Pesan Rahbar

Home » , , , , » Pro-Kontra "Sabda Raja" Keraton Ngayogyakarta

Pro-Kontra "Sabda Raja" Keraton Ngayogyakarta

Written By Unknown on Sunday, 10 May 2015 | 04:00:00


Oleh: Masduki Attamami

Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X sebelumnya telah menyadari akan muncul pro-kontra di internal keraton maupun masyarakat, terkait "sabda raja" atau perintah raja dari dirinya.

"Saya sudah tahu dari awal akan menimbulkan pro dan kontra," kata Sultan usai melakukan penanaman bibit nyamplung di RPH Gubug Rubuh, Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Kamis (7/5).

Sultan mengatakan akan banyak masyarakat yang meminta klarifikasi terkait sabda raja yang dikeluarkannya, yakni pada 30 April dan 5 Mei lalu.

"Bagi saya berbeda tidak masalah, dan pasti ada masyarakat yang meminta klarifikasi terkait sabda raja itu," katanya.

Sultan HB X pada 30 April lalu mengeluarkan sabda raja yang berisi lima poin, di antaranya mengganti nama Buwono menjadi Bawono, serta menghapus gelar Kalifatullah.

Selanjutnya pada 5 Mei lalu Sultan kembali mengeluarkan sabda raja yang berisi penggantian nama putri pertama Sultan, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun menjadi GKR Mangkubumi.

Adik Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Bendoro Pangeran Haryo Yudhaningrat mengharapkan isi dari sabda raja segera dibatalkan. "Istilahnya, sudah keluar ludah, kemudian dijilat kembali, itu tidak apa-apa, tidak usah malu," kata GBPH Yudhaningrat di kediamannya di Dalem Yudhanegaran, Yogyakarta, Kamis (7/5).

Menurut Yudhaningrat, sabda raja yang dikeluarkan Sultan HB X pada 30 April dan 5 Mei 2015 telah menabrak "paugeran" atau aturan baku di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. "Aturan-aturan yang sudah kokoh malah diterjang. Ini menjadi mimpi buruk bagi kami," katanya.

Ia mencontohkan seperti penghapusan sebutan Kalifatullah dalam gelar Sultan, akan berakibat fatal, karena gelar tersebut sudah tersemat sejak Hamengku Buwono sebelumnya.

Gelar itu, menurut Yudhaningrat memiliki fungsi pengingat bahwa selain menjadi pemimpin kerajaan Islam, juga sebagai imam untuk masyarakat Yogyakarta. "Dengan Kalifatullah disematkan dalam gelarnya, dimaksudkan supaya menjadi pengingat bahwa dirinya itu sebagai pimpinan di Yogyakarta ini," kata dia.

Kemudian mengenai penggantian gelar putri pertama Sultan HB X, GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi yang diduga ingin menjadikan putrinya itu sebagai penerus tahta, menurut Yudhaningrat juga tidak sesuai dengan "paugeran".

Sebab, selama ini, raja perempuan tidak dikenal dalam sejarah kerajaan Islam, termasuk Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. "Kita tidak pernah kenal, tidak pernah kita harapkan, dan berlawanan dengan aturan pokok kekhalifahan Ngayogyakarta Hadiningrat," kata dia.

Oleh sebab itu, bersama adik-adik Sultan lainnya, dirinya ingin meluruskan, dan siap menerima sanksi atau risiko. "Kalau ada sanksi, ya kami sudah siap, karena memang hidup ini penuh risiko," kata Yudhaningrat.

Dibahas

Para adik Sultan HB X kemudian menggelar pertemuan di Dalem Yudhanegaran, Yogyakarta, 7 Mei, membahas polemik yang terjadi di internal keraton pascadikeluarkannya sabda raja itu.

Adik Sultan yang hadir dalam pertemuan tersebut antara lain Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Pakuningrat, GBPH Suryodiningrat, GBPH Suryonegoro, GBPH Suryomataram, GBPH Prabukusumo, GBPH Yudhaningrat, serta GBPH Cakraningrat.

Dalam pertemuan itu juga diundang perwakilan dari berbagai elemen serta tokoh masyarakat untuk menyampaikan pandangan dan aspirasi mereka terkait masa depan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

GBPH Suryodiningrat mengatakan pertemuan tersebut untuk memusyawarahkan sikap bersama para adik Sultan menanggapi sabda raja tersebut. "Jadi kami tidak ingin sendiri-sendiri menyikapi ini. Yang jelas kami ingin semua kembali seperti semula," kata dia.

Para tokoh serta perwakilan elemen masyarakat yang hadir dalam pertemuan itu diharapkan pula memberikan masukan untuk mengurai persoalan di keraton ini.

GBPH Suryodiningrat mengatakan isi kesepakatan dalam pertemuan tersebut langsung disampaikan kepada Sultan HB X di Keraton Kilen (kediaman Sultan).

Ia optimistis persoalan internal keraton ini akan segera terselesaikan. "Kami tidak ingin berasumsi. Kami berpikiran positif saja, bahwa semua akan dapat diselesaikan," katanya.

Sementara itu, seorang Abdi Dalem Keprajan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat bernama Mas Wedana Nitikartya mengembalikan "kekancingan" atau surat keputusan pengukuhan sebagai abdi dalem kepada keraton, Kamis (7/5), sebagai bentuk protes atas sabda raja tersebut.

Pengembalian surat keputusan ("kekancingan") itu dilakukan di Dalem Yudanegaran, Yogyakarta.

Abdi dalem bernama asli Kardi itu diangkat menjadi Abdi Dalem Keprajan dengan gelar Mas Wedana Nitikarya sejak dirinya menjabat Kepala Kejaksaan Negeri Yogyakarta pada 31 Agustus 2011.

"Karena tidak lagi bergelar Hamengku Buwono, maka saya merasa Sri Sultan HB X bukan lagi raja, sehingga kekancingan saya kembalikan," kata Kardi.

Surat "kekancingan" tersebut dikembalikan, dan diserahkan kepada adik Sultan HB X, GBPH Cakraningrat di hadapan sejumlah wartawan, serta disaksikan GBPH Prabukusumo.

Sultan HB X pada 30 April 2015 mengeluarkan sabda raja atau perintah raja yang berisi lima poin, di antaranya mengganti nama Buwono menjadi Bawono, serta menghapus gelar Kalifatullah.

Sebelumnya, Sri Sultan HB X memiliki gelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat.

Menurut Kardi, dengan penggantian gelar tersebut, "kekancingan" tidak lagi memberikan rasa tenteram, karena tidak lagi berasal dari Sultan yang dulu mengayomi (melindungi). "Dulu saya merasa nyaman, tenteram mendapatkan kekancingan dari Sultan, tapi karena sudah tidak lagi Kalifatullah, saya merasa tidak lagi diayomi," kata Kardi.

GBPH Cakraningrat mengatakan menerima pengembalian "kekancingan" tersebut yang dinilai sebagai hak abdi dalem.

Peristiwa itu, menurut dia, baru terjadi untuk pertama kalinya. "Ini merupakan keinginan dari yang bersangkutan. Kami menerima, karena menjadi abdi dalem merupakan niat dari masing-masing," katanya.

Selanjutnya, kata Cakraningrat, surat kekancingan tersebut akan diserahkan kepada Tepas Hageng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Dengan pengembalian "kekancingan" itu, maka gelar serta hak Kardi sebagai abdi dalem keraton dihapus.

Penjelasan Sultan

Sri Sultan Hamengku Buwono X menjelaskan pergantian gelar yang disandangnya, yang sebelumnya tercakup dalam isi sabda raja yang dikeluarkan pada 30 April 2015.

Sultan yang mengenakan kemeja batik duduk bersila didampingi istri, GKR Hemas, menjelaskan ihwal pergantian gelar yang disandangnya di hadapan masyarakat dari berbagai daerah, di Dalem Wironegaran, Yogyakarta, yang merupakan kediaman putri pertamanya, GKR Mangkubumi, Jumat (8/5).

Sultan mengatakan, sejak sabda raja tersebut dikeluarkan, gelar yang disandangnya berubah menjadi "Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senapati Ing Ngalaga Langgeng Ing Bawono Langgeng, Langgeng Ing Toto Panoto Gomo".

Gelar itu mengubah gelar sebelumnya yakni "Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat".

Menurut Sultan, pergantian nama tersebut merupakan "dawuh" atau perintah dari Allah SWT melalui leluhurnya. Dengan demikian tidak bisa dibantah, dan hanya bisa menjalankan saja. "Dawuh itu mendadak. Ini kewenangan Gusti Allah, dan tidak boleh dibantah," katanya.

Mengenai gelar Buwono menjadi Bawono, Sultan menjelaskan Buwono memiliki arti jagad kecil, sementara Bawono memiliki arti jagad besar. "Kalau disebut Buwono daerah, ya Bawono berarti nasional. Kalau Buwono disebut nasional, Bawono berarti internasional," kata dia.

Selanjutnya, perubahan "kaping sedoso" menjadi "kasepuluh", adalah untuk menunjukkan urutan. Sebab "kaping" memiliki arti hitungan tambahan, bukan "lir gumanti" (urutan). "Seperti "kapisan" (pertama), "kapindo" (kedua), "katelu" (ketiga) dan seterusnya. Jadi tidak bisa "kaping sedoso" karena dasarnya "lir gumanti", ujar Sultan.

Sedangkan tambahan "Suryaning Mataram" menunjukkan berakhirnya perjanjian Ki Ageng Pemanahan dengan Ki Ageng Giring yang merupakan periode Mataram lama dari zaman Kerajaan Singasari sampai Kerajaan Pajang.

Sementara, mulai zaman Kerajaan Mataram dengan Raja Panembahan Senapati hingga Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat saat ini merupakan Mataram baru.

Adapun penggantian "Kalifatullah Sayidin" diganti "Langgeng Ing Toto Panoto Gomo", menurut Sultan menunjukkan berlanjutnya tatanan agama Allah di jagad. "Hanya itu yang bisa saya artikan, kalau lebih dari itu nanti jadi ngarang sendiri, dan belum tentu benar. Saya hanya sekadar menyampaikan dawuh," katanya.

Sultan pada kesempatan itu juga menjelaskan penggantian nama GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi tidak dilandasi niat ingin menjadikan putri pertamanya itu menjadi putri mahkota. "Pokoknya saya menetapkan GKR Pembayun menjadi Mangkubumi sesuai dawuh (perintah). Lelakunya seperti apa, ya saya tidak mengerti. Saya cuma didawuhi atau diperintah menetapkan, ya saya tetapkan," katanya. (IRIB)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: