BAB II:
GERAKAN YANG DIPELINTIRBUNG KARNO MASUK ANGIN
Ada peristiwa kecil, namun dibesar-besarkan oleh Kelompok Bayangan
Soeharto, sehingga kemudian menjadi sangat penting dalam sejarah
Indonesia. Peristiwa itu adalah sakitnya Bung Karno pada awal Agustus
1965.Dalam buku-buku sejarah banyak ditulis bahwa sakitnya Bung Karno
pada saat itu adalah sangat berat. Dikabarkan, pimpinan PKI DN Aidit
sampai mendatangkan dokter dari RRT. Dokter RRT yang memeriksa Bung
Karno menyatakan bahwa Bung Karno sedang kritis. Intinya, jika tidak
meninggal dunia, Bung Karno dipastikan bakal lumpuh. Ini menggambarkan
bahwa Bung Karno saat itu benar-benar sakit
parah.Dari
peristiwa itu (seperti ditulis di berbagai buku) lantas dianalisis
bahwa PKI – yang saat itu berhubungan mesra dengan Bung Karno – merasa
khawatir pimpinan nasional bakal beralih ke tangan orang AD. PKI tentu
tidak menghendaki hal itu, mengingat PKI sudah bermusuhan dengan AD
sejak pemberontakan PKI di Madiun, 1948. Menurut analisis tersebut,
begitu PKI mengetahui bahwa Bung Karno sakit keras, mereka menyusun
kekuatan untuk merebut kekuasaan.
Akhirnya meletus G30S.Ini alibi
rekayasa Soeharto yang mendasari tuduhan bahwa PKI adalah dalang G30S.
Ini juga ditulis di banyak buku, sebab memang hanya itu informasi yang
ada dan tidak dapat dikonfirmasi, karena pelakunya – Bung Karno, DN
Aidit dan dokter RRT – ketiga-tiganya tidak dapat memberikan keterangan
sebagai bahan perbandingan. Bung Karno ditahan sampai meninggal. Aidit
ditembak mati tanpa proses pengadilan; sedangkan dokter RRT itu tidak
jelas keberadaannya. Itulah sejarah versi plintiran.Tetapi ada saksi
lain selain tiga orang itu, yakni saya sendiri dan Wakil Perdana
Menteri-II, dr. Leimena. Jangan lupa, saya adalah dokter yang sekaligus
dekat dengan Bung Karno. Saya juga mengetahui secara persis peristiwa
kecil itu.
Yang benar demikian: memang Bung Karno diperiksa oleh seorang
dokter Cina yang dibawa oleh Aidit, tetapi dokternya bukan didatangkan
dari RRT, melainkan dokter Cina dari Kebayoran Baru, Jakarta, yang
dibawa oleh Aidit. Fakta lain: Bung Karno sebelum dan sesudah diperiksa
dokter itu juga saya periksa.
Pemeriksaan yang saya lakukan didampingi
oleh dr. Leimena. Jadi ada tiga dokter yang memeriksa Bung
Karno.Penyakit Bung Karno saat itu adalah: masuk angin. Ini jelas dan
dokter Cina itu juga mengatakan kepada Bung Karno di hadapan saya dan
Leimena bahwa Bung Karno hanya masuk angin. DN Aidit juga mengetahui
penyakit Bung Karno ini. Mengenai penyebabnya, sayalah yang tahu.
Beberapa malam sebelumnya, Bung Karno jalan-jalan meninjau beberapa
pasar di Jakarta. Tujuannya adalah melihat langsung harga bahan
kebutuhan pokok. Jalan keluar-masuk pasar di malam hari tanpa pengawalan
yang memadai sering dilakukan Bung Karno.
Nah, itulah penyebab masuk
angin.Tetapi kabar yang beredar adalah bahwa Bung Karno sakit parah.
Lantas disimpulkan bahwa karena itu PKI kemudian menyusun kekuatan untuk
mengambil-alih kepemimpinan nasional. Akhirnya meletus G30S yang
didalangi oleh
PKI.Kabar itu
sama sekali tidak benar. DN Aidit tahu kondisi sebenarnya. Ini berarti
bahwa kelompok Soeharto sengaja menciptakan isu yang secara logika
membenarkan PKI berontak atau menyebarkan kesan (image) bahwa dengan
cerita itu PKI memiliki alasan untuk melakukan kudeta.
Ketika Kamaruzaman
alias Sjam diadili, ia memperkuat dongeng kelompok Soeharto. Sjam
adalah kepala Biro Khusus PKI sekaligus perwira intelijen AD. Sjam
mengaku bahwa ketika Bung Karno jatuh sakit, ia dipanggil oleh Aidit ke
rumahnya pada tanggal 12 Agustus 1965. Ia mengaku bahwa dirinya
diberitahu oleh Aidit mengenai seriusnya sakit Presiden dan adanya
kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera apabila Bung Karno
meninggal. Masih menurut Sjam, Aidit memerintahkan dia untuk meninjau
kekuatan kita dan mempersiapkan suatu gerakan. Pengakuan Sjam ini
menjadi rujukan di banyak
buku.Tidak
ada balance, tidak ada pembanding. Yang bisa memberikan balance
sebenarnya ada lima orang yaitu Bung Karno, Aidit, dokter Cina (saya
lupa namanya), Leimena dan saya sendiri. Tetapi setelah meletus G30S
semuanya dalam posisi lemah.
Ketika diadili, saya tidak diadili dengan
tuduhan terlibat G30S, sehingga tidak relevan saya
ungkapkan. Kini
saya katakan, semua buku yang menyajikan cerita sakitnya Bung Karno itu
tidak benar. Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya masuk angin,
sehingga tidak masuk akal jika ia memerintahkan anak buahnya, Sjam,
untuk menyiapkan suatu gerakan. Ini jika ditinjau dari logika: PKI ingin
mendahului merebut kekuasaan sebelum sakitnya Bung Karno semakin parah
dan kekuasaan akan direbut oleh AD. Logikanya, Aidit akan tenang-tenang
saja, sebab bukankah Bung Karno sudah akrab dengan PKI? Mengapa PKI
perlu menyiapkan gerakan di saat mereka disayangi oleh Presiden Soekarno
yang segar bugar? Intinya, pada bulan Agustus 1965 kelompok bayangan
Soeharto jelas kelihatan ingin secepatnya memukul PKI. Caranya, mereka
melontarkan provokasi-provokasi seperti itu.
Provokasi adalah cara
perjuangan yang digunakan oleh para jenderal AD kanan untuk mendorong
PKI mendahului memukul AD. Ini taktik untuk merebut legitimasi rakyat.
Jika PKI memukul AD, maka PKI ibarat dijebak masuk ladang pembantaian
(killing field). Sebab, AD akan – dengan seolah-olah terpaksa – membalas
serangan PKI. Dan, serangan AD terhadap PKI ini malah didukung rakyat,
sebab seolah-olah hanya membalas. Ini taktik AD Kubu Soeharto untuk
menggulung PKI. Jangan lupa, PKI saat itu memiliki massa yang sangat
besar, sehingga tidak dapat ditumpas begitu saja tanpa taktik yang
canggih.Tetapi PKI tidak juga terpancing. Pelatuk tidak juga ditarik
meskipun PKI sudah diprovokasi sedemikian rupa. Mungkin PKI sadar bahwa
mereka sedang dijebak. Peran Aidit sangat besar, dengan tidak memberikan
instruksi kepada anggotanya.
Tetapi toh akhirnya PKI dituduh mendalangi
G30S, walaupun keterlibatan langsung PKI dalam peristiwa itu belum
pernah diungkap secara jelas.Pelaku G30S adalah tentara dan gerakan itu
didukung oleh Soeharto yang juga tentara. Sedangkan Aidit langsung
ditembak mati tanpa proses
pengadilan.DEWAN
JENDERALIsu Dewan Jenderal sebenarnya bersumber dari Angkatan Kelima.
Dan seperti diungkap di bagian terdahulu, Angkatan Kelima bersumber dari
rencana sumbangan persenjataan gratis dari RRT. Tiga hal ini berkaitan
erat. Pada bagian terdahulu diungkapkan bahwa tawaran bantuan
persenjataan gratis untuk sekitar 40 batalyon dari RRT diterima Bung
Karno.
Hanya tawaran yang diterima, barangnya belum dikirim. Bung Karno
lantas punya ide membentuk Angkatan Kelima. Tapi Bung Karno belum
merinci bentuk Angkatan Kelima itu.Ternyata Menpangad Letjen A Yani
tidak menyetujui ide mengenai Angkatan Kelima itu. Para perwira ABRI
lainnya mengikuti Yani, tidak setuju pada ide Bung Karno itu. Empat
angkatan dinilai sudah cukup. Karena itulah berkembang isu mengenai
adanya sekelompok perwira AD yang tidak puas terhadap Presiden. Isu
terus bergulir, sehingga kelompok perwira yang tidak puas terhadap
Presiden itu disebut Dewan Jenderal. Perkembangan isu selanjutnya adalah
bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kup terhadap Presiden.Menjelang
G30S meletus, Presiden memanggil Yani agar menghadap ke Istana. Yani
rupanya merasa bahwa ia akan dimarahi oleh Bung Karno karena tidak
menyetujui Angkatan Kelima. Yani malah sudah siap kursinya (Menpangad)
akan diberikan kepada orang lain.
Saat itu juga beredar isu kuat bahwa
kedudukan Yani sebagai Menpangad akan digantikan oleh wakilnya, Mayjen
Gatot Subroto. Presiden Soekarno memerintahkan agar Yani menghadap ke
Istana pada 1 Oktober 1965 pukul 08.00 WIB. Tetapi hanya beberapa jam
sebelumnya Yani diculik dan
dibunuh.Yang
paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal itu adalah Letkol Untung
Samsuri. Sebagai salah satu komandan Pasukan Kawal Istana – Tjakrabirawa
– ia memang harus tanggap terhadap segala kemungkinan yang membahayakan
keselamatan Presiden. Untung gelisah. Lantas Untung punya rencana
mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan cara menangkap mereka.
Rencana
ini disampaikan Untung kepada Soeharto. Menanggapi itu Soeharto
mendukung. Malah Untung dijanjikan akan diberi bantuan pasukan. Ini
diceritakan oleh Untung kepada saya saat kami sama-sama ditahan di LP
Cimahi, Bandung (lengkapnya simak sub-bab Menjalin Sahabat Lama).Saya
menerima laporan mengenai isu Dewan Jenderal itu pertama kali dari wakil
saya di BPI (Badan Pusat Intelijen), tetapi sama sekali tidak lengkap.
Hanya dikatakan bahwa ada sekelompok jenderal AD yang disebut Dewan
Jenderal yang akan melakukan kup terhadap Presiden. Segera setelah
menerima laporan, langsung saya laporkan kepada Presiden. Saya lantas
berusaha mencari tahu lebih dalam.
Saya bertanya langsung kepada Letjen
Ahmad Yani tentang hal itu. Jawab Yani ternyata enteng saja, memang ada,
tetapi itu Dewan yang bertugas merancang kepangkatan di Angkatan
Bersenjata dan bukan Dewan yang akan melakukan
kudeta.Masih
tidak puas, saya bertanya kepada Brigjen Soepardjo (Pangkopur II). Dari
Soepardjo saya mendapat jawaban yang berbeda. Kata Soepardjo: Memang
benar. Sekarang Dewan Jenderal sudah siap membentuk menteri
baru.
Pada
26 September 1965 muncul informasi yang lebih jelas lagi. Informasi itu
datang dari empat orang sipil. Mereka adalah Muchlis Bratanata, Nawawi
Nasution, Sumantri dan Agus Herman Simatupang. Dua nama yang disebut
terdahulu adalah orang NU sedangkan dua nama belakangnya dri IPKI.
Mereka cerita bahwa pada tanggal 21 September 1965 diadakan rapat Dewan
Jenderal di Gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rapat itu
membicarakan antara lain: Mengesahkan kabinet versi Dewan
Jenderal.Muchlis tidak hanya bercerita, ia bahkan menunjukkan pita
rekaman pembicaran dalam rapat.
Dalam rekaman tersebut ada suara Letjen
S. Parman (salah satu korban G30S) yang membacakan susunan
kabinet.Susunan kabinet versi Dewan Jenderal – menurut rekaman itu –
adalah sebagai berikut:Letjen AH Nasution sebagai Perdana MenteriLetjen A
Yani sebagai Waperdam-I (berarti menggantikan saya) merangkap Menteri
Hankam,Mayjen MT Haryono menjadi Menteri Luar Negeri,Mayjen Suprapto
menjadi Menteri Dalam Negeri,Letjen S Parman sendiri menjadi Menteri
Kehakiman,Ibnu Sutowo (kelak dijadikan Dirut Pertamina oleh Soeharto)
menjadi menteri Pertambangan.Rekaman ini lantas saya serahkan kepada
Bung Karno.
Jelas rencana Dewan Jenderal ini sangat peka dan sifatnya
gawat bagi kelangsungan pemerintahan Bung Karno. Seharusnya rencana ini
masuk klasifikasi sangat rahasia. Tetapi mengapa bisa dibocorkan oleh
empat orang sipil? Saya menarik kesimpulan: tiada lain kecuali sebagai
alat provokasi. Jika alat provokasi, maka rekaman itu palsu. Tujuannya
untuk mematangkan suatu rencana besar yang semakin jelas gambarannya.
Bisa untuk mempengaruhi Untung akan semakin yakin bahwa Dewan Jenderal –
yang semula kabar angin – benar-benar ada. Hampir bersamaan waktunya
dengan isu Dewan Jenderal, muncul Dokumen Gilchrist.
Dokumen ini
sebenarnya adalah telegram (klasifikasi sangat rahasia) dari Duta Besar
Inggris untuk Indonesia di Jakarta Sir Andrew Gilchrist kepada
Kementrian Luar Negeri Inggris. Dokumen itu bocor ketika hubungan
Indonesia-Inggris sangat tegang akibat konfrontasi Indonesia-Malaysia
soal Borneo (sebagian wilayah Kalimantan). Saat itu Malaysia adalah
bekas koloni Inggris yang baru merdeka. Inggris membantu Malayia
mengirimkan pasukan ke
Borneo.Saya
adalah orang yang pertama kali menerima Dokumen Gilchrist. Saya
mendapati dokumen itu sudah tergeletak di meja kerja saya. Dokumen sudah
dalam keadaan terbuka, mungkin karena sudah dibuka oleh staf saya.
Menurut laporan staf, surat itu dikirim oleh seorang kurir yang mengaku
bernama Kahar Muzakar, tanpa identitas lain, tanpa alamat. Namun
berdasarkan informasi yang saya terima, surat tersebut mulanya tersimpan
di rumah Bill Palmer, seorang Amerika yang tinggal di Jakarta dan
menjadi distributor film-film Amerika. Rumah Bill Palmer sering
dijadikan bulan-bulanan demonstrasi pemuda dari berbagai golongan. Para
pemuda itu menentang peredaran film porno yang diduga diedarkan dari
rumah
Palmer.Isi dokumen itu
saya nilai sangat gawat. Intinya: Andrew Gilchrist melaporkan kepada
atasannya di Kemlu Inggris yang mengarah pada dukungan Inggris untuk
menggulingkan Presiden Soekarno. Di sana ada pembicaraan Gilchrist
dengan seorang kolega Amerikanya tentang persiapan suatu operasi militer
di Indonesia. Saya kutip salah satu paragraf yang berbunyi demikian:
rencana ini cukup dilakukan bersama ’our local army friends.’Sungguh
gawat.
Sebelumnya sudah beredar buku yang berisi rencana Inggris dan AS
untuk menyerang Indonesia. Apalagi, pemerintah Inggris tidak pernah
melontarkan bantahan, padahal sudah mengetahui bahwa dokumen rahasia itu
beredar di Indonesia. Saya selaku kepala BPI mengerahkan intelijen
untuk mencek otentisitas dokumen itu. Hasilnya membuat saya yakin bahwa
Dokumen Gilchrist itu otentik.Akhirnya dokumen tersebut saya laporkan
secara lengkap kepada Presiden Soekarno. Reaksinya, beliau terkejut.
Berkali-kali beliau bertanya keyakinan saya terhadap keaslian dokumen
itu. Dan berkali-kali pula saya jawab yakin asli. Lantas beliau
memanggil para panglima untuk membahasnya.
Dari reaksi Bung Karno saya
menyimpulkan bahwa Dokumen Gilchrist tidak saja mencemaskan, tetapi juga
membakar. Bung Karno sebagai target operasi seperti merasa terbakar.
Namun sebagai negarawan ulung, beliau sama sekali tidak menunjukkan
tanda-tanda kecemasan. Menurut penglihatan saya, tentu Bung Karno cemas.
Saya menyimpulkan, Bung Karno sedang terbakar oleh provokasi
itu.Terlepas dari asli-tidaknya dokumen itu, saya menilai bahwa ini
adalah alat provokasi untuk memainkan TNI AD dalam situasi politik
Indonesia yang memang tidak stabil. Saya mengatakan provokasi jika
ditinjau dari dua hal:
Pertama: isinya cukup membuat orang yang menjadi sasaran merasa ngeri.
Kedua, dokumen sengaja dibocorkan agar jatuh ke tangan pendukung-pendukung Bung Karno dan PKI.
Bagaimana mungkin dokumen rahasia seperti itu berada di rumah Palmer
yang menjadi bulan-bulanan demo pemuda. Apakah itu bukan suatu cara
provokasi? Saya katakan jika Dokumen Gilchrist sebagai upaya provokasi,
maka itu adalah provokasi pertama. Sedangkan provokasi kedua adalah isu
Dewan Jenderal. Jika diukur dari kebiasaan aktivitas terbuka, maka
sumber utama dua alat provokasi itu memang cukup rumit untuk
dipastikan.Di
sisi lain, Soeharto juga bermain dalam isu Dewan Jenderal. Beberapa
waktu sebelum G30S meletus, Yoga diutus oleh Soeharto untuk menemui
Mayjen S Parman guna menyampaikan saran agar Parman berhati-hati karena
isu bakal adanya penculikan terhadap jenderal-jenderal sudah santer
beredar.
Namun tidak ada yang tahu siapa yang menyebarkan isu seperti
itu.Parman tidak terlalu serius menanggapi saran itu, sebab itu hanya
isu. Parman bertanya kepada Yoga: Apakah pak Yoga sudah punya
bukti-bukti? Yang ditanya menjawab: Belum, pak. Lantas Parman
menyarankan agar Yoga mencari bukti. Jangan hanya percaya isu sebelum
ada bukti, kata Parman. Yoga menyanggupi akan mencarikan bukti.Setelah
G30S meletus, saya teringat saran Yoga kepada Parman itu. Yoga adalah
anggota Trio Soeharto. Saya kemudian berkesimpulan bahwa informasi yang
disampaikan oleh Yoga kepada Parman itu bertujuan untuk mengetahui
reaksi Parman yang dikenal dekat dengan Yani. Info tersebut tentu untuk
memancing, apakah Parman sudah tahu. Sekaligus – jika memungkinkan –
mengungkap seberapa jauh atisipasi Parman terhadap isu tersebut. Dan
karena Parman adalah teman dekat Yani, reaksi Parman ini bisa
disimpulkan sebagai mewakili persiapan Yani.
Dengan reaksi Parman seperti
itu, maka bisa disimpulkan bahwa Parman sama sekali tidak
mengantisipasi arah selanjutnya jika seandainya Dewan Jenderal
benar-benar ada. Parman tidak siap meghadapi kemungkinan yang bakal
terjadi selanjutnya. Ini juga bisa disimpulkan bahwa Yani juga tidak
siap. Jika ini saya kaitkan dengan pertanyaan saya pada Yani soal isu
Dewan Jenderal, maka jelas-jelas bahwa Yani tidak punya persiapan sama
sekali.Intinya, info dari Yoga kepada Parman berbalas info, sehingga
kelompok Soeharto mendapatkan info bahwa kelompok Yani sama sekali belum
siap mengantisipasi kemungkinan terjadinya penculikan. Lebih jauh,
rencana Soeharto melakukan gerakan dengan memanfaatkan Kolonel Latief
dan memanipulasi kelompok Letkol Untung, belum tercium oleh kelompok
lawan: Kelompok
Yani.Jika
seandainya gerakan gagal mencapai tujuan (khususnya bila Parman tidak
berhasil dibunuh), maka peringatan Yoga akan lain maknanya. Peringatan
itu bisa berubah menjadi jasa Soeharto menyelamatkan Parman. Maka
Soeharto tetap tampil sebagai pahlawan. Jadi tindakan Soeharto ini
benar-benar strategis.
PERAN AMERIKA SERIKAT
Apakah AS berperan memlintir isu sakitnya Presiden dan Dewan
Jenderal? Sudah jelas AS takut Indonesia dikuasai oleh komunis. Dan
karena Bung Karno cenderung kiri, maka proyek mereka ada dua: hancurkan
PKI dan gulingkan Bung Karno.Selain tidak suka pada Bung Karno, AS juga
punya kepentingan ekonomis di Indonesia dan secara umum di Asia. Sebagai
gambaran: Malaysia hanya kaya akan karet dan timah; Brunei Darussalam
hanya kaya minyak; sedangkan Indonesia memiliki segalanya di bidang
tambang dan hasil bumi. Terlebih wilayahnya jauh lebih luas dibandingkan
dengan Malaysia dan Brunei. Secara kongkrit bisnis minyak AS di
Indonesia (Caltex) serta beberapa perusahaan lainnya – bagi AS – harus
aman.Karena itu politik Bung Karno dianggap membahayakan kepentingan AS
di Indonesia. Namun mereka kesulitan mengubah sikap Bung Karno yang
tegas. Ada upaya AS untuk membujuk Bung Karno agar mengubah sikap
politiknya tetapi gagal. Secara politis Bung Karno juga sangat kuat. Di
dalam negeri Bung Karno didukung oleh Angkatan Bersenjata dan PKI. Tak
kalah pentingnya, rakyat sungguh kagum dan simpati terhadapnya.
Di luar
negeri ia mendapat dukungan dari negara-negara Asia Tenggara dengan
politik Non-Bloknya.Itulah sebabnya, secara intuitif saya yakin bahwa AS
ikut main di dua isu itu. Soal sakitnya Presiden, target mereka bukan
menjebak PKI melakukan gerakan – sehingga PKI masuk ladang pembantaian –
sebab Aidit tahu persis Presiden hanya masuk angin.Plintiran isu
tersebut lebih untuk konsumsi publik. Jika suatu saat ada gerakan
perebutan kekuasaan, maka akan terlihat wajar bila gerakan itu dilakukan
oleh PKI. Jika Presiden sakit keras, wajar PKI merebut kekuasaan,
karena takut negara akan dikuasai oleh militer. Dan karena itu, wajar
pula jika PKI dihabisi oleh militer.
Dewan Jenderal lebih banyak dimainkan oleh pemain lokal, meskipun AS
bisa membantu dengan isu senjata dari RRT, Angkatan Kelima dan penolakan
Yani terhadap Angkatan Kelima. Tetapi Dokumen Gilchrist jelas ada
pemain Amerikanya. Dokumen itu awalnya disimpan di rumah warga Amerika
Bill Palmer. Dokumen tersebut menurut saya otentik, namun mengapa
dibocorkan? Itu semua secara intiusi.
Faktanya: pada pertengahan November
1965 AS mengirim bantuan obat-obatan dalam jumlah besar ke Indonesia.
Bantuan tersebut mengherankan saya. Indonesia tidak sedang dilanda gempa
bumi. Juga tidak ada bencana atau perang. Yang ada adalah bahwa pada 1
Oktober 1965 terjadi pembantaian enam jenderal dan seorang letnan.
Seminggu sesudahnya, AD di bawah pimpinan Soeharto dan dibantu oleh para
pemuda membantai PKI. Pada saat obat-obatan itu dikirim kira-kira sudah
40 ribu anggota PKI dan simpatisannya dibantai. Nah, di sinilah
pengiriman obat-obatan itu menjadi janggal. Suatu logika yang sangat
aneh jika AS membantu obat-obatan untuk
PKI.Baru
beberapa waktu kemudian saya mendapat laporan bahwa kiriman obat-obatan
itu hanya kamuflase; hanya sebuah selubung untuk menutupi sesuatu yang
jauh lebih penting. Sebenarnya itu adalah kiriman senjata untuk membantu
tentara dan pemuda membantai PKI.
Sayangnya, pengetahuan saya tentang hal ini sudah sangat terlambat.
Bung Karno sudah menjelang ajal politik. Paling tidak ini menambah
keyakinan saya bahwa AS ikut bermain dalam rangkaian G30S.Bagi AS,
menghancurkan komunis di Indonesia sangat tinggi nilainya untuk menjamin
dominasi AS diAsia Tenggara. Di sisi lain, reputasi mereka di bidang
subversif sudah dibuktikan dengan tampilnya agen-agen CIA yang
berpengalaman menghancurkan musuh di berbagai negara, walaupun reputasi
itu di dalam negeri malah dikecam habis-habisan oleh rakyat AS
sendiri.Salah
satu agen CIA yang andal adalah Marshall Green (Dubes AS untuk
Indonesia). Reputasinya di bidang subversif tak diragukan lagi. Sebelum
bertugas di Indonesia ia adalah Kuasa Usaha AS di Korea Selatan.
Di sana
ia sukses menjalankan misi AS membantu pemberontakan militer oleh
Jenderal Park Chung Hee yang kemudian memimpin pemerintahan militer
selama tiga dekade. Di Indonesia ia menggantikan Howard Jones menjelang
meletusnya G30S. Jadi pemain penting asing dalam drama 1 Oktober 1965
itu adalah Green dan
Jones.Tentu
CIA tidak dapat bekerja sendiri menghancurkan komunis di Indonesia.
Apalagi pada Februari 1965 AS memulai pemboman pertama di Vietnam Utara.
Praktis konsentrasinya – khusus untuk penghancuran komunis – terbagi.
Baik di Indonesia maupun Vietnam Utara, mereka butuh mitra
lokal.Di
Indonesia mereka merekrut Kamaruzaman yang lebih terkenal dengan
panggilan Sjam sebagai spion. Sjam adalah tentara sekaligus orang PKI.
Kedudukan Sjam di PKI sangat strategis yaitu sebagai Ketua Biro Khusus
PKI yang bisa berhubungan langsung dengan Ketua PKI DN Aidit.
Sebaliknya, para perwira kelompok kontra Dewan Jenderal memberi
informasi kepada saya bahwa Sjam sering memimpin rapat intern AD. Tidak
jelas benar, apakah Sjam itu tentara yang disusupkan ke dalam tubuh PKI
atau orang PKI yang disusupkan ke dalam AD. Tetapi jelas ia adalah mitra
lokal CIA. Dan CIA beruntung memiliki mitra lokal yang berdiri di dua
kubu yang berseberangan.Tetapi permainan Sjam sangat kasar. Ingat
pernyataannya bahwa pada tanggal 12 Agustus 1965 ia mengaku dipanggil
oleh Aidit untuk membahas betapa seriusnya sakit Presiden. Juga
Kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera jika Presiden
meninggal. Itu dikatakan setelah Aidit
dibunuh.
Di
pengadilan Sjam mengatakan bahwa perintah menembak para jenderal datang
dari dia sendiri, namun itu atas perintah Aidit yang disampaikan
kepadanya. Inilah satu-satunya pernyataan yang memberatkan Aidit selain
keberadaan Aidit di Halim pada taggal 30 September 1965 malam. Namun
Aidit tidak sempat bicara sebab dia ditembak mati oleh Kolonel Yasir
Hadibroto (kelak dijadikan Gubernur Lampung oleh Soeharto) beberapa hari
setelah G30S di Boyolali,
Jateng.Jika
Sjam itu seorang tentara, ia ibarat martil. Keterangannya sangat
menguntungkan pihak yang menghancurkan PKI. Namun setelah bertahun-tahun
berstatus tahanan, Sjam diadili dan dihukum mati. Keberpihakannya
kepada PKI, AD dan AS akhirnya tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri.
MENJALIN SAHABAT LAMA
Ini adalah bagian yang mengungkap keterlibatan Soeharto dalam G30S.
Dia menjalin hubungan dengan dua sahabat lama – Letkol TNI AD Untung
Samsuri dan Kolonel TNI AD Abdul Latief – beberapa waktu sebelum meletus
G30S. Untung kelak menjadi komandan pasukan yang menculik dan membunuh 7
perwira, sedangkan Latief hanya dituduh terlibat dalam peristiwa itu.
Untung adalah anak buah Soeharto ketika Soeharto masih menjabat sebagai
Panglima Divisi Diponegoro, Jateng. Untung bertubuh agak pendek namun
berjiwa pemberani. Selama beberapa bulan berkumpul dengan saya di
Penjara Cimahi, Bandung, saya tahu persis bahwa Untung tidak menyukai
politik. Ia adalah tipe tentara yang loyal kepada atasannya, sebagaimana
umumnya sikap prajurit sejati.
Kepribadiannya polos dan jujur. Ini
terbukti dari fakta bahwa sampai beberapa saat sebelum dieksekusi, dia
masih tetap percaya bahwa vonis hukuman mati terhadap dirinya tidak
mungkin dilaksanakan. Percayalah, pak Ban, vonis buat saya itu hanya
sandiwara, katanya suatu hari pada saya. Kenapa begitu? Karena ia
percaya pada Soeharto yang mendukung tindakannya: membunuh para
jenderal. Soal ini akan dibeberkan di bagian lebih lanjut. Sekitar akhir
1950-an Soeharto dan Untung pisah kesatuan. Namun pada tahun 1962
mereka berkumpul lagi. Mereka dipersatukan oleh tugas merebut Irian
Barat dari tangan Belanda. Saat itu Soeharto adalah Panglima Komando
Mandala, sedangkan Untung adalah anak buah Soeharto yang bertugas di
garis depan.
Dalam tugas itulah keberanian Untung tampak menonjol: ia
memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara
Kaimana. Operasi pembebasan Irian akirnya sukses. Pada tanggal 15
Oktober 1962 Belanda menyerahkan Irian kepada PBB. Lantas pada tanggal 1
Mei 1963 Irian diserahkan oleh PBB ke pangkuan RI. Keberanian Untung di
medan perang sampai ke telinga Presiden. Karena itu Untung dianugerahi
Bintang Penghargaan oleh Presiden Soekarno karena keberaniannya.
Setelah
itu Untung dan Soeharto berpisah lagi dalam hubungan garis komando.
Presiden Soekarno menarik Untung menjadi salah satu komandan Batalyon
Kawal Istana, Cakra Bhirawa. Sedangkan Soeharto akhirnya menjadi
Pangkostrad. Namun tugas baru Untung itu membuat Soeharto marah.
Soeharto ingin merekrut Untung masuk ke Kostrad menjadi anak-buahnya,
karena ia tahu bahwa Untung itu pemberani. Tetapi apa mau dikata,
Presiden sudah terlanjur menarik Untung ke dalam pasukan elite kawal
Istana. Soeharto hanya bisa kecewa.
Saat itu konflik Bung Karno dan PKI
di satu sisi dengan para pimpinn AD di sisi lain belum terlalu tajam.
Dalam perkembangannya, konflik Bung Karno dan PKI dengan AD itu semakin
memuncak. Konflik itu diikuti oleh polarisasi kekuatan politik dan
militer yang semakin meningkat, sehingga dapat disimpulkan bahwa
sewaktu-waktu konflik bisa mengarah ke suatu kondisi yang
mengkhawatirkan. Sebab Bung Karno adalah pemimpin yang kharismatik yang
didukung oleh rakyat dan sebagian besar perwira Angkatan Bersenjata,
kecuali sebagian kecil perwira AD.
Di sisi lain, PKI – seperti sudah
saya sebutkan di muka – saat itu memiliki massa dalam jumlah sangat
besar. Bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi jika konflik ini semakin
tajam. Nah, saat konflik meningkat itulah justru Soeharto bersyukur
bahwa Untung menjadi salah satu komandan Batalyon Kawal Istana Cakra
Bhirawa. Kedudukan Untung di sana menjadi titik strategis dipandang dari
sisi Soeharto yang menunggu momentum untuk merebut kekuasaan negara.
Maka hubungan Soeharto-Untung kembali membaik, meskipun beberapa waktu
sebelumnya Soeharto sempat marah dan membenci Untung. Bukti membaiknya
hubungan itu adalah bahwa beberapa waktu kemudian, di akhir 1964, Untung
menikah di Kebumen dan Soeharto bersama istrinya, Ny. Soehartinah
(Tien) menghadiri resepsinya di Kebumen.
Seorang komandan menghadiri
pernikahan bekas anak-buah adalah hal yang sangat wajar, memang. Tetapi
jarak antara Jakarta-Kebumen tidak dekat. Apalagi saat itu sarana
transportasi dan terutama kondisi jalan sangat tak memadai. Jika tak
benar-benar sangat penting, tidak mungkin Soeharto bersama istrinya
menghadiri pernikahan Untung. Langkah Soeharto mendekati Untung ini
terbaca di kalangan elite politik dan militer saat itu, tetapi mereka
hanya sekadar heran pada perhatian Soeharto terhadap Untung yang begitu
besar. Di sisi lain, Soeharto juga membina persahabatan lama dengan
Kolonel Abdul Latief yang juga bekas anak-buahnya di Divisi Diponegoro.
Latief adalah juga seorang tentara pemberani. Ia adalah juga seorang
yang saya nilai jujur.
Namun, berbeda dengan Untung, Latief mengantongi
rahasia skandal Soeharto dalam Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogya.
Dalam serangan itu Belanda diusir dari Yogya (ketika itu ibu-kota RI)
hanya dalam waktu enam jam. Itu sebabnya serangan ini disebut juga Enam
jam di Yogya, yang dalam sejarah disebut sebagai Operasi Janur Kuning
karena saat operasi dilaksanakan semua pasukan yang berjumlah sekitar
2000 personil (termasuk pemuda gerilyawan) diharuskan mengenakan janur
kuning (sobekan daun kelapa) di dada kiri sebagai tanda. Yang tidak
mengenakan tanda khusus ini bisa dianggap sebagai mata-mata Belanda dan
tidak salah jika ditembak mati. Soeharto (di kemudian hari) mengklaim
keberhasilan mengusir Belanda itu atas keberaniannya. Serangan Oemoem 1
Maret 1949 itu katanya, adalah ide dia. Soal ini sudah diungkap di
berbagai buku, bahwa serangan tersebut adalah ide Sri Sultan Hamengku
Buwono IX. Soeharto adalah komandan pelaksana serangan. Namun bagi
Latief persoalan ini terlalu tinggi. Latief hanya merupakan salah satu
komandan kompi.
Hanya saja karena dia kenal Soeharto sewaktu masih
sama-sama di Kodam Diponegoro, ia dekat dengan Soeharto. Letief tidak
bicara soal ide serangan. Ia hanya bicara soal teknis pertempuran.
Tentara kita menyerbu kota dari berbagai penjuru mulai pukul 06.00 WIB,
persis saat sirene berbunyi tanda jam malam berakhir. Diserbu mendadak
oleh kekuatan yang begitu besar, Belanda terkejut. Perlawanan mereka
sama sekali tidak berarti bagi pasukan kita. Mereka sudah kalah
strategi, diserang mendadak dari berbagai penjuru kota oleh pasukan yang
jumlahnya demikian banyak. Tangsi-tangsi Belanda banyak yang berhasil
direbut tentara kita. Namun Belanda sempat minta bantuan pasukan dari
kota lain. Walaupun bala bantuan pasukan Belanda datang agak terlambat,
namun mereka memiliki persenjataan yang lebih baik dibanding tentara
kita.
Mereka juga mengerahkan kendaraan lapis baja. Pada saat itulah
terjadi pertempuran hebat di seantero Yogyakarta. Pada scope lebih
kecil, kelompok pasukan pimpinan Latief kocar-kacir digempur serangan
balik pasukan Belanda. Dalam kondisi seperti itu Latief memerintahkan
pasukannya mundur ke Pangkalan Kuncen sambil tetap berupaya memberikan
tembakan balasan. Setelah di garis belakang, Latief memeriksa sisa
pasukan. Ternyata tinggal 10 orang tentara. Di saat mundur tadi sekilas
diketahui 12 orang terluka dan 2 orang gugur di tempat. Mereka yang luka
terpaksa ditinggal di medan pertempuran, sehingga kemungkinan besar
juga tewas, sedangkan pemuda gerilyawan (juga di bawah kompi Latief)
yang tewas 50 orang. Nah, saat Latief bersama sisa pasukannya berada di
garis belakang itulah mereka berjumpa Soeharto. Apa yang sedang
dilakukan Soeharto? Dia sedang santai makan soto babat, ujar Latief.
Ketika itu perang sedang berlangsung. Ribuan tentara dan pemuda
gerilyawan tengah beradu nasib menyabung nyawa, merebut tanah yang
diduduki oleh penjajah. Toh, Latief dengan sikap tegap prajurit melapor
kepada Soeharto tentang kondisi pasukannya. Soeharto ternyata juga tidak
berbasa-basi misalnya menawari Latief dan anak-buahnya makan.
Sebaliknya Soeharto langsung memerintahkan Latief bersama sisa
pasukannya untuk menggempur belanda yang ada di sekitar Kuburan Kuncen,
tidak jauh dari lokasi mereka. Belanda akhirnya berhasil diusir dari
Yogyakarta dalam tempo enam jam. Secara keseluruhan dalam pertempuran
itu pasukan kita menang, meskipun dalam scope kecil pasukan pimpinan
Latief kocar-kacir. Komandan dari seluruh pasukan itu adalah Soeharto
yang – boleh saja – menepuk dada membanggakan keberaniannya. Bahkan
Soeharto kemudian bertindak jauh lebih berani lagi dengan mengakui bahwa
ide serangan itu dalah idenya (yang kini terbukti tidak benar).
Namun
soal Soto babat menjadi skandal tersendiri bagi figur seorang komandan
pasukan tempur di mata Latief. Dan skandal ini diungkap oleh Latief pada
saat dia diadili di Mahkamah Militer dengan tuduhan terlibat G30S.
Kendati begitu, skandal ini tidak menyebar karena saat itu Soeharto
sudah berkuasa. Soeharto sudah menjadi pihak yang menang dan Latief
menjadi pihak yang kalah. Apa pun informasi dari pihak yang kalah sudah
pasti disalahkan oleh pihak yang menang. Setelah Serangan Oemoem 1
Maret, Soeharto-Latief pisah kesatuan. Soeharto akhirnya menjadi
Pangkostrad, sementara Latief akhirnya menjadi Komandan Brigade
Infanteri I Jaya Sakti, Kodam Jaya. Posisi Latief cukup strategis. Maka
Soeharto kembali membina hubungan lama dengan Latief . Jika Untung
didatangi oleh Soeharto saat menikah di Kebumen, Latief juga didatangi
di rumahnya oleh Soeharto dan istrinya saat Latief mengkhitankan
anaknya. Saya menilai, Soeharto mendekati Latief dalam upaya sedia
payung sebelum hujan, sebab suatu saat nanti Latief akan dimanfaatkan
oleh Soeharto.
Kini cerita lama terulang kembali. Jika dulu Soeharto
membentuk trio bersama Yoga Soegama dan Ali Moertopo, kini bersama
Untung dan Latief. Semuanya teman-teman lama Soeharto ketika masih di
Jawa Tengah. Tetapi trio kali ini (bersama Untung dan Latief) memiliki
posisi strategis yang lebih tinggi dibanding yang dulu: Untung adalah
orang dekat Presiden. Latief adalah orang penting di Kodam Jaya yang
menjaga keamanan Jakarta. Targetnya jelas: menuju ke Istana. Tidak ada
orang yang bisa membaca konspirasi trio tersebut saat itu karena selain
trio ini tidak meledak-ledak, mereka juga tidak berada di posisi
tertinggi di jajaran militer. Namun saya sebagai orang terdekat Bung
Karno sudah punya feeling bahwa persahabatan mereka bisa menggoyang
Istana. Paling tidak mereka bisa memperkuat apa yang sudah dirintis oleh
Nasution, yakni: menciptakan Negara dalam Negara. Sebab konflik antara
Bung Karno dan AD sudah semakin tajam.
Selain membentuk trio, Soeharto
juga dekat dengan Brigjen Soepardjo (berasal dari Divisi Siliwangi yang
kemudian ditarik Soeharto ke Kostrad menjabat PangKopur II). Pertengahan
September 1965 suhu politik di Jakarta mulai panas. Karena hubungan
persahabatan – di luar jalur komando – Latief menemui Soeharto. Inilah
pertemuan pemting pertama antara Soeharto dan Latief menjelang G30S.
Saat itu isu dewan Jenderal sudah menyebar. Begitu mereka bertemu,
Latief melaporkan isu tersebut kepada Soeharto. Ternyata Soeharto
menyatakan bahwa ia sudah tahu. Beberapa hari yang lalu saya diberitahu
hal itu oleh seorang teman AD dari Yogya bernama Soebagyo, katanya.
Tidak jelas siapa Soebagyo. Namun menurut Latief, Soebagyo adalah
tentara teman mereka ketika masih sama-sama di Divisi Diponegoro.
Pada
saat yang hampir bersamaan, pada 15 September 1965 Untung mendatangi
Soeharto. Untung juga melaporkan adanya Dewan Jenderal yang akan
melakukan kup. Berbeda dengan Latief, Untung menyatakan bahwa ia punya
rencana akan mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan menangkap mereka
lebih dulu, sebelum mereka melakukan kudeta. Untung memang merupakan
pembantu setia Bung Karno. Dalam posisinya sebagai salah satu komandan
Pasukan Kawal Istana Cakra Bhirawa, sikapnya sudah benar. Apa jawab
Soeharto? Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan
ragu-ragu, kata Soeharto. Malah Soeharto menawarkan bantuan pasukan
kepada Untung: Kalau perlu bantuan pasukan, akan saya bantu, katanya.
Untung gembira mendapat dukungan. Ia menerima tawaran bantuan tersebut.
Dan Soeherto juga tidak main-main: Baik. Dalam waktu secepatnya akan
saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, katanya. Harap
dicatat: pertemuan Soeharto dengan Latief tidak berkaitan dengan
pertemuan Soeharto dengan Untung.
Saya lupa lebih dulu mana, antara
Latief bertemu Soeharto dengan Untung bertemu Soeharto. Yang pasti itu
terjadi di pertengahan bulan September 1965. Pada awalnya hubungan
Soeharto-Untung terpisah dari hubungan Soeharto-Latief dalam hal Dewan
Jenderal. Namun mereka sama-sama dari Kodam Diponegoro. Hubungan
Untung-Latief juga terjalin baik meskipun sudah berpisah kesatuan.
Akhirnya mereka tahu bahwa Soeharto mendukung gerakan menangkap Dewan
Jenderal. Bantuan Soeharto ternyata dibuktikan. Beberapa hari sebelum 1
Oktober 1965, atas perintah Soeharto didatangkan beberapa batalyon
pasukan dari Semarang, Surabaya dan Bandung. Perintahnya berbunyi:
Pasukan harus tiba di Jakarta dengan perlengkapan tempur Siaga-I.
Lantas
secara bertahap pasukan tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Jelas,
pasukan ini didatangkan khusus untuk menggempur Dewan Jenderal. Dalam
komposisi pasukan penggempur Dewan Jenderal itu, dua-pertiganya adalah
pasukan Soeharto dari daerah dan Kostrad. Setelah G30S meletus dan
Soeharto balik menggempur pelakunya, lantas ia menuduh gerakan itu
didalangi PKI. Soeharto membuat aneka cerita bohong. Soal kedatangan
pasukan dari Bandung, Semarang dan Surabaya itu dikatakan untuk
persiapan upacara Hari ABRI 5 Oktober. Dari segi logika sudah tidak
rasional. Rombongan pasukan tiba di Jakarta sejak 26 September 1965
dengan persiapan tempur Siaga-I. Ini jelas tidak masuk akal jika
dikaitkan dengan Hari ABRI. Yang terpenting: dari laporan intelijen yang
saya terima dan dikuatkan dengan cerita Untung pada saya ketika kami
sudah sama-sama dipenjara, pasukan bantuan Soeharto itu dimaksudkan
untuk mendukung Untung yang akan menggempur Dewan Jenderal. Ini sudah
dibahas oleh Untung dan Soeharto. Pertemuan penting kedua
Soeharto-Latief terjadi dua hari menjelang 1 Oktober 1965.
Pertemuan
dilakukan di rumah Soeharto di Jalan H Agus Salim. Berdasarkan cerita
Latief kepada saya pada saat kami sama-sama dipenjara, ketika itu ia
melaporkan kepada Soeharto bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kudeta
terhadap Presiden. Dan Dewan Jenderal akan diculik oleh Pasukan Cakra
Bhirawa. Apa reaksi Soeharto? Dia tidak bereaksi. Tapi karena saat itu
ada tamu lain di rumah pak Harto, maka kami beralih pembicaraan ke soal
lain, soal rumah, kata Latief. Pertemuan terakhir Soeharto-Latief
terjadi persis pada tanggal 30 September 1965 malam hari pukul 23.00 WIB
di RSPAD Gatot Subroto. Saat itu Soeharto menunggu anaknya Hutomo
Mandala Putera (Tommy Soeharto) yang ketumpahan sup panas dan dirawat di
sana. Kali ini Latief melaporkan penculikan para jenderal akan
dilaksanakan pukul 04.00 WIB (sekitar lima jam kemudian). Kali ini juga
tidak ditanggapi oleh Soeharto.
Sebenarnya yang akan melapor kepada
Soeharto saat itu tiga orang, yakni Latief, Brigjen Soepardjo dan Letkol
Untung. Sebelum Latief menghadap Soeharto, Latief lebih dulu bertemu
dengan Soepardjo dan Untung. Soepardjo dan Untung datang ke rumah saya
malam itu (30 September 1965) pada pukul 21.00 WIB. Soepardjo sedang ada
urusan, sedangkan Untung kurang berani bicara pada Soeharto. Soepardjo
lantas mengatakan pada saya: Sudahlah Tif (panggilan Latief), kamu saja
yang menghadap. Katakan ke pak Harto, kami sedang ada urusan, kata
Latief menirukan ucapan Soepardjo.
Setelah Latief bertemu Soeharto, ia
lantas kembali menemui Soepardjo dan Untung yang menunggu di suatu
tempat. Latief dengan wajah berseri-seri melaporkan kepada
teman-temannya bahwa Soeharto berada di belakang mereka. Saya ulangi:
Pada sekitar pukul 01.00 WIB 1 Oktober 1965, kata Latief kepada
Soepardjo dan Untung: Soeharto berada di belakang mereka. Beberapa jam
kemudian pasukan bergerak mengambil para jenderal. Ada yang menarik dari
pengakuan Soeharto soal pertemuan terakhir dirinya dengan Latief pada
tanggal 30 September 1965 malam di RSPAD Gatot Subroto itu. Ia bercerita
kepada dua pihak: Pertama kepada wartawan Amerika Serikat bernama
Brackman, pada tahun 1968.
Saat itu ia ditanya oleh Brackman mengapa
Soeharto tidak termasuk dalam daftar jenderal yang akan diculik. Kepada
Brackman dikatakan demikian: Memang benar dua hari sebelum 1 Oktober
1965 anak lelaki saya yang berusia 3 tahun (Hutomo Mandala Putera alias
Tommy Soeharto) ketumpahan sup panas. Dia lantas dibawa ke RSPAD Gatot
Subroto. Pada 30 September 1965 banyak kawan-kawan saya menjenguk anak
saya dan saya juga berada di RSPAD. Di antara yang datang adalah Latief
yang menanyakan kondisi anak saya. Saat itu saya sangat terharu atas
keprihatinannya pada anak saya. Tetapi ternyata Latief adalah orang
penting dalam kup yang terjadi. Jadi jelas Latief datang ke RSPAD bukan
untuk menengok anak saya, tetapi untuk mengecek keberadaan saya.
Untuk membuktikan keberadaan saya, benarkah saya di RSPAD Gatot
Subroto? Ternyata Memang begitu adanya: saya di RSPAD Gatot Subroto
hingga tengah malam, lantas pulang ke rumah. Pada Juni 1970 Soeharto
diwawancarai oleh wartawan Der Spiegel, Jerman. Der Spiegel juga
mengajukan pertanyaan yang sama dengan Brackman: Mengapa Soeharto tidak
termasuk dalam daftar perwira AD yang diculik pada tanggal 1 Oktober
1965? Soeharto mengatakan kepada Der Spiegel demikian: Latief datang ke
RSPAD pukul 23.00 WIB bersama komplotannya. Tujuannya untuk membunuh
saya. Tetapi itu tidak dilakukan, sebab ia khawatir membunuh saya di
tempat umum.MELETUSLAH PERISTIWA ITU Saat G30S meletus saya tidak berada
di Jakarta. Saya melaksanakan tugas keliling daerah yang disebut Turba
(Turun ke bawah). Pada 28 September 1965 saya berangkat ke Medan,
Sumatera Utara. Beberapa waktu sebelumnya saya keliling Jawa Timur dan
Indonesia Timur. Saat ke Medan rombongan saya berangkat bersama
rombongan Laksamana Muda Udara Sri Muljono Herlambang. Misinya adalah
mematangkan Kabinet Dwikora.
Namun kemudian kami berpisah. Rombongan Sri
Muljono berangkat ke Bengkulu dan Padang, rombongan saya ke Medan. Pada
tanggal 2 Oktober saya ditilpun langsung oleh Presiden Soekarno dan
diberitahu kejadian sehari sebelumnya. Dan hari itu juga saya
diperintahkan untuk segera ke Jakarta. Ada pesan Presiden agar saya
berhati-hati: Awas, Ban, hati-hati. Pesawatmu bisa ditembak jatuh, pesan
Presiden. Tetapi saya tetap kembali ke Jakarta dengan pesawat. Saya
tentu saja sempat was was, sebab yang mengingatkan saya bukan orang
sembarangan. Begitu tiba di Jakarta, saya langsung menuju Istana Bogor
menemui Presiden Soekarno. Beberapa waktu kemudian saya mengetahui
alasan kenapa Bung Karno memperingatkan saya agar saya hati-hati.
Sebabnya adalah saat Sri Muljono menuju ke Jakarta, pesawatnya ditembaki
di kawasan Tebet sehingga pesawat berputar-putar mencari tempat
landasan. Akhirnya pesawat mendarat secara darurat di dekat Bogor. Saat
saya tiba di Bogor, suasana sudah jauh berubah dibanding sebelum saya
berangkat ke Medan. Wajah Bung Karno tampak tegang. Leimena dan Chaerul
Saleh sedang mendiskusikan berbagai hal. Saya mendapat laporan bahwa
pada saat itu Bung Karno sudah berada dalam tawanan Soeharto. Bung Karno
tidak diperbolehkan meninggalkan Istana Bogor. Sehari sebelumnya,
peristiwa hebat terjadi di Jakarta. Tujuh perwira AD diculik yang
kemudian dibunuh pada dini hari. Saya mendapat laporan dari para kolega
dan para intel anak buah saya di BPI. Sampai berhari-hari kemudian saya
terus mengumpulkan informasi dari para kolega dan anak-buah saya.
Rangkaian informasi yang saya terima tentang kejadian seputar 30
September 1965 hingga pembunuhan para jenderal itu sebagian saya catat,
sebagian tidak. Saya masih ingat hampir seluruhnya. Semua informasi yang
saya terima, termasuk berbagai gejala yang sudah saya ketahui
sebelumnuya, dapat saya ungkapkan di sini.
Namun paparan saya akan
terasa kurang menimbulkan kenangan yang kuat jika tidak dibandingkan
dengan sejarah versi Orde Baru. Itu sebabnya, di beberapa bagian saya
kutip sebagian cerita versi Soeharto sebagai pembanding. Pada tanggal 29
September 1965 pagi hari, Panglima AU Oemar Dhani melaporkan kepada
Presiden Soekarno tentang banyaknya pasukan yang datang dari daerah ke
Jakarta. Beberapa waktu sebelumnya, saya melaporkan kepada Bung Karno
adaya sekelompok perwira AD yang tidak puas terhadap Presiden – yang
menamakan diri Dewan Jenderal – termasuk bocoran rencana Dewan Jenderal
membentuk kabinet. Saya juga melapor tentang Dokumen Gilchrist. Semua
laporan bertumpuk menjadi satu di benak Bung Karno. Dengan akumulasi
aneka laporan yang mengarah pada suatu peristiwa besar itu, saya yakin
Bung Karno masih bertanya-tanya, apa gerangan yang bakal terjadi.
Menurut pengakuan Soeharto, menjelang dini hari 1 Oktober 1965 ia
meninggalkan anaknya di RSPAD Gatot Subroto dan pulang ke rumahnya di
Jalan H Agus Salim. Menurutnya, saat meninggalkan RSPAD itu ia sendirian
(tanpa pengawal) dengan mengendarai jeep Toyota. Dari RSPAD mobilnya
melewati depan Makostrad, lantas masuk ke Jalan Merdeka Timur. Ia
mengaku di sana sempat merasakan suasana yang tidak biasa. Di sekitar
Jalan Merdeka Timur berkumpul banyak pasukan, tetapi Soeharto terus
berlalu dan tidak menghiraukan puluhan pasukan yang berkumpul di Monas.
Setelah itu Soeharto mengaku pulang ke rumah dan tidur (ini dikatakan
Soeharto di beberapa kesempatan terbuka).
Lantas pagi harinya pukul 05.30 WIB dia mengaku dibangunkan oleh
seorang tetangganya dan diberitahu bahwa baru saja terjadi penculikan
terhadap para jenderal. Setelah itu saya langsung menuju ke markas
Kostrad, kata Soeharto. Pengakuan Soeharto itu luar biasa aneh:
1. di
saat Jakarta dalam kondisi sangat tegang ia menyetir mobil sendirian,
tanpa pengawal. Jangankan dalam situasi seperti itu, dalam kondisi biasa
saja ia selalu dikawal.
2. ia melewati Jalan Merdeka Timur dan mengaku
melihat puluhan prajurit berkumpul dan merasakan sesuatu yang tidak
biasa, tetapi tidak dia hiraukan. Sebagai seorang komandan pasukan,
tidakkah dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh puluhan prajurit
yang berkumpul pada tengah malam seperti itu?
3. pada pagi hari 1
Oktober 1965 pukul 05.30 WIB siapa yang bisa mengetahui bahwa baru saja
terjadi penculikan terhadap para jenderal? Saat itu belum ada berita
televisi seperti sekarang (semisal Liputan 6 Pagi SCTV) yang dengan
cepat bisa memberitakan suatu kejadian beberapa jam sebelumnya. Radio
RRI saja baru memberitakan peristiwa itu pada pukul 07.00 WIB.
Yang
sebenarnya terjadi:Soeharto sudah tahu bahwa pasukan yang berkumpul di
dekat Monas itu akan bergerak mengambil para anggota Dewan Jenderal. Toh
dia sendiri yang mendatangkan sebagian besar (kira-kira dua-pertiga)
pasukan tersebut dari Surabaya, Semarang dan Bandung. Ingat: Soeharto
menawarkan bantuan pasukan yang diterima dengan senang hati oleh Untung.
Pasukan dari daerah dengan perlengkapan tempur Siaga-I itu bergabung
dengan Pasukan Kawal Istana Cakra Bhirawa pimpinan Untung.
Mereka berkumpul di dekat Monas. Selain itu, beberapa jam sebelumnya
Soeharto menerima laporan dari Latief bahwa pasukan sudah dalam keadaan
siap mengambil para jenderal. Maka wajar saja tengah malam itu Soeharto
mengendarai jeep sendirian, meskipun Jakarta dalam kondisi sangat
tegang. Malah ia dengan tenangnya melewati tempat berkumpulnya pasukan
yang beberapa saat lagi berangkat membunuh para jenderal. Bagi Soeharto
tidak ada yang perlu ditakutkan. Ia justru melakukan kesalahan fatal
dengan mengatakan kepada publik bahwa ia sempat melihat sekelompok
pasukan berkumpul di dekat Monas dan ia membiarkan saja. Jika ia
memposisikan diri sebagai orang yang tidak tahu rencana pembunuhan para
jenderal, mestinya ia tidak menyatakan seperti itu dalam buku
biografinya dan di berbagai kesempatan terbuka.
Dengan pernyataannya
membiarkan pasukan bergerombol di dekat Monas, bisa menyeret dirinya
dalam kesulitan besar. Masak seorang Panglima Kostrad membiarkan
sekelompok pasukan bergerombol di dekat Monas pada tengah malam, padahal
dia melihatnya sendiri. Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa tengah
malam itu ia tidak pulang ke rumah seperti ditulis dalam buku
biografinya. Yang benar: setelah melewati Jalan Merdeka Timur dan
melihat persiapan sekumpulan pasukan, ia lantas menuju ke Markas
Kostrad. Di Makostrad ia memberi pengarahan kepada sejumlah pasukan
bayangan dan operasi Kostrad yang mendukung gerakan pengambilan para
jenderal. Dengan kronologi yang sebenarnya ini, maka seharusnya tidak
perlu ada cerita Soeharto pulang ke rumah lantas tidur.
Dengan pengakuannya itu Soeharto rupanya ingin menunjukkan
seolah-olah ia jujur dengan mengatakan bahwa pada dini hari 1 Oktober
1965 ia memang berada di Makostrad. Tapi prosesnya dari RSPAD, pulang
dulu, lantas tidur, dibangunkan tetangga dan diberitahu ada penculikan
pukul 05.30 WIB, baru kemudian berangkat ke Makostrad. Kalau Soeharto
memposisikan diri sebagai orang yang tidak bersalah dalam G30S, maka
pengakuannya itu merupakan kesalahan yang sangat fatal. Sebab tidak
mungkin ada orang yang tinggal di Jalan H Agus Salim (tetangga Soeharto)
mengetahui ada penculikan para jenderal dan membangunkan tidur Soeharto
pada pukul 05.30 WIB. Padahal penculikan dan pembunuhan para jenderal
baru terjadi beberapa menit sebelumnya, sekitar pukul 04.00 WIB.
Satu
pertanyaan sangat penting dari tragedi pagi buta 1 Oktober 1965 adalah
mengapa para jenderal itu tidak dihadapkan kepada Presiden Soekarno.
Logikanya jika anggota Dewan Jenderal diisukan akan melakukan kudeta,
mestinya dihadapkan ke Presiden Soekarno untuk diminta penjelasannya
tentang isu rencana kudeta. Masalahnya tentu bakal menjadi lain jika
para jenderal tidak dibunuh, tetapi diajukan kepada Presiden untuk
konfirmasi. Namun G30S sebagai suatu kekuatan sebenarnya sudah
ditentukan jauh sebelum peristiwanya meletus. Dari perspektif Soeharto,
masa hidup gerakan ini tidak ditentukan oleh kekuatannya melainkan oleh
masa kegunaannya. Setelah para jenderal dibantai, maka habislah masa
kegunaan G30S.
Dan sejak itu pula masa hidupnya harus diakhiri. Meskipun
Untung, Latief dan Soepardjo berupaya ingin mempertahankan kelanggengan
G30S, tetapi umurnya hanya beberapa jam saja. Setelah itu pelakunya
diburu dan dihabisi. Soeharto dengan melikuidasi G30S menimbulkan kesan
bahwa ia setia kepada atasannya, Yani dan teman-teman jenderal yang
dibunuh. Ia tampil sebagai pahlawan. Soal Mengapa Dewan Jenderal
diculik, bukan dihadapkan ke Presiden, ada pengakuan dari salah satu
pelaku penculikan.
Menurut Serma Boengkoes (Komandan Peleton Kompi C
Batalyon Kawal Kehormatan) yang memimpin prajurit penjemput Mayjen MT
Haryono, di militer tidak ada perintah culik. Yang ada adalah tangkap
atau hancurkan. Perintah yang saya terima dari Komandan Resimen Cakra
Bhirawa Tawur dan Komandan Batalyon Untung adalah tangkap para jenderal
itu, kata Boengkoes setelah ia bebas dari hukuman. Namun MT Haryono
terpaksa dibunuh sebab rombongan pasukan tidak diperbolehkan masuk rumah
oleh istri MT Haryono. Sang istri curiga, suaminya dipanggil Presiden
kok dini hari.
Karena itu pintu rumah tersebut didobrak dan MT Haryono
tertembak. Tidak jelas apakah Haryono langsung tewas di tempat atau
dibunuh kemudian setelah semua jenderal dikumpulkan di Pondok Gede
(Lubang Buaya). Sedangkan saat dijemput oleh sejumlah pasukan di
rumahnya, Letjen A Yani terkejut. Bukan karena penjemputnya pasukan
berseragam loreng, tetapi karena pada hari itu ia memang dijadwalkan
untuk menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka, pada pukul 08.00
WIB. Presiden sedianya akan bertanya kepada Yani soal Angkatan Kelima.
Yani menolak ide Presiden tentang Angkatan Kelima sejak beberapa
waktu sebelumnya. Malah sudah beredar isu bahwa Yani akan digantikan
oleh wakilnya yaitu Gatot Subroto. Dengan dijemput tentara dini hari
mungkin Yani merasa pertemuan dengan Presiden Soekarno diajukan beberapa
jam. Ia dibangunkan dari tidurnya oleh istrinya dan masih mengenakan
piyama. Meskipun kedatangan tentara penjemputnya menimbulkan kegaduhan
di keluarga Yani yang terkejut, namun Yani menurut. Ia menyatakan kepada
penjemputnya akan ganti pakaian. Tetapi ketika tentara penjemputnya
menyatakan Tidak perlu ganti baju, jenderal, maka seketika Yani
menempeleng tentara tersebut. Perkataan prajurit seperti itu terhadap
jenderal memang sudah luar biasa tidak sopan.
Lantas Yani masuk ke kamar
untuk ganti pakaian. Yani diberondong tembakan. Untuk penculikan para
jenderal yang lain mungkin cerita saya mirip dengan yang sudah banyak
ditulis di berbagai buku, baik versi Orde Baru maupun buku yang terbit
setelah Soeharto tumbang. Kurang lebih mirip seperti itu sehingga tidak
perlu saya ceritakan lagi. Yang penting, peristiwa berdarah di pagi buta
pada tanggal 1 Oktober 1965 (G30S) itu sampai kini masih ditafsirkan
secara berbeda-beda, baik di dalam maupun di luar negeri. Tetapi jelas
substansi peristiwa itu tidak seperti mitos yang dibuat AD yakni
percobaan kudeta yang didalangi oleh PKI. Versi AD ini sama sekali tidak
benar. Peristiwa itu merupakan provokasi yang didalangi oleh
jenderal-jenderal fasis AD didukung dengan baik oleh imperialisme
internasional.
Peristiwa itu adalah provokasi yang dimanipulasi secara licik dan
efektif serta dikelola secara maksimal oleh seorang fasis berbaju
kehalusan feodal Jawa yang haus kekuasaan dan harta. Dialah Panglima
Kostrad Mayjen Soeharto. Pada sisi intern, peristiwa itu bukan hanya
merupakan puncak manifestasi konflik antara pimpinan AD dan PKI, tetapi
juga pertentangan antara pemimpin politik konservatif dengan aspirasi
kapitalisme yang pembangunannya bergantung pada imperialisme
internasional di satu fihak, melawan PKI dengan prinsip politik
anti-imperialisme dengan aspirasi negara yang merdeka penuh dan
demokrasi berkeadilan sosial di pihak lain.
Peristiwa itu adalah puncak
kemunafikan para pemimpin politik konsevatif yang mengklaim sebagai
paling demokrat dari sistim demokrasi parlementer. Mereka berhadapan
dengan kemajuan-kemajuan pesat PKI yang dicapai secara damai dalam
sistim demokrasi liberal. Dari konflik tersebut para pimpinan AD dan
sekutunya lantas mencabut hak hidup PKI dengan cara mambantai anggota
dan keluarganya, lantas membubarkan PKI. Dari kacamata internasional –
terutama disebarkan oleh mantan Dubes AS untuk Indonesia Howard Jones –
peristiwa itu adalah spontan kekejian rakyat yakni penyembelihan rakyat
yang dilakukan PKI. Sebaliknya ini adalah bagian dari intrik berdarah
yang direncanakan secara seksama di Mabes Kostrad pimpinan
Soeharto.DARI
DETIK KE DETIK Pagi 1 Oktober 1965 Bung Karno berada di Halim.
Malam
harinya ia menginap di rumah istri Dewi Soekarno di Slipi (Wisma Yaso).
Pagi-pagi setelah mendapat kabar mengenai penculikan para jenderal, ia
berangkat bersama ajudan Parto menuju Istana negara, namun menjelang
sampai Istana, jalanan diblokade oleh tentara. Menurut ajudan, pasukan
tersebut tidak dikenal, karena memang tidak ada jadwal blokade jalan
menuju Istana. Dalam waktu cepat Parto mengambil inisiatif dengan tidak
meneruskan perjalanan ke Istana. Mungkin ia menangkap firasat bahaya
jika Presiden ke Istana.
Lantas Parto mengusulkan Sebaiknya ke Halim saja, pak. Kalau ada
apa-apa dari Halim akan dengan cepat terbang ke tempat lain, katanya.
Bung Karno menurut saja. Dalam protokoler pengamanan presiden, jika
pasukan pengaman merasa presiden dalam bahaya, maka tujuan utama adalah
lapangan terbang. Dengan begitu presiden bisa diterbangkan ke mana saja
secara cepat. Itu asal-muasal presiden berada di Halim. Mungkin Parto
(juga Bung Karno) tidak tahu bahwa para jenderal diculik dan dibawa ke
Halim.
Sesampainya ke Halim pun Bung Karno belum tahu apa yang
sesungguhnya terjadi. Baru setelah beberapa saat di Halim, beliau
diberitahu oleh para pengawal. Beberapa saat kemudian ia menerima
laporan dari Brigjen Soepardjo. Aidit pagi itu juga berada di Halim.
Inilah keanehannya: para tokoh sangat penting berkumpul di Halim. Kalau
Oemar Dhani berada di sana, itu masih wajar karena ia adalah pimpinan
AURI. Tetapi keberadaan Aidit di sana sungguh mengherankan. Bung Karno
dan Oemar Dhani berada di satu tempat, sedangkan Aidit berada di tempat
lain sekitar Halim. Setelah Bung karno terbang ke Istana Bogor
(prosesnya dirinci di bagian lebih lanjut), Aidit terbang ke Jawa
Tengah. Beberapa hari kemudian Aidit ditembak mati oleh Kolonel Yasir
Hadibroto di Brebes, Jawa Tengah. Menurut kabar resmi Aidit ditembak
karena saat ditangkap ia melawan. Tetapi menurut laporan intelijen kami
Aidit sama sekali tidak melawan. Soeharto memang memerintahkan tentara
untuk menghabisi Aidit, katanya.
Dengan begitu Aidit tidak dapat bicara
yang sebenarnya. Saya lebih percaya pada laporan intelijen kami, sebab
istri Aidit kemudian cerita bahwa pada tanggal 30 September 1965 malam
hari ia kedatangan tamu beberapa orang tentara. Para tamu itu memaksa
Aidit meninggalkan rumah. Suami saya diculik tentara, ujarnya. Setelah
itu Aidit tidak pernah pulang lagi sampai ia ditembak mati di Brebes.
Hanya beberapa jam setelah para jenderal dibunuh sekitar pukul 11.00
WIB, 1 Oktober 1965, Presiden Soekarno dari pangkalan udara Halim
mengeluarkan instruksi yang disampaikan melalui radiogram ke markas
Besar ABRI. Saat itu Bung Karno hanya menerima informasi bahwa beberapa
jenderal baru saja diculik. Belum ada informasi mengenai nasib para
jenderal, meskipun sebenarnya para jenderal sudah dibunuh. Inti
instruksi Bung Karno adalah bahwa semua pihak diminta tenang.
Semua
pasukan harap stand-by di posisinya masing-masing. Semua pasukan hanya
boleh bergerak atas perintah saya selaku Presiden dan Panglima Tertinggi
ABRI. Semua persoalan akan diselesaikan pemerintah/Presiden. Hindari
pertumpahan darah. Demikian antara lain isi instruksi Presiden.
Instruksi itu ditafsirkan Soeharto bahwa Untung dan kawan-kawan sudah
kalah, karena gerakan menculik dan membunuh para jenderal tidak didukung
oleh Presiden. Instruksi lantas disambut Soeharto dengan memerintahkan
anak-buahnya menangkap Untung dan kawan-kawan. Jelas ini membingungkan
Untung. Ia sudah melapor ke Soeharto soal Dewan Jenderal yang akan
melakukan kup terhadap Presiden Soekarno. Untung juga mengutarakan
niatnya untuk mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan cara menangkap
mereka lebih dulu. Semua ini didukung oleh Soeharto. Bahkan Soeharto
malah memberi bantuan pasukan. Setelah anggota dewan Jenderal dibunuh,
Soeharto malah menyuruh Untung ditangkap. Mengenai soal ini saya ingat
cerita Untung kepada saya saat kami sama-sama dipenjara di Cimahi.
Untung dengan yakin mengatakan bahwa ia tidak akan dieksekusi meskipun
pengadilan sudah menjatuhkan hukuman mati. Sebab Soeharto yang mendukung
saya menghantam Dewan Jenderal. Malah kami didukung pasukan Soeharto
yang didatangkan dari daerah, katanya.
Teman-teman sesama narapidana politik juga tahu bahwa Untung adalah
anak emas Soeharto. Tapi akhirnya Untung dihukum mati dan benar-benar
dieksekusi. Hampir bersamaan dengan keluarnya instruksi Presiden
-–mungkin hanya selisih beberapa menit kemudian – Soeharto memanggil
ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko yang berada di Halim agar
menghadap Soeharto di Makostrad. Ini mungkin hampir bersamaan waktunya
dengan perintah Soeharto agar Untung dan kawan-kawan ditangkap. Di
Makostrad Bambang Widjanarko diberitahu Soeharto agar Presiden Soekarno
dibawa pergi dari Pangkalan Halim sebab pasukan dari Kostrad di bawah
pimpinan Sarwo Edhi Wibowo sudah disiapkan untuk menyerbu Halim. Saat
Bambang menyampaikan pesan Soeharto itu, Bung Karno geram sekaligus
bingung. Instruksi agar semua pasukan stand-by di tempat masing-masing
tidak ditaati Soeharto. Sebaliknya Soeharto malah memerintahkan agar
Bung karno menyingkir dari Halim. Jika Bung Karno bertahan di Halim,
tentu akan sangat berisiko.
Sebaliknya kalau Bung Karno meninggalkan
Halim, berarti ia patuh pada perintah Soeharto. Bung Karno lantas minta
nasihat para pembantu militernya. Brigjen Soepardjo mengusulkan agar
Bung Karno terbang ke Bali. Sedangkan Menteri Panglima Angkatan Udara
Oemar Dhani mengusulkan agar Bung Karno pergi ke Madiun, Jawa Timur.
Wakil Perdana Menteri-II Leimena mengatakan Bung Karno harus
berhati-hati. Dan langkah paling hati-hati adalah jika Bung Karno
berangkat ke Istana Bogor. Dari berbagai nasihat itu Bung Karno
menyimpulkan bahwa kondisi memang gawat dan ia harus meninggalkan Halim.
Akhirnya Bung Karno memutuskan untuk menuju ke istana Bogor – menuruti
nasihat Leimena – dengan jalan darat. Menjelang petang rombongan Bung
Karno tiba di Istana Bogor. Ternyata benar. Gempuran pasukan Kostrad ke
Halim dilaksanakan menjelang fajar. Penggempuran itu saya nilai sudah
tidak tertuju kepada pelaku G30S, sebab – seperti saya sebutkan
terdahulu – sekitar dua-pertiga pasukan pelaksanaan G30S adalah
orang-orangnya Soeharto.
Jadi penggempuran itu hanya merupakan tekanan
psikologis terhadap Bung Karno yang saat itu benar-benar bingung. Seumur
hidupnya belum pernah Bung karno ditekan tentara seperti saat itu.
Sekitar pukul 14.00 WIB – masih pada 1 Oktober 1965 – kepada Kapten
Kuntjoro (ajudan Komandan Cakra bhirawa Letkol Marokeh) Soeharto
menyatakan bahwa ia adalah anggota Dewan Jenderal. Saat itu pembunuhan
terhadap para jenderal sudah selesai. Nasution yang lolos dari target
penculikan sedang diamankan di Markas Kostrad. Saya berkesimpulan
Soeharto berani mengatakan bahwa dirinya adalah anggota Dewan Jenderal
setelah ia yakin bahwa posisinya aman, sehingga tidak perlu lagi
menutupi wajahnya. Kepada Kapten Kuntjoro Soeharto mengatakan: Dewan
Jenderal memang ada. Saya termasuk anggotanya. Tapi itu dewan untuk
mengurus kepangkatan, bukan untuk kudeta. Pernyataan Soeharto ini
menunjukkan betapa Soeharto berdiri di dua sisi.
Ketika Untung
menyatakan akan menghabisi Dewan Jenderal, Soeharto mendukung, bahkan
membantu pasukan. Setelah Dewan Jenderal dihabisi ia menyatakan bahwa ia
adalah anggota Dewan Jenderal. Pernyataan tersebut mengingatkan saya
pada tindakan Soeharto ikut dalam kudeta 3 Juli 1946. Soeharto berdiri
di dua sisi. Hanya saja kudeta 3 Juli 1946 adalah kudeta yang gagal,
sedangkan G30S adalah awal suatu kudeta merangkak yang berhasil. Dalam
kudeta yang disebut terakhir ini, Soeharto memperoleh dua manfaat: ia
tampil sebagai pahlawan dan akhirnya merebut kepemimpinan nasional.
Dalam kudeta 3 Juli 1946 Soeharto hanya mendapat predikat pahlawan
karena menggempur komplotan penculik Perdana Menteri Sjahrir.
Namun pada
hari itu (Jumat 1 Oktober 1965) kondisi negara benar-benar tidak
menentu. Berbagai pihak saling memanfaatkan situasi. Pengumuman pertama
tentang penculikan para jenderal melalui RRI disiarkan oleh Untung.
Intinya diumumkan bahwa kelompok Dewan Jenderal yang akan melakukan
kudeta sudah digagalkan. Anggota Dewan Jenderal sudah diculik dan
Presiden Soekarno dalam keadaan aman. Untuk sementara pemerintahan
dikendalikan oleh Dewan Revolusi. Maka diumumkan anggota Dewan Revolusi.
Di sana tidak ada nama Soekarno.
Pengumuman demi pengumuman terus
berkumandang di radio. Setelah Untung beberapa kali menyampaikan
pengumuman, lalu disusul oleh Oemar Dhani. Masyarakat bingung. Sekitar
pukul 21.00 WIB Soeharto berpidato di radio dan mengumumkan bahwa pagi
hari itu telah terjadi penculikan terhadap sejumlah perwira tinggi oleh
kelompok pimpinan Untung. Tindakan tersebut adalah kudeta
kontra-revolusioner melawan Presiden Soekarno. Juga diumumkan bahwa
Soeharto mengambil kendali AD (Menpangad) karena Menpangad A Yani
diculik. Perubahan demi perubahan dalam sehari itu benar-benar
membingungkan Bung Karno. Ia tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Ia tidak tahu siapa sedang berperang melawan siapa, karena ia tidak tahu
rencana penculikan Dewan Jenderal. Bung Karno juga heran dengan
pengumuman Soeharto mengambil-alih kendali AD.
Padahal beberapa jam
sebelumnya (siang hari) Bung Karno sudah memutuskan untuk mengambil-alih
fungsi dan tugas-tugas Menpangad serta menunjuk Mayjen Pranoto Rekso
sebagai pelaksana sehari-hari (care-taker) Menpangad. Esoknya, 2 Oktober
1965 Soeharto didampingi oleh Yoga Soegama dan anggota kelompok
bayangannya mendatangi Bung Karno di Istana Bogor. Soeharto bersama
rombongan mengenakan pakaian loreng dan bersenjata masuk Istana. Dalam
kondisi biasa, hanya pasukan pengawal presiden yang boleh membawa
senjata masuk ke dalam Istana. Namun barangkali karena kondisi saat itu
berbeda dengan kondisi biasa, mereka diperbolehkan masuk dengan
bersenjata. Kedatangan Soeharto ini tidak pernah disebut dalam buku-buku
sejarah atau buku kesaksian pelaku sejarah. Bung Karno menerima mereka.
Intinya, Soeharto menyatakan tidak setuju terhadap pengangkatan Mayjen
Pranoto untuk memegang pelaksana komando AD.
Selain protes, Soeharto
juga meminta agar Bung Karno memberikan kuasa kepada Soeharto untuk
memulihkan keamanan. Juga meminta Presiden mengambil tindakan terhadap
pimpinan AU yang diduga terlibat dalam G30S. Karena persoalan cukup
rumit Bung Karno menunda pembicaraan dan memanggil para panglima AU, AL,
Kepolisian, Mayjen Pranoto dan Mayjen Mursid. Setelah mereka berkumpul
baru diadakan rapat bersama Soeharto untuk membahas semua tuntutan
Soeharto itu. Rapat berlangsung alot sekitar lima jam. Akhirnya Bung
Karno memberi surat kuasa kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan
(sebagai Panglima Pemulihan Keamanan). Inilah awal Soeharto memetik
kemenangan dari rangkaian proses kudeta merangkak itu. Surat kuasa yang
diterima oleh Soeharto saat itu juga merupakan surat kuasa pertama.
Namun ini tidak pernah disebut dalam sejarah. Mungin kalau disebut dalam
sejarah akan terasa aneh. Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI yang
pegang kendali militer. Pembunuhan para jenderal baru terjadi sehari
sebelumnya. Itu pun beberapa jam kemudian Presiden sudah mengeluarkan
instruksi untuk ABRI. Ini menunjukkan bahwa Presiden masih memegang
kendali militer. Bahkan Presiden sudah mengambil-alih tugas Menpangad
karena Menpangad Yani diculik. Maka kedatangan Soeharto minta surat
kuasa untuk memulihkan keamanan, apa namanya kalau bukan memotong
kewenangan Presiden? Namun toh akhirnya surat kuasa dikeluarkan oleh
Presiden. Menurut memori Yoga, proses keluarnya surat kuasa itu sangat
alot. Dalam rapat Soeharto menekan Soekarno. Tetapi kalau kita kembali
mengingat bahwa sehari sbelumnya Soeharto melalui RRI sudah menyatakan
mengambil-alih pimpinan AD, maka wajar bahwa surat kuasa itu
dikeluarkan. Sebelum surat kuasa dikeluarkan saja Soeharto sudah berani
mengambil-alih pimpinan AD. Sebelum Soeharto dan kelompok bayangannya
meninggalkan Istana Bogor, Soeharto menyatakan agar Presiden tidak
meninggalkan Istana Bogor demi keamanan.
Sejak itu Presiden Soekarno
sudah menjadi tawanan Soeharto. Setelah para pembantu dekat Bung Karno
sadar bahwa Bung Karno menjadi tawanan Soeharto, para pembantu jadi
teringat bahwa saran menuju Istana Bogor itu datang dari Leimena.
Bukankah brigjen Soepardjo menyarankan Bung Karno untuk pergi ke Bali?
Menpangau Oemar Dhani menyarankan ke Madiun, Jawa Timur? Leimena
menyarankan – yang paling hati-hati – ke Istana Bogor. Di kalangan orang
dekat Bung Karno muncul pembicaraan, seandainya Bung Karno menuruti
saran Soepardjo atau Oemar Dhani, tentu akan lain ceritanya. Saya sangat
yakin Leimena benar-benar tidak punya maksud tertentu, apalagi
menjerumuskan Bung Karno. Beliau adalah orang yang loyal terhadap Bung
Karno. Sarannya ke Istana Bogor memang langkah hati-hati. Selain karena
jaraknya lebih dekat (dibanding Bali atau Madiun) istana bogor memang
tempatnya presiden atau termasuk simbol negara.
Siapa sangka Soeharto
berani mendatangi Bung Karno, bahkan menawan Bung Karno di sana? Namun
karena pembicaraan beredar menyesalkan saran Leimena, esok harinya
Leimena mendatangi Soeharto di Makostrad. Tujuannya mengingatkan
Soeharto agar jangan bersikap begitu keras terhadap Presiden. Leimena
berkata kepada Soeharto: jangan begitu, dong. Tetapi apa jawaban
Soeharto? Pak Leimena jangan ikut campur. Pak Leimena urusi tugasnya
sendiri. Saya yang kuasa sekarang. Mendengar itu Leimena mundur. Tidak
berapa lama kemudian (masih hari itu juga) ganti Waperdam-III Chaerul
Saleh mendatangi Soeharto. Maksudnya juga sama dengan Leimena. Jawaban
Soeharto juga sama seperti yang tadi: Saya yang kuasa sekarang. Pak
Chaerul Saleh jangan ikut campur, kata Soeharto.
Hebatnya, beberapa
waktu kemudian Soeharto membantah menerima surat kuasa dari Presiden.
Dia menyatakan kurang lebih demikian: Dalam kehidupan militer tidak
mungkin ada dua panglima (dia dan Mayjen Pranoto yang sudah ditunjuk
oleh Presiden menjadi caretaker Menpangad) yang ditunjuk dalam waktu
bersamaan. Maka praktis pengangkatan terhadap mayjen Pranoto sebagai
caretaker Menpangad tidak berjalan sama sekali. Sebaliknya Soeharto
sebagai Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban terus bertindak,
sehingga pergolakan di kalangan elite politik pun tidak dapat
dicegah.Inilah awal kudeta terselubung itu. Sejak itu sebenarnya Bung
Karno sudah tidak lagi memiliki power untuk memimpin negara. Esoknya
pembantaian terhadap anggota PKI dan keluarganya dimulai. PKI dituduh
menjadi dalang G30S. Sejak itu Indonesia banjir darah. Yang digempur
bukan hanya tokoh-tokoh PKI, tetapi semua yang berbau PKI dibantai tanpa
proses hukum. Di kota, desa, dusun, di berbagai sudut negeri dilakukan
pembantaian besar-besaran, suatu tindakan yang sangat mengerikan.
Pembantaian PKI dimulai beberapa saat setelah Presiden Soekarno
mengumumkan (3 Oktober 1965) Pangkostrad Mayjen Soeharto dipercaya
sebagai pelaksana Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib). Tidak disangka jika lembaga yudisial ini kelak menjadi
sangat ditakuti rakyat. Hanya dengan menyebut Kopkamtib saja orang sudah
ngeri. Beberapa tahun berikutnya namanya diganti menjadi Bakorstanas,
namun tetap saja nama yang menakutkan bagi masyarakat. Semua tindakan
masyarakat yang tidak sesuai dengan keinginan Soeharto pasti ditumpas
oleh Kopkamtib yang kemudian berubah nama menjadi Bakorstanas atau
Bakorstanasda di daerah. Lembaga ini menjadi senjata Soeharto untuk
menumpas orang-orang yang tidak setuju pada keinginannya.
Perkembangan ini tentu di luar dugaan Bung Karno selaku pemberi
kuasa. Pada tanggal 16 Oktober 1965 Presiden Soekarno mengangkat
Soeharto menjadi Menpangad, menggantikan A Yani. Lantas pada akhir
Oktober 1965 di rumah Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan
Brigjen Syarif Thayeb, atas perintah Soeharto dibentuklah Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI). Inilah embrio gerakan mahasiswa yang
didukung oleh tentara. KAMI lantas sering berdemo dengan didukung oleh
pasukan RPKAD dan Kostrad.
Di beberapa buku sejarah G30S banyak pertanyaan, mengapa Presiden
Soekarno tidak mendukung G30S. Logikanya, jika Dewan Jenderal berniat
melakukan kup, lantas dewan Jenderal dibunuh oleh pasukan Cakra Bhirawa
dibantu pasukan Soeharto, mestinya Bung Karno langsung mendukung G30S
begitu mendengar para jenderal diculik. Tapi mengapa Bung Karno malah
menghentikan gerakan itu? Jawabnya adalah karena Bung Karno tidak tahu
rencana penculikan para jenderal itu. Ini sekaligus menjawab pertanyaan
mengapa nama Bung Karno tidak tercantum dalam Dewan Revolusi yang
diumumkan oleh Untung beberapa jam setelah pembunuhan para jenderal.
Dewan Revolusi ini adalah buatan Untung sendiri tanpa konsultasi dengan
Presiden.
Drama 1 Oktober 1965 dalam sekali pukul menghasilkan keuntungan bagi Soeharto:
1. Mengubah kenyataan adanya komplotan Dewan Jenderal, di mana Soeharto
merupakan salah satu anggotanya, menjadi semacam fiksi belaka.
2. Sebaliknya mengubah fiksi menjadi nyata bahwa yang sungguh-sungguh
melakukan kudeta bukanlah Dewan Jenderal, melainkan G30S pimpinan
Untung (yang sebenarnya disokong oleh Soeharto).
3. Melikuidasi kelompok Yani sebagai rival potensial Soeharto.
4. Membuka peluang Soeharto tampil sebagai pahlawan yang akhirnya benar-benar
terwujud.
NASIB
AH NASUTION Nasution meninggal dunia menjelang buku ini naik cetak, 6
September 2000. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata,
Jakarta, dengan upacara militer. Semoga arwahnya diterima di sisi Allah
SWT, Amin. Dialah perwira yang paling tinggi pangkatnya setelah Yani
tiada. Saat itu dia sudah menyandang bintang empat, sedangkan Soeharto
masih bintang tiga. Di saat TNI AD terpecah (secara tidak transparan)
dalam kubu-kubu di tahun 1960-an, Kubu Nasution ditakuti oleh kubu Yani
dan Kubu Soeharto.
Banyak politikus saat itu yang mengatakan bahwa
Letjen TNI AH Nasution paling pantas menggantikan Presiden Soekarno. Dia
terkenal anti-PKI, memiliki dedikasi yang tinggi dan termasuk jenderal
yang diculik pelaku G30S (dia lolos, tapi anaknya tewas) sehingga wajar
menyandang gelar pahlawan. Selain sangat berpengalaman di bidang
militer, Nasution juga matang berpolitik. Dialah pencetus ide Dwi Fungsi
ABRI melalui jalan tengah tentara. Ia berpengalaman melakukan
manuver-manuver politik yang dikoordinasi dengan menggunakan kekuatan
militer, agar tentara bisa masuk ke dalam lembaga-lembaga negara secara
efektif di pusat dan daerah. Yang tidak banyak diketahui orang adalah
bahwa dari sekian perwira senior yang paling ditakuti Presiden Soekarno
saat itu adalah Nasution. Presiden Soekarno menjuluki Nasution sebagai
pencetus gagasan Negara dalam Negara. Itu berarti ia berani menentang
kebijakan Bung Karno (
lihat Bab II).
Di saat Yani masih ada pun,
spekulasi yang berkembang adalah bahwa jika Bung Karno meninggal atau
sudah tidak lagi mampu memimpin Indonesia, maka pengganti yang paling
cocok adalah: Yani atau Nasution. Kans mereka menjadi presiden sama
besarnya. Tetapi Nasution dilipat oleh Soeharto. Ia – seperti halnya
Yani – tidak mewaspadai isu Dewan Jenderal. Dia benar-benar tidak awas
soal berbagai kemungkinan yang bakal terjadi akibat isu tersebut. Dia
benar-benar tidak tahu – bahkan tidak menduga – bahwa Soeharto yang
pangkatnya lebih rendah berhasil menggosok Letkol Untung untuk
menghantam Dewan Jenderal. Akibatnya nyaris merenggut nyawa Nasution,
tapi meleset sehingga Ade Irma Suryani Nasution gugur sebagai Bunga
Bangsa.
Pertanyaannya adalah: mengapa Soeharto dalam mengambil
tindakan-tindakan penting AD tidak melibatkan Nasution? Jawabnya:
Soeharto memang menggunakan Nasution sebagai umpan untuk menarik
kekuatan-kekuatan anti-komunis, baik militer maupun sipil yang berada di
bawah pengaruh Nasution. Pada sisi lain Nasution digunakan oleh
Soeharto menjadi momok bagi Bung Karno sebab ia tahu Nasution adalah
orang yang paling berani menentang gagasan Bung Karno. Saya mengatakan
Soeharto mengambil tindakan-tindakan penting tanpa melibatkan Nasution,
tentu ada contohnya. Salah satunya – berdasarkan informasi akurat yang
saya terima – adalah sebagai berikut: Setelah lolos dari penculikan,
sekitar pukul 09.00 WIB Nasution bertemu dengan Soeharto.
Pada waktu
hampir bersamaan pagi itu – 1 Oktober 1965 – Soeharto memerintahkan para
petinggi AD berkumpul dan rapat di Makostrad. Tetapi Soeharto minta
bantuan Kodam Jaya untuk menyembunyikan Nasution. Tujuannya seolah-olah
untuk mengamankan Nasution yang mungkin saja masih dikejar oleh pelaku
G30S, sehingga rapat di Makostrad itu tidak dihadiri oleh Nasution.
Menurut memori Yoga, dalam rapat langsung ditegaskan oleh Soeharto bahwa
penculikan para jenderal yang baru saja terjadi itu didalangi oleh PKI.
Soeharto juga berhasil mengajak Komandan RPKAD Sarwo Edhi Wibowo agar
menyatukan pasukannya di bawah pasukan Kostrad untuk menggempur pelaku
G30S dan PKI. Dibahas pula instruksi Presiden ke Mabes ABRI agar semua
pasukan tidak bergerak selain diperintah oleh Presiden (baca Dari Detik
ke Detik). Rapat akhirnya sepakat menolak perintah Presiden.
Alasannya: Nasib para jenderal yang diculik belum diketahui dengan
pasti. Operasi pengejaran terhadap para penculik sudah disiapkan di
Makostrad. Bila Menpangad tiada (Menpangad A Yani diculik) maka yang
menggantikan adalah Pangkostrad. Artinya Soeharto menunjuk dirinya
sendiri. (Pada bagian terdahulu disebutkan: Malamnya Soeharto
mengumumkan di RRI bahwa ia mengambil-alih kendali AD). Maka rapat
memutuskan bahwa instruksi Presiden tidak perlu dipatuhi. Selain itu
secara otomatis disepakati bahwa keputusan Presiden mengambil-alih
kendali militer dan menunjuk Mayjen Pranoto sebagai pelaksana
sehari-hari (caretaker) Menpangad tidak perlu dipatuhi. Setelah rapat
memutuskan banyak hal penting, Soeharto lantas memerintahkan
anak-buahnya untuk mengambil Nasution keluar dari persembunyiannya dan
membawanya ke Makostrad.
Nasution tiba di Makostrad dalam kondisi masih
stres berat (karena baru saja lolos dari pembunuhan) dan langsung
dimasukkan ke dalam ruang rapat. Peserta rapat masih berkumpul lengkap,
tetapi sore itu rapat sudah hampir selesai. Keputusan-keputusan sudah
diambil beberapa jam sebelumnya. Nasution hanya diberitahu bahwa rapat
sudah berlangsung sejak pagi dan sudah hampir selesai. Dengan cara
seperti itu Soeharto sudah menang setengah hari dari Nasution. Dalam
kondisi biasa setengah hari mungkin tidak ada artinya, tetapi pada kasus
itu menjadi sangat penting. Rapat itu menentukan kondisi negara
Indonesia pasca G30S.
Nasution ternyata tidak marah bahwa dirinya tidak dilibatkan dalam
rapat. Karena, pertama, dengan dimasukkan ke Makostrad berarti dia harus
menghormati Pangkostrad Soeharto. Dari cara Nasution disembunyikan
Soeharto, lantas Nasution dibawa ke Makostrad, bisa jadi membuat ia
merasa seolah-olah menjadi tawanan Soeharto. Apalagi ia masih stres
berat setelah lolos dari rentetan tembakan. Kedua, rapat toh sudah
hampir selesai dan ia tidak tahu apa isinya. Dari peristiwa itu tampak
kecerdikan Soeharto memasukkan Nasution dalam ruang rapat. Dengan begitu
seolah-olah Nasution ikut menyetujui keputusan-keputusan yang diambil
dalam rapat.
Selain itu, tindakan itu juga menimbulkan kesan umum bahwa
Nasution pun dibawa ke Makostrad dan diamankan oleh Soeharto. Itu bisa
menimbulkan kesan: Soeharto berada di atas Nasution. Juga menguatkan
asumsi bahwa G30S didalangi PKI karena Nasution dikenal anti-komunis.
Ini sekaligus untuk menarik kekuatan-kekuatan anti-komunis – baik dari
militer maupun sipil – ke pihak Soeharto. Yang paling vital, kehadiran
Nasution di Makostrad saat itu dijadikan momok oleh Soeharto untuk
menakut-nakuti Presiden Soekarno. Ada satu kalimat Nasution yang
ditujukan kepada Soeharto sesaat sebelum rapat selesai. Bunyinya
demikian: Sebaiknya Mayjen Soeharto secepatnya memulihkan keamanan agar
masyarakat tenang. Pernyataan ini terlontar secara spontan saja. Ia
menginginkan agar secepatnya diambil tindakan untuk menenangkan
masyarakat (atau mungkin untuk menenangkan diri Nasution sendiri).
Tetapi bagi Soeharto kalimat itu ibarat Pucuk dicinta, ulam tiba.
Soeharto memang sedang menunggu orang yang bisa memberi dia kuasa. Saran
Nasution itu merupakan kuasa yang bisa dia kembangkan kepada Presiden
Soekarno. Tidak perlu menunggu lama, esoknya dia bersama Yoga dan
kelompok bayangannya beragkat ke Istana Bogor untuk menemui Presiden
Soekarno. Di sana Soeharto memaksa Bung Karno minta kuasa. Akhirnya
Soeharto benar-benar mendapatkannya: Pangkopkamtib
BAB IIIA: KUASA
BERPINDAH PERAN MAHASISWA
Ada masa di mana Indonesia lowong
kepemimpinan: sejak awal Oktober 1965 sampai Maret 1966 atau selama
sekitar enam bulan. Bung Karno masih sebagai presiden, tetapi sudah
tidak punya kuasa lagi. Beliau dilarang meninggalkan Istana Bogor atau
lebih tepat menjadi tawanan Soeharto. Sepanjang masa itu juga tidak ada
keputusan penting yang dikeluarkan oleh pemerintah. Soeharto lebih
banyak menentukan kebijakan negara, namun secara formal dia adalah
Menpangad. Bung Karno pada tenggang waktu itu belum benar-benar sampai
pada ajal politik. Beliau masih punya pengaruh, baik di Angkatan
Bersenjata maupun di kalangan Parpol-Parpol besar dan kecil.
Para
pimpinan Parpol umumnya mendukung Angkatan Darat untuk membasmi PKI,
namun mereka juga mendukung Bung Karno yang berupaya memulihkan wibawa,
walaupun Bung Karno akrab dengan PKI. Sepintas tampak ada dualisme sikap
para pimpinan Parpol. Di satu sisi anti-PKI, di sisi lain mendukung
Bung Karno. Sedangkan di kalangan Angkatan Bersenjata umumnya juga
menentang PKI, namun sebagian mendukung Bung Karno. Sebagaimana umumnya
menghadapi masa transisi, sebagian perwira merasa khawatir tentang
posisi mereka. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi jika Soeharto
menjadi pemimpin kelak.
Di sisi lain, proses kudeta merangkak belum berakhir. Manuver Soeharto merebut kekuasaan tertinggi ada empat tahap:
1. menyingkirkan saingan beratnya sesama perwira tertinggi.
2. Menghabisi PKI, partai besar yang akrab dengan Bung Karno
3. Melumpuhkan para menteri pembantu presiden
4. Melumpuhkan Bung Karno.
Mengapa harus empat tahap? Jawabnya adalah bahwa sebelum G30S
Soeharto bukan perwira yang diperhitungkan. Karena selain pangkatnya
masih Mayjen, ia juga pernah memiliki cacat saat menyelundupkan barang
di Jateng sehingga untuk mencapai pimpinan puncak ia harus melewati
proses panjang. Sampai di sini sudah dua tahap tercapai: para jenderal
saingannya sudah dihabisi dan PKI sudah digempur. Kendati demikian, Bung
Karno masih juga punya pengaruh. Selain itu para menteri juga masih ada
walaupun sudah tidak berfungsi. Untuk mengimbangi – lebih tepat
melumpuhkan – sisa-sisa kekuatan Bung Karno, Soeharto mengerahkan
mahasiswa. Seperti disebut di bagian terdahulu, pada akhir Oktober 1965
di rumah Brigjen Sjarif Thajeb, atas perintah Soeharto dibentuk KAMI.
Nah, sejak itu demo mahasiswa didukung oleh tentara terus bergerak
mengkritik Presiden Soekarno.
Saat itulah muncul slogan Tritura (tri
atau tiga tuntutan rakyat):1. bubarkan PKI2. bersihkan anggota kabinet
dari unsur-unsur PKI3. turunkan harga kebutuhan pokok. Bung Karno – yang
masih menjabat sebagai presiden – lantas membubarkan KAMI. Tetapi
setelah KAMI bubar muncul kelompok sejenis berganti nama menjadi KAPPI
(Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia). Tujuannya tetap sama:
berdemo mengkritik Presiden Soekarno. Dan karena demo itu didukung oleh
tentara tentu saja para pemuda dan mahasiswa berani. Ini yang kemudian
disebut kelompok pemuda Angkatan ’66, kelompok yang diprakarsai oleh
Soeharto. Sementara itu harga kebutuhan pokok rakyat memang melambung
tinggi.
Saya tahu persis melonjaknya harga itu terjadi karena rekayasa
Soeharto. Tepatnya Soeharto dibantu oleh dua pengusaha Cina: Liem Sioe
Liong (dulu bekerjasama menyelundupkan barang) dan Bob Hasan (juga teman
Soeharto sewaktu di Jawa Tengah). Itu dilakukan di tenggang waktu
antara Oktober 1965 sampai Maret 1966. Akibat selanjutnya: inflasi
melambung sampai 600%, defisit anggaran belanja negara semakin parah
sampai 300%. Rakyat tercekik. Untuk membeli beras, gula dan minyak orang
harus antri. Inilah operasi intelijen yang sukses melumpuhkan ekonomi
negara. Tentang hubungan bisnis Soeharto dengan Liem Sioe Liong dan Bob
Hasan di Jateng yang paling tahu adalah Mayjen Pranoto. Saat Soeharto
sebagai Panglima Divisi Diponegoro, Pranoto adalah kepala stafnya.
Pranoto sudah sangat jengkel pada Soeharto perihal bisnis memanfaatkan
jabatan yang dilakukan Soeharto, dibantu Liem Sioe Liong dan Bob Hasan.
Sangat mungkin ulah Soeharto dan Liem menyelundupkan barang dulu
dibongkar oleh Pranoto sehingga akhirnya diketahui Menpangad Yani,
sampai-sampai Yani menempeleng Soeharto. Jadi tindakan Soeharto menjegal
Pranoto yang diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi caretaker
Menpangad (1 Oktober 1965) bukan semata-mata perebutan jabatan (dengan
cara kotor) tetapi juga ada faktor dendam pribadinya.
Sementara, gerakan
mahasiswa menuntut pemerintah semakin gencar. Tritura terus diteriakkan
hampir setiap hari. Soeharto merekayasa agar harga kebutuhan pokok
melambung. Dia pula yang mengerahkan mahasiswa berdemo menuntut
penurunan harga. Sedangkan rakyat jelas mendukung gerakan mahasiswa
karena tuntutan mereka sejalan dengan keinginan rakyat. Siapa pun yang
menjadi presiden saat itu pasti tidak dapat berbuat banyak. Apalagi
Presiden Soekarno dilarang meninggalkan Istana Bogor. Di sini semakin
jelas kelicikan Soeharto.
Cara Soeharto menjatuhkan Soekarno benar-benar
efektif walaupun di mata rakyat saat itu tidak kelihatan. Saya menilai
hanya sebagian mahasiswa yang berdemo dengan motivasi tercekik oleh
harga bahan kebutuhan pokok sebab mereka bukan orang awam, mereka bukan
anak kecil. Sebagian dari mereka pasti tahu bahwa harga kebutuhan pokok
melejit akibat rekayasa Soeharto. Mereka adalah kaum intelektuil yang
mengikuti perkembangan negara mereka. Tetapi gerakan mereka didukung
oleh tentara dan rakyat – dua kekuatan utama bangsa ini – sehingga
sebagian yang sadar akan kondisi yang sebenarnya tidak berani menentang
arus.
Semua pasti mencari selamat bagi diri sendiri. Mereka terpaksa
terbawa arus, ikut menentang pemerintah. Pada tanggal 10 Januari 1966
ribuan mahasiswa berkumpul di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
di Salemba. Mereka meneriakkan Tritura. Komandan RPKAD (kelak diganti
menjadi Kopassus) Sarwo Edhi berpidato di tengah ribuan mahasiswa untuk
mengobarkan semangat mahasiswa berdemo. Usai Sarwo Edhi berpidato ribuan
mahasiswa bergerak turun ke jalan menuju kantor P&K untuk
menyampaikan tuntutan tersebut. Di P&K mereka bertemu dengan Wakil
Perdana Menteri-III Chaerul Saleh. Mahasiswa menyampaikan tuntutan
mereka kepada Chaerul Saleh. Tuntutan ditanggapi Chaerul sambil lalu.
Lantas mahasiswa melanjutkan demo turun ke jalan. Pendapat umum yang
dibentuk melalui surat kabar menyebutkan bahwa tuntutan mahasiswa itu
murni. Ini jelas menyesatkan masyarakat. Bahan kebutuhan pokok sengaja
dimusnahkan oleh Soeharto.
Di sisi lain, mahasiswa bergerak didukung
oleh tentara yang dipimpin Soeharto. Jadi mana bisa tuntutan mereka
dikatakan murni? Satu-satunya tuntutan mahasiswa yang murni – menurut
saya – adalah: bubarkan PKI. Sebagai gambaran: kelak setelah Soeharto
berkuasa dan kepentingan politiknya sudah tercapai, ia memberangus
mahasiswa. Caranya dengan memerintahkan menteri P&K mengeluarkan
peraturan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan BKK (Badan Koordinasi
Kemahasiswaan). Itu terjadi di pertengahan 1970-an. Intinya: mahasiswa
dilarang berdemo. Saya di dalam penjara mengikuti berita itu dan
mengamati bahwa ternyata Soeharto ngeri dengan bekas salah satu
senjatanya, mahasiswa. Akhirnya ia juga jatuh tersungkur antara lain
akibat tekanan ribuan mahasiswa yang menduduki Gedung DPR/MPR
pertengahan Mei 1998. Saya tidak pernah menyesal pada sikap pemuda dan
mahasiswa Angkatan-66.
Kondisi dan situasi negara saat itu memungkinkan
mereka bersikap begitu. Generasi muda di mana pun di dunia ini cenderung
berpihak pada pembaharuan. Karakteristik ini dimanfaatkan dengan baik
oleh orang yang haus kuasa. Apalagi secara de facto pemimpin Indonesia
sejak 1 Oktober 1965 adalah Soeharto, walau secara de jure ia adalah
Menpangad. Bung Karno memang masih sebagai Presiden RI dan pemerintah
masih berdiri, tetapi kondisi negara tak terkendali, baik oleh
penggempuran besar-besaran tentara terhadap rakyat untuk membersihkan
PKI maupun oleh kondisi perekonomian yang rusak berat. Orang tidak perlu
susah-susah mencari tahu apakah ini hasil rekayasa atau murni
ketidak-mampuan pemerintah, sehingga rakyat secara jelas menyaksikan
drama kejatuhan Bung Karno dari tampuk kekuasaannya. Namun gerakan
mahasiswa ternyata ditanggapi Bung Karno. Pada 15 Januari 1966 dalam
Sidang Kabinet Presiden Soekarno berpidato menjawab Tritura yang
dikobarkan oleh mahasiswa. Menurut Presiden Soekarno Tritura adalah
hasil rekayasa TNI AD.
Dengarkan cuplikan pidato Soekarno yang sebagian
sempat saya catat. Bunyinya demikian: Saya tidak akan mundur sejengkal
pun. Saya tetap Pemimpin Besar Revolusi. Maka saya tidak dapat bicara
lain. Ayo…. Siapa yang membutuhkan Soekarno, setuju dengan Soekarno
sebagai Pemimpin Besar Revolusi, maka satukan seluruh kekuatanmu.
Pertahankan Soekarno. Berdirilah di belakang Soekarno. Tunggu komando…
Inilah pernyataan Bung Karno di depan publik yang paling keras. Dengan
pidato Bung Karno yang berapi-api, semua pihak menjadi cemas. Bung Karno
masih punya pendukung, termasuk dari Angkatan Bersenjata. Para
menterinya masih lengkap. Jabatannya masih Presiden RI. Maka semua pihak
khawatir Indonesia bakal memasuki pergolakan sangat hebat dalam waktu
dekat dan bakal terjadi pertumpahan darah yang jauh lebih besar dari
G30S. Maka setelah itu – pada malam hari berikutnya – saya selaku Wakil
Perdana Menteri-I membentuk Barisan Soekarno. Anggotanya semua menteri.
Tujuannya tentu untuk membela Presiden. Front Nasional yang sudah ada
sebelumnya harus masuk ke Barisan Soekarno.
Pada tanggal 20 Januari 1966
para menteri berkumpul di Istana. Mereka menyatakan sepakat menjadi
bagian paling depan dari pendukung Soekarno. Itu merupakan bagian dari
upaya pendukung Soekarno untuk come back, walaupun secara formal
Soekarno masih Presiden-RI, pun secara formal pendukung terdepan masih
Menteri Negara. Namun Bung Karno tidak melakukan follow-up, tidak ada
tindak-lanjut dari pidatonya yang keras itu. Tidak ada perintah apa pun
meski ia tahu pendukungnya sudah siap membela. Para pendukungnya pun
tidak bergerak sebab dalam pidatonya Bung Karno antara lain menyerukan:
tunggu komando…Seruan ini ditaati para pendukungnya. Dan komando
ternyata tidak juga kunjung datang.
Seandainya komando benar-benar
diserukan, saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya
Indonesia.SUPERSEMARSebuah sumber saya mengatakan bahwa pada tanggal 10
Maret 1966 Soeharto mengadakan pertemuan di rumahnya di Jalan H Agus
Salim. Pertemuan dihadiri oleh Pangdam Jaya Mayjen Amir Machmud, Pangdam
Jatim Mayjen Basuki Rahmat dan Mayjen M Yusuf. Inti pembicaraan:
Soeharto selaku Menpangad minta dukungan untuk mendapatkan suatu mandat
penuh dari Presiden RI Soekarno. Tujuannya adalah agar dapat mengatasi
kesulitan-kesulitan yang dihadapi negara, di samping untuk menciptakan
suasana aman dan politik yang stabil. Tiga jenderal yang menghadap
akhirnya sepakat dengan ide Menpangad. Lantas Soeharto menyampaikan
pidato penting.
Pidatonya berapi-api mengkritik kondisi negara yang
tidak menentu, sedangkan para menteri tidak dapat menyelesaikan
persoalan bangsa. Mereka hanya bicara di sidang-sidang, tidak melakukan
tindakan kongkrit. Ia menyerukan: para mahasiswa dari Jakarta, Bandung
dan Bogor untuk boleh saja berdemo di saat Sidang Kabinet yang akan
diselenggarakan esok harinya (11 Maret 1966) di Istana Merdeka.Akibatnya
luar biasa: Pagi-pagi sekali sebelum sidang dibuka ribuan mahasiswa
datang berbondong-bondong menuju Istana. Mereka mendesak masuk ke
halaman Istana. Pasukan Kawal Presiden Cakra Bhirawa berupaya menahan
mereka di pagar Istana. Petugas sampai terpaksa meletuskan tembakan
peringatan ke udara.
Keadaan ternyata tidak mudah dikendalikan oleh
Pasukan Kawal Presiden. Soeharto tidak hanya menggerakkan mahasiswa,
namun juga memberi dukungan kepada mereka dengan mengerahkan tentara
(belakangan saya ketahui tiga kompi RPKAD didukung oleh pasukan Kostrad
pimpinan Kemal Idris). Tujuan mereka antara lain menangkap saya.
Soeharto juga sudah setuju. Tentara mengenakan seragam loreng,
bersenjata lengkap namun tanpa tanda pengenal. Mereka bersama mahasiswa
menyebar di jalanan yang akan dilewati oleh mobil menteri peserta
sidang. Begitu melihat mobil menteri mereka langsung mencegat. Ban mobil
digembosi. Istana pun dikepung sedemikian rupa.
Pasukan tanpa tanda
pengenal itu herhadap-hadapan dengan Pasukan Cakra Bhirawa dalam jarak
dekat. Saya berkesimpulan bahwa Soeharto mengharapkan dengan begitu
Soekarno akan menyerah tanpa syarat. Keadaan benar-benar gawat, sebab
bisa timbul korban yang sangat besar. Saya menilai Soeharto adalah
pembunuh berdarah dingin, dia tega membunuh siapa saja demi terwujud
ambisi politiknya. Coba bayangkan kalau Pasukan Cakra Bhirawa saat itu
bertindak keras menghalau mahasiswa, tentu bakal terjadi pertumpahan
darah yang luar biasa. Sebab mahasiswa akan bertahan mati-matian karena
merasa mendapat angin dan didukung oleh tentara. Juga bisa terjadi
perang kota antara pasukan Cakra Bhirawa melawan pasukan tanpa
identitas.
Hebatnya, dalam Sidang Kabinet itu Soeharto tidak datang
dengan alasan sakit batuk. Informasi sakitnya Soeharto ini disampaikan
oleh Amir Machmud beberapa waktu kemudian. Menurut pengakuan Amir
Machmud – seusai mengikuti Sidang Kabinet – ia bersama Basuki Rachmat
dan M Yusuf mendatangi rumah Soeharto. Soeharto sakit tenggorokan
sehingga tidak dapat bicara keras. Saat kami datang ke rumahnya dia
masih mengenakan piyama dengan leher dibalut, kata Amir Machmud. Tetapi
seorang intelijen saya melaporkan bahwa pada sore harinya Soeharto
memimpin rapat di Makostrad.
Di sini semakin jelas bahwa Soeharto adalah
pembohong besar. Jika seandainya dalam Sidang Kabinet Soeharto ikut
(sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat seharusnya dia ikut) maka ada 3
risiko yang bakal dihadapi oleh Soeharto:1. dalam keadaan Istana
dikepung oleh mahasiswa dan tentara tentu dalam sidang Bung Karno akan
bertanya kepada Soeharto: Harto, engkau yang telah kuangkat menjadi
Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, ayo bergerak. Bereskan
pengacau-pengacau itu. Maka perintah Presiden itu bakal ibarat buah
simalakama bagi Soeharto:
1.dimakan ibu mati, tak dimakan bapak tewas.
2. Jika Soeharto melaksanakan perintah, maka namanya bakal merosot di
mata para demonstran yang ia gerakkan sendiri. Ini berarti peluang
bagus bagi Nasution untuk tampil sebagai presiden.
3. Jika Soeharto menolak perintah di depan Sidang Kabinet, maka bisa
berakibat fatal bagi Soeharto.
Tentu Bung Karno bisa segera
memerintahkan Pasukan Cakra Bhirawa untuk menangkap Soeharto seketika
itu juga. Akhirnya cara terbaik bagi Soeharto untuk menghindari semua
kemungkinan buruk itu adalah nyakit (pura-pura sakit). Bukankah ini
membuktikan bahwa Soeharto licin dan pembunuh berdarah dingin? Ia tidak
peduli bahwa tindakannya mengerahkan ribuan mahasiswa dan tentara bisa
menimbulkan konflik besar yang menghasilkan banjir darah bangsanya
sendiri.
Sidang Kabinet 11 maret 1966 dibuka oleh Presiden Soekarno. Di
beberapa buku juga disebutkan bahwa setelah Presiden Soekarno membuka
sidang, beberapa saat kemudian pengawal presiden, Brigjen Sabur,
menyodorkan secarik kertas ke meja presiden. Isinya singkat: Di luar
banyak pasukan tak dikenal. Beberapa saat kemudian Presiden keluar
meninggalkan ruang sidang. Pimpinan sidang diserahkan kepada Leimena.
Saya lantas menyusul keluar. Banyak ditulis saat keluar sepatu saya
copot karena terburu-buru. Memang benar. Dulu saat sidang kabinet
biasanya para menteri mencopot sepatu – mungkin karena kegerahan duduk
lama bersepatu – tetapi sepatu yang dicopot itu tidak kelihatan oleh
peserta sidang karena tertutup meja.
Saya juga biasa melakukan hal itu.
Nah, saat kondisi genting sehingga Presiden meninggalkan ruang sidang
secara mendadak, saya keluar terburu-buru sehingga tidak sempat lagi
memakai sepatu.Begitu keluar dari ruang sidang – ini yang tidak ada di
dalam buku-buku sejarah – saya sempat bingung, akan ke mana? Saya
mendapat informasi, pasukan tak dikenal itu sebenarnya mengincar
keselamatan saya. Padahal begitu keluar ruangan saya tidak melihat Bung
Karno yang keluar ruangan lebih dulu. Dalam keadaan bingung saya lihat
sebuah sepeda, entah milik siapa. Maka tanpa banyak pikir lagi saya
naiki sepeda itu. Toh mobil saya – dan mobil semua menteri – sudah
digembosi oleh para demonstran. Dalam kondisi hiruk-pikuk di sekitar
Istana saya keluar naik sepeda. Ternyata tidak ada yang tahu bahwa saya
adalah Soebandrio yang sedang diincar tentara.
Padahal saya naik sepeda
melewati ribuan mahasiswa dan tentara yang meneriakkan yel-yel Tritura
dan segala macam kecaman terhadap Bung Karno. Memang, saat menggenjot
sepeda saya selalu menunduk, tetapi kalau ada yang teliti pasti saya
ketahuan. Sepeda saya terus meluncur ke selatan. Tujuan saya pulang.
Sampai di Bundaran Air Mancur (perempatan Bank Indonesia) saya melihat
begitu banyak mahasiswa dan tentara. Mereka tidak hanya berada di
sekitar Istana tetapi juga menyemut di Jalan Thamrin. Sampai di sini
perasaan saya jadi tidak enak. Memang sejauh ini saya sudah lolos.
Tetapi bisakah melewati ribuan mahasiswa yang menyemut itu? Maka
seketika itu juga saya memutuskan untuk kembali, berbalik arah. Saya
kembali ke Istana.
Hebatnya, saya sampai di Istana lagi tanpa diketahui
oleh para demonstran. Di dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa begitu
keluar dari ruang sidang, saya langsung memburu Bung Karno naik
helikopter.Yang
sebenarnya terjadi seperti saya sebutkan ini: Begitu tiba kembali di
Istana, saya lihat ada helikopter. Saya tidak ahu apakah sejak tadi heli
itu sudah ada atau baru datang. Atau mungkin karena saya panik, saya
tadi tidak melihat heli yang ada di sana sejak tadi. Namun yang
melegakan adalah bahwa beberapa saat kemudian saya melihat Bung Karno
didampingi oleh para ajudan berjalan menuju heli. Karena itu sepeda saya
geletakkan dan saya berlari menuju heli. Mungkin saat itulah – ketika
berlari menuju heli tanpa sepatu – saya dilihat banyak orang sehingga
ditulis di koran-koran: Dr. Soebandrio berlari menyusul Bung Karno
menuju heli tanpa sepatu. Akhirnya saya bisa masuk ke dalam heli dan
terbang bersama Bung Karno menuju Istana Bogor.
Jadi sebenarnya begitu
meninggalkan ruang sidang Bung Karno tidak langsung menuju heli, tetapi
ada tenggang waktu cukup lama. Saya sudah menggenjot sepeda dari Istana
ke Bundaran Air Mancur dan kembali lagi. Mungkin setelah meninggalkan
ruang sidang Bung Karno masih mengadakan pertemuan dengan para ajudan
dan penasihat militer untuk membahas situasi, sehingga hal itu
menguntungkan saya. Seandainya tidak bertemu Bung Karno, entah bagaimana
nasib saya. Setelah peristiwa itu saya merenung. Untungnya saat itu
saya dan Leimena lolos dari target penangkapan mereka. Seandainya saya
tertangkap atau dihabisi, maka bakal terjadi bentrokan hebat. Bung Karno
dan pasukannya yang masih setia tidak akan tinggal diam. Akibatnya bisa
banjir darah. Kalau itu terjadi pasti Soeharto akan berbalik
mengkhianati teman-temannya yang semula dia tugaskan untuk mengerahkan
pasukan mengepung Istana.
Percobaan kudeta 3 Juli 1946 yang gagal
menjadi dasarnya. Juga bantuan pasukan Soeharto kepada Letkol Untung
untuk membantai para jenderal menjadi buktinya. Menjelang petang Istana
Bogor didatangi oleh tiga jenderal (Basuki Rachmat, Amir Machmud dan M
Yusuf). Ketika itu tiga Waperdam (saya, Leimena dan Chaerul Saleh) sudah
di sana. Leimena dan Chaerul menyusul kami ke Istana Bogor melalui
jalan darat. Kami bertiga sempat istirahat di paviliun. Ketika tiga
jenderal datang Bung Karno menerima mereka di gedung utama. Mereka
berbicara cukup lama. Para Waperdam hanya siaga di paviliun. Beberapa
jam kemudian saya, Chaerul dan Leimena dipanggil oleh Bung Karno masuk
ke ruang pertemuan. Di sana ada tiga jenderal itu. Namun saat kami masuk
sudah ada kesepakatan antara mereka dan Bung Karno.
Saya masuk ruang
pertemuan. Bung Karno sedang membaca surat. Basuki Rachmat, Amir Machmud
dan M Yusuf duduk di depannya. Lantas saya disodori surat yang dibaca
oleh Bung Karno, sedangkan Chaerul Saleh duduk di sebelah saya. Isi
persisnya saya sudah lupa tetapi intinya ada empat hal.
Presiden Soekarno memberi mandat kepada Soeharto untuk:
1. mengamankan wilayah Jakarta dan sekitarnya. Untuk itu harus dijalin kerjasama dengan unsur-unsur kekuatan lainnya.
2. Penerima mandat wajib melaporkan kepada Presiden atas semua tindakan yang akan dilaksanakan
3. Penerima mandat wajib mengamankan Presiden serta seluruh keluarganya
4. Penerima mandat wajib melestarikan ajaran Bung
Karno.
Soal
urutannya mungkin terbalik-balik namun intinya berisi seperti
itu.Bagaimana Ban, kau setuju? Tanya Bung Karno. Beberapa saat saya
diam. Saya pikir, Bung Karno sebenarnya hanya mengharapkan saya
menyatakan setuju, padahal dalam hati saya tidak setuju. Bukankah
Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI dan seharusnya kendali keamanan
negara berada di tangan Presiden? Saya merasa Bung Karno sudah ditekan.
Terbukti ada kalimat Mengamankan pribadi Presiden dan keluarganya,
artinya keselamatan Presiden terancam oleh pihak yang menekan agar surat
tersebut dikeluarkan.
Tetapi kalimat unik ini tidak ada dalam sejarah
versi Orde Baru. Bahkan lebih hebat lagi, naskah Supersemar yang membuat
Soeharto ditunjuk sebagai pengemban Supersemar (menjadi presiden tanpa
melalui proses pemilu dan dipilih MPR) kini sudah tiada. Tidak jelas
keberadaan surat yang begitu penting. Bagaimana, Ban, setuju? Tanya Bung
Karno
lagi.Ya, bagaimana, bisa
berbuat apa saya? Bung Karno sudah berunding tanpa kami jawab saya.
Lantas dipotong oleh Bung Karno: Tapi kau setuju?Kalau bisa, perintah
lisan saja kata saya memberanikan diri. Saya lirik, tiga jenderal itu
melotot ke arah saya tetapi saya tidak takut. Mereka pasti geram
mendengar kalimat saya yang terakhir itu. Tetapi saya tahu mereka tidak
bisa berbuat banyak.
Suasana saat itu terasa tegang. Lantas Amir Machmud
menyela: Bapak Presiden tanda tangan saja. Bismillah saja, pak..Bung
Karno rupanya sudah ditekan tiga jenderal itu saat berunding tadi. Raut
wajahnya terlihat ragu-ragu, tetapi seperti mengharapkan dukungan kami
agar setuju. Akhirnya saya setuju. Chaerul dan Leimena juga menyatakan
setuju. Bung Karno lantas teken (tanda tangan). Tiga jenderal langsung
berangkat kembali ke Jakarta menemui Soeharto yang mengutus mereka.
Bahkan mereka menolak ketika ditawari Bung Karno untuk makan malam
bersama. Maaf, pak. Karena hari sudah malam, ujar salah seorang dari
mereka. Dengan wajah berseri mereka membawa surat bersejarah yang
kemudian dinamakan Supersemar. Esoknya, 12 Maret 1966, Soeharto langsung
mengumumkan pembubaran PKI. Uniknya, pembubaran PKI itu menggunakan
surat keputusan Presiden nomor 113 tahun 1966.
Saat diumumkan juga
dibacakan ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Enam hari kemudian 15
menteri yang masih aktif ditangkapi. Tentu saja Soeharto tidak melapor
lebih dahulu kepada Presiden. Untuk pembubaran PKI, surat malah baru
sampai ke tangan Soeharto tengah malam dan esok siangnya ia langsung
mengambil kebijakan itu. Untuk penangkapan 15 menteri, alasannya adalah
agar para menteri itu jangan sampai menjadi korban sasaran kemarahan
rakyat yang tidak terkendali. Tetapi ia juga menyampaikan alasan yang
kontradiktif yakni: para menteri hanyalah pembantu presiden, bukan
bentuk kolektif pemerintahan. Jadi bisa saja ditangkap. Yang jelas,
begitu ditangkap para menteri langsung ditahan. Tuduhannya gampang:
terlibat G30S/PKI – tuduhan yang sangat ditakuti seluruh rakyat
Indonesia sepanjang Soeharto berkuasa. Mengkritik kebijaksanaan
pemerintahan Soeharto bisa dituduh PKI.
Surat Perintah 11 Maret 1966
sudah diselewengkan. Soeharto menafsirkannya sebagai: Bung Karno
menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto, bukan perintah memulihkan
keamanan Ibukota. Sebagai orang yang tahu persis kondisi saat itu, saya
sangat yakin tujuan Soeharto membubarkan PKI dan menangkapi 15 menteri
adalah rangkaian strategi untuk meraih puncak kekuasaan. Seperti disebut
di muka, strategi Soeharto ada empat tahap:-habisi para jenderal
saingan-hancurkan PKI-copoti para menteri-jatuhkan Bung
Karno.Kini
yang dicapai Soeharto sudah tiga tahap. Tinggal tahap terakhir. Bung
Karno pun bereaksi. Tidak benar jika Bung Karno diam saja.
Beliau
memerintahkan Leimena menemui Soeharto menanyakan hal itu: Bagaimana
ini? Surat perintah hanya untuk mengamankan Jakarta, bukan untuk
pembubaran PKI. Kok malah main tangkap, kata Leimena kepada Soeharto.
Tetapi Soeharto tidak menggubris. Seperti terjadi pada tanggal 3 Oktober
1965 – saat Leimena protes pada Soeharto karena Bung Karno ditawan di
Istana Bogor – Soeharto menyatakan: Pak Leimena jangan ikut campur.
Sekarang saya yang kuasa. Leimena kembali ke Istana Bogor melaporkan
reaksi Soeharto. Dan Bung Karno terdiam, tetapi dari wajahnya kelihatan
jelas bahwa beliau sedang marah. Dari laporan Leimena kami tahu bahwa
saat itu situasi Jakarta sangat tegang: tank dan kendaraan lapis baja
bersiaga di setiap ujung jalan, tentara ada di mana-mana.
Mereka
dikenali sebagai pasukan Kostrad dan Brigade Para 3 Yon Siliwangi. Kali
ini untuk menakut-nakuti anggota PKI yang jumlahnya masih sangat besar
saat itu. Mungkin pula ditujukan untuk memberikan tekanan psikologis
terhadap Bung Karno yang sudah kehilangan kuasa agar tidak
menghalang-halangi pembubaran PKI atau mungkin juga ditujukan untuk
kedua-duanya.15 menteri yang ditangkapi adalah:
1. Saya (Waperdam-I merangkap Menlu, merangkap Kepala BPI)
2. Waperdam-II Chaerul Saleh
3. Menteri Tenaga Listrik S. Reksoprojo
4. Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Sumardjo
5. Menteri Keuangan Oei Tjoe Tat
6. Menteri Bank Sentral dan Gubernur BI Yusuf Muda Dalam
7. Menteri Pertambangan Armunanto
8. Menteri Irigasi dan Pembangunan Desa Ir. Surahman
9. Menteri Perburuhan Sutomo Martoprojo
10. Menteri Kehakiman Andjarwinata
11. Menteri Penerangan Asmuadi
12. Menteri Urusan Keamanan Letkol Imam Syafi’i
13. Menteri Sekretaris Front Nasional Ir. Tualaka
14. Menteri Transmigrasi dan Koperasi Ahmadi
15. Menteri Dalam Negeri merangkap Gubernur Jakarta Raya Sumarno Sastrowidjojo
Meskipun sudah menangkap 15 menteri yang masih aktif menjalankan
tugas, namun Soeharto tanpa rasa malu sedikit pun menyatakan bahwa
kekuasaannya diperoleh secara konstitusional.
Padahal ketika menangkap
kami (para menteri) perintah Soeharto kepada tentara yang melaksanakan
berbunyi demikian: Tangkap dulu mereka, alasannya cari kemudian. Itulah
filsafat Soeharto dalam logika kekerasannya. Persis seperti dilakukan
Soeharto pada tragedi 1 Oktober 1965. Beberapa jam setelah para jenderal
dibunuh, kelompok bayangan Soeharto langsung mengumumkan: G30S
didalangi PKI. Lantas Soeharto memerintahkan: Basmi dulu partai itu
(PKI), bukti-bukti cari kemudian. Apakah ini konstitusional seperti yang
sangat sering dikatakan Soeharto ketika dia memerintah? MELENGGANG KE
ISTANA Kini sudah tinggal setengah tahap lagi dari bagian tahap terakhir:
jatuhkan Bung Karno.
Setelah Supersemar – ketika Soeharto membubarkan
PKI dan menangkapi para menteri setia – Bung Karno sebenarnya sudah
setengah jatuh. Beliau sudah tidak berdaya dan para menterinya yang
masih aktif ditangkapi. Maka ajal politik tinggal tunggu waktu. Setelah
PKI resmi dibubarkan, tiga tokoh pimpinan PKI – yaitu DN Aidit, Njoto
dan Lukman – ditangkap hidup-hidup. Presiden Soekarno yang sudah
kehilangan powernya menolak memerintahkan mengadili mereka (entah
mengapa). Persoalan ini lantas diambil-alih oleh Soeharto. Para pimpinan
PKI itu diadili dengan cara tersendiri. Soeharto memerintahkan tentara
menembak mati ketiganya. Dan ketiganya memang didor tanpa melalui proses
hukum yang berlaku.
Dengan perlakuan Soeharto seperti itu sangat wajar
jika saya katakan bahwa Soeharto tidak ingin kedoknya (memanipulir G30S)
terbongkar di pengadilan jika tiga pimpinan PKI itu diadili. Sedangkan
saya yang mengalami semua kejadian ini jelas yakin bahwa Soeharto
terlibat G30S. Setelah Supersemar, Soeharto membongkar-pasang
keanggotaan DPRGR yang merupakan bagian dari MPRS. Caranya dengan
merampas kursi yang semula diduduki oleh anggota PKI dan menggantinya
dengan orang-orang Soeharto sendiri.
Kemudian Soeharto menyuruh MPRS
(yang sebagian besar sudah diisi orang-orangnya) bersidang. Inti sidang
adalah mengukuhkan Supersemar secara konstitusional. Bersamaan dengan
itu pembantaian besar-besaran terhadap anggota PKI sudah dilegalkan.
Keluarga anggota PKI, teman-teman mereka, bahkan ada juga rakyat yang
tidak ada hubungannya sama sekali dengan PKI ikut terbunuh. Darah orang
PKI, keluarga dan teman mereka halal bila ditumpahkan. Inilah
pembantaian terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Tidak ada yang tahu
persis berapa jumlah rakyat yang terbunuh. Ada yang mengatakan 800.000,
ada yang mengatakan 1.000.000. Yang paling tinggi adalah pernyataan
Sarwo Edhi Wibowo yang katanya mencapai 3.000.000 manusia.
Dalam sidang
MPRS Juni 1966 Soeharto menetapkan RI kembali ke UUD 1945 secara murni
dan konsekuen. Juga memerintahkan mencabut Ketetapan MPRS tahun 1963
yang mengangkat Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Juga
menyatakan pemberian gelar Pemimpin Besar Revolusi terhadap Bung Karno
tidak memiliki kekuatan hukum. Asal diketahui, pengangkatan Bung Karno
sebagai presiden seumur hidup bukan datang dari Bung Karno. Juga bukan
dari pendukung setia Bung Karno (PKI). Pengangkatan itu atas usulan
perwira AD sendiri, yakni Brigjen Suhardiman. Pada awal Juli 1966
Soeharto menyetujui Nasution menjadi ketua MPRS. Beberapa hari kemudian –
5 Juli 1966 – MPRS mengeluarkan ketetapan: Soeharto selaku Pengemban
Supersemar diberi wewenang membentuk kabinet. Maka dibentuklah Kabinet
Ampera menggantikan Kabinet Dwikora. Kabinet baru ini tidak lagi berada
di bawah kekuasaan Presiden Soekarno, namun sudah di bawah Soeharto
selaku Ketua Presidium Kabinet.
Sejak itu secara formal berakhirlah
pemerintahan Presiden Soekarno. Nasution yang baru terpilih menjadi
ketua MPRS segera menyanyikan lagu gubahan Kelompok Bayangan Soeharto.
Tap MPRS yang lahir sebelum Nasution tampil, yang meminta Presiden
Soekarno melengkapi pertanggung-jawaban kepada MPRS tentang sebab-sebab
G30S kemudian dinyatakan ditutup begitu saja. Pada Desember 1966
Panglima AU Oemar Dhani ditangkap, menyusul kemudian para perwira
pendukung Bung Karno lainnya. Mereka semua dihukum bertahun-tahun tanpa
kesalahan yang jelas.
Proses selanjutnya: praktis Soeharto memimpin
Indonesia. Perlahan namun pasti Soeharto melenggang menuju kantor di
Istana Negara. Soekarno (yang katanya akan dikudeta oleh PKI) secara
politis sama sekali sudah tidak berdaya. Melalui UU nr. 10 tahun 1966,
DPRGR dan MPRS meminta pertanggung-jawaban Presiden atas peristiwa
berdarah G30S. Menanggapi itu Bung Karno menolak, sebab menurut Bung
Karno, berdasarkan UUD 1945 yang harus dipertanggung-jawabkan mandataris
MPRS hanya persoalan yang ada dalam GBHN. Sedangkan peristiwa G30S ada
di luar GBHN yang berarti Presiden tidak dapat dimintai
pertanggung-jawaban. Sejak itu Bung Karno (secara formal) dilarang
mengeluarkan ketetapan-ketetapan atau peraturan. Secara non-formal Bung
Karno sudah ditahan di Istana Bogor sejak 2 Oktober 1965. AD yang
diprakarsai oleh Soeharto dan didukung oleh Nasution menyokong keputusan
Soeharto untuk kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Saat itu
pula Soeharto memerintahkan Ketua MPRS untuk meninjau kembali semua
ketetapan MPRS yang dibuat antara tahun 1960 hingga 1963.
Dalam Sidang
Kabinet pada bulan Juni 1966 Bung Karno masih boleh hadir dalam
kapasitas tetap sebagai Presiden RI. Namun dalam sidang itu Bung Karno
diharuskan oleh Soeharto agar bicara yang intinya mengutuk G30S dan
harus mengakui bahwa Bung Karno terlibat di dalamnya. Juga harus
membenarkan pembantaian massal PKI dan antek-anteknya. Di luar dugaan,
ternyata Bung Karno sudah menyiapkan pidato yang diberi judul Nawaksara.
Inti pidato tersebut sama sekali menyimpang dari yang diperintahkan
oleh Soeharto. Pidato Bung Karno itu intinya juga tidak mengandung
penyesalan akibat proses pengambil-alihan kekuasaan. Tetapi pidato ini
ditentang oleh para opsir dan para ulama.
Pada tanggal 17 maret 1967
MPRS menyelenggarakan Sidang Istimewa. Intinya: dikeluarkan Tap MPRS
yang menurunkan Presiden Soekarno dan secara resmi menyerahkan
kepemimpinan nasional kepada Soeharto sebagai Pejabat Presiden sampai
terpilih presiden oleh MPRS hasil pemilu yang akan datang. Dengan begitu
Soeharto sudah benar-benar menggantikan Soekarno. Saat itulah Soeharto
menegaskan bahwa tentara memiliki peran sosial politik yang tidak
terbatas (kelak hal ini diterjemahkan menjadi Dwifungsi ABRI) DALAM
NEGARA. Saat itu pula ditetapkan bahwa Pancasila sebagai azas tunggal
negara. Soeharto saat itu mulai menyusun kekuatan agar kekuasaan berada
di satu tangan: tangan dia sendiri. Sebaliknya, terhadap Presiden
Soekarno, MPRS mengeluarkan keputusan sebagai berikut:- Presiden
Soekarno dinilai tidak dapat memenuhi tanggung-jawab konstitusionalnya-
Presiden Soekarno dinilai tidak dapat menjalankan Haluan Negara.
Karena
itu MPRS memutuskan melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan
politik sejak saat itu sampai dengan Pemilu yang akan datang- Juga
menarik mandat MPRS terhadap presiden yang diatur dalam UUD 1945 dan
mengangkat pengemban MPRS nr. 9 sebagai Pejabat Sementara (Pjs) Presiden
Soeharto hingga terpilihnya presiden hasil Pemilu.- Pjs Presiden tunduk
dan bertanggung-jawab terhadap MPRS.- Persoalan hukum yang menyangkut
Presiden Soekarno ditentukan sesuai hukum yang berlaku dan
pelaksanaannya diserahkan kepada Pjs Presiden. Secara garis besar
tindakan Soeharto sejak sebelum G30S sampai pembubaran kabinet bentukan
Bung Karno disebut pegamat asing sebagai creeping coup (kudeta
merangkak). Proses kudetanya tidak langsung menghantam dan musuhnya
jatuh, melainkan kudeta yang dilakukan secara mengendap-endap. Kata
mereka itu kudeta khas Indonesia.
Coba saja, setelah kekuasaan beralih Bung Karno masih berstatus
sebagai Presiden RI. Saat itu – bahkan sampai sekarang – saya melihat
proses peralihan kekuasaan tersebut sangat unik. Selain unik, juga
sangat membahayakan Soeharto sendiri seandainya perkembangan situasi
mengalami pembalikan. Tetapi rupanya Soeharto sudah memperhitungkan
semua dengan sangat matang. Terbukti, sama sekali tidak ada bahaya.
Malah, setelah itu Soeharto memperkukuh kekuasaannya dengan memreteli
semua keputusan MPRS yang dirasa memberi kewibawaan kepada Bung Karno.
Sebenarnya kudeta merangkak bukan pilihan Soeharto. Jika prosesnya
bergerak secara merangkak, itu karena terpaksa. Soeharto tidak bisa
begitu saja tampil ke puncak pimpinan nasional. Ia harus melewati para
jenderal senior dan berhadapan dengan Bung Karno yang saat itu begitu
kuat.
AKHIR
HAYAT UNTUNG Setelah ditangkap saya langsung ditahan. Saya diadili di
Mahkamah Militer Luar Biasa dengan tuduhan subversi dan dijatuhi hukuman
mati. Jalur hukum di atas vonis pengadilan – seperti naik banding dan
kasasi – sengaja ditutup sehingga mau tidak mau saya harus menerima
vonis hukuman mati itu. Jelas saya sangat terpukul pada saat itu. Dari
posisi orang nomor dua di Republik ini, saya mendadak sontak diadili
sebagai penjahat dan dihukum mati. Saya menjalani hukuman awal di
Penjara Cimahi Bandung. Di sana berkumpul orang-orang yang senasib
dengan saya (dituduh sebagai penjahat yang terlibat G30S). Di antaranya
adalah Letkol Untung yang memang komandan G30S. Selama beberapa bulan
kami berkumpul di penjara walaupun berbeda ruangan. Saya dan Untung
sudah sama-sama divonis hukuman mati. Baik saya maupun Untung tidak
diberi hak untuk menempuh jalur hukum yang lebih tinggi yakni naik
banding, apalagi kasasi. Sampai suatu hari di akhir 1966 Untung dijemput
dari selnya oleh beberapa sipir.
Diberitahukan bahwa Untung akan
dieksekusi. Itulah saat-saat terakhir Untung menjalani hidupnya. Saya
dan Untung yang sudah akrab selama berada dalam satu penjara benar-benar
terhanyut dalam suasana haru. Saya bukan hanya terharu tetapi juga
bingung, sedih, bahkan panik. Sebab Ahmad Durmawel (oditur militer yang
mengadili saya) saat itu memberitahukan bahwa saya akan mendapat giliran
(dieksekusi) empat hari kemudian. Saya ingat saat itu hari Selasa.
Berarti saya akan dieksekusi pada hari Sabtu. Sebelum Untung dijemput
untuk dibawa keluar penjara, saya sempat menemui Untung. Saat itu ia
sudah ditanya tentang permintaan terakhir, seperti lazimnya orang yang
akan dieksekusi.
Mungkin karena Untung sedang panik, ia tidak minta apa-apa. Untung
juga sudah tahu bahwa saya akan dieksekusi hari Sabtu. Maka pertemuan
saya dan Untung benar-benar luar biasa. Kami memang hanya
berhadap-hadapan dengan pakaian seragam narapidana, namun hati kami
tidak karuan. Untung segera akan ditembak, sedangkan saya empat hari
lagi. Saat itu ada kalimat perpisahan Untung yang saya ingat hingga
sekarang. Bahkan saya ingat suasana hening saat Untung menyampaikan kata
perpisahannya pada saya. Para sipir dan tentara berwajah angker yang
selalu siaga menjaga Untung, mengawasi kami dari jarak agak jauh. Mereka
seperti maklum dan memberi kesempatan terakhir bagi Untung untuk
berpesan kepada saya. Untung mengatakan demikian:
“Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih. Empat hari lagi kita ketemu lagi di sana” katanya sambil menunjuk ke atas.
Untung mengucapkan kata perpisahan dengan suara bergetar. Matanya
kelihatan berkaca-kaca. Tentara yang gagah berani itu tidak menangis,
tetapi saya tahu ia dalam kondisi sangat panik. Ia benar-benar tidak
menyangka bakal dikhianati oleh Soeharto. Jika menengok hari-hari
sebelumnya, Untung begitu sering mengatakan kepada saya bahwa tidak
mungkin Soeharto akan mengkhianati dia. Sebab dia adalah sahabat
Soeharto dan ia mengatakan bahwa Soeharto mengetahui rencana G30S,
bahkan memberi bantuan pasukan. Karena itu dia sangat yakin bahwa dia
tidak akan dikhianati oleh Soeharto. Tetapi toh kenyataannya berakhir
demikian. Menanggapi perkataan Untung, saya tidak bisa bicara apa-apa.
Saya hanya mengangguk-angguk. Para sipir dan tentara yang menjaga kami
menyaksikan semua adegan singkat tapi mengharukan ini.
Menjelang senja, Untung dengan pengawalan ekstra ketat berjalan
menuju pintu gerbang untuk meninggalkan Penjara Cimahi. Saya mengamati
keberangkatan Untung dari penjara. Ia berjalan tegap. Mungkin ia segera
bisa menguasai perasaannya yang begitu gundah. Tetapi mungkin pula ia
sudah pasrah kepada takdir Allah bahwa memang sampai di situlah
perjalanan hidupnya. Saya kemudian mendengar bahwa Untung dieksekusi di
sebuah desa di luar kota Bandung.
Saya sudah tidak sempat sedih lagi memikirkan nasib Untung, hidup
saya sendiri akan berakhir sebentar lagi. Bila mengingat hari-hari itu,
saya membayangkan Untung kecele (salah duga) dengan kata perpisahannya
kepada saya sesaat sebelum meninggalkan penjara karena ternyata dia
tidak menjumpai saya di alam sana. Terus terang, setelah Untung
dieksekusi, saya benar-benar gelisah. Manusia mana yang tidak takut jika
hari kematiannya sudah ditentukan. Tetapi – inilah keajaiban – Presiden
Amerika Serikat Lyndon B. Johnson dan Ratu Inggris Elizabeth, di luar
sepengetahuan saya, mengirimkan surat kawat kepada Soeharto. Saya
mengetahui ini dari seorang sumber beberapa hari kemudian. Isi surat dua
petinggi negara adidaya itu – ini juga ajaib – hampir sama. Intinya
berbunyi demikian: Soebandrio jangan ditembak. Saya tahu, dalam G30S dia
tidak terlibat. Soal, apakah ini merupakan intervensi asing atau bukan,
bagi saya tidak perlu dipikirkan lagi. Sejak dulu pun Indonesia selalu
diintervensi oleh negara lain. Yang penting bagi saya, mereka sudah
membantu saya dalam kondisi sangat panik. Dan ternyata kawat singkat itu
ampuh luar biasa. Akhirnya saya tidak jadi ditembak mati. Tentang
mengapa dua orang pimpinan negara Barat membantu saya, sungguh tidak
saya ketahui. Yang tahu persis hanya mereka berdua. Saya tidak pernah
meminta bantuan mereka.
Logikanya, tidak ada waktu bagi saya untuk minta
bantuan kepada orang lain, apalagi pimpinan negara lain. Hitung saja,
saya diberitahu tentang hari eksekusi saya sekitar lima hari sebelumnya.
Selama menunggu, saya hanya panik dan panik. Lagipula, bagaimana
caranya saya minta bantuan kepada mereka? Saya berada di dalam penjara
dan dalam pengawasan ekstra ketat, terutama pada hari-hari menjelang
eksekusi.
Namun jangan lupa, saya dulu adalah Menteri Luar Negeri. Saya akrab
dengan mereka berdua. Ketika perundingan tentang pembebasan Irian Barat,
saya banyak melobi pejabat di dua negara itu. Juga dalam tugas-tugas
yang lain. Tetapi bagaimana pun saya juga tetap tidak tahu bagaimana
mereka begitu yakin bahwa saya tidak terlibat G30S sampai-sampai mereka
dengan keputusan yang luar biasa berani mengirimkan kawat ke Jakarta.
Akibat kawat itu pula hukuman saya diubah dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup.
KARIR SAYA
Jika ada yang bertanya: lantas mengapa PKI dituduh sebagai dalang
G30S? Maka saya akan balik bertanya: siapa yang menuduh begitu? Jika PKI
mendalangi G30S atas inisiatif Aidit, maka Indonesia bakal menjadi
lautan darah. Bukan hanya banjir darah seperti yang sudah terjadi.
Betapa ngeri membayangkan PKI dengan 3 juta anggota didukung 17 juta
anggota organisasi onderbouwnya berperang melawan tentara yang hanya
ratusan ribu. Bila genderang perang benar-benar ditabuh, alangkah hebat
pertempuran yang
terjadi.Namun
seperti kita saksikan, PKI tidak melakukan perlawanan berarti pada saat
dibantai. Itu karena tidak ada instruksi melawan. Aidit malah lari dan
lantas ditembak mati. Bung Karno – yang juga bisa menjadi panutan PKI –
tidak memerintahkan apa-apa.Lantas saya dituduh PKI. Tuduhan atau stigma
terlibat PKI bukan hanya saya terima sendirian. Banyak tokoh yang tidak
disukai oleh Soeharto dituduh PKI. Ini bertujuan politis, agar
kekuasaan Soeharto langgeng. Bagi saya tuduhan itu lebih keji lagi. Saya
tidak hanya dituduh PKI, tapi juga dilontarkan julukan yang menyakitkan
hati. Saya dijuluki Durno.Target penghancuran diri saya oleh kelompok
Soeharto sebenarnya hanya sasaran antara. Tujuan utamanya adalah
menjatuhkan Bung Karno. Seperti sudah saya sebut, skenario Soeharto
merebut kekuasaan tertinggi ada 4 tahap:
1. menyingkirkan para perwira yang menjadi saingan beratnya, seperti A Yani dan Nasution (ini terwujud di G30S)
2. melikuidasi PKI, partai besar yang saat itu akrab dengan Bung Karno (ini terlaksana setelah PKI dituduh mendalangi G30S).
3. memisahkan Bung Karno dari para pengikutnya (ini tercapai saat
menangkapi 15 menteri – termasuk saya – sekitar sepekan setelah keluar
surat perintah 11 Maret 1966).4.
Setelah 3 tahap itu tercapai, Bung Karno dengan mudah dijatuhkan dengan cara seolah-olah konstitusionil melalui ketetapan
MPRS.Nah,
saya termasuk sasaran antara tahap ke-3. Saya bersama 14 menteri
ditangkap tanpa alasan jelas. Mula-mula saya ditangkap dengan cara sopan
oleh tentara: Maaf, pak, kami diperintahkan agar mengamankan Bapak dari
kemungkinan amukan rakyat, kata tentara yang menangkap saya. Lantas,
kami 15 menteri dikumpulkan di suatu ruangan sekitar Senayan.Beberapa
hari kemudian baru kami menyadari bahwa kami bukan diamankan tapi
ditangkap. Para tentara itu mulai bertindak kasar.
Akhirnya kami
dipenjarakan. Untuk menghancurkan nama baik kami, Soeharto menuduh kami
terlibat PKI. Bahkan menambahi saya dengan julukan Durno. Kami dihinakan
dan tersiksa lahir dan batin di penjara demi tujuan Soeharto meraih
kekuasaan.Saya
memang pernah aktif dalam organisasi politik tapi di PSI (Partai
Sosialis Indonesia). Kalau di PKI, saya sama sekali bukan anggota atau
simpatisan, walaupun pada saat saya masih di puncak kekuasaan dengan
merangkap tiga jabatan sangat penting, orang-orang PKI banyak mendekati
saya. PKI juga mendekati Bung Karno. Malah, anggota dan pimpinan PKI ada
yang menjadi anggota kabinet, bahkan anggota ABRI.