Pesan Rahbar

Home » » Keutamaan Hari Raya Idul Adha

Keutamaan Hari Raya Idul Adha

Written By Unknown on Friday, 3 February 2017 | 19:17:00


Dzulhijjah adalah bulan yang sarat dengan keutamaan dan kesempatan untuk meraih rahmat Tuhan. Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah akan berakhir dengan datangnya hari raya Idul Adha. Hari raya ini merupakan momen untuk membuktikan kecintaan dan penyerahan diri terhadap perintah Ilahi, dan hari pengujian Nabi Ibrahim as dan Ismail as, di mana mereka melewatinya dengan sukses.

Menurut sejumlah riwayat, ketika tiba malam kedelapan bulan Dzulhijjah, Nabi Ibrahim as memilih istirahat setelah menunaikan ibadah dan ia mendengar sebuah seruan dalam tidurnya, "Wahai Khalil, jika engkau ingin sampai kepada-Ku, korbankanlah putra kesayanganmu dengan pisau yang tajam.' Ibrahim terkejut mendengar perintah itu dan dalam dirinya berkata 'apakah perintah tadi datang dari Tuhan atau dari syaitan?' Pada malam Arafah, mimpi yang sama kembali menghampiri tidur Ibrahim dan juga terulang untuk ketiga kalinya pada malam Idul Adha sehingga ia memperoleh keyakinan. Di pagi hari raya, Ibrahim menceritakan mimpi tersebut kepada putranya, Ismail. Setelah mendengar ucapan ayahnya, Ismail berkata, "Wahai ayahku, jika aku punya seribu nyawa, semua akan aku persembahkan demi perintah Allah dan aku akan tunduk pada perintah-Nya."

Setelah keduanya bertekad untuk menunaikan perintah Tuhan, Ibrahim merebahkan leher Ismail di atas bongkahan batu dan kemudian mulai menggerakkan pisau di lehernya. Akan tetapi, tidak sedikit pun dari kulit Ismail yang tersayat. Ketika itu muncul seruan dari langit yang berkata, "Wahai Ibrahim! Engkau telah berhasil melewati ujian Tuhan, sekarang lepaskanlah putramu dan sembelihlah kambing ini sebagai pengganti Ismail." Penghambaan ini dan penyerahan diri Ibrahim di hadapan Tuhan telah menjadi bagian dari ibadah haji sehingga para jamaah haji menyembelih kurban pada hari itu. Pada dasarnya, mereka ingin melepaskan diri dari semua ketergantungan duniawi.

Malam Idul Adha termasuk salah satu dari empat malam yang sangat dianjurkan untuk diisi dengan ibadah dan munajat sampai terbit fajar. Salah satu amalan yang dilakukan pada malam itu adalah membaca doa berikut;

"یَا دَائِمَ الْفَضْلِ عَلَى الْبَرِیَّةِ یَا بَاسِطَ الْیَدَیْنِ بِالْعَطِیَّةِ یَا صَاحِبَ الْمَوَاهِبِ السَّنِیَّةِ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِهِ خَیْرِ الْوَرَى سَجِیَّةً وَ اغْفِرْ لَنَا یَا ذَا الْعُلَى فِی هَذِهِ الْعَشِیَّةِ"

“Wahai Dzat yang keutamaannya selalu tercurahakan untuk hambanya, Wahai Dzat yang pemberiannya selalu terbuka untuk hambanya, Wahai Dzat yang pemberiannya tiada terputus. Sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan keluargnya, sebagai manusia yang paling mulia dan ampunilah dosa-dosa kami di malam ini wahai Dzat yang maha tinggi.” Dalam doa itu, kita memohon kepada Allah Swt – di mana keutamaan dan pemberiaan-Nya selalu tercurahkan kepada para hamba-Nya – untuk menyampaikan shalawat kepada Muhammad Saw dan keluarganya dan memohon ampunan atas dosa-dosa kita pada malam yang mulia ini.”

Pada pagi hari Idul Adha, kaum Muslim menyambutnya dengan mandi untuk mensucikan diri. Kemudian mereka – dengan niat mengenakan pakaian takwa – memakai baju yang paling bersih dan wewangian. Setelah itu, kaum Muslim berbondong-bondong mendatangi tempat ibadah untuk menunaikan shalat Idul Adha secara berjamaah. Berkurban merupakan salah satu pekerjaan penting pada hari besar itu. Mereka berkurban karena Allah Swt dan berbagi kebahagiaan dengan saudara-saudara mereka yang lain.

Momen lain yang penuh berkah di bulan Dzulhijjah jatuh pada tanggal 18 Dzulhijjah atau hari Ghadir Khum. Sebuah hari di mana Ali bin Abi Thalib as ditunjuk oleh Allah Swt sebagai khalifah dan washi Nabi Muhammad Saw. Pada 18 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah, Rasulullah Saw dalam perjalanan pulang ke Madinah seusai menunaikan haji Wada atau haji terakhir beliau, di sebuah daerah bernama Ghadir Khum, malaikat Jibril turun menyampaikan wahyu ayat 67 surat al-Maidah yang berbunyi, "Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan Tuhanmu kepada-Mu, dan jika hal ini tidak engkau lakukan, maka engkau (sama saja dengan) tidak menunaikan (sama sekali) risalah-Nya, dan Allah akan menjagamu dari (gangguan) manusia."

Setelah menerima perintah itu, Rasul Saw kemudian mengumumkan kepada kaum Muslimin bahwa Imam Ali as akan menjadi pemimpin umat sepeninggal Rasulullah. Beliau naik ke atas bukit dan sambil mengangkat tangan Imam Ali, Rasulullah Saw bersabda, "Siapa yang menjadikanku sebagai pemimpin, maka Ali juga akan menjadi pemimpinnya. Ya Allah, cintailah siapa yang mencintai Ali dan musuhilah siapa yang memusuhinya."

Selanjutnya, Rasulullah menyampaikan khutbah tentang keutamaan Ahlul Bait atau keluarga beliau. Rasulullah juga menjelaskan posisi Ahlul Bait dan hubungannya dengan al-Quran. Beliau bersabda, "Ahlul Bait dan al-Quran adalah dua hal yang tidak akan mungkin terpisahkan satu sama lain, sampai akhirnya mereka akan menemuiku di Hari Kiamat, di Telaga Kautsar.” Belum lagi pertemuan akbar ini bubar, Jibril turun membawa wahyu dari Allah swt kepada Nabi-Nya. "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. 3:3)

Peristiwa yang sangat historis ini diperingati setiap tahun oleh para pengikut Ahlul Bait sebagai hari raya al-Ghadir atau Idul Ghadir. Salah satu amalan di hari itu adalah mandi. Berpuasa pada hari itu juga memiliki pahala yang sangat besar. Amalan lain pada hari raya Ghadir adalah menunaikan shalat dua rakaat, yang lebih utama dilakukan menjelang shalat zuhur.

Momen penting lainnya di bulan Dzulhijjah jatuh pada tanggal 24 bulan tersebut. Pada hari itu, Rasul Saw bersiap untuk melakukan mubahalah (saling melaknat atau saling mendoakan agar laknat Allah Swt dijatuhkan atas orang yang zalim di antara mereka yang berselisih) dengan kaum Nasrani dari Najran dan terjadi sebuah peristiwa besar, yang membuktikan kebenaran Islam dan kesesatan mereka.

Pada tanggal 24 Dzulhijjah tahun kesepuluh Hijriah, Nabi Muhammad Saw melayangkan sebuah surat kepada kaum Nasrani Najran untuk menyeru mereka kepada agama Islam. Mereka yang tidak bersedia menerima Islam pada akhirnya mengutus pembesar-pembesar Nasrani untuk datang ke Madinah, lalu Nabi Saw membacakan beberapa ayat al-Quran tentang Isa bin Maryam. Ketika mereka menolak kebenaran itu, maka turunlah surat Ali Imran ayat 61. Ayat ini memerintahkan Nabi Saw untuk melakukan Mubahalah dan delegasi Nasrani pun setuju untuk melakukan itu.

Keesokan harinya, Nabi Muhammad Saw mengajak orang-orang terdekatnya untuk bermubahalah dengan Nasrani Najran. Mereka adalah Ali, Fatimah serta Hasan dan Husein. Akan tetapi, para wakil Nasrani membatalkan niat mereka dan memilih membayar jizyah daripada melakukan Mubahalah. Najran adalah sebuah daerah di barat daya Arab Saudi, dekat perbatasan Yaman. Pada permulaan Islam, kawasan itu dihuni oleh kaum Nasrani yang mengikuti ajaran Nabi Isa as daripada menyembah berhala.

Uskup Nasrani Najran berkata, "Demi Allah! Saya melihat wajah-wajah yang bila mereka memohon kepada Allah agar memindahkan gunung, maka gunung itu akan pindah dari tempatnya. Bila mereka melaknat, maka tidak akan ada satu orang Nasrani pun di muka bumi. Oleh karenanya, segera menyampaikan pembatalan Mubahalah dan bersedia untuk berdamai."

Dalam buku doa Mafatih al-Jinan, ada sejumlah amalan khusus yang dilakukan tepat di hari ini seperti berikut: Mandi, amalan ini menunjukkan usaha untuk membersihkan badan lahiriah dari kotoran dan menandakan kesiapan jiwa untuk berhias dengan doa-doa yang akan dibaca. Berpuasa, amalan ini membuat batin manusia menjadi lebih segar. Dan membaca doa khusus hari Mubahalah yang disebut doa Mubahalah yang agak mirip dengan doa Sahar di bulan Ramadan.

(Parstoday/Astan-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: