutawatir.
Jumhur ulama Islam baik dari sunni dan
syiah telah mengakui bahwa Nabi Saw pada hari ke-18, pada bulan
Zulhijjah tahun ke-10 H, sepulangnya dari haji wada’ menuju Madinah
al-Munawarah, beliau berhenti di Ghadir, di sebuah dataran yang bernama
Khum. Beliau memerintahkan orang yang mendahuluinya untuk kembali dan
menanti orang-orang yang tertinggal di belakang. Sehingga semua orang
yang bersama beliau berkumpul, jumlah mereka pada waktu itu diperkirakan
mencapai 70.000 orang atau lebih, dan ada yang berpendapat 120.000
orang.[13]
Rasulullah naik ke atas mimbar, beliau
berbicara dengan khutbah yang sangat istimewa. Pesan-pesan ilahiah
mengenai persaudaraan, keimanan, keutamaan Islam, dan sebagainya
disampaikan nabi saaw dengan fasihnya. Hingga kemudian beliau
menyampaikan akan keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib, mendoakannya dan
mendoakan orang-orang yang mendukungnya, serta mereka yang menjadikannya
sebagai wali.[14]
Kemudian, beliau memerintahkan para
sahabatnya agar menyediakan tempat bagi Ali, kemudian mendudukkannya di
tempat itu. Nabi kemudian memerintahkan semua yang bersama beliau untuk
mendatanginya, baik perseorangan maupun berjamaah, untuk menyampaikan
ucapan selamat kepadanya. Setelah itu para sahabat diperintahkan nabi
membai’at Imam Ali.
Inilah deklarasi umum kepemimpinan Imam Ali, dengan memproklamirkan, “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka inilah Ali sebagai pemimpinnya juga (man kuntu maula hu fa hadza Ali maula hu .[15]
Hadits ini mempunyai banyak jalur
periwayatan baik dari jalur sunni maupun syiah, sehingga mustahil untuk
diragukan. Ridha al-Hakimi dalam Hamaseh Ghadir menyatakan
“Apabila (kriteria keshahihan) hadits al-Ghadir ini tidak kita terima
kebenarannya, niscaya tidak ada satupun hadits lain yang dapat kita
terima”.[16]
Hal ini karena, hadis al-Ghadir termasuk hadis yang paling mutawatir. Husain Ali Mahfuz, dalam risetnya yang mendalam seputar persoalan Ghadir Khum, telah mencatat dengan dokumentasi bahwa hadits al-ghadir
ini telah diriwayatkan oleh paling sedikit 110 sahabat, 84 thabiin, 355
ulama, 25 sejarawan, 27 ahli hadits, 11 mufasir, 18 teolog, dan 5
filolog.[17] Al-Amini dalam karya monumentalnya al-Ghadir sebanyak
11 jilid dengan panjang lebar menelusuri sumber-sumber rujukan hadits
tersebut. Al-Amini menyebutkan para perawinya dari kalangan sahabat yang
mencapai 110 orang sahabat sebagai berikut :
- Abu Hurairah al-Dausi (w.57/58H). Diantaranya diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi di dalam Tarikh Baghdad jilid VIII, hlm. 290. Al-Khawarizmi di dalam Manaqib, hlm. 130. Ibn Hajar di dalam Tahzhib al-Tahzhib jilid VII, hlm. 327.
- Abu Laila al-Ansari (w. 37 H). Diantaranya ditulis oleh al-Khawarizmi, Manaqib, hlm. 35. Al-Suyuti di dalam Tarikh al-Khulafa’, hlm. 114 dan Samhudi di dalam kitab Jawahir al-Aqidain.
- Abu Zainab bin ‘Auf al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah jilid 3, hlm. 307. dan jilid 5, hlm. 205; Ibn Hajr Asqalani, al-Isabah jilid 3, hlm. 408 dan jilid 4, hlm. 80.
- Abu Fadhalah al-Ansari, sahabat Nabi saaw di dalam peperangan Badr. Di antara orang yang memberi penyaksian kepada ‘Ali AS dengan hadith al-Ghadir di hari Rahbah. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir dalam Usd al-Ghabah jilid 3, hlm. 307, dan jilid 5, hlm.205.
- Abu Qudamah al-Ansari. Di antara orang yang menyahut seruan ‘Ali AS di hari Rahbah. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir dalam Usd al-Ghabah jilid 5, hlm. 276.
- Abu ‘Umrah bin ‘Umru bin Muhsin al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah Jilid 3, hlm. 307.
- Abu al-Haitsam bin al-Taihan meninggal dunia saat perang al-Siffin tahun 37 H. Diriwayatkan oleh al-Qadhi dalam Tarikh Ali Muhammad, hlm. 67.
- Abu Rafi’ al-Qibti, hamba Rasulullah SAWAW. Diriwayatkan oleh al-Khawarizmi dalam Maqtal dan Abu Bakr al-Ja’abi di dalam Nakhb.
- Abu Dhuwaib Khuwalid atau Khalid bin Khalid bin Muhrith al-Hazali wafat di dalam pemerintahan Khalifah ‘Uthman. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah dalam Hadith al-Wilayah, al-Khawarizmi di dalam Maqtal.
- Abu Bakr bin Abi Qahafah al-Taimi (w.13H). Lihat Ibn Uqdah dalam Hadith al-Wilayah; Abu Bakr al-Ja’abi dalam al-Nakhb, al-Mansur al-Razi dalam kitabnya Hadith al-Ghadir, Syamsuddin al-Jazari al-Syafi’i dalam Asna al-Matalib, hlm. 3.
- Usamah bin Zaid bin al-Harithah al-Kalbi (w.54H). Diriwayatkan di dalam Hadith al-Wilayah dan Nakhb al-Manaqib.
- Ubayy bin Ka’ab al-Ansari al-Khazraji (w. 30/32H). Lihat Abu Bakr al-Ja’abi dalam Nakhb al-Manaqib.
- As’ad bin Zararah al-Ansari. Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari di dalam Asna al-Matalib, hlm. 4.
- Asma’ binti Umais al-Khath’amiyyah. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah dalam Hadith al-Wilayah.
- Umm Salamah isteri Nabi SAWAW. Lihat al-Samhudi al-Syafii dalam Jawahir al-Aqirain; dan al-Qunduzi al-Hanafi dalam Yanabi al-Mawaddah, hlm. 40.
- Umm Hani’ binti Abi Talib. Lihat al-Qunduzi l-Hanafi, Yanabi’ al-Mawaddah, hlm. 40 dan Ibn ‘Uqdah, Hadith al-Wilayah.
- Abu Hamzah Anas bin Malik al-Ansari al-Khazraji hamba Rasulullah saaw (w. 93H). Lihat al-Khatib al-Baghdadi di dalam Tarikhnya jilid VII, hlm. 377; Ibn Qutaibah, al-Ma’arif, hlm. 291; al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa’, hlm. 114.
- Al-Barra’ bin ‘Azib al-Ansari al-Ausi (w. 72H). Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, IV, hlm. 281; Ibn Majah di dalam Sunan, I, hlm. 28-29.
- Baridah bin al-Hasib Abu Sahl al-Aslami (w. 63H). Diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam al-Mustadrak, III, hlm. 110; al-Suyuti di dalam Tarikh al-Khulafa’, hlm. 114.
- Abu Sa’id Thabit bin Wadi’ah al-Ansari al-Khazraji al-Madani. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 307.
- Jabir bin Samurah bin Janadah Abu Sulaiman al-Sawa’i (w. 70H). Diriwayatkan oleh al-Muttaqi al-Hindi di dalam Kanz al-Ummal, VI, hlm. 398.
- Jabir bin Abdullah al-Ansari (w. 73/74H). Diriwayatkan oleh Ibn ‘Abd al-Birr di dalam al-Isti’ab, II, hlm. 473; Ibn Hajr di dalam Tahdhib al-Tadhib, V, hlm. 337.
- Jabalah bin ‘Umru al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah dengan sanad-sanadnya di dalam Hadith al-Wilayah.
- Jubair bin Mut’am bin ‘Adi al-Qurasyi al-Naufali (w. 57/58/59 H). Diriwayatkan oleh al-Qunduzi l-Hanafi di dalam Yanabi’ al-Mawaddah, hlm. 31, 336.
- Jarir bin ‘Abdullah bin Jabir al-Bajali (w. 51/54 H). Diriwayatkan oleh al-Haithami di dalam Majma’ al-Zawa’id, IX, hlm. 106.
- Abu Dhar Janadah al-Ghaffari (w.31 H). Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah; Syamsuddin al-Jazari al-Syafi’i di dalam Asna l-Matalib, hlm. 4.
- Abu Junaidah Janda’ bin ‘Umru bin Mazin al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, I, hlm. 308.
- Hubbah bin Juwain Abu Qadamah al-’Arani (w. 76-79H). Diriwayatkan oleh al-Haithami di dalam Majma’ al-Zawa’id, IX, hlm. 103; al-Khatib al-Baghdadi di dalam Tarikh Baghdad, VIII, hlm. 276.
- Hubsyi bin Janadah al-Jaluli. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 307, V, hlm. 203; Ibn Kathir di dalam al-Bidayah wa Nihayah, VI, hlm. 211.
- Habib bin Badil bin Waraqa’ al-Khaza’i. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, I, hlm. 368; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, I, hlm. 304.
- Huzaifah bin Usyad Abu Sarihah al-Ghaffari. (w.40/42 H). Diriwayatkan oleh al-Qunduzi al-Hanafi di dalam Yanabi’ al-Mawaddah, hlm. 38.
- Huzaifah al-Yamani (w.36 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi’i di dalam Asna al-Matalib, hlm. 40.
- Hasan bin Tsabit. Salah seorang penyair al-Ghadir pada abad pertama Hijrah.
- Imam Mujtaba Hasan bin ‘Ali AS. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Uqdah di dalam Hadith al-Wilayah dan Abu Bakr al-Ja’abi di dalam al-Nakhb.
- Imam Husain bin ‘Ali AS. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di dalam Hilyah al-Auliya’, IX, hlm.9.
- Abu Ayyub Khalid bin Zaid al-Ansari (w.50/51H). Diriwayatkan oleh Muhibuddin al-Tabari di dalam al-Riyadh al-Nadhirah, I, hlm. 169; Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabbah, V, hlm. 6 dan lain-lain.
- Abu Sulaiman Khalid bin al-Walid al-Mughirah al-Makhzumi (w. 21/22H). Diriwayatkan oleh Abu Bakr al-Ja’abi di dalam al-Nakhb.
- Khuzaimah bin Thabit al-Ansari Dhu al-Syahadataini (w. 37H). Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah,III, hlm. 307 dan lain-lain.
- 39. Abu Syuraih Khuwailid Ibn `Umru al-Khaza`i (w. 68 H).Di antara orang yang menyaksikan Amiru l-Mukminin dengan hadis al-Ghadir.
- Rifaah bin `Abd al-Munzhir al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah dengan sanad-sanadnya di dalam Hadis al-Wilayah.
- Zubair bin al-`Awwam al-Qurasyi (w. 36 H).Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna l-Matalib, hlm. 3.
- Zaid bin Arqam al-Ansari al-Khazraji (w. 66/68 H). Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, IV, hlm.368 dan lain-lain.
- Abu Sa`id Zaid bin Thabit (w. 45/48 H).Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna l-Matalib,hlm. 4 dan lain-lain.
- Zaid Yazid bin Syarahil al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, II, hlm. 233; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, I, hlm. 567 dan lain-lain.
- Zaid bin `Abdullah al-Ansari.Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah dengan sanad-sanadnya di dalam Hadis al-Wilayah.
- Abu Ishak Sa`d bin Abi Waqqas (w. 54/56/58 H). Diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam al-Mustadrak , III, hlm. 116 dan lain-lain.
- Sa`d bin Janadah al-`Aufi bapa kepada `Atiyyah al-`Aufi. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah , dan lain-lain.
- Sa`d bin `Ubadah al-Ansari al-Khazraji (w. 14/15 H). Diriwayatkan oleh Abu Bakr al-Ja`abi di dalam Nakhb.
- Abu Sa`id Sa`d bin Malik al-Ansari al-Khudri (w.63/64/65H). Diriwayatkan oleh al-Khawarizmi di dalam Manaqibnya, hlm. 8; Ibn Kathir di dalam Tafsirnya, II, hlm. 14 dan lain-lain.
- Sa`id bin Zaid al-Qurasyi `Adwi (w. 50/51 H). Diriwayatkan oleh Ibn al-Maghazili di dalam Manaqibnya.
- Sa`id bin Sa`d bin `Ubadah al-Ansari.Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Abu `Abdullah Salman al-Farisi (w. 36/37 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna l-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
- Abu Muslim Salmah bin `Umru bin al-Akwa` al-Islami (w. 74H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah dengan sanad-sanadnya didalam Hadis al-Wilayah.
- Abu Sulaiman Samurah bin Jundab al-Fazari (w.58/59/60 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna l-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
- Sahal bin Hanif al-Ansari al-Awsi (w. 38 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna l-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
- Abu `Abbas Sahal bin Sa`d al-Ansari al-Khazraji al-Sa`idi (w. 91H). Diriwayatkan oleh al-Qunduzi l-Hanafi di dalam Yanabi` al-Mawaddah, hlm. 38 dan lain-lain.
- Abu Imamah al-Sadiq Ibn `Ajalan al-Bahili (w. 86 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Dhamirah al-Asadi. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Talhah bin `Ubaidillah al-Tamimi wafat pada tahun 35 Hijrah di dalam Perang Jamal. Diriwayatkan oleh al-Mas`udi di dalam Muruj al-Dhahab, II, hlm. 11; al-Hakim di dalam al-Mustadrak, III, hlm. 171 dan lain-lain.
- Amir bin `Umair al-Namiri. Diriwayatkan oleh Ibn Hajr di dalam al-Isabah, II, hlm. 255.
- Amir bin Laila bin Dhumrah. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 92 dan lain-lain.
- Amir bin Laila al-Ghaffari. Diriwayatkan oleh Ibn Hajr di dalam al-Isabah, II, hlm. 257 dan lain-lain.
- 63. Abu Tufail `Amir bin Wathilah. Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, I, hlm. 118; al-Turmudhi di dalam Sahihnya, II, hlm. 298 dan lain-lain.
- 64. `Aisyah binti Abu Bakr bin Abi Qahafah, isteri Nabi (s.`a.w.). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Abbas bin `Abdu l-Muttalib bin Hasyim bapa saudara Nabi (s.`a.w.). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Abdu al-Rahman bin `Abd Rabb al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 307; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, II, hlm. 408 dan lain-lain.
- Abu Muhammad bin `Abdu al-Rahman bin Auf al-Qurasyi al Zuhri (w. 31 H). Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna al-Matalib, hlm. 3 dan lain-lain.
- Abdu al-Rahman bin Ya`mur al-Daili. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah dan lain-lain.
- Abdullah bin Abi `Abd al-Asad al-Makhzumi. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Abdullah bin Badil bin Warqa’ Sayyid Khuza`ah. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Abdullah bin Basyir al-Mazini. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Abdullah bin Thabit al-Ansari. Diriwayatkan oleh al-Qadhi di dalam Tarikh Ali Muhammad, hlm. 67.
- Abdullah bin Ja`far bin Abi Talib al-Hasyim (w. 80 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Abdullah bin Hantab al-Qurasyi al-Makhzumi. Diriwayatkan oleh al-Suyuti di dalam Ihya’ al-Mayyit.
- Abdullah bin Rabi`ah. Diriwayatkan oleh al-Khawarizmi di dalam Maqtalnya.
- Abdullah bin `Abbas (w. 68 H). Diriwayatkan oleh al-Nasa`i di dalam al-Khasa`is, hlm. 7 dan lain-lain.
- Abdullah bin Ubayy Aufa `Alqamah al-Aslami (w.86/87H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Abu `Abd al-Rahman `Abdullah bin `Umar bin al-Khattab al- `Adawi (w. 72/73 H). Diriwayatkan oleh al-Haithami di dalam Majma` al-Zawa’id, IX, hlm. 106 dan lain-lain.
- Abu `Abdu al-Rahman `Abdullah bin Mas`ud al-Hazali (w. 32/33H). Diriwayatkan oleh al-Suyuti di dalam al-Durr al-Manthur, II, hlm. 298 dan lain-lain.
- Abdullah bin Yamil. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 274; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, II, hlm. 382 dan lain-lain.
- Uthman bin `Affan (w. 35 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah dan lain-lain.
- Ubaid bin `Azib al-Ansari, saudara al-Bara’ bin `Azib. Di antara orang yang membuat penyaksian kepada `Ali a.s di Rahbah. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, III, hlm. 307.
- Abu Tarif `Adi bin Hatim (w. 68 H). Diriwayatkan oleh al-Qunduzi al-Hanafi di dalam Yanabi` al-Mawaddah, hlm. 38 dan lain-lain.
- Atiyyah bin Basr al-Mazini. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Uqbah bin `Amir al-Jauhani. Diriwayatkan oleh al-Qadhi di dalam Tarikh Ali Muhammad, hlm. 68.
- Amiru l-Mukminin `Ali bin Abi Talib a.s. Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, I, hlm. 152; al-Haithami di dalam Majma` al-Zawa’id, IX, hlm. 107; al-Suyuti di dalam Tarikh al- Khulafa’, hlm. 114; Ibn Hajr di dalam Tahdhib al-Tahdhib, VII, hlm. 337; Ibn Kathir di dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, V, hlm. 211 dan lain-lain.
- Abu Yaqzan `Ammar bin Yasir (w. 37H).Diriwayatkan oleh Syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna al-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
- Ammarah al-Khazraji al-Ansari. Diriwayatkan oleh al-Haithami di dalam Majma` al-Zawa’id, IX, hlm. 107 dan lain-lain.
- Umar bin Abi Salmah bin `Abd al-Asad al-Makhzumi (w. 83 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Umar bin al-Khattab (w. 23 H). Diriwayatkan oleh Muhibbuddin al-Tabari di dalam al-Riyadh al-Nadhirah, II, hlm. 161; Ibn Kathir di dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, VII, hlm. 349 dan lain-lain.
- Abu Najid `Umran bin Hasin al-Khuza`i (w. 52 H). Diriwayatkan oleh syamsuddin al-Jazari al-Syafi`i di dalam Asna al-Matalib, hlm. 4 dan lain-lain.
- Amru bin al-Humq al-Khuza`i al-Kufi (w. 50 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Amru bin Syarhabil.Diriwayatkan oleh al-Khawarizmi di dalam Maqtalnya.
- Amru bin al-`Asi. Diriwayatkan oleh Ibn Qutaibah di dalam al-Imamah wa al-Siyasah, hlm. 93 dan lain-lain.
- Amru bin Murrah al-Juhani Abu Talhah atau Abu Maryam. Diri-wayatkan oleh al-Muttaqi al-Hindi di dalam Kanz al-`Ummal, VI, hlm. 154 dan lain-lain.
- Al-Siddiqah Fatimah binti Nabi (s.`a.w.).Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah dan lain-lain.
- Fatimah binti Hamzah bin `Abdu l-Muttalib. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
- Qais bin Thabit bin Syamas al-Ansari. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, I, hlm. 368; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, I, hlm. 305 dan lain-lain.
- Qais bin Sa`d bin `Ubadah al-Ansari al-Khazraji. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
100. Abu Muhammad Ka`ab bin `Ajrah al-Ansari al-Madani (w. 51 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
101. Abu Sulaiman Malik bin al-Huwairath al-Laithi (w. 84 H). Diriwayatkan oleh al-Suyuti di dalam Tarikh al-Khulafa’, hlm. 114 dan lain-lain.
102. Al-Miqdad bin `Amru al-Kindi al-Zuhri (w. 33 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah dan lain-lain.
103. Najiah bin`Amru al-Khuza`i. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, V, hlm. 6; Ibn Hajr di dalam al-Isabah, III, hlm. 542 dan lain-lain.
104. Abu Barzah Fadhlah bin `Utbah al-Aslami (w. 65 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
105. Na’mar bin `Ajalan al-Ansari. Diriwayatkan oleh al-Qadhi di dalam Tarikh Ali Muhammad, hlm. 68 dan lain-lain.
106. Hasyim al-Mirqal Ibn`Utbah bin Abi Waqqas al-Zuhri (w. 37H). Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah, I, hlm. 366; Ibn Hajr di dalam _al-Isabah, I, hlm. 305.
107. Abu Wasmah Wahsyiy bin Harb al-Habsyi al-Hamsi. Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
108. Wahab bin Hamzah.Diriwayatkan oleh al-Khawarizmi pada Fasal Keempat di dalam Maqtalnya.
109. Abu Juhaifah Wahab bin`Abdullah al-Suwa’i (w. 74 H). Diriwayatkan oleh Ibn `Uqdah di dalam Hadis al-Wilayah.
110. Abu Murazim Ya’li bin Murrah bin Wahab al-Thaqafi. Diriwayatkan oleh Ibn al-Athir di dalam Usd al-Ghabah , II, hlm.233; Ibn Hajr di dalam al-Isabah , III, hlm. 542[18].
Demikianlah 110 perawi-perawi hadis
al-Ghadir di kalangan sahabat mengenai penunjukan Ali a.s sebagai
imam atau khalifah secara langsung oleh Rasulullah saaw. Kemudian
diikuti pula oleh 84 perawi-perawi dari golongan para Tabi`in yang
meriwayatkan hadis al-Ghadir serta 360 perawi-perawi di kalangan para
ulama Sunnah yang meriwayatkan hadis tersebut di dalam buku-buku
mereka. Bahkan terdapat 26 pengarang dari kalangan para ulama Ahl
al-Sunnah yang mengarang buku secara khusus tentang hadis al-Ghadir,
diantaranya :[19]
- Ahmad Zaini Dahlan al-Makki al-Syafii dalam kitabnya Futuhat al-Islamiyah
- Syeikh Yusuf al-Nabhani al-Beiruti dalam kitabnya al-Syaraf al-Muayyad
- Muhammad Abduh dalam karyanya Tafsir al-Manar
- Abdul Hamid al-Alusi al-Baghdadi dalam kitabnya Natsr al-La’ali
- Sayyid Mukmin Sablanji al-Misri dalam Nur al-Abshar
- Syeikh Muhammad Habibullah Syanqithi dalam Kifayah al-Thalib
- Dr. Ahmad Rifai dalam kitabnya Ta’liqat Mu’jam al-Udaba
- Ahmad Zaki al-Mishri dalam kitabnya Ta’liqat al-Ghani
- Ahmad Nashim al-Mishri dalam kitabnya Ta’liqat Diwan Mihyar Dailami
- Muhammad Mahmud Rifai dalam kitabnya Syarhu al-Hasyimiyat
- Nashir as-sunnah al-Hamdhrani dalam Tasynif al-Adzan
- Dr. Umar al-Faruk dalam Hakim al-Muammarah.[20]
Adapun ulama Syiah diantaranya :
- Syeikh Ahmad bin Ali bin Abi Thalib at-Thabarsi menulis kitab al-Ihtijaj
- Mir Hamid Husain al-Hindi dalam karyanya Abaqat al-Anwar sebanyak 20 jilid
- Syeikh Abdul Husain al-Amini dalam karyanya al-Ghadir sebanyak 11 jilid
- Ali Akbar Shadeqi, Payam Ghadir (Khutbah al-Rasul saw fi Ghadir Khum).
- Syeikh Ayub al-Hairi, al-Ghadir
Adapun mengenai jumlah imam, syiah
meyakini adanya 12 imam. Hal ini didukung teks-teks hadits yang cukup
terkenal yang diriwayatkan para ahli hadits di dalam kitab-kitab utama
mereka seperti : Sahih Bukhari, Muslim, Turmuzi, Abu Daud, Musnad Ibn Hanbal,
serta kitab-kitab standar lainnya yang jika kita telusuri akan mencapai
setidaknya 270 riwayat, diantaranya Al-Qanduzi al-Hanafi menyebutkan di dalam kitabnya Yanabi’ al-Mawaddah, bahwa Yahya bin Hasan di dalam kitab al-’Umdah
meriwayatkan dua puluh jalur mengenai khalifah sepeninggal Rasulullah
saw itu berjumlah dua belas dan seluruhnya Quraisy. Adapun di dalam Sahih Bukhari melalui tiga jalan, dalam Sahih Muslim melalui sembilan jalan, dalam Sunan Abu Dawud melalui tiga jalan, di dalam Sunan Turmudzi melalui satu jalan, dan di dalam al-Hamidi melalui tiga jalan.
Ayatullah Ibrahim Amini meneliti hadits-hadits tentang 12 imam atau khalifah dan mengelompokkanya menjadi lima kelompok,[21] yaitu :
- Hadits-hadits yang menggambarkan bahwa para khalifah dan umara setelah nabi berjumlah 12 orang. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Muslim Jilid III, “Agama ini akan terus tegak hingga datangnya hari kiamat atau datang kepada kamu dua belas orang khalifah, (imam) semuanya berasal dan suku Quraisy.”
- Hadits-hadits yang menyebutkan bahwa para imam berjumlah dua belas orang dan terakhirnya bernama al-Qaim atau Mahdi.
- Hadits-hadits yang menyebutkan jumlah 12 orang dengan disertai nama-nama setiap imam.
- Hadits-hadits yang menyatakan bahwa para imam ada 12 orang dan semuanya suci.
- Hadits-hadits yang menunjukkan bahwa ahlul bait akan tetap ada hingga hari kiamat.
Syiah meyakini bahwa tafsiran yang paling
tepat mengenai dua belas khalifah yang ditentukan Nabi Muhammad saaw.
itu adalah para Imam maksum as. dari Imam Ali bin Abi Thalib as hingga
Imam Muhammad al-Mahdi afs.
Meskipun begitu, umumnya ulama sunni
tetap menganggap bahwa pengangkatan Imam Ali sebagai khalifah bukanlah
hal yang mutlak, bahkan sebagiannya ada yang menolak persoalan tersebut.
Menurut analisa Jalaluddin Rakhmat, setidaknya, dalam menanggapi
persoalan ini para pemikir sunni melakukan enam teknik pengalihan fakta[22], yaitu :
- Membuang sebagian isi hadits dan menggantinya dengan kata-kata yang kabur. Contoh: Tarikh al-Thabari meriwayatkan ucapan Nabi tentang Ali, “Inilah washiku dan khalifahku untuk kamu”. Kata-kata ini dalam tafsir al-Thabari dan Ibnu Katsir diganti dengan “wa kadza wa kadza (demikianlah-demikianlah)”. Tentu kata ‘washi’ dan ‘khalifah’ sangat jelas, sedangkan” wa kadza” tidak jelas.
- Membuang seluruh beritanya dengan memberithaukan bahwa pembuangan cerita itu ada. Contohnya: Dalam buku ‘Shiffin’ karya Nashr bin Mazahim (w. 212 H) dan Muruj al-Dzahab karya al-Masudi (w. 246 H) diceritakan bahwa Muhammad bin Abu Bakar menulis surat kepada Muawiyah menjelakan keutamaan Imam Ali sebagai ‘washi’ nabi, dan muawiyah mengakuinya. Namun, al-Thabari yang juga menceritakan kisah tersebut dengan merujuk pada buku-buku di atas sebagai sumber, membuang semua isi surat itu dengan alasan supaya orang banyak tidak resah mendengarnya. Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, juga menghilangkan isi surat itu dengan alasan yang sama.
- Memberikan makna lain (takwil) pada riwayat. Contohnya : al-Thabrani dalam Majma al-Zawaid meriwayatkan ucapan Nabi kepada Salman al-Farisi bahwa Ali adalah washi-nya. Al-Thabrani memberikan komentar, “Nabi menjadikannya washi untuk keluarganya, bukan untuk khalifah”.
- Membuang sebagian riwayat tanpa menyebutkan petunjuk atau alasan. Contohnya: Ibnu Hisyam mendasarkan kitabnya, Tarikh Ibnu Hisyam pada Tarikh Ibnu Ishaq. Akan tetapi Ibnu Hisyam dalam kata pengantarnya berkata bahwa ia meninggalkan beberapa bagian riwayat Ibnu Ishaq yang jelek bila disebut orang. Diantara yang ditinggalakanya itu adalah kisah “wa andzir ashiratakal aqrabin”, yang dalam Sirah Ibnu Ishaq di riwayatkan Nabi mengatakan “Inilah (Ali) saudaraku, washiku, dan khalifahku untuk kamu”. Muhammad Husein Haikal dalam bukunya Hayat Muhammad melakukan hal yang sama. Pada bukunya cetakan pertama, ia mengutip ucapan Nabi, “siapa yang akan membantuku dalam urusan ini akan menjadi saudaraku, washiku, dan khalifahku untuk kamu”. Pada cetakan kedua (tahun 1354 H) ucapan Nabi ini dibuang dari bukunya.
- Melarang penulisan hadits-hadits Nabi saw, dari masa sahabat sampai masa thabiin, sehingga kemungkinan hadits banyak yang hilang.
- Mendhaifkan hadits-hadits yang mengurangi kehormatan orang yang kita dukung atau yang menunjukkan kehebatan lawan. Contohnya: Ibnu Katsir mendhaifkan hadits-hadits tentang keutamaan Imam Ali sebagai washi dan khalifah Nabi. Ia menganggap riwayat ini sebagai dusta yang dibuat-buat orang syiah atau orang-orang bodoh dalam ilmu hadits. Padahal hadits itu diriwayatkan dari banyak sahabat oleh Imam Ahmad, al-Thabari, al-Thabrani, Abu Nuaim al-Isbahani, Ibnu Asakir, dan lainya.
Cara ini telah melahirkan diskusi mazhab
yang panjang. Ulama Sunni menulis buku yang menyerang mazhab syiah, dan
Ulama syiah membalasnya dengan menulis buku juga sebagai jawaban.
Al-Hilli menulis buku Minhaj al-Karamah yang dibantah oleh Ibnu
Rouzban (dari sunni) dan dibalas lagi oleh al-Marasyi al-Tustary (dari
Syiah). Kompilasi bantahan ini sekarang menjadi buku ‘Ihqaq al-Haq’ sebanyak 19 jilid, yang setiap jilidnya sama dengan ukuran Encyclopedia Britannica. Ibnu Taymiyah menulis buku ‘Minhaj al-Sunnah’ juga untuk membantah buku ‘Minhaj al-Karamah’. Akhirnya ditulislah 11 jilid al-Ghadir dan 20 jilid “Abaqat al-Anwar”
untuk membuktikan keshahihan hadits ghadir khum yang didhaifkan Ibnu
Taymiyah. Sampai saat ini belum ada bantahan untuk kedua buku tersebut.
HUBUNGAN IMAMAH DAN WILAYAH.
Pada dasarnya, imamah dan wilayah adalah
konsepsi yang tak terpisahkan, antara bagian dan keseluruhan. Maksudnya,
wilayah adalah payung besar yang menaungi seluruh konsepsi kepemimpinan
Islam, baik itu kenabian (an-nubuwah), keimaman (imamah), ataupun keulamaan (fukaha). Ini berarti wilayah merupakan konsepsi yang khas sebagai bentuk distribusi kepemimpinan mulai dari Allah (wilayah Allah), Nabi (wilayah al-nabi), imam (wilayah al-imam), hingga ulama (wilayah al-faqih).
Ayat berikut dipandang oleh syiah sebagai rujukan penting mengenai wilayah:
“Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang
beriman, yang mendirikan salat dan memberikan sedekah dalam keadaan
rukuk.” (Q.S. al-Maidah: 55)
Ayat ini menetapkan tiga “kewalian” yaitu
Allah, Nabi Muhammad Saw, dan “orang yang beriman”. Frasa terakhir
(orang yang beriman) ini, disebutkan oleh para ahli hadits dan tafsir
merujuk kepada Imam Ali bin Abi Thalib.[23] Jadi, ayat ini mengindikasikan kewalian Imam Ali bin Abi Thalib, dan para imam lainnya yang wilayah mereka ditetapkan melalui penunjukan mereka oleh Nabi Saw.[24]
Menurut A.A. Sachedina, Nabi Muhammad sebagai rasul terakhir telah melaksanakan tugasnya mengemban wilayah al-ilahiyah. Wilayah al-Ilahiyah berkaitan dengan visi moral wahyu islami.
Wahyu islami memandang kehidupan publik sebagai suatu proyeksi niscaya
dari tanggapan pribadi terhadap tantangan moral untuk menciptakan suatu
tatanan masyarakat yang berdasarkan ajaran-ajaran Allah di muka bumi.
Untuk mewujudkan itu, kepemimpinan amat penting. Sebab hanya melalui
kepemimpinan yang dibimbing oleh Allah, penciptaan masyarakat yang ideal
dapat diwujudkan. Masalah kepemimpinan yang dibimbing oleh Allah dalam
memenuhi rencana Allah, di bawah naungan wilayah al-Ilahiyah, dengan
demikian menempati posisi sentral dalam sistem keimanan atau pandangan
Syiah, yang di dalamnya Nabi Muhammad Saw sebagai wakil aktif Allah yang
transendental di muka bumi, digambarkan sebagai memiliki wilayah Ilahi. Untuk menjamin kontinuitas visi wahyu yang demikian, kontinuitas realisasi kepemimpinan menjadi sebuah keniscayaan.[25]
Fakta ini demikian penting, sehingga baik
selama masa hidup Nabi Muhammad Saw, maupun segera setelah wafatnya,
masalah kepemimpinan dalam Islam menjadi jalin-berjalin demikian erat
dengan penciptaan suatu tatanan Islami. Wahyu Islami tak pelak lagi
mengandung arti bimbingan Allah melalui perwakilan yang ditunjuk oleh
Allah, yaitu Nabi Muhammad Saw, untuk mewujudkan tatanan masyarakat
Islami. Dan setelah Rasulullah Muhammad saaw, amanah untuk menjaga dan
mewujudkan tatanan islami itu dilanjutkan oleh para imam yang diangkat
oleh Allah melalui lisan wahyu Rasulullah saaw.
IMAMAH DAN WILAYAH SEBAGAI KEPEMIMPINAN UNIVERSAL.
Kata maula[26] dan al-waliy dalam kamus-kamus Bahasa Arab memiliki beberapa arti, diantaranya : yang bertanggung jawab dalam suatu pekerjaan (al-mutawalli fi al-amr), penolong (nashir), teman (shahib), pecinta (muhib), sekutu (haliif), pewaris (warits).
Akan tetapi, kata al-wali atau maula, sebagaimana terdapat dalam konteks ayat wilayah
(Q.S. al-maidah: 55) dan hadits Ghadir Khum di atas, disepakati oleh
ulama syiah sebagai konsepsi kepemimpinan universal yang dimiliki oleh
Imam Ali bin Abi Thalib. Sedangkan bagi ulama sunni, istilah ini
ditafsirkan bermacam-macam, meskipun ada konsensus di antara
mereka bahwa ayat dan hadits itu diwahyukan untuk memuji kesalehan dan
ketakwaan Ali, namun kata al-wali ditafsirkan sebagai mengandung arti muwalat (persahabatan yang menolong) Ali dan tidak meniscayakan penerimaan akan wilayah (otoritas dalam bentuk kepemimpinan universal/imamah).
Sebagian dari penulis ahli sunnah menyatakan bahwa al-wali atau maula dalam ayat dan hadis “man kuntu maula”
berarti teman atau kekasih atau dengan kata lain dalam hadis al-Ghadir,
Rasul hanya ingin menegaskan pada kaum muslimin bahwa siapa yang
mencintai beliau harus juga mencintai Imam Ali a.s dan tidak lebih dari
itu.
Memang tidak ada yang memungkiri bahwa kata al-wali atau maula bisa berarti teman atau kekasih. Akan tetapi, menurut pandangan syiah, dalam konteks ayat wilayah dan hadits al-ghadir, tidaklah tepat memaknai kata tersebut dengan teman atau kekasih dikarenakan alasan sebagai berikut: [27]
- Ayat tentang wilayah ini mengandung makna pengaturan dan ketaatan khusus pada tiga wali yakni Allah, Nabi dan ‘orang beriman’ (Imam Ali).
- Bahwasanya kecintaan terhadap Imam Ali a.s. dan kecintaan kaum muslimin dengan sesama mereka adalah masalah yang sudah tersebar luas dan diketahui oleh seluruh umat Islam, karena diawal-awal dakwah rasul, beliau selalu menyampaikan “sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara“. Oleh karena itu tidak perlu rasul mengumpulkan ratusan ribu kaum muslimin dalam kondisi dibawah terik matahari hanya untuk menyampaikan bahwa mereka harus mencintai Imam Ali as.
- Sesungguhnya sabda Rasul saww, “Bukankah aku lebih berhak atas kalian dibanding dari kalian?”, menandakan yang dimaksud dengan maula dihadis al-Ghadir bukan hanya sekedar kecintaan, akan tetapi kepemimpinan Imam Ali as.
- Doa Nabi Muhammad saaw, “Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Bantulah mereka yang membantunya dan tiggalkanlah mereka yang meninggalkannya”, mengindikasikan kepemimpinan Imam Ali, sebab secara alami dalam kepemimpinan ada yang mendukung dan ada yang memusuhinya.
- Ucapan selamat dan baiat yang disampaikan para sahabat kepada Imam Ali as juga membuktikan akan adanya suatu yang istimewa.
Para ulama Syiah, memaknai maula dalam arti pokoknya yang lain, yaitu al-awla bittasharruf (pemimpin) dan al-ahaq (lebih berhak untuk mengemban otoritas), sebab al-awla dalam penggunaan umum sering diterapkan pada seseorang yang dapat mengemban otoritas atau yang mampu mengelola urusan-urusan. al-Wali yang diterapkan pada Nabi Muhammad Saaw, mengandung makna wilayah tasharruf, yang berarti pemilikan akan otoritas yang memberi wali hak
untuk bertindak dengan cara apa pun yang dinilainya paling baik,
menurut kearifannya, sebagai seorang wakil bebas dalam mengelola
urusan-urusan umat. Wilayah al-tasharruf dapat diemban hanya
oleh orang yang ditunjuk untuk ini oleh otoritas mutlak yaitu Allah,
atau oleh orang yang secara eksplisit ditunjuk oleh Nabi Muhammad Saaw,
dalam kedudukan otoritas melalui perwakilan. Konsekuensinya, Imam yang ditunjuk oleh nas sebagai wali memiliki wilayah al-tasharrruf dan diakui sebagai penguasa umat.[28]
Dari hal-hal di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud “maula” dalam hadis al-Ghadir adalah “Khilafah dan Imamah”
bagi Imam Ali as. sebagai pemimpin universal. Kepemimpinan universal
ini akan terus berlangsung melalui garis para imam, yang secara
eksplisit ditunjuk oleh imam-imam sebelumnya.
Dalam pengertian terakhir
inilah wilayah imam atas umat terkonseptualisasikan. Karena
itu, secara keagamaan, melecehkan para imam yang ditunjuk oleh Allah ini
sama saja dengan pengingkaran.
Secara kronologis, kepemimpinan umat
pasca Nabi Muhammad saaw, menurut perspektif syiah, dimulai oleh Imam
Ali bin Abi Thalib, kemudian anak beliau yakni Imam Hasan al-Mujtaba,
Imam Husain, dan dilanjutkan sembilan keturunan dari Imam Husain yaitu
Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far Shadiq, Musa Kazhim, Ali
Ridha, Muhammad al-Jawad, Ali al-Hadi, Hasan al-Askari, dan Muhammad
al-Mahdi. Hanya saja, Imam yang terakhir ini, meskipun telah lahir pada
abad ke-3 Hijrah (tahun 255 H) namun mengalami kegaiban hingga waktu
yang tidak diketahui. Dalam masa ketersembunyian Imam Mahdi ini, wilayah
imam terdelegasikan kepada ulama yang memenuhi syarat-syarat tertentu
untuk secara formal memimpin, membimbing, dan menjelaskan syariat Islam
kepada kaum muslimin. Kepemimpinan ulama ini berlaku hingga hadirnya
Imam kedua belas, Imam Muhammad al-Mahdi afs.
Ketika al-Mahdi, Imam kedua
belas datang kembali, maka otoritas-otoritas temporal dan spiritual akan
terpadu pada dirinya seperti halnya Nabi Muhammad saw. Dia akan
mempersatukan dua bidang pemerintahan islami yang ideal itu. Maka
gagasan tentang Imamah yang ditunjuk di antara keturunan Ali,
yang berkesinambungan di sepanjang sejarah dan dalam segala keadaan
politis, diperkuat oleh harapan berkenaan dengan Imamah dari Imam terakhir yang sedang gaib. Hal ini mengukuhkan kembali harapan Imamiyah akan pemerintahan islami sejati oleh seorang Imam yang absah dari kalangan keturunan Husein.[29]
Kegaiban dalam pemikiran dan keyakinan syiah terbagi dalam dua tingkatan. Pertama, “kegaiban kecil” (minor occultation/ghaibah ash-shugra) selama 74 tahun (255-329 H), yaitu ketika Imam Mahdi “bersembunyi di dunia fisik dan mewakilkan kepemimpinannya kepada para wakil Imam”. Pada masa ini kesulitan dalam hal marja’ (kepemimpinan agama dan politik) relatif bisa diatasi. Karena, posisi marja’
dijabat oleh empat wakil al-Mahdi, yaitu Abu ‘Ammar Usman bi Sa’id, Abu
Ja’far Muhammad bin Usman, Abu al-Qasim al-Husain bin Ruh dan Abu
al-Hasan ‘Ali bin Muhammad Samari.
Kedua, “kegaiban besar” (major occultation/ ghaibah al-kubra), yaitu pasca meninggalnya keempat wakil Imam
di atas hingga datangnya kembali Imam Muhammad al-Mahdi pada akhir
zaman. Dalam periode “kegaiban besar” inilah kepemimpinan didelegasikan
kepada para faqih. Konsepsi inilah yang dikenal dengan istilah wilayah al-faqih.
[1] Dalam al-Quran, kata imam (bentuk tunggal) dipergunakan sebanyak 7 kali, dan kata a‘immah (bentuk plural) 5 kali dengan arti dan maksud yang bervariasi sesuai dengan penggunaanya. Bisa bermakna jalan umum (Q.S. Yasin:
12); pedoman (Q.S. Hud: 7); ikut (Q.S. al-Furqan: 74); dan petunjuk
(Q.S. al-Ahqaf: 12). Begitu pula dalam makna pemimpin, kata ini merujuk
pada banyak konteks, seperti pemimpin yang akan dipanggil Tuhan bersama
umatnya untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatan mereka (Q.S.
al-Isra: 71); pemimpin orang-orang kafir (Q.S. at-Taubah: 12); pemimpin
spiritual atau para rasul yang dibekali wahyu untuk mengajak manusia
mengerjakan kebajikan, mendirikan salat, menunaikan zakat, yaitu Nabi
Ibrahim, Ishaq dan Ya‘qub (Q.S. al-Anbiya: 73); pemimpin dalam
arti luas dan bersifat umum ataupun dalam arti negatif (Q.S. al-Qasas: 5
dan 41); dan pemimpin yang memberi petunjuk berdasarkan perintah Allah
Swt (Q.S. as-Sajadah: 24). Taufik Abdullah. et. al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jilid III. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 204-206.
[2] Taufik Abdullah. et.al. Ensiklopedi, h. 205.
[3] Pembahasan mengenai dalil-dalil imamah banyak di bahas dalam kitab-kitab syiah. Lihat misalnya, al-Kulaini. Ushul al-Kafi.(Beirut: Muassasah al-a’lami li al-mathbuat, 2005). Abdul Husain Ahmad al-Amini al-Najafi. al-Ghadir fi al-Kitab wa al-Sunnah wa al-Adab Jilid I. (Beirut: Muassasah al-a’lami lil mathbuat, 1994).
[4] Tentang ayat ini, Fakhr al-Razi, berkomentar; “Ayat ini menjelaskan bahwa setiap orang yang jaiz al-khatha,
yang dapat melakukan kesalahan, harus bergabung dan wajib mengikuti
orang yang dijamin kebenarannva atau maksum. Mereka adalah orang yang
dimaksud oleh Allah sebagai orang-orang yang benar di atas, as-shodiqun.
Prinsip ini bukan hanya berlaku pada satu masa saja, tapi untuk
sepanjang masa. Jadi, pada setiap masa pasti ada orang maksum. Lihat
Fakr al-Razi. Tafsir al-Kabir jilid XVI, h. 221.
[5] Tentang ‘Ismah, lihat kembali pembahasan Bab Kemaksuman.
[6] Ibrahim Amini. Para Pemimpin Teladan. (Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 31. dan 40-64.
[7] Allamah Thabathabai. al-Mizan fi Tafsir al-Quran jilid I. (Beirut: Muassasah al-a’lami li al-mathbuat, 1991), h. 270.
[8] Lihat Husain Al-Habsyi. Sunnah-Syiah dalam Ukhwah Islamiyah.(Malang: Yayasan Al-Kautsar, 1991), h. 186. Ja’far Subhani. Ma’a al-Syiah, h. 61.
[9] Lihat pembahasan khusus tentang ayat ini dalam Ali Umar al-Habsyi. Keluarga Suci Nabi Saw: Tafsir Surah al-Ahzab Ayat 33. (Jakarta: Ilya, 2004). Husain Al-Habsyi. Sunnah, h. 187, dan Ja’far Subhani. Ma’a al-Syiah, h. 58.
[10] Lihat Ali Umar al-Habsyi. Keluarga, h. 10-11.
[11] Lihat Muhammad Taqi Misbah Yazdi. Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan (Jakarta: al-Huda, 2005), h. 290.
[12] Murtadha Muthahhari. Manusia dan Alam Semesta. (Jakarta: Lentera, 2002), h. 471.
[13] Sayid Muhammad Al-Musawi. Mazhab Syiah. (Bandung: Muthahari Press, 2005), h. 460.
[14] Teks khutbah ini dikumpulkan dengan baik dari berbagai sumber oleh Ali Akbar Shadeqi. Pesan Terakhir Nabi saw: Terjemahan Lengkap Kotbah Nabi saw di Ghadir Khum 18 Dzulhijjah 10 H. (Bandung: Pustaka Pelita, 1998).
[15] Ali Akbar Shadeqi. Pesan terakhir, h. 58. lihat juga Al-Mustdrak li al-Hakim juz 3, h. 109. Musnad Ahmad juz 4, h. 437-438. Sunan al-Tirmizi juz 5, h.297. Husain Al-Habsyi. Sunnah, h. 37. Sayid Muhammad Al-Musawi. Mazhab, h. 460-461. Muhammad Baqir al-Majlisi. Bihar al-Anwar Juz al-Hadi wa al-’Isyrun, (Beirut: Muassasatu al-Wafa’, 1983), h. 387.
[16] Ali Akbar Shadeqi. Pesan Terakhir, h. 18.
[17] Sayid Husain Muhammad Jafri. Dari Saqifah Sampai Imamah (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), h. 51.
[18] Abdul Husain Ahmad al-Amini al-Najafi. al-Ghadir fi al-Kitab wa al-Sunnah wa al-Adab Jilid I. (Beirut: Muassasah al-a’lami lil mathbuat, 1994), h. 14-158.
[19] Al-Amini. Al-Ghadir, h. 14-158.
[20] Lihat al-Amini. al-Ghadir, h. 147-151.
[21] Lihat Ibrahim Amini. Para, h. 319-321.
[22] Jalaluddin Rakhmat. Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqih: Dari Fiqih al-Khulafa’ al-Rasyidin Hingga Mazhab Liberalisme, dalam Budhy Munawar Rachman. ed. Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 264-266.
[23] Lihat diantaranya : Abu Ishaq Ahmad bin Ibrahim ats-Tsa’labi. Tafsir al-Kasyfwa al-bayan ‘an Tafsir al-Qur’an. al-Hakim al-Hiskani. Syawahid at-Tanzil jilid 1 (Beirut), h. 171-177. Jalaluddin as-Suyuthi. Tafsir ad-Durr al-Mantsur. al-Muttaqi al-Hindi. Kanz al-’Ummal jilid 1, h. 305 dan jilid 15, h. 146. (bab keutamaan Ali); ath-Thabrani. Mu’jamah al-Awsath. Al-Hakim an-Naisaburi. Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits. (Mesir, 1937), h. 102. al-Khawarizmi. Kitab al-Manaqib, h. 187. Ibnu ‘Asakir. Tarikh Dimasyq jilid 2, h. 409. Ibnu Hajar al-’Asqalani. al-Kaff asy-Syaf fi Takhrij Ahadits al-Kasysyaf. Mesir, h. 56. Muhibuddin ath-Thabari. Dzakha’ir al-’Ugba, h. 201. dan kitab ar-Riyadh an-Nadhirah jilid 2, h. 227. Ahmad bin Yahya al-Baladzari. Ansab al-Asyraf jilid 2 diperiksa oleh Mahmudi (Beirut), h. 150. Al-Wahidi. Asbab an-Nuzul, diperiksa oleh Sayid Ahmad al-Shamad (1389 ), h. 192.
[24] Abdulaziz A. Sachedina. Kepemimpinan Islam Perspektif Syiah. (Bandung: Mizan, 1994), h. 165.
[25] Lihat Abdulaziz A. Sachedina. Kepemimpinan, h. 164.
[26] Al-Amini menyebutkan padanan kata maula hingga mencapai 27 makna yaitu : al-Rab (Tuhan), al-am (paman), ibn al-am (anak paman), al-ibn (anak laki-laki), ibn al-ukht (putra saudari perempuan), al-mu’tiq (pembebas), al-mu’taq (yang dibebaskan), al-abd (hamba), al-malik (penguasa), al-tabi’ (pengikut), al-mun’am alaih (yang diberi nikmat), as-syarik (sekutu), al-halif (sekutu), ash-shahib (teman), al-jar (tetangga), al-nazil (tamu yang berkunjung), al-Shihru (keluarga suami), al-Qarib (teman dekat), al-mun’im (pemberi nikmat), al-faqid (mitra), al-waliy (pelindung), al-aula bi al-syai (yang lebih utama), al-Sayid ghairu al-malik wa al-mu’tiq (tuan), al-muhib (yang mencintai), al-nashir (penolong), al-mutasharrif fi al-amr (yang terlibat dalam urusan), al-mutawalli fi al-amr (yang bertanggung jawab atas urusan). Lihat al-Amini, al-Ghadir, h. 362-363.
[27] Bandingkan dengan Ibrahim Amini. Para, h. 96-97. Tim Penerbit al-Huda (peny). Antologi Islam. (Jakarta: al-Huda, 2005), h. 301-310.
[28] Abdulaziz A. Sachedina. Kepemimpinan, h. 166.
[29] Abdulaziz A. Sachedina. Kepemimpinan, h. 167.