Propaganda Jepang. Foto: KITLV.
Untuk tujuan perang, Jepang memobilisasi dan mengontrol rakyat hingga pedesaan.
OLEH: HENDRI F. ISNAENI, MF. MUKTHI, ARYONO
KEBIJAKAN Jepang
selama perang, baik di Jepang maupun di negera-negara jajahannya
seperti Indonesia, dimaksudkan untuk kepentingan perang. Tujuan akhirnya
membangun kawasan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya di
bawah kepemimpinan Jepang. Untuk itu, Jepang mencengkeram kehidupan
rakyat pedesaan.
Menurut Aiko Kurasawa, sejarawan Universitas Keio Jepang, kebijakan Jepang di pedesaan Jawa memadukan mobilisasi (doin) dan kontrol (tosei).
Jepang memobilisasi rakyat untuk meningkatkan produktivitas pertanian,
terutama padi, lalu menyerahkannnya dalam bentuk “wajib serah padi.”
(Baca: Antara Padi Bulu, Cere, dan Horai dan Bubur Perjuangan dan Roti Asia).
*****
Antara Padi Bulu, Cere, dan Horai
Jepang memperkenalkan padi horai dari Taiwan ke Indonesia untuk memasok pasukannya di medan perang.
PADI yang
ditanam di Jawa sebelum perang secara kasar dikelompokkan menjadi dua
jenis: pade cere (padi tak berambut) dan padi bulu (padi berambut).
Orang Jawa lebih menghargai padi bulu ketimbang padi cere karena lebih
enak dan dianggap bermutu lebih tinggi, sehingga harganya pun lebih
mahal.
Ketika menduduki Indonesia, pemerintah
militer Jepang mendorong petani agar menanam padi cere yang lebih
produktif. Setiap hektarnya, padi cere bisa menghasilkan panen lebih
tinggi karena tahan terhadap musim kering dan bisa tumbuh di tanah yang
kurang subur.
“Apa yang penting bagi pemerintah Jepang
bukanlah rasa yang enak atau mutu yang tinggi, melainkan memaksimalkan
produksi secara keseluruhan,” tulis Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol. Produksi bahan makannan, terutama padi, untuk memasok pasukan Jepang di medan perang mendapat prioritas.
Awalnya Jepang frustrasi dengan
rendahnya produktivitas beras di Jawa. Mereka menganggap produktivitas
bisa ditingkatkan dengan memilih bibit padi yang lebih cocok bagi Jawa.
Selain menyarankan penggunaan bibit padi cere, Jepang memperkenalkan
beberapa jenis padi baru yang cocok dengan kondisi ekologi Jawa.
Serangkaian percobaan pun dilakukan di Bogor Noji Shinkenjo (Stasiun
Percobaan Pertanian Bogor). “Salah satu bibit baru yang direkomendasikan
oleh stasiun ini ialah beras horai dari Taiwan,” tulis Aiko Kurasawa.
Padi horai mula-mula berasal dari beras Jepang tapi lama-lama dicampur dengan beras lokal Taiwan. Jepang mengunggulkan padi horai
karena “batang padi di Nippon lebih besar dan lebih banyak mengeluarkan
padi daripada yang terdapat di daerah-daerah Selatan. Hal ini
disebabkan oleh kebiasaan di daerah-daerah Selatan meninggalkan batang
padi di sawah dan membiarkannya hingga busuk guna memupuk tanah,” tulis
harian Kita-Sumatora-Sinbun, 12 Juni 1944, yang terbit di Medan.
Menurut Shigeru Sato, “Japanization in Indonesia Re-Examined: The Problem of Self-Sufficiency in Clothing,” dalam Imperial Japan and National Identities in Asia 1895-1945 karya Li Narangoa dan Robert Cribb, padi horai termasuk varietas indica sehingga
identik dengan padi cere. Masa pertumbuhannya pendek. Rata-rata
varietas padi lokal membutuhkan 170 hari untuk matang, sedangkan padi
Horai masak dalam 110 hari.
Ada banyak macam padi horai. Namun, tulis Pandji Poestaka, 15 September 1943, yang memberikan hasil lebih baik di Jawa hanya ada 1-2 jenis. Kemungkinan besar padi horai yang didatangkan ke Indonesia adalah jenis taichu dan kanan ni go, yang juga diperkenalkan di Malaysia.
Syutyokan (Residen) Cirebon,
Ichibangase, yang pernah menjadi pejabat kolonial di Taiwan, paling
bernafsu memperkenalkan bibit Taiwan ini dan membawa serta bibit
bersamanya ke Indonesia. Wilayahnya ditunjuk untuk percobaan pertama
budidaya padi horai –selain karesidenan Kedu. Bibitnya dibagikan cuma-cuma kepada para petani.
Pada mulanya, petani ragu untuk
mengesampingkan padi bulu karena mutunya yang mereka banggakan. Namun
pemerintah Jepang berusaha mempromosikan padi horai itu dengan
memanfaatkan kebiasaan petani meminjam bibit dari para pialang padi dan
orang lain sebelum masa tanam serta membayarnya kembali setelah panen.
“Dalam menggantikan para pialang padi
tersebut,” tulis Aiko Kurasawa, “kantor desa didorong supaya meminjamkan
padi kepada petani dan hanya jenis bibit baru (horai) yang dipasok.”
Secara bertahap petani mulai terbiasa
menanam bibit baru melalui cara lunak semacam ini. “Wajib serah padi”
kepada pemerintah Jepang juga membuat petani tak punya pilihan selain
memilih padi produktivitas tinggi: horai dan cere. Alhasil, sejak adanya padi horai, produksi padi bulu berkurang lebih dari setengahnya.
Media memberitakan kesuksesan penanaman padi horai. Asia Raya, 3 Mei 1943, melaporkan, “penanaman padi horai
yang kali pertama dilakukan beberapa bulan berselang dan dalam bulan
Februari 1943 sudah dipetik hasilnya dengan memuaskan.” Upacara
pemotongan padi horai di Palimanan, Cirebon, dihadiri Syutyokan
Cirebon, Ichibangase. “Setelah diadakan perhitungan hasilnya sawah itu
di luar dugaan, 1 ha menghasilkan 42 kuintal,” tulis Soeara Asia, 26 Mei 1944.
Meski penanaman padi horai dilakukan
intensif, padi bulu tak sepenuhnya hilang karena para pejabat Jepang
tetap lebih menyukai beras bermutu tinggi itu untuk kebutuhan mereka
sendiri. Sedangkan padi horai diproduksi untuk kebutuhan
militer Jepang di medan perang. “Akan tetapi, diragukan apakah mereka
bisa memperoleh beras yang enak sebanyak yang mereka inginkan, karena
banyak petani menyatakan bahwa mereka biasanya mengatur supaya beras
yang bermutu rendah yang diserahkan kepada pemerintah, dan berusaha
menyimpan yang bermutu tinggi untuk mereka sendiri, sejauh mereka
mempunyai pilihan untuk itu,” tulis Aiko Kurasawa.
Sejak awal, para petani tak suka dengan padi horai. Mereka menanamnya karena dipaksa Jepang. Padi horai
pun hanya bertahan selama pembawanya menduduki Indonesia. Sementara
padi bulu dan padi cere sebagai padi lokal tetap menjadi andalan petani
Indonesia sampai sekarang.
*****
Bubur Perjuangan dan Roti Asia
Jepang memaksa penduduk memakan "menu perjuangan" sebagai pengganti nasi.
PADA masa
pendudukan Jepang, petani harus menyerahkan sejumlah besar padi yang
mereka hasilkan. Padahal petani terbiasa menanam padi secukupnya untuk
konsumsi sendiri, dan hanya sedikit yang mereka jual ke pasar. Mereka
juga umumnya petani kecil, yang mengolah sepetak tanah sendiri atau
sewaan kurang dari setengah hektar. Mereka menderita kemiskinan yang
kronis dan hampir selalu terlilit utang dan terikat sistem ijon.
Kelaparan pun melanda.
Untuk menutupi kekurangan beras, menurut
sejarawan Universitas Keio, Jepang, Aiko Kurasawa, Jepang mendorong
masyarakat memakan jagung, singkong, atau kedelai. Bahkan tanaman yang
sebelumnya tak pernah dimakan atau hanya jadi lalaban seperti
bonggol pisang, pepaya, dan daun singkong. Sebagai sumber protein
pengganti, bekicot jadi pilihan. Penduduk juga terpaksa memakan badur (semacam keladi), yang harus dipotong-potong dan direndam air asin dulu untuk menghilangkan getahnya yang beracun.
Jepang juga memperkenalkan resep-resep
baru untuk makanan-makanan pelengkap itu. “Resep-resep itu umumnya
disebut sebagai ‘menu perjuangan’ oleh kaum propagandis,” tulis Aiko
Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol.
Salah satu menu populer ialah bubur
campuran ubi, singkong, dan katul, yang disebut Bubur Perjuangan atau
Bubur Asia Raya. Jepang melalui organisasi perempuan bentukannya, Fujinkai, aktif mengajarkan dan menyebarluaskan menu dan bahan pangan baru ini. “Besok sore mulai jam 5 di Dai Kurabu (Harmoni) Huzinkai (atau Fujinkai)
akan mengadakan pertunjukan cara membuat Bubur Perjuangan, khusus untuk
kaum ibu-ibu dan gadis-gadis. Diharap kaum wanita mengunjunginya,”
tulis Sinar Baroe, 5 Maret 1945.
Dalam acara demonstrasi tersebut
diterangkan bahwa bubur ini mengandung zat-zat yang penting bagi tubuh.
“Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat bubur tersebut ialah: 200
gram jagung, 400 gram ubi, 400 gram ketela pohon, 200 gram sayuran.
Bumbunya: brambang, bawang, salam, laos (lengkuas), terasi, lombok,
santen dan garam. Bubur ini dimakan dengan ikan teri atau ikan kerang,”
tulis Sinar Baroe, 8 Maret 1945.
Selain melakukan sosialisasi, Jepang memerintahkan ketua tonarigumi (rukun
tetangga) untuk mengawasi anggota masyarakatnya supaya mau makan Bubur
Perjuangan, bukan nasi putih. Dapur sering digeledah secara mendadak.
“Kalau ada seseorang yang diketemukan makan nasi putih, dia akan
diperingatkan dan bahkan kadang-kadang dilaporkan kepada kenpeitai,” tulis Aiko Kurasawa.
Menu perjuangan lain adalah Roti Asia (to-a pan)
yang terbuat dari tepung ketela (aci atau tapioka), tepung kedelai,
atau tepung beras biasa. “Sekarang saban bulan diadakan pencatatan
tentang persediaan tepung tapioka itu oleh Noji Sido Kyoku dan Dinas
pertanian,” tulis Soeara Asia, 9 Juli 1942. Kantor Penerangan
Tepoeng juga melakukan sosialisasi. “Diberitahukan kepada sekalian
penduduk di Priangan Syuu bahwa pada tiap-tiap hari mulai dari pukul 9
pagi hingga pukul 2 siang diperbolehkan datang di kantor tersebut untuk
menerima pelajaran dari hal pembikinan Roti Asia.” Demikian pengumuman
yang disiarkan di koran Tjahaja, 14 November 1942.
Boeng Djenggot, penulis kolom Pengisi Podjok harian Borneo Shimboen, 29
September 1943, menulis bahwa Roti Asia yang sudah dia cicipi bisa
dijadikan makanan untuk menyambut Lebaran. “Ketika Bung (Djenggot)
berada di Bandung tempo hari, sempat juga merasakan Roti Asia yang
dibikin dari tepung Asia (ketela pohon), yang meskipun rasanya belum
sebanding dengan roti biasa, tapi bolah lah,” tulisnya.
Menurut Aiko Kurasawa, makanan
pengganti, Bubur Perjuangan dan Roti Asia, tentu saja tak memuaskan dan
bahkan hina bagi orang Jawa. Mereka lebih suka makan nasi karena, “kalau
belum makan nasi, belum makan.”
Gagasan menu perjuangan membuat rakyat kekurangan gizi, terutama masyarakat di pedesaan. Honger oedeem
(busung lapar) pun mewabah. Memburuknya kesejahteraan sosial
meningkatkan angka kematian pada 1944 di seluruh karesidenan –kecuali
Jakarta dan Priangan– dan menurunkan angka kelahiran. “Rakyat di
pedesaan sering mengatakan bahwa sewaktu pendudukan Jepang rakyat sulit
memiliki tenaga dan keinginan untuk memenuhi fungsi reproduksi karena
kelaparan dan kesulitan-kesulitan keseharian lainnya,” tulis Aiko
Kurasawa. Dan untuk kali pertama dalam sejarah Jawa modern, populasi
Jawa menurun.
*****
Jepang juga mengerahkan rakyat menjadi tenaga kerja paksa (romusha)
di proyek-proyek pembangunan seperti lapangan terbang, benteng
pertahanan, dan pabrik-pabrik militer. Untuk melancarkan mobilisasi
tersebut, Jepang membentuk tonarigumi (rukun tetangga) dan nogyo kumiai (koperasi pertanian). (Baca: Terowongan Neyama Romusha, Romusha di Seberang Lautan, dan Rakyat Yogyakarta Diselamatkan Selokan).
*****
Terowongan Neyama Romusha
Sebuah terowongan, dikerjakan ribuan romusha, dibangun untuk mengalirkan banjir ke Samudra Hindia.
PADA 17 November
1942, Sungai Brantas meluap, merendam 150 desa dan 9.000 rumah di
Kabupaten Tulungagung. Luapan air juga menghancurkan areal pertanian.
Genangan air di daerah hilir membentuk tanah berawa yang luas, yang oleh
penduduk setempat disebut “campur darat.”
Untuk mengatasinya, pemerintah
Karesidenan Kediri membangun sebuah terowongan melalui wilayah
perbukitan untuk menguras air yang masih menggenangi rawa-rawa ke
Samudra Hindia. Selain itu, diharapkan terowongan itu bisa menjaga
tanaman padi, yang sedang diintensifkan Jepang untuk menyuplai pasokan
makanan tentaranya di medan perang.
Menurut sejarawan Universitas Keio
Jepang, Aiko Kurasawa, pemrakarsa pembangunan terowongan tersebut adalah
Residen Enji Kihara, lulusan Akademi Militer Jepang dan pernah menjabat
kepala Departemen Pembangunan Kantor Gubernur Jenderal di Taiwan.
Pembangunan dimulai pada Februari 1943.
Sebagai pelaksana proyek, sebuah
koperasi irigasi diorganisasikan di bawah pangreh praja yang bertanggung
jawab atas pencarian buruh dan pengamanan dana pembangunan. Proyek
terowongan ini membutuhkan 20 ribu romusha dengan dana f.750 ribu; sebanyak f.300 ribu disediakan karesidenan dan sisanya pemerintah militer.
“Karena tidak ada buldoser dan jarang
terdapat dinamit, seluruh pekerjaan dilakukan dengan tenaga manusia,”
tulis Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol.
Beberapa bulan pertama pekerjaan berjalan lancar, dengan mempekerjakan lebih dari 10 ribu romusha
per hari. Mereka mengeruk tanah dengan alat sederhana yang dibawa dari
desa masing-masing. Setiap romusha mendapat upah sebesar f.0.14 per hari, sudah dipotong pajak dan makanan. Sedangkan mandor menerima upah f.0.38, sudah dipotong pajak.
Shigaru Sato dalam War, Nationalism, and Peasants
menerangkan, untuk mengerjakan terowongan itu, dibuatlah saluran
terbuka dengan meratakan punggung bukit. Batu-batu kapur di dasar
punggung bukit harus dihancurkan namun tak tersedia cukup bubuk peledak.
Permintaan bantuan kepada Departemen Transportasi Jepang di Jakarta
ditolak. Bantuan datang dari kepala Departemen Industri, Tennichi
Koichi. Dia berminat pada proyek terowongan itu yang dia anggap memiliki
potensi meningkatkan produksi pertanian.
“Atas persetujuan atasannya, Yamamoto
Moichiro, Tennichi setuju mengalihkan beberapa bubuk peledak yang telah
disisihkan dari program pertambangan batu bara di Bayah (Banten
Selatan),” tulis Sato.
Sebelum meledakkan bukit, staf Residen
Kediri menerima informasi dari warga bahwa rawa-rawa itu sebelumnya
menjadi landasan bagi korps penerbangan Angkatan Laut Belanda; dan
ketika Belanda mundur mereka membenamkan beberapa bom. Ketika melakukan
penyisiran, ditemukan 23 bom. Sebuah dealer bahan peledak milik seorang Tionghoa mengambil 10-20 ton bubuk peledak kuning dari bom-bom itu.
Selain menggunakan peledak, karesidenan
juga meminjam mesin pengebor dan kompresor dari Ishihara Sangyo Co. Ltd.
Departemen Administrator Militer di Jakarta mengirim seorang kapten
Angkatan Darat, seorang insinyur sipil yang berpengalaman dalam
pembangunan terowongan. Pembangunan terowongan pun dimulai pada Oktober
1943.
“Residen Kihara antusias. Dia sering
bekerja di lokasi konstruksi, menggunakan bor dan mengatur dinamit
sendiri. Sampai pada satu kesempatan dia keracunan gas yang dihasilkan
oleh ledakan di dalam terowongan dan harus dibawa keluar dari
terowongan,” tulis Sato.
Pembangunan menghadapi kendala. Masalah
dana bisa diatasi tapi mobilisasi romusha tersendat, bahkan berkurang.
Selain karena berlokasi di daerah tertutup rawa dan hutan penuh binatang
buas, bahkan diyakini banyak hantu dan roh jahat, dan malaria merebak.
Penduduk juga mendapatkan kabar bahwa pekerjaan itu sangat berat.
Beberapa romusha tinggal tulang terbungkus kulit. Banyak yang sakit,
bahkan meninggal dunia.
Pangreh praja dan pejabat desa dikerahkan dan diberi kuota untuk merekrut romusha.
Untuk memenuhi kuota itu, mereka melakukan “bujukan” yang bersifat
memaksa. Seorang kepada desa Gurah di Tulungagung mengirim sekitar 500
orang dari desanya.
Target awal pembangunan terowongan
rampung awal Juni tapi meleset jadi Juli 1944. Terowongan itu, yang
dalam bahasa Jawa disebut Tumpak Oyot (Akar Gunung), diterjemahkan
Nishida, penterjemah yang bekerja di Karesidenan Kediri, menjadi Neyama:
ne artinya akar dan yama berarti gunung. “Di antara penduduk lokal dan para buruh yang dimobilisasi membangun terowongan itu menyebutnya Neyama romusha,” tulis Sato.
Terowongan Neyama, tulis Aiko Kurasawa,
membuat petani di wilayah tetangganya terbebas dari banjir. Tapi
terowongan itu membawa akibat yang tak diperhitungkan sebelumnya.
Nganjuk, wilayah Kediri utara, kekurangan air.
Terowongan tersebut masih bekerja baik
hingga Jepang angkat kaki dari Indonesia. Kerusakan perlahan menghampiri
antara lain oleh banjir bandang pada 1955. Empat tahun kemudian,
terowongan dibangun kembali sebagai bagian dari Proyek Pembangunan Umum
Sungai Brantas dengan biaya dari dana pampasan perang Jepang sebesar
US$1.972.000. Proyek ini digarap dua perusahaan konstruksi Jepang,
Nippon Koei dan Kashima Kensetsu, di bawah pengawasan Departemen
Pekerjaan Umum. Pekerjaan selesai pada April 1961.
Karena Terowongan Neyama dianggap belum cukup menangani banjir di Tulungagung, terutama banjir windon setiap delapan tahun sekali, pemerintah Orde Baru membangun Neyama II yang diresmikan pada 1986.
Neyama kini menjadi objek wisata karena
pemandangan dan terowongan drainase besarnya yang melewati gunung.
Namun, di balik keindahan itu, ratusan bahkan mungkin ribuan romusha
menjadi korbannya.
*****
Romusha di Seberang Lautan
Berharap mendapat kehidupan
yang lebih baik, mereka justru berhadapan dengan kematian. “Death
Railway” menjadi saksi kekejaman Jepang semasa perang.
BANJARNEGARA,
Jawa Tengah, 1943. Karja Wiredja meninggalkan desanya, Matukara. Bersama
ribuan romusha lainnya, Karja menjadi tenaga kerja kasar di Thailand.
Di sana dia menjadi mandor pada proyek pembangunan jalan kereta api Nong
Pla Duk (Thailand)-Thanbyuzayet (Burma, kini Myanmar) sepanjang 415 km.
Untuk hasil kerjanya, Karja mendapat dua sen per hari.
“Waktu itu lurah bilang kita boleh ikut Nippon,” ujar Karja, seperti dikutip dari Suara Independen, 1 Agustus 1995.
Sadin, pemuda asal Kuningan, Jawa Barat,
tak pernah berpikir akan pergi sejauh itu. Dia pergi ke Cirebon untuk
sebuah pekerjaan yang dijanjikan tapi ternyata dia dikirim ke Thailand.
Belum sampai di tujuan, para romusha ini mendapat pelayanan tidak
manusiawi. “Rombongan yang semula berjumlah 1.500 orang itu hanya sisa
beberapa ratus orang setelah tiba di Singapura,” tulis Aiko Kurosawa
dalam Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945.
“Aku tahu bahwa mereka diangkut dengan
gerbong-gerbong yang tertutup rapat tanpa udara, dipadatkan seperti
hewan dalam jumlah ribuan sekaligus,” tulis Sukarno dalam
otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Tapi, “kondisi yang lebih menyedihkan
justru menunggu mereka yang beruntung tetap hidup dalam perjalanan
menuju tujuan mereka,” tulis Aiko.
Sejak Desember 1941, Thailand jatuh ke
tangan Jepang. Dari Thailand, pasukan Jepang menginvasi Burma dan
merebutnya dari kontrol Inggris. Untuk mempertahankan pasukannya di
Burma, Jepang mengirimkan pasukan dan perbekalan ke Burma melalui laut.
Tapi jalur laut rentan dari serangan Sekutu, sehingga Jepang memikirkan
jalur alternatif.
Pada Juni 1942, Jepang memulai proyek
pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan Thailand-Burma dengan
mendatangkan baja dan tenaga kerja (romusha) dari wilayah-wilayah yang
didudukinya. Selain romusha dari Jawa, ada romusha dari China, Malaya,
Vietnam, juga tentara Sekutu yang tertawan Jepang. Total ada lebih 100
ribu romusha Asia Tenggara dan 55 ribu tawanan Sekutu.
Para romusha mendapat bayaran setara
pekerja kasar umumnya, meski tak semua sama. Diperkirakan, menurut Aiko,
upah harian mereka f. 0,70-1,00. Jumlah ini sedikit lebih tinggi dari
ketetapan dalam “Persetujuan Pemasokan Romusha Antara Angkatan Darat dan
Angkatan Laut”: f. 0,50 per hari dan harus disisihkan f. 3,00 untuk
dikirim kepada keluarga mereka setiap bulan. Namun, seringkali upah
mereka dipotong oleh mandor atau pejabat yang mengkoordinasikannya.
Nasib romusha dalam pembangunan jalan
kereta api, yang dikenal dengan istilah “Death Railway”, amat memilukan.
Mandor atau serdadu Jepang berlaku kejam. Medannya berat, menembus
lembah dan hutan lebat. Mereka bekerja di bawah guyuran hujan, jalanan
berlumpur, atau terik menyengat. Jatah makanan minim. Fasilitas dan
tenaga medis tak memadai, sementara wabah kolera, disentri, dan
sebagainya berjangkit. Bahkan, seperti kesaksian Sadin, romusha yang
tidak bisa bekerja lagi lantaran sakit, dikubur hidup-hidup.
“Seolah-olah ada perhitungan bahwa akan lebih murah untuk memasok
romusha baru daripada mengambil risiko merawat atau memulihkan kembali
mereka yang sakit,” tulis Aiko.
Tak heran jika banyak romusha dan
tawanan Sekutu yang tewas. Commonwealth War Graves Commission,
organisasi nirlaba yang bergerak menyantuni para keluarga tentara Sekutu
yang jadi korban Perang Dunia II, melalui situsnya www.cwgc.org,
mencatat, “Sepanjang pembangunan jalur itu, kira-kira 13.000 tawanan
perang tewas dan dimakamkan di sepanjang lintasan. Diperkirakan
80.000-100.000 warga sipil juga tewas dalam proyek yang sama, terutama
para buruh yang dibawa dari Malaya dan Hindia Belanda, atau wajib
militer di Siam (Thailand) dan Burma.”
Tak ada angka pasti berapa jumlah
romusha asal Jawa yang tewas. Dalam "Notes on the Thai-Burma Railway,
Part II: Asian Romusha; The Silenced Voices of History" David Boggett
menulis, dari 200.000-500.000 romusha asal Jawa yang dikerahkan, hanya
sekitar 70 ribu yang masih hidup ketika perang berakhir.
Banyak romusha melarikan diri. Bagi
mereka yang sial, bisa saja tewas di perjalanan atau di tangan Jepang.
Sedangkan yang bernasib baik bisa kembali ke daerah asal atau tempat
aman ketika perang berakhir. “Sadin dan yang masih sempat melarikan diri
seperti dia berpencaran di Malaya dan Thailand,” tulis Aiko. Dia
akhirnya berhasil kembali ke tanah air meski harus menunggu lebih dari
10 tahun.
Sedangkan Karja sempat nikah-cerai di
Thailand. Karena itu pula dia tertinggal kapal Palang Merah
Internasional yang membawa para romusha kembali ke daerah asal. Karja
terpaksa menetap di tanah rantau dan baru bisa pulang ke desanya 52
tahun kemudian.
Rakyat Yogyakarta Diselamatkan Selokan
Sultan Hamengku Buwono IX bersama para pembesar militer Jepang di Jakarta, 1942. Sumber: Repro Buku Takhta Untuk Rakyat.
Selokan Mataram menyelamatkan banyak nyawa warga Yogyakarta.
DI MUSIM hujan,
selokan –yang dipenuhi sampah– sering meluap dan menimbulkan banjir.
Namun, di masa pendudukan Jepang, selokan telah menyelamatkan nyawa
rakyat Yogyakarta dari kerja paksa (romusha) dan menekan kekurangan pangan.
Pada 1940, Dorodjatun ditasbihkan
menjadi Sultan Hamengku Buwono IX. Tak lama kemudian Jepang datang. Di
Jakarta, pada 1 Agustus 1942, dia dilantik untuk kali kedua sebagai
Sultan Yogyakarta oleh Panglima Besar Tentara Pendudukan Jepang. Sultan
menerima wewenang dari Jepang untuk mengurus pemerintahan Kesultanan
yang dinamai Kochi (Daerah Istimewa). (Baca: Membebaskan Sultan Yogya)
*****
Membebaskan Sultan Yogya
Pasukan Belanda di lapangan udara Maguwo Yogyakarta dalam agresi militer Belanda kedua, Desember 1948. Foto: KITLV.
Para perwira dan tentara Belanda meyakini serangannya ke Yogyakarta untuk membebaskan Sultan. Ternyata, mereka keliru.
PADA 4 Januari
lalu diperingati Yogyakarta Kota Republik untuk mengenang pemindahan
ibukota Republik Indonesia pada 4 Januari 1946 karena keadaan Jakarta
tak aman dan keselamatan para pemimpin terancam oleh tentara NICA
(Pemerintahan Sipil Hindia Belanda).
Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan sekaligus perjuangan. Namun, ancaman datang ketika Belanda melanggar gencatan senjata Perjanjian Renville dan melancarkan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948. Belanda memulai serangan dengan pesawat-pesawat pembom ke berbagai tempat terutama pangkalan militer, diikuti penerjunan 500 tentara, dan segera setelah itu pasukan Belanda memasuki kota. Selama seminggu berikutnya, pasukan Belanda berhasil merebut kota-kota penting baik di Jawa mupun Sumatra.
Menurut George McTurnan Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, Belanda mengabarkan kepada dunia bahwa perlawanan Republik hanya sedikit dan penduduk menyambut mereka sebagai penyelamat. Banyak tentara Belanda juga menyebarkan kampanye ini karena yakin bahwa mereka sedang membebaskan penduduk dari penguasa yang tidak disukai.
“Slogan dari mereka yang dibawa-bawa di Yogyakarta adalah ‘Ke Jogja untuk membebaskan Sultan’,” tulis Kahin.
Karena itu, sementara para pemimpin Republik diasingkan, Sultan Hamengkubuwono IX tetap berada di Yogyakarta tetapi ruang geraknya dibatasi atau menjadi tahanan rumah.
Kendati demikian, menurut Kustiniyati Mochtar, “Pak Sultan dari Masa ke Masa,” dalam Tahta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, Sultan tetap dapat berkomunikasi dengan rakyatnya dengan cara fluistercampagne (dari mulut ke mulut), sehingga berbagai instruksi bisa sampai kepada rakyat. Misalnya, instruksi agar rakyat tetap setia dan hanya patuh kepada Ngarsa Dalem (sebutan untuk Sultan), yang dipatuhi seluruh rakyat.
Terkesan dengan wibawa Sultan, Belanda berusaha merangkul dan mengajaknya bekerja sama. Belanda meyakinkan Sultan bahwa tak ada gunanya mengandalkan nasibnya kepada suatu Republik yang masih demikian lemah. Belanda mengirim utusan, yaitu Residen EM Stok, Dr Berkhuis, penguasa militer Belanda di Yogyakarta Kolonel van Langan, Husein Djajadiningrat, dan Sultan Hamid II, untuk mendekati Sultan. Setelah usaha mereka tak membuahkan hasil, berikutnya dikirim seorang direktur bank Belanda yang mengumbar janji akan memberikan dana tak terbatas untuk Keraton Yogyakarta, saham di Perusahaan Pelayaran Belanda (KPM) dan Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda. Jika mau bekerja sama, Belanda juga akan menjadikan Sultan sebagai penguasa seluruh Jawa dan Madura.
Utusan-utusan itu tak pernah bertemu langsung dengan Sultan, yang mewakilkan kepada saudaranya seperti Pangeran Prabuningrat, Pangeran Murdaningrat, atau Pangeran Bintoro. Mereka melaporkan kapada Sultan tentang tawaran-tawaran itu.
“Reaksi Hamengku Buwono IX hanya senyum sinis,” tulis Kustiniyati. “Pada waktu itu Hamengku Buwono IX tampaknya benar-benar sedang gandrung kemerdekaan dan keinginannya hanya satu: agar Belanda segera enyah dari bumi Indonesia.”
Menurut Kahin, dengan menolak semua tawaran itu, Belanda akhirnya terpaksa mengakui bahwa mereka telah salah menilai Sultan Hamengku Buwono IX. Dengan demikian, Belanda telah melakukan kekeliruan dalam usaha menguasai Republik Indonesia karena “salah perhitungan yang fundamental mengenai watak Sultan Hemangku Buwono IX,” tulis Kahin, “Sultan dan Belanda” termuat dalam Tahta untuk Rakyat.
Para perwira dan tentara Belanda, yang mempercayai serangannya untuk membebaskan Sultan dari tiga tahun penahanan oleh para penguasa Republik, tak menyadari bahwa “sejak permulaan revolusi Sultan sudah merupakan seorang pemimpin Republik yang terkemuka,” tulis Kahin.
***** Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan sekaligus perjuangan. Namun, ancaman datang ketika Belanda melanggar gencatan senjata Perjanjian Renville dan melancarkan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948. Belanda memulai serangan dengan pesawat-pesawat pembom ke berbagai tempat terutama pangkalan militer, diikuti penerjunan 500 tentara, dan segera setelah itu pasukan Belanda memasuki kota. Selama seminggu berikutnya, pasukan Belanda berhasil merebut kota-kota penting baik di Jawa mupun Sumatra.
Menurut George McTurnan Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, Belanda mengabarkan kepada dunia bahwa perlawanan Republik hanya sedikit dan penduduk menyambut mereka sebagai penyelamat. Banyak tentara Belanda juga menyebarkan kampanye ini karena yakin bahwa mereka sedang membebaskan penduduk dari penguasa yang tidak disukai.
“Slogan dari mereka yang dibawa-bawa di Yogyakarta adalah ‘Ke Jogja untuk membebaskan Sultan’,” tulis Kahin.
Karena itu, sementara para pemimpin Republik diasingkan, Sultan Hamengkubuwono IX tetap berada di Yogyakarta tetapi ruang geraknya dibatasi atau menjadi tahanan rumah.
Kendati demikian, menurut Kustiniyati Mochtar, “Pak Sultan dari Masa ke Masa,” dalam Tahta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, Sultan tetap dapat berkomunikasi dengan rakyatnya dengan cara fluistercampagne (dari mulut ke mulut), sehingga berbagai instruksi bisa sampai kepada rakyat. Misalnya, instruksi agar rakyat tetap setia dan hanya patuh kepada Ngarsa Dalem (sebutan untuk Sultan), yang dipatuhi seluruh rakyat.
Terkesan dengan wibawa Sultan, Belanda berusaha merangkul dan mengajaknya bekerja sama. Belanda meyakinkan Sultan bahwa tak ada gunanya mengandalkan nasibnya kepada suatu Republik yang masih demikian lemah. Belanda mengirim utusan, yaitu Residen EM Stok, Dr Berkhuis, penguasa militer Belanda di Yogyakarta Kolonel van Langan, Husein Djajadiningrat, dan Sultan Hamid II, untuk mendekati Sultan. Setelah usaha mereka tak membuahkan hasil, berikutnya dikirim seorang direktur bank Belanda yang mengumbar janji akan memberikan dana tak terbatas untuk Keraton Yogyakarta, saham di Perusahaan Pelayaran Belanda (KPM) dan Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda. Jika mau bekerja sama, Belanda juga akan menjadikan Sultan sebagai penguasa seluruh Jawa dan Madura.
Utusan-utusan itu tak pernah bertemu langsung dengan Sultan, yang mewakilkan kepada saudaranya seperti Pangeran Prabuningrat, Pangeran Murdaningrat, atau Pangeran Bintoro. Mereka melaporkan kapada Sultan tentang tawaran-tawaran itu.
“Reaksi Hamengku Buwono IX hanya senyum sinis,” tulis Kustiniyati. “Pada waktu itu Hamengku Buwono IX tampaknya benar-benar sedang gandrung kemerdekaan dan keinginannya hanya satu: agar Belanda segera enyah dari bumi Indonesia.”
Menurut Kahin, dengan menolak semua tawaran itu, Belanda akhirnya terpaksa mengakui bahwa mereka telah salah menilai Sultan Hamengku Buwono IX. Dengan demikian, Belanda telah melakukan kekeliruan dalam usaha menguasai Republik Indonesia karena “salah perhitungan yang fundamental mengenai watak Sultan Hemangku Buwono IX,” tulis Kahin, “Sultan dan Belanda” termuat dalam Tahta untuk Rakyat.
Para perwira dan tentara Belanda, yang mempercayai serangannya untuk membebaskan Sultan dari tiga tahun penahanan oleh para penguasa Republik, tak menyadari bahwa “sejak permulaan revolusi Sultan sudah merupakan seorang pemimpin Republik yang terkemuka,” tulis Kahin.
Kewajiban yang ditetapkan Jepang membuat
penduduk di sejumlah daerah menderita luar biasa. Mereka dipaksa
menyetorkan bahan makanan. Mereka pergi menjadi romusha untuk
membangun proyek-proyek seperti jalan, rel kereta api, lapangan terbang,
dan menggali batubara. Mereka mendapatkan gaji, tapi tak sebanding
dengan pekerjaannya yang berat. Alhasil, ribuan nyawa menjadi korban.
Sultan, dengan segala cara, berusaha
keras untuk melindungi rakyatnya dari kekejaman fasisme Jepang.
Hasilnya, massa rakyat Yogya memiliki nasib lebih mujur dibanding daerah
lain.
“Mengelakkan permintaan Jepang sama
sekali tak akan mungkin, tetapi Sultan Hamengku Buwono IX cukup pandai
‘mengelabui’ tentara Jepang,” demikian tertulis dalam bunga rampai Takhta Untuk Rakyat, yang dihimpun Mohamad Roem dkk.
Sultan menyembunyikan statistik yang
sebenarnya, baik perihal penduduk maupun hasil panen padi dan populasi
ternak. Dia berhasil meyakinkan Jepang bahwa daerahnya tak mampu
menghasilkan bahan pangan untuk mencukupi kebutuhan penduduk. Alasannya,
wilayah Yogyakarta terlalu sempit dan hanya sedikit tanah yang dapat
ditanami karena sebagian selalu tergenang air pada musim hujan.
Sementara wilayah lainnya kering dan tak subur untuk pertanian.
Soal daerah-daerah yang tergenang hujan, Sultan tak mengada-ada. Di Adikarto, harian Tjahaja
10 November 1942 melaporkan, hujan turun membuat kali Serang naik dan
menggenangi desa-desa sekitarnya seperti Karangwuni, Sogan, Ngentak,
Dukuh, dan Modinan. Banjir tersebut merusak padi di persawahan dan
kerugian ditaksir sekira 1.550 rupiah. Pada Januari 1943, tulis Tjahaja
18 Januari 1943, banjir besar menghantam bendungan dan tanggul di
sepanjang sungai Code, Opak, Progo, Gajah Wong, dan Kedung Semirangan.
Kerugiannya ditaksir sekira 31.560 rupiah.
Agar daerahnya dapat menyetorkan hasil
bumi kepada Jepang, Sultan meminta dana untuk membangun irigasi. Tak
disangka, Jepang memberikan dana untuk membangun saluran dan pintu air
untuk mengatur air hujan dari daerah tergenang ke laut, terutama di
daerah Adikarto serta membangun saluran-saluran untuk mengalirkan air
dari Kali Progo ke daerah kering yang kekurangan air di daerah Sleman ke
arah timur.
Saluran dan pintu air yang dibangun tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Selokan Mataram. Dalam bahasa Jepang disebut Gunsei Hasuiro dan Gunsei Yosuiro. Kedua
proyek saluran ini mampu membantu wilayah Yogyakarta menekan kekurangan
pangan dengan hasil pertanian, sekalipun beberapa persen disetorkan
kepada Jepang.
Pembangunan Selokan Mataram juga menghindarkan warga Yogyakarta dari panggilan menjadi romusha.
Sebab, pembangunan saluran sepanjang puluhan kilometer dan harus
dilengkapi dengan bendungan, tanggul, jembatan, dan lain-lain memerlukan
banyak tenaga. Inilah yang dipakai sebagai alasan Sultan untuk menolak
perintah pengiriman penduduk untuk dijadikan romusha.
*****
Kebijakan mobilisasi Jepang dipadukan dengan kontrol ketat oleh pemerintah. Rakyat
diharapkan mempunyai pemikiran yang seragam dan melakukan konformitas
(kesesuaian sikap dan perilaku dengan nilai dan kaidah yang diberlakukan
Jepang), seperti yang selalu terjadi dalam rezim-rezim totaliter.
“Dengan demikian, mobilisasi di Jawa
selalu dijalankan di dalam kerangka acuan yang ditetapkan oleh dan di
bawah kontrol ketat pemerintah militer,” ujar Aiko dalam diskusi edisi
terbaru bukunya, Politik Jepang di Jawa, di Aula The Japan
Foundation, Jakarta Pusat, 15 September 2014. Buku ini diangkat dari
disertasi Aiko di Universitas Cornell tahun 1988 dan kali pertama terbit
dalam bahasa Indonesia pada 1993 berjudul Mobilisasi dan Kontrol.
Selain dengan tangan besi militer,
kontrol masyarakat juga dilakukan dengan propaganda, seperti melalui
gambar hidup (film) dan menara bernyanyi (radio). Propaganda ini, kata
sejarawan Didi Kwartanada, mengutip George Kanahele, pionir kajian
pendudukan Jepang di Indonesia asal Hawaii, untuk “winning the hearts and minds of the people.”
Melalui layar lebar itu, kata Aiko,
mungkin penduduk baru kali pertama mengenal Sukarno. “Semboyan Bung
Karno seperti ‘mari kita berjuang bersama-sama Dai Nippon sampai
mencapai kemenangan terakhir’ dan ‘Amerika kita setrika, Inggris kita
linggis’ menarik hati penduduk desa, dan film-film semacam itu mempunyai
pengaruh tertentu untuk mencegah meletusnya perasaan anti-Jepang,” kata
Aiko. (Baca: Geraf [Gerakan Rakyat Anti Fasis] Bergerak dan Djojobojo Menentang Jepang)
*****
*****
ANTI FASIS,
Geraf Bergerak
Dengan dukungan dana dari Belanda, Amir Sjarifuddin menyusun organisasi bawah tanah yang menentang fasisme Jepang.
BELANDA
menyadari keunggulan Jepang. Kekalahan sudah pasti, namun Belanda tak
ingin menyerah. Belanda mencari cara agar tetap bisa melawan Jepang.
Charles van der Plass, mantan Gubernur Jawa Timur, kemudian ditugasi
untuk membangun sebuah gerakan bawah tanah.
Namun van der Plass kurang memiliki
hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia. P.J.A. Idenburg,
mantan Sekretaris Kabinet Gubernur Jenderal, mengusulkan agar memilih
Amir Sjarifuddin, pegawai Departemen Ekonomi di Batavia yang jadi
pendiri Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).
Pembentukan Gerindo pada Mei 1937
merupakan respons terhadap bahaya fasisme yang mengancam demokrasi.
Gerindo ibarat partai pelarian aktivis-aktivis dari semua partai yang
dilarang pemerintah. Sesuai kebijakan Komintern (Komunis Internasional),
tulis Wilson dalam Orang dan Partai Nazi di Indonesia,
“Gerindo membuka diri kepada semua kekuatan sosial politik, termasuk
kerja sama dengan pemerintah kolonial untuk menggalang kekuatan massa
menyambut bahaya fasisme.”
Pada 1939 Gerindo, berkoalisi dengan
Parindra dan PSII, membentuk Gabungan Politik Indonesia (Gapi), yang
menawarkan kerja sama kepada pemerintah Belanda agar membentuk milisi
yang akan menghadapi fasisme. “Tampaknya tidak ada keseriusan dari
pemerintah untuk menanggapi usulan Gapi,” tulis Wilson, “dan Ratu
menyatakan penolakannya.” Meski demikian, Gerindo tetap membentuk
Barisan Pemuda Gerindo yang melakukan latihan militer.
Pada 1940, ketika ditangkap karena
aktivitasnya dalam PKI ilegal, Amir ditawari pilihan: dibuang ke gulag
Digul atau bekerjasama dengan pemerintah Belanda. Amir memilih yang
kedua. Belanda memberikan uang sebanyak 25.000 gulden untuk menyusun
jaringan bawah tanahnya. Amir mencari hubungan kerjasama dengan Pamudji,
melalui Atmadji, yang telah dikenalnya dengan baik sebagai sesama
anggota Gerindo Surabaya.
Pada Mei 1940, sebuah pertemuan
dilakukan di Rawamangun, Jakarta. Hadir dalam pertemuan ini dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo, Pamudji (PKI ilegal), Subekti dan Atmaji (Gerindo),
Sujoko (Barisan Rakyat Solo), Armunanto (Persatuan Sopir Indonesia,
pernah kontak dengan PKI 1935 yang didirikan oleh Musso), Widarta
(Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia, seorang komunis), Kiai Haji Zaenal
Mustofa (pimpinan pondok pesantren di Sukamanah, Singaparna,
Tasikmalaya, Jawa Barat), serta Liem Koen Hian (dekat dengan grup Tan
Ling Djie dan Oei Gee Hwat yang merupakan sel PKI di kalangan keturunan
Tionghoa). “Pertemuan ini kemudian memunculkan organisasi Gerakan Rakyat
Antifasis (Geraf),” tulis Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Keberadaan Geraf sejalan dengan taktik front rakyat.
Menjelang invasi Jepang, pertemuan kedua
di rumah Tjipto Mangunkusumo di Sukabumi berhasil membentuk pimpinan
Geraf yang terdiri atas Amir, Pamudji, Sukajat, Armunanto, dan Widarta.
Sedangkan Tjipto sebagai penasihat. Setelah itu terbentuklah
cabang-cabang Geraf di Jakarta, Jawa Barat, dan hampir di setiap kota di
Jawa. Basis utamanya berada di Surabaya. “Gerakan bawah tanah Amir ini
adalah gerakan bawah tanah yang terbesar di antara gerakan bawah tanah
lainnya,” tulis Frederiek Djara Wellem dalam Amir Sjarifoeddin: Tempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia.
Namun, menurut Gie, tak jelas apakah
Geraf merupakan organisasi baru yang dibuat Amir atau hanya salah satu
sel yang dibinanya. Sampai seberapa jauh kebenaran aktivitas Geraf juga
tak dapat dicek karena sumber tentang Geraf hanya berasal dari Sidik
Kertapati dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Sidik
menulis buku tersebut semata untuk propaganda politis daripada sebuah
usaha menuliskan sejarah. “Hatta sendiri,” tulis Gie, “tidak pernah
mendengar tentang Geraf dan tidak percaya jika dr. Tjipto yang
dikenalnya secara baik mau bergabung dalam gerakan komunis.” Sepertinya
Hatta yang kelak akan menyelamatkan Amir menganggap Amir bergerak dalam
PKI, bukan Geraf. Terlepas dari itu, Jepang telah menetapkan Geraf
sebagai kelompok berbahaya dan harus dilumpuhkan.
Segera setelah menduduki Indonesia,
Jepang mengambil-alih aparatur pemerintah Belanda yang terdiri dari
orang Indonesia. Orang-orang yang bekerja sebagai mata-mata dan
tergabung dalam polisi rahasia Belanda (PID), tulis Slamet Muljana, juga
ikut ditarik untuk membantu kelancaran pemerintahan baru. Dalam waktu
tak terlalu lama, Jepang memiliki gambaran jelas tentang berbagai aliran
di Indonesia dan bagaimana sikap mereka terhadap Jepang. Gerakan bawah
tanah yang mengadakan kontak dengan pemerintah Hindia Belanda pun
terbongkar. Penangkapan dimulai.
“Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai
terbongkarnya jaringan suatu organisasi antifasisme Jepang yang sedikit
banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa hidup
kelompok inilah Amir, kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan,
mengangkat para pembantunya yang terdekat,” tulis Jacques Leclerc dalam Amir Sjarifuddin: Antara Negara dan Revolusi.
Amir sendiri menjadi buronan utama polisi rahasi Jepang (kempeitai).
Dia, tulis Wellem, hampir tak bisa dikenali lagi karena memelihara
janggut dan kumis. Namun akhirnya dia tertangkap dan dimasukkan ke
penjara, dari Kalisosok Surabaya, Salemba, Glodok, Cipinang,
Sukamiskin Bandung, Salemba, dan kembali lagi ke Kalisosok. Ini ditempuh
Jepang untuk mencegah pendukung Amir meloloskannya dari penjara. “Dalam
tahanan,” tulis Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional Volume 2,
“Amir disiksa di luar perikemanusiaan. Badannya kurus, kering, dan
tinggal tulang semata.” Amir dikenai hukuman mati, meski kemudian diubah
menjadi hukuman seumur hidup.
Sel Geraf yang dipimpin Kiai Haji Zaenal
Mustofa juga bernasib buruk. Kiai Mustofa dan santrinya tewas dalam
perlawanan bersenjata di Singaparna, Jawa Barat, karena menentang
penghormatan kepada matahari (seikerei) dan Kaisar Jepang. Subekti yang memimpin sel Geraf Indramayu, Jawa Barat, juga tewas dalam bentrokan dengan Jepang.
Sel Geraf yang masih bergerak adalah
yang dipimpin Widarta dan Hendromartono, seorang pemimpin buruh.
Widarta, sekretaris Geraf yang juga generasi ketiga yang memimpin PKI,
lolos dari penangkapan. Ironisnya, Widarta yang terlibat dalam revolusi
Tiga Daerah (Brebes, Tegal, Pemalang) antara Oktober sampai Desember
1945, kemudian dieksekusi mati oleh mahkamah PKI yang dipimpin Amir
Sjarifuddin.
Sepertinya keraguan Gie terhadap Geraf mendapatkan jawabannya. Dalam Madiun 1948: PKI Bergerak, Harry Poeze menyebut Geraf sebagai “organisasi yang tak berbentuk”.
*****
Selain propaganda melalui media massa, Jepang melakukan indoktrinasi melalui pembentukan wadah semimiliter (seinendan, keibodan) dan organisasi massa Jawa Hokokai;
pengenalan bahasa Jepang; menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar
di sekolah; dan melarang sekolah-sekolah Belanda. Selain itu, kegiatan
di luar sekolah sebagai bagian dari indoktrinasi adalah Kursus Kiai yang
disponsori Kantor Urusan Agama (Shumubu).
“Terkait indoktrinasi kiai pedesaan, ini
mengingatkan kita pada ‘mobilisasi’ kaum rohaniawan untuk tujuan-tujuan
politik yang masih berlangsung hingga hari ini,” ujar Didi.
Akibat tekanan ekonomi yang buruk dan
kemarahan terhadap para pemimpin desa yang dilematis antara kepentingan
rakyat atau tuntutan pemerintah, muncullah pemberontakan di beberapa
daerah, diawali oleh Pemberontakan Pesantren Sukamanah di Tasikmalaya.
Menurut Didi, dalam buku Aiko kurang dibahas soal ianfu
(wanita penghibur) karena isu ini memang baru muncul pada 1990-an.
Begitu pula peran orang Tionghoa di pedesaan. Padahal mereka memainkan
peranan cukup penting dalam perekonomian desa, selaku pemilik
penggilingan beras, juragan hasil bumi, maupun pembunga uang (mindering).