Antara abad ke-11 hingga 13 para elit yahudi berhasil menancapkan
kekuasaan yang nyaris mutlak di seluruh Eropa dengan menggunakan satu
sekte agama bentukan mereka, Ksatria Templar. Dengan kekayaan yang
didapatkannya dari penjarahan di Jerussalem setelah mendompleng
ekspedisi Perang Salib, mereka berhasil mempengaruhi Sri Paus untuk
menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada mereka, yaitu hak kepemilikan
tanah di sebagian besar Eropa. Namun mereka belum menguasai sepenuhnya
kekuasaan para raja dan bangsawan. Maka ketika Raja Perancis merasa
bosan berada di bawah kekuasaan para Templar dan harus membayar pajak
tanah setiap tahun kepada mereka, ia pun memberontak. Aksinya mendapat
dukungan para raja dan bangsawan Eropa sehingga dengan relatif mudah
berhasil menumbangkan kekuasaan para Templar. Sebaliknya bagi para
Templar, mereka menjadi korban pembantaian dan yang selamat menjadi
buronan dimana-mana.
Maka untuk selanjutnya para elit yahudi itu, setelah menguasai sumber-sumber kekayaan, memusatkan perhatian pada pengambil-alihan kekuasaan secara sistematis dan menyeluruh yang selanjutnya disebut sebagai revolusi yang sekaligus menghancurkan 2 kekuatan penghalang mereka: raja-raja bangsawan dan gereja. Dan percobaan pertama yang ternyata sukses, adalah di Inggris. Terlepas dari itu, pilihan Inggris sebagai sasaran pertama adalah dendam karena raja Inggris telah mengusir orang-orang yahudi pada tahun 1290.
Revolusi Inggris (biasa disebut Perang Sipil Inggris) terjadi pada pertengahan abad 17 yang ditandai dengan satu peristiwa tragis, yaitu dihukum matinya Raja Charles I. Karena keberhasilannya, revolusi ini kemudian menjadi model dari beberapa revolusi sejenis yang melanda seluruh daratan Eropa dengan satu tujuan: menumbangkan kekuasaan raja-raja aristokrat dengan pemimpin-pemimpin tiran yang merupakan boneka para elit penguasa yahudi.
"Adalah sudah menjadi ketentuan takdir bahwa Inggris harus menjalani revolusi pertama dari berbagai revolusi yang belum selesai hingga saat ini.”
Itu adalah kalimat yang tertulis pada buku “Life of Charles I” tulisan Isaac Disraeli yang diterbitkan pertama kali tahun 1851. Isacc adalah ayah dari Benjamin Disraeli, anggota parlemen pertama dan perdana menteri pertama Inggris yang berdarah yahudi. Ia berhasil menulis karya yang sangat mengagumkan dengan detil yang sangat lengkap tentang satu peristiwa paling besar yang pernah terjadi di Inggris. Disraeli mengaku tulisannya berdasarkan bahan-bahan yang dikumpulkan oleh Melchior de Salom, duta besar Perancis untuk Inggris selama terjadinya revolusi.
Revolusi Inggris dibuka dengan gambaran tentang kerajaan Inggris sebagai negara kesatuan antara raja, gereja, negara, para bangsawan dan rakyat yang disatukan oleh tradisi kekristenan yang kuat. Di sisi lain mulai muncul gerakan baru bernama Calvinisme yang pertama kali dimunculkan oleh warga negara Swiss bernama Calvin (dalam bahasa Perancis dieja sebagai Cauin, kemungkinan berasal dari nama asli Cohen yang berarti juga orang yahudi).
Calvin adalah salah seorang tokoh satu gerakan yang oleh buku-buku sejarah disebut sebagai “Reformasi” (saya lebih suka menyebutnya sebagai gerakan “Destruksi” berdasarkan motif di belakangnya yang saya ketahui) yang bertujuan “memurnikan” ajaran Kristen. Dalam upayanya itu Calvin mengorganisir sejumlah besar orator yang bertugas menciptakan perselisihan di tengah-tengah masyarakat tentang berbagai isu agama, tidak terkecuali di negeri Inggris Raya yang mencakup juga Irlandia dan Skotlandia.
Isu perbedaan yang mereka ciptakan adalah kesucian hari Sabbath, hari suci kaum yahudi yang jatuh setiap hari Sabtu dimana kaum yahudi dilarang untuk melakukan aktifitas. Sebagian rakyat Inggris yang taat pada keyakinan Kristen (puritan) percaya dengan keyakinan yang juga tercantum dalam kita Injil itu. Namun sebagian lainnya yang “moderat” menolaknya. Maka rakyat Inggris-un terbelah secara tajam oleh satu isu yang sebelumnya tidak pernah menjadi persoalan, yaitu hari Sabbath. Kelompok pertama yang terdiri dari kaum puritan berdiri di belakang sebagian anggota parlemen yang dipimpin oleh Oliver Cromwell, sedang kelompok kedua berdiri di belakang para bangsawan yang dipimpin oleh Raja Charles I.
Perlemen yang tadinya selalu menuruti semua perintah raja sebagai pengemban kekuasaan tertinggi, mulai berani menentang kebijakan-kebijakan raja seperti pernikahannya dengan Henrietta Maria dari Perancis, pemungutan pajak untuk membiayai perang di daratan Eropa serta pengangkatan George Villiers sebagai panglima perang. Tidak berhenti di situ, pada tahun 1627 parlemen bahkan berani meng-impeach raja, satu preseden awal sepanjang sejarah.
Tokoh-tokoh penting pendukung raja yang disebut juga sebagai kaum “royalis” adalah Buckingham, Strafford dan Laud. Buckingham, adalah sahabat raja terdahulu James I, terbunuh oleh satu konspirasi misterius. Earl of Strafford, seorang bangsawan yang awalnya adalah pendukung oposisi akhirnya bergabung ke kubu pendukung raja setelah menyadari motif jahat di belakang kaum oposisi.
Dari waktu ke waktu permusuhan parlemen semakin kuat terhadap raja. Pada satu saat mereka bahkan menghukum mati Earl of Strafford dengan tuduhan peng¬khia¬natan. Raja pun menyebut mereka sebagai “musuh” dengan pimpinan yang dilihatnya adalah Earl of Bedford. Earl of Bedford adalah keturunan dari seorang yahudi pedagang anggur bernama Roussel.
Tidak menyadari konspirasi yang terjadi di balik itu semua, raja dan semua orang mengalami kebingungan, dan ketakutan. Tiba-tiba saja semua orang saling membenci dan bermusuhan. Orang-orang yang tadinya sangat menghormati raja dan pendeta, mulai berani menghujat mereka. Mereka tidak tahu siapa musuh dan siapa kawan yang sebenarnya, kepada siapa bisa mendapatkan dukungan dan pertolongan. Bahkan tokoh-tokoh besar dan orang-orang berpengaruh pun bisa tidak berdaya untuk menyelamatkan dirinya, termasuk Earld of Stafford dan Laud, sang Uskup Agung pendukung raja yang juga dihukum mati.
Pembunuhan Earl of Stafford menjadi salah satu drama politik terheboh di Inggris. Awalnya parlemen mengajukan petisi untuk mengadili Stafford dengan tuduhan pengkhianatan setelah kegagalannya menjalankan misi kenegaraan di Skotlandia. Untuk memperkuat dakwaan, anggota parlemen anti-raja dipimpin Pym mengajukan bukti berupa kesaksian putra anggota Dewan Penasihat Raja (King’s Privy Council) bernama Henry Vane the Elder. Henry Vane membantah kesaksian tersebut, namun putranya, Henry Vane the Younger yang telah disuap, mengkhianati ayahnya dan Earl of Stafford yang tidak lain adalah sahabat ayahnya, dengan menyerahkan kopi nota rahasia milik ayahnya yang menjadi bukti dakwaan.
Atas bukti tersebut anggota parlemen anti-raja mengajukan Bill of Attainder, yang menyatakan bahwa Stafford bersalah dan dijatuhi hukuman mati. Berbeda dengan pengadilan umumnya Bill of Attainder tidak membutuhkan bukti-bukti, namun tetap mengharuskan persetujuan raja untuk diputuskan. Charles menolak, sementara para bangsawan anggota parlemen tinggi (House of Lord) juga keberatan dengan beratnya hukuman yang dijatuhkan. Di sisi lain tentara yang loyal pada raja juga mengadakan gerakan dukungan pada Stafford. Namun pada tgl 21 April parlemen tetap meloloskan hukuman itu dengan dukungan 204 suara melawan 59 yang menentang. Charles tetap menolak sehingga hukuman tetap tidak berlaku, namun karena khawatir dengan keselamatan keluarganya, ia akhirnya menyetujui. Maka pada tgl 10 Mei 1641 Earl of Stafford dihukum pancung.
Raja, para pendukung-pendukungnya dan seluruh rakyat Inggris sama sekali tidak menyangka bahwa semua kekacauan itu adalah pekerjaan konspirasi yahudi, karena semua orang yahudi sudah diusir dari Inggris pada tahun 1290 oleh raja Edward Longshanks akibat praktik-praktik ritual berdarah mereka.
Dengan pembunuhan atas Sir Stafford, para musuh raja yang sebelumnya beroperasi secara diam-diam, kini telah membuka kedoknya. Selanjutnya mereka memusatkan perhatian pada pengambil-alihan ibukota City of London. Dan tiba-tiba saja di London muncul gerombolan bersenjata yang menamakan diri sebagai kaum "operatives", padanan kata dari "workers" atau “buruh”.
Tentang gerakan “buruh” ini Disraeli menulis: "Mereka disebut-sebut berjumlah sekitar sepuluh ribu orang. Dengan senjata-senjata berat sebagaimana biasa digunakan dalam pertempuran, mereka adalah milisi pemberontak yang beroperasi sepanjang tahun, yang bisa diandalkan untuk melakukan penghancuran dengan biaya rendah”.
Harus diingat bahwa kala itu ide tentang pemberontakan rakyat atau revolusi tidak pernah terpikirkan oleh seluruh rakyat di Eropa dan belahan dunia lainnya yang selama ribuan tahun menganggap raja adalah wakil Tuhan di bumi. Peperangan-peperangan yang terjadi selalu antara para raja dan penguasa, tidak pernah melibatkan rakyat jelata. Maka ide seperti itu tentu hanya ada di pikiran orang-orang yang telah merencanakannya sejak lama, siapa lagi kalau bukan orang-orang yahudi yang memang tidak memiliki raja dan negara.
Gerombolan-gerombolan bersenjata mengintimidasi seluruh rakyat kota London, tak terkecuali parlemen dan istana kerajaan. Mereka inilah yang kemudian menjadi model pembentukan gerombolan "Sacred Bands" dan "Marseillais" dalam Revolusi Perancis tahun 1789, atau “red army” dalam Revolusi Bolshevik tahun 1917 di Rusia.
Isaac Disraeli berulangkali mengaitkan Revolusi Inggris dengan Revolusi Perancis, terutama saat menyebut peran pers.
“Peredaran pamflet dan leaflet tidak lagi bisa ditahan. Antara tahun 1640 hingga 1660, sekitar 30.000 lembar telah dicetak.” Dan kemudian, “.. melimpah dalam jumlah dan kejam dalam nafsu.” Dan selanjutnya:
“Tangan-tangan di belakang layar telah memainkan perannya. Mengumumkan daftar orang-orang yang dicap sebagai 'Straffordians” atau “pengkhianat negara”.
Disraeli tidak menyebutkan pemilik tangan di balik layar itu meski ia sebenarnya tahu karena merupakan bagian dari mereka. Namun kini kita telah mengetahui siapa mereka. Beberapa buku Jewish Encyclopedia atau The Jews and Modern Capitalism karya Sombart dengan tepat menyebutkan siapa sebenarnya Olliver Cromwell. Ia diketahui menjalin hubungan dekat dengan para elit yahudi di Belanda. Ia mendapat banyak uang dari Manasseh Ben Israel. Sementara Fernandez Carvajal yang berjuluk "The Great Jew" merupakan kontraktor utama dari New Model Army, tentaranya Cromwell.
Dalam The Jews in England tertulis:
"Pada tahun 1643 sejumlah besar orang-orang yahudi mendarat di Inggris. Penampungan utama mereka adalah rumah dubes Portugis De Souza, seorang Marano (yahudi rahasia). Figur penting di antara mereka adalah Fernandez Carvajal, penyandang dana besar dan kontraktor tentara."
Pada bulan Januari 1642 kerusuhan pun meledak setelah raja berupaya menangkap 5 anggota parlemen yang dianggap sebagai provokator. Tentara misterius "Operatives" pun bergerak sementara ribuan pamflet mengecam raja ditebarkan dengan seruan: “ke tenda-tendamu, O Israel.” Ke lima anggota parlemen dengan perlindungan massa bersenjata kembali ke gedung parlemen, sementara Charles I dan keluarganya harus meninggalkan istana Palace of Whitehall karena kekhawatiran keamanan.
Setelah melalui beberapa pertempuran sengit antara New Model Army dengan pasukan pendukung raja, pada tahun 1647 para pendukung raja menjadi pihak yang terkalahkan dan raja secara efektif menjadi tahanan rumah di Holmby House.
Pada tgl 3 September 1921 Plain English, majalah mingguan yang diterbitkan North British Publishing Co. dengan editor Lord Alfred Douglas, mempublikasikan korespondensi surat yang ditulis antara bulan Juni dan Juli 1647 antara Oliver Cromwell dengan Ebenezer Pratt, pimpinan sinagog Mulheim, Belanda.
16th June, 1647
Dari O.C. (Oliver Cromwell), Kepada Ebenezer Pratt.
Sebagai imbalan atas bantuan keuangan, orang-orang yahudi akan dijinkan untuk kembali ke Inggris. Namun hal ini tidak akan pernah terwujud selama Charles masih hidup.
Charles tidak bisa dihukum mati tanpa pengadilan sementara alasan-alasan yang ada kurang mendukung (untuk mengadilinya). Untuk itu ada ide untuk membunuh Charles.
Sebagai balasannya adalah sbb:
12 Juli 1647
Kepada OC dari E. Pratt
Bantuan keuangan akan segera dikirimkan setelah Charles disingkirkan dan orang-orang yahudi diijinkan kembali. Pembunuhan terlalu berbahaya. Charles harus diberi kesempatan untuk melarikan diri. Penangkapannya kembali akan menjadi alasan kuat untuk mengadilinya dan menghukumnya mati.
Dengan informasi ini kini kita mengetahui dengan sejelas-jelasnya tentang konspirasi pembunuhan Raja Charles I, lengkap dengan pelaku serta motifnya. Salah satu kejahatan konspirasi terbesar dalam senjarah dunia.
Pada tgl 4 Juni 1647, Cornet Joyce memimpin 500 pasu¬kan revolusioner menyerbu Holmby House tempat kediaman raja dan menangkapnya. Menurut Disraeli aksi tersebut dilakukan atas perintah langsung Cromwell tanpa sepengetahuan pembantu-pembantu dekatnya sekalipun. Dalam bukunya Disrael menulis:
“Aksi tersebut dirancang secara rahasia pada tgl 30 Mei di rumah Cromwell, meski kemudian Cromwell berpura-pura tidak mengetahui rencana itu.”
Aksi tersebut bersamaan masanya dengan munculnya perkembangan baru yang terjadi di kalangan tentara New Model Army, yaitu gerakan 'Levelers" dan "Rationalists." Doktrin mereka sama dengan kaum revolusioner Revolusi Perancis 1,5 abad kemudian, pada dasarnya adalah seperti apa yang kita ketahui sebagai komunisme. Selama masa inilah para revolusioner Inggris 4 kali menyerbu parlemen, menahan dan mengintimidasi anggota-anggota parlemen pro-raja hingga di sana hanya tersisa 50 anggota parlemen revolusioner yang selanjutnya disebut Rump Parliament yang nantinya akan ditugasakan untuk menjatuhkan hukuman mati terhadap raja.
Selanjutnya, sesuai rencana, diskenariokan raja melarikan diri ke Pulau Wight pada tgl 12 November. Untuk peristiwa ini Disraeli menulis:
“Para sejarahwan kontemporer telah sepakat bahwa pelarian Raja Charles dari Holmby ke Pulau Wight, merupakan tipu daya Cromwell."
Kecuali langkah-langkah tentara pendukung raja yang membela raja, para bangsawan dan rakyat Inggris yang tidak mengetahui musuf mereka sebenarnya serta motif di balik semua kekacauan itu, membuat musuh-musuh raja leluasa menja¬lankan rencana-rencananya. Meski demikian raja masih sulit untuk dikalahkan. Dalam kondisi “tertawan” parlemen bahkan memutuskan untuk menyudahi permusuhan dengan raja. Pada tgl 5 December 1648, setelah berunding semalaman, parlemen menyatakan bahwa “Konsesi yang diberikan raja telah cukup untuk dilakuannya penyelesaian."
Namun kondisi seperti itu tentu tidak sesuai keinginan Cromwell yang menginginkan raja dihukum mati agar mendapatkan kucuran dana dari orang-orang yahudi internasional. Maka ia menyerang kembali. Pada tgl 6 December 1648 malam, atas perintah Cromwell, Kolonel Pryde dan anak buanya menyerang parlemen dalam apa yang kemudian dicatat dalam sejarah sebagai "Pryde's Purge" untuk menyingkirkan semua anggota parlemen tersisa yang masih bersimpati pada raja. Pada tgl 4 Januari 1649 sebanyak 50 anggota parlemen anti-raja yang disebut Rump Parliement mengangkat diri sebagai “otoritas tertinggi”. Pada tgl 9 Januari 1649 pengadilan terhadap Charles dimulai. Seorang anggota parlemen Algernon Sidney mengingatkan pada Cromwell:
"Pertama, Raja tidak bisa diadili oleh pengadilan manapun. Kedua, tidak ada orang yang bisa diadili oleh pengadilan ini."
Dalam bukunya Charles and Cromwell Hugh Ross Williamson menulis:
“Tidak ada dasar hukum yang bisa ditemukan untuk menjatuhkan tuduhan hingga akhirnya masalah ini diputuskan oleh orang asing (alien) bernama Isaac Dorislaus."
Isaac Dorislaus adalah orang yang sama dengan alien lainnya, Carvajal dan Manasseh Ben Israel serta orang-orang yahudi lainnya yang membayar Cromwell dan tentaranya.
Maka keputusanpun diambil. Raja Charles I dihukum pancung dengan tuduhan “tiran, pengkhianat, pembunuh dan musuh masyaraka”. Eksekusi dilakukan di depan gedung Banqueting House, Palace of Whitehall pada tgl 30 Januari 1649.
Setelah itu orang-orang yahudi pun diijinkan kembali untuk datang dan tinggal di Inggris. Namun undang-undang yang menetapkan hal itu, yang sekaligus juga menganulir undang-undang pengusiran yahudi yang ditetapkan Raja Edward, tidak pernah benar-benar disyahkan karena mendapat tantangan keras dari Dewan Negara yang menganggap orang-orang yahudi sebagai ancaman serius terhadap negara dan agama.
Pembunuhan Charles I menghentakkan seluruh Eropa dan tiba-tiba saja timbul penyesalan pada sebagian besar rakyat Inggris. Mereka merasa asing dengan kondisi baru dimana tidak ada lagi raja dan Cromwell dan pendukung-pendukungnya mengangkat diri sebagai pemimpin Inggris dengan gelar “Pelindung”. Mereka juga menyesali terjadinya perang saudara antara bangsa Inggris sendiri yang menewaskan ratusan ribu jiwa, sebagian menjadi korban tindakan barbar tentara Cromwell, para “operatives” yang terdiri dari kriminal yahudi yang didatangkan dari luar Inggris.
Rakyat Irlandia yang seluruhnya menjadi pendukung Charles misalnya, tidak akan pernah melupakan peristiwa Pembantaian Drogheda, dimana sebanyak 3.500 orang, termasuk pendeta-pendeta Katholik dan rakyat sipil, dibantai oleh pasukan Cromwell.
Maka ketika putra Charles I, Charles II, memberontak, rakyat Inggris pun mendukungnya. Pada tgl 23 Mei 1660 Charles II kembali dari pengasingan dan pada tgl 29 Mei 1660 rakyat Inggris mengangkatnya sebagai raja Inggris. Makam Cromwell dan pendukung-pendukung setianya dibongkar dan tulang belulangnya digantung kemudian dibakar. Namun orang-orang yahudi, yang sampai saat itu tidak diketahui raja dan rakyat Inggris sebagai konspirator revolusi, telah menancapkan jaring kekuasaannya, di antara anggota par¬le¬men, pendeta dan bangsawan korup.
Nasib Inggris berakhir dengan bangsawan Jerman yang tidak bisa berbahasa Inggris, George of Hannover, menduduki singasana Inggris tahun 1714. Ia masih menggunakan nama keluarganya yang lama: Saxe-Coburg-Gotha, hingga Perang Dunia I yang membuat sentimen anti-Jerman meningkat tinggi di kalangan rakyat Inggris. Nama keluarga pun diganti menjadi Windsor yang lebih ke-Inggris-Inggris-an. Raja dan ratu Inggris sekarang adalah keturunan mereka.
Pada tahun 1897 sebuah dokumen misterius terbongkar ke publik, disebut sebagai “The Protocols of the Elders of Zion”. Dalam dokumen tersebut tertulis pernyataan yang menghebohkan:
"Ingat dengan Revolusi Perancis, rahasia-rahasia dari perencanaannya diketahui betul oleh kita karena sesungguhnya itu adalah hasil kerja kita.”
Seharusnya kata-kata itu adalah:
"Ingat dengan Revolusi Inggris dan Perancis, rahasia-rahasia dari perencanaannya diketahui betul oleh kita karena sesungguhnya itu adalah hasil kerja kita.”
Sumber: “The Nameless War”(Source)
Maka untuk selanjutnya para elit yahudi itu, setelah menguasai sumber-sumber kekayaan, memusatkan perhatian pada pengambil-alihan kekuasaan secara sistematis dan menyeluruh yang selanjutnya disebut sebagai revolusi yang sekaligus menghancurkan 2 kekuatan penghalang mereka: raja-raja bangsawan dan gereja. Dan percobaan pertama yang ternyata sukses, adalah di Inggris. Terlepas dari itu, pilihan Inggris sebagai sasaran pertama adalah dendam karena raja Inggris telah mengusir orang-orang yahudi pada tahun 1290.
Revolusi Inggris (biasa disebut Perang Sipil Inggris) terjadi pada pertengahan abad 17 yang ditandai dengan satu peristiwa tragis, yaitu dihukum matinya Raja Charles I. Karena keberhasilannya, revolusi ini kemudian menjadi model dari beberapa revolusi sejenis yang melanda seluruh daratan Eropa dengan satu tujuan: menumbangkan kekuasaan raja-raja aristokrat dengan pemimpin-pemimpin tiran yang merupakan boneka para elit penguasa yahudi.
"Adalah sudah menjadi ketentuan takdir bahwa Inggris harus menjalani revolusi pertama dari berbagai revolusi yang belum selesai hingga saat ini.”
Itu adalah kalimat yang tertulis pada buku “Life of Charles I” tulisan Isaac Disraeli yang diterbitkan pertama kali tahun 1851. Isacc adalah ayah dari Benjamin Disraeli, anggota parlemen pertama dan perdana menteri pertama Inggris yang berdarah yahudi. Ia berhasil menulis karya yang sangat mengagumkan dengan detil yang sangat lengkap tentang satu peristiwa paling besar yang pernah terjadi di Inggris. Disraeli mengaku tulisannya berdasarkan bahan-bahan yang dikumpulkan oleh Melchior de Salom, duta besar Perancis untuk Inggris selama terjadinya revolusi.
Revolusi Inggris dibuka dengan gambaran tentang kerajaan Inggris sebagai negara kesatuan antara raja, gereja, negara, para bangsawan dan rakyat yang disatukan oleh tradisi kekristenan yang kuat. Di sisi lain mulai muncul gerakan baru bernama Calvinisme yang pertama kali dimunculkan oleh warga negara Swiss bernama Calvin (dalam bahasa Perancis dieja sebagai Cauin, kemungkinan berasal dari nama asli Cohen yang berarti juga orang yahudi).
Calvin adalah salah seorang tokoh satu gerakan yang oleh buku-buku sejarah disebut sebagai “Reformasi” (saya lebih suka menyebutnya sebagai gerakan “Destruksi” berdasarkan motif di belakangnya yang saya ketahui) yang bertujuan “memurnikan” ajaran Kristen. Dalam upayanya itu Calvin mengorganisir sejumlah besar orator yang bertugas menciptakan perselisihan di tengah-tengah masyarakat tentang berbagai isu agama, tidak terkecuali di negeri Inggris Raya yang mencakup juga Irlandia dan Skotlandia.
Isu perbedaan yang mereka ciptakan adalah kesucian hari Sabbath, hari suci kaum yahudi yang jatuh setiap hari Sabtu dimana kaum yahudi dilarang untuk melakukan aktifitas. Sebagian rakyat Inggris yang taat pada keyakinan Kristen (puritan) percaya dengan keyakinan yang juga tercantum dalam kita Injil itu. Namun sebagian lainnya yang “moderat” menolaknya. Maka rakyat Inggris-un terbelah secara tajam oleh satu isu yang sebelumnya tidak pernah menjadi persoalan, yaitu hari Sabbath. Kelompok pertama yang terdiri dari kaum puritan berdiri di belakang sebagian anggota parlemen yang dipimpin oleh Oliver Cromwell, sedang kelompok kedua berdiri di belakang para bangsawan yang dipimpin oleh Raja Charles I.
Perlemen yang tadinya selalu menuruti semua perintah raja sebagai pengemban kekuasaan tertinggi, mulai berani menentang kebijakan-kebijakan raja seperti pernikahannya dengan Henrietta Maria dari Perancis, pemungutan pajak untuk membiayai perang di daratan Eropa serta pengangkatan George Villiers sebagai panglima perang. Tidak berhenti di situ, pada tahun 1627 parlemen bahkan berani meng-impeach raja, satu preseden awal sepanjang sejarah.
Tokoh-tokoh penting pendukung raja yang disebut juga sebagai kaum “royalis” adalah Buckingham, Strafford dan Laud. Buckingham, adalah sahabat raja terdahulu James I, terbunuh oleh satu konspirasi misterius. Earl of Strafford, seorang bangsawan yang awalnya adalah pendukung oposisi akhirnya bergabung ke kubu pendukung raja setelah menyadari motif jahat di belakang kaum oposisi.
Dari waktu ke waktu permusuhan parlemen semakin kuat terhadap raja. Pada satu saat mereka bahkan menghukum mati Earl of Strafford dengan tuduhan peng¬khia¬natan. Raja pun menyebut mereka sebagai “musuh” dengan pimpinan yang dilihatnya adalah Earl of Bedford. Earl of Bedford adalah keturunan dari seorang yahudi pedagang anggur bernama Roussel.
Tidak menyadari konspirasi yang terjadi di balik itu semua, raja dan semua orang mengalami kebingungan, dan ketakutan. Tiba-tiba saja semua orang saling membenci dan bermusuhan. Orang-orang yang tadinya sangat menghormati raja dan pendeta, mulai berani menghujat mereka. Mereka tidak tahu siapa musuh dan siapa kawan yang sebenarnya, kepada siapa bisa mendapatkan dukungan dan pertolongan. Bahkan tokoh-tokoh besar dan orang-orang berpengaruh pun bisa tidak berdaya untuk menyelamatkan dirinya, termasuk Earld of Stafford dan Laud, sang Uskup Agung pendukung raja yang juga dihukum mati.
Pembunuhan Earl of Stafford menjadi salah satu drama politik terheboh di Inggris. Awalnya parlemen mengajukan petisi untuk mengadili Stafford dengan tuduhan pengkhianatan setelah kegagalannya menjalankan misi kenegaraan di Skotlandia. Untuk memperkuat dakwaan, anggota parlemen anti-raja dipimpin Pym mengajukan bukti berupa kesaksian putra anggota Dewan Penasihat Raja (King’s Privy Council) bernama Henry Vane the Elder. Henry Vane membantah kesaksian tersebut, namun putranya, Henry Vane the Younger yang telah disuap, mengkhianati ayahnya dan Earl of Stafford yang tidak lain adalah sahabat ayahnya, dengan menyerahkan kopi nota rahasia milik ayahnya yang menjadi bukti dakwaan.
Atas bukti tersebut anggota parlemen anti-raja mengajukan Bill of Attainder, yang menyatakan bahwa Stafford bersalah dan dijatuhi hukuman mati. Berbeda dengan pengadilan umumnya Bill of Attainder tidak membutuhkan bukti-bukti, namun tetap mengharuskan persetujuan raja untuk diputuskan. Charles menolak, sementara para bangsawan anggota parlemen tinggi (House of Lord) juga keberatan dengan beratnya hukuman yang dijatuhkan. Di sisi lain tentara yang loyal pada raja juga mengadakan gerakan dukungan pada Stafford. Namun pada tgl 21 April parlemen tetap meloloskan hukuman itu dengan dukungan 204 suara melawan 59 yang menentang. Charles tetap menolak sehingga hukuman tetap tidak berlaku, namun karena khawatir dengan keselamatan keluarganya, ia akhirnya menyetujui. Maka pada tgl 10 Mei 1641 Earl of Stafford dihukum pancung.
Raja, para pendukung-pendukungnya dan seluruh rakyat Inggris sama sekali tidak menyangka bahwa semua kekacauan itu adalah pekerjaan konspirasi yahudi, karena semua orang yahudi sudah diusir dari Inggris pada tahun 1290 oleh raja Edward Longshanks akibat praktik-praktik ritual berdarah mereka.
Dengan pembunuhan atas Sir Stafford, para musuh raja yang sebelumnya beroperasi secara diam-diam, kini telah membuka kedoknya. Selanjutnya mereka memusatkan perhatian pada pengambil-alihan ibukota City of London. Dan tiba-tiba saja di London muncul gerombolan bersenjata yang menamakan diri sebagai kaum "operatives", padanan kata dari "workers" atau “buruh”.
Tentang gerakan “buruh” ini Disraeli menulis: "Mereka disebut-sebut berjumlah sekitar sepuluh ribu orang. Dengan senjata-senjata berat sebagaimana biasa digunakan dalam pertempuran, mereka adalah milisi pemberontak yang beroperasi sepanjang tahun, yang bisa diandalkan untuk melakukan penghancuran dengan biaya rendah”.
Harus diingat bahwa kala itu ide tentang pemberontakan rakyat atau revolusi tidak pernah terpikirkan oleh seluruh rakyat di Eropa dan belahan dunia lainnya yang selama ribuan tahun menganggap raja adalah wakil Tuhan di bumi. Peperangan-peperangan yang terjadi selalu antara para raja dan penguasa, tidak pernah melibatkan rakyat jelata. Maka ide seperti itu tentu hanya ada di pikiran orang-orang yang telah merencanakannya sejak lama, siapa lagi kalau bukan orang-orang yahudi yang memang tidak memiliki raja dan negara.
Gerombolan-gerombolan bersenjata mengintimidasi seluruh rakyat kota London, tak terkecuali parlemen dan istana kerajaan. Mereka inilah yang kemudian menjadi model pembentukan gerombolan "Sacred Bands" dan "Marseillais" dalam Revolusi Perancis tahun 1789, atau “red army” dalam Revolusi Bolshevik tahun 1917 di Rusia.
Isaac Disraeli berulangkali mengaitkan Revolusi Inggris dengan Revolusi Perancis, terutama saat menyebut peran pers.
“Peredaran pamflet dan leaflet tidak lagi bisa ditahan. Antara tahun 1640 hingga 1660, sekitar 30.000 lembar telah dicetak.” Dan kemudian, “.. melimpah dalam jumlah dan kejam dalam nafsu.” Dan selanjutnya:
“Tangan-tangan di belakang layar telah memainkan perannya. Mengumumkan daftar orang-orang yang dicap sebagai 'Straffordians” atau “pengkhianat negara”.
Disraeli tidak menyebutkan pemilik tangan di balik layar itu meski ia sebenarnya tahu karena merupakan bagian dari mereka. Namun kini kita telah mengetahui siapa mereka. Beberapa buku Jewish Encyclopedia atau The Jews and Modern Capitalism karya Sombart dengan tepat menyebutkan siapa sebenarnya Olliver Cromwell. Ia diketahui menjalin hubungan dekat dengan para elit yahudi di Belanda. Ia mendapat banyak uang dari Manasseh Ben Israel. Sementara Fernandez Carvajal yang berjuluk "The Great Jew" merupakan kontraktor utama dari New Model Army, tentaranya Cromwell.
Dalam The Jews in England tertulis:
"Pada tahun 1643 sejumlah besar orang-orang yahudi mendarat di Inggris. Penampungan utama mereka adalah rumah dubes Portugis De Souza, seorang Marano (yahudi rahasia). Figur penting di antara mereka adalah Fernandez Carvajal, penyandang dana besar dan kontraktor tentara."
Pada bulan Januari 1642 kerusuhan pun meledak setelah raja berupaya menangkap 5 anggota parlemen yang dianggap sebagai provokator. Tentara misterius "Operatives" pun bergerak sementara ribuan pamflet mengecam raja ditebarkan dengan seruan: “ke tenda-tendamu, O Israel.” Ke lima anggota parlemen dengan perlindungan massa bersenjata kembali ke gedung parlemen, sementara Charles I dan keluarganya harus meninggalkan istana Palace of Whitehall karena kekhawatiran keamanan.
Setelah melalui beberapa pertempuran sengit antara New Model Army dengan pasukan pendukung raja, pada tahun 1647 para pendukung raja menjadi pihak yang terkalahkan dan raja secara efektif menjadi tahanan rumah di Holmby House.
Pada tgl 3 September 1921 Plain English, majalah mingguan yang diterbitkan North British Publishing Co. dengan editor Lord Alfred Douglas, mempublikasikan korespondensi surat yang ditulis antara bulan Juni dan Juli 1647 antara Oliver Cromwell dengan Ebenezer Pratt, pimpinan sinagog Mulheim, Belanda.
16th June, 1647
Dari O.C. (Oliver Cromwell), Kepada Ebenezer Pratt.
Sebagai imbalan atas bantuan keuangan, orang-orang yahudi akan dijinkan untuk kembali ke Inggris. Namun hal ini tidak akan pernah terwujud selama Charles masih hidup.
Charles tidak bisa dihukum mati tanpa pengadilan sementara alasan-alasan yang ada kurang mendukung (untuk mengadilinya). Untuk itu ada ide untuk membunuh Charles.
Sebagai balasannya adalah sbb:
12 Juli 1647
Kepada OC dari E. Pratt
Bantuan keuangan akan segera dikirimkan setelah Charles disingkirkan dan orang-orang yahudi diijinkan kembali. Pembunuhan terlalu berbahaya. Charles harus diberi kesempatan untuk melarikan diri. Penangkapannya kembali akan menjadi alasan kuat untuk mengadilinya dan menghukumnya mati.
Dengan informasi ini kini kita mengetahui dengan sejelas-jelasnya tentang konspirasi pembunuhan Raja Charles I, lengkap dengan pelaku serta motifnya. Salah satu kejahatan konspirasi terbesar dalam senjarah dunia.
Pada tgl 4 Juni 1647, Cornet Joyce memimpin 500 pasu¬kan revolusioner menyerbu Holmby House tempat kediaman raja dan menangkapnya. Menurut Disraeli aksi tersebut dilakukan atas perintah langsung Cromwell tanpa sepengetahuan pembantu-pembantu dekatnya sekalipun. Dalam bukunya Disrael menulis:
“Aksi tersebut dirancang secara rahasia pada tgl 30 Mei di rumah Cromwell, meski kemudian Cromwell berpura-pura tidak mengetahui rencana itu.”
Aksi tersebut bersamaan masanya dengan munculnya perkembangan baru yang terjadi di kalangan tentara New Model Army, yaitu gerakan 'Levelers" dan "Rationalists." Doktrin mereka sama dengan kaum revolusioner Revolusi Perancis 1,5 abad kemudian, pada dasarnya adalah seperti apa yang kita ketahui sebagai komunisme. Selama masa inilah para revolusioner Inggris 4 kali menyerbu parlemen, menahan dan mengintimidasi anggota-anggota parlemen pro-raja hingga di sana hanya tersisa 50 anggota parlemen revolusioner yang selanjutnya disebut Rump Parliament yang nantinya akan ditugasakan untuk menjatuhkan hukuman mati terhadap raja.
Selanjutnya, sesuai rencana, diskenariokan raja melarikan diri ke Pulau Wight pada tgl 12 November. Untuk peristiwa ini Disraeli menulis:
“Para sejarahwan kontemporer telah sepakat bahwa pelarian Raja Charles dari Holmby ke Pulau Wight, merupakan tipu daya Cromwell."
Kecuali langkah-langkah tentara pendukung raja yang membela raja, para bangsawan dan rakyat Inggris yang tidak mengetahui musuf mereka sebenarnya serta motif di balik semua kekacauan itu, membuat musuh-musuh raja leluasa menja¬lankan rencana-rencananya. Meski demikian raja masih sulit untuk dikalahkan. Dalam kondisi “tertawan” parlemen bahkan memutuskan untuk menyudahi permusuhan dengan raja. Pada tgl 5 December 1648, setelah berunding semalaman, parlemen menyatakan bahwa “Konsesi yang diberikan raja telah cukup untuk dilakuannya penyelesaian."
Namun kondisi seperti itu tentu tidak sesuai keinginan Cromwell yang menginginkan raja dihukum mati agar mendapatkan kucuran dana dari orang-orang yahudi internasional. Maka ia menyerang kembali. Pada tgl 6 December 1648 malam, atas perintah Cromwell, Kolonel Pryde dan anak buanya menyerang parlemen dalam apa yang kemudian dicatat dalam sejarah sebagai "Pryde's Purge" untuk menyingkirkan semua anggota parlemen tersisa yang masih bersimpati pada raja. Pada tgl 4 Januari 1649 sebanyak 50 anggota parlemen anti-raja yang disebut Rump Parliement mengangkat diri sebagai “otoritas tertinggi”. Pada tgl 9 Januari 1649 pengadilan terhadap Charles dimulai. Seorang anggota parlemen Algernon Sidney mengingatkan pada Cromwell:
"Pertama, Raja tidak bisa diadili oleh pengadilan manapun. Kedua, tidak ada orang yang bisa diadili oleh pengadilan ini."
Dalam bukunya Charles and Cromwell Hugh Ross Williamson menulis:
“Tidak ada dasar hukum yang bisa ditemukan untuk menjatuhkan tuduhan hingga akhirnya masalah ini diputuskan oleh orang asing (alien) bernama Isaac Dorislaus."
Isaac Dorislaus adalah orang yang sama dengan alien lainnya, Carvajal dan Manasseh Ben Israel serta orang-orang yahudi lainnya yang membayar Cromwell dan tentaranya.
Maka keputusanpun diambil. Raja Charles I dihukum pancung dengan tuduhan “tiran, pengkhianat, pembunuh dan musuh masyaraka”. Eksekusi dilakukan di depan gedung Banqueting House, Palace of Whitehall pada tgl 30 Januari 1649.
Setelah itu orang-orang yahudi pun diijinkan kembali untuk datang dan tinggal di Inggris. Namun undang-undang yang menetapkan hal itu, yang sekaligus juga menganulir undang-undang pengusiran yahudi yang ditetapkan Raja Edward, tidak pernah benar-benar disyahkan karena mendapat tantangan keras dari Dewan Negara yang menganggap orang-orang yahudi sebagai ancaman serius terhadap negara dan agama.
Pembunuhan Charles I menghentakkan seluruh Eropa dan tiba-tiba saja timbul penyesalan pada sebagian besar rakyat Inggris. Mereka merasa asing dengan kondisi baru dimana tidak ada lagi raja dan Cromwell dan pendukung-pendukungnya mengangkat diri sebagai pemimpin Inggris dengan gelar “Pelindung”. Mereka juga menyesali terjadinya perang saudara antara bangsa Inggris sendiri yang menewaskan ratusan ribu jiwa, sebagian menjadi korban tindakan barbar tentara Cromwell, para “operatives” yang terdiri dari kriminal yahudi yang didatangkan dari luar Inggris.
Rakyat Irlandia yang seluruhnya menjadi pendukung Charles misalnya, tidak akan pernah melupakan peristiwa Pembantaian Drogheda, dimana sebanyak 3.500 orang, termasuk pendeta-pendeta Katholik dan rakyat sipil, dibantai oleh pasukan Cromwell.
Maka ketika putra Charles I, Charles II, memberontak, rakyat Inggris pun mendukungnya. Pada tgl 23 Mei 1660 Charles II kembali dari pengasingan dan pada tgl 29 Mei 1660 rakyat Inggris mengangkatnya sebagai raja Inggris. Makam Cromwell dan pendukung-pendukung setianya dibongkar dan tulang belulangnya digantung kemudian dibakar. Namun orang-orang yahudi, yang sampai saat itu tidak diketahui raja dan rakyat Inggris sebagai konspirator revolusi, telah menancapkan jaring kekuasaannya, di antara anggota par¬le¬men, pendeta dan bangsawan korup.
Nasib Inggris berakhir dengan bangsawan Jerman yang tidak bisa berbahasa Inggris, George of Hannover, menduduki singasana Inggris tahun 1714. Ia masih menggunakan nama keluarganya yang lama: Saxe-Coburg-Gotha, hingga Perang Dunia I yang membuat sentimen anti-Jerman meningkat tinggi di kalangan rakyat Inggris. Nama keluarga pun diganti menjadi Windsor yang lebih ke-Inggris-Inggris-an. Raja dan ratu Inggris sekarang adalah keturunan mereka.
Pada tahun 1897 sebuah dokumen misterius terbongkar ke publik, disebut sebagai “The Protocols of the Elders of Zion”. Dalam dokumen tersebut tertulis pernyataan yang menghebohkan:
"Ingat dengan Revolusi Perancis, rahasia-rahasia dari perencanaannya diketahui betul oleh kita karena sesungguhnya itu adalah hasil kerja kita.”
Seharusnya kata-kata itu adalah:
"Ingat dengan Revolusi Inggris dan Perancis, rahasia-rahasia dari perencanaannya diketahui betul oleh kita karena sesungguhnya itu adalah hasil kerja kita.”
Sumber: “The Nameless War”(Source)
Post a Comment
mohon gunakan email