Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Bung Hatta. Show all posts
Showing posts with label Bung Hatta. Show all posts

Bung Karno dan Peta Dunia


Pernahkah anda memperhatikan peta dunia?, yang anda lihat pasti posisi Asia di tengah, Asia menjadi centrum dari tata gambar peta. Tahukah anda bahwa seluruh peta dunia yang beredar sekarang, peta dunia yang digantungkan di sekolah-sekolah seluruh dunia, di seluruh kantor resmi negara dan dipelajari anak-anak sekolah adalah pengaruh Bung Karno?

Awalnya setelah KMB 1949, dan penyerahan kedaulatan, Bung Karno berpikir tentang tatanan dunia setelah peperangan Indonesia, keberhasilan Indonesia memperpendek perang dengan Belanda dia meletakkan Indonesia sebagai centrum dari segala centrum gerakan kemerdekaan di Asia dan Amerika Latin. Pemahaman Bung Karno tentang meletakkan Asia sebagai centrum dunia ini dipengaruhi dua orang, yaitu : Tan Malaka dan Ki Ageng Suryomentaram.

Beberapa bulan setelah Proklamasi Agustus 1945, Tan Malaka berhasil dihubungi pemuda-pemuda di Bogor, lalu lewat Maruto Nitimihardjo, Tan Malaka berhasil dibawa ke Djakarta, disana juga telah hadir beberapa orang, setelah pidato Tan Malaka yang terkenal di Cikini atas permintaan mahasiswa Prapatan 10, Tan Malaka bertemu dengan Bung Karno yang diantar dokter pribadinya Suharto ke sebuah rumah lalu dibawa ke kamar gelap tanpa lampu disana Bung Karno dan Tan Malaka berbicara berdua, selama berjam-jam Bung Karno digembleng apa arti kemerdekaan dan meletakkan Indonesia dalam peradaban dunia. Bung Karno paham. Tapi kemudian Tan Malaka terseret arus gerakan yang lain dan berpisah jarak dengan Bung Karno.

Di bulan Maret 1950 Bung Karno kedatangan tamu dari Yogyakarta bernama Ki Ageng Suryo Mentaram, Ki Ageng Suryo Mentaram adalah anak dari Sultan Hamengkubuwono VIII yang telah meminta berhenti sebagai Pangeran dan menjalani kehidupan sebagai ahli kebatinan. Ia seorang pangeran yang unik, tapi brilian dalam memahami kehidupan, dia juga adalah orang yang mempengaruhi Bung Karno tentang konsep kemanusiaan dan kebangsaan, serta konsep harga diri sebagai manusia.

Pada tahun 1938 sebelum kekalahan Belanda dengan Jepang di tahun 1942, ia diam-diam menyusun kekuatan militer dengan melatih silat ratusan pemuda lalu sempat digerebek rumahnya oleh PID, Intel Hindia Belanda dan diseret ke penjara tapi kemudian Sultan HB VIII turun tangan menyelamatkan adiknya itu dengan uang jaminan, Ki Ageng menyadari ‘waktunya sudah dekat’ untuk Belanda pergi dari Indonesia dan di tahun 1942 sebelum lembaga Putera (Pusat Tenaga Rakyat) terbentuk dimana Bung Karno, Hadji Mas Mansjur, Hatta dan Ki Hadjar Dewantoro jadi pemangkunya, mengunjungi Ki Ageng Suryo mentaram untuk meminta doa restu, sekaligus disana dinasihati agar Putera segera membentuk pertahanan militer.

“Kehormatan manusia terletak pada keberaniannya, keberanian-lah yang membuat manusia ada” kata Ki Ageng Suryomentaram kepada Bung Karno. Pada pertemuan Ki Ageng Suryomentaram di Istana Merdeka, Ki Ageng berpesan pada Bung Karno agar untuk menjadi bangsa terhormat, maka ‘sadarilah diri kita ada’. Pesan Ki Ageng Suryomentaram inilah yang kemudian diresapi Bung Karno. Dan atas dasar Ki Ageng Suryomentaram didirikanlah PETA (Pembela Tanah Air) walaupun di buku-buku sejarah sering disebut Gatot Mangkoepradja menuliskan dengan jempol darah untuk meminta Jepang mendirikan Tentara Rakyat (PETA).

Setelah kepulangan Ki Ageng Suryomentaram Bung Karno berpikir dalam-dalam tentang Indonesia, kenapa Indonesia selalu tersingkir, kenapa Indonesia bangsa yang besar ini ‘seolah-olah tak ada di mata dunia’. Lalu Bung Karno duduk lama di perpustakaannya di Istana dan bergelut dengan puluhan buku, kebiasaan Bung Karno adalah ketika ia sudah mendapatkan ide tentang memikirkan sesuatu maka ia memerintahkan beberapa orang pegawai Istana mencari buku-buku dengan judul yang dimaksud, lalu buku-buku itu dibentangkan halamannya, jarang bagi Bung Karno menyelesaikan satu buku, sekali ia baca buku ia bisa membaca sepuluh buku, ia dengan cepat membaca struktur, menarik substansi daripada isi, lalu mencoret-coret isi tersebut disamping buku, notes-notes ini yang kemudian jadi pokok pikiran Bung Karno, inilah bedanya Bung Karno dengan Hatta yang bersih dari coretan dan Hatta selalu berdisiplin menyelesaikan satu buku yang dibacanya dengan rinci, tak boleh satu halaman-pun lecek, Hatta adalah pecinta fanatik buku, sementara Bung Karno lebih kepada perusak buku dan senang mengacak-acaknya, yang penting baginya substansi pemikiran sebuah buku ketemu.

Saat itu yang ia pikirkan adalah ‘Rahasia dibalik hilangnya Indonesia dari peradaban’, Bung Karno membuka catatan-catatan sejarah masa lalu Indonesia, ia membaca History of Java yang kemudian dihubungkan dengan buku Revolusi Perancis lalu ia meloncat ke buku tentang Geopolitik Karl Haushofer, ia meloncat lagi ke buku filsafat eksistensialisme dari berbagai macam buku akhirnya bertemu pada satu titik : “Keberadaan ditentukan oleh Perhatian, Keberadaan ditentukan oleh kesadaran ‘bahwa saya ada’…” ketika Bung Karno sampai pada kesimpulan tersebut lalu matanya menumpu pada Peta yang menggantung di perpustakaan Istana. Ia tercekat ‘dimanakah Indonesia?’ kemudian ia berdiri dari tempat duduknya dan mendekat ke peta, ‘Atlas ini tidak menempatkan Indonesia sebagai bagian utuh dunia, Indonesia hanya digambarkan garis-garis kecil. Kemudian ia teringat Tan Malaka dan Ki Ageng Suryomentaram tentang hakikat ‘keberadaan’.

Sebelum tahun 1900, pusat atlas dari dunia adalah Eropa, barulah pada tahun 1910-an, Amerika Serikat membuat atlas resmi yang menjadikan benua Amerika sebagai pusat Atlas. Seluruh Atlas dunia tidak menempatkan Asia sebagai pusat dunia. Bung Karno di tahun 1935 sudah meramalkan pusat dari dunia adalah Asia, lalu di masa masa Revolusi, Bung Karno sering mengobarkan pidato ‘Kelak dunia berpusat di Asia, seluruh dunia akan datang bangsa-bangsa Asia, untuk itu kita harus merdeka’ dan Indonesia adalah salah satu bangsa pertama yang merebut kemerdekaannya. Bung Karno melakukan hitung-hitungan bahwa Indonesia akan menjadi bangsa terkuat di Asia setelah melakukan penetrasi terhadap geopolitik dunia, namun untuk pertama-tama sebelum masuk pada penetrasi geopolitik, Bung Karno ingin dunia sadar bahwa Indonesia ada, dan Bung Karno berpikir bagaimana meletakkan Asia dan Indonesia sebagai pusat dunia dalam atlas.

Setelah merenung bermalam-malam tentang soal menyadarkan dunia bahwa ‘Indonesia ada’, akhirnya Bung Karno berpikir untuk membuat peta dunia. Suatu pagi Bung Karno mengundang sarapan Muhammad Yamin dan beberapa orang, Bung Karno senang sekali dengan M Yamin, jika Yamin bercerita soal kehebatan masa lalu Jawa di tengah bangsa-bangsa di dunia, walaupun harus diuji kebenaran fakta sejarah, tapi Yamin berhasil membuat definisi soal wawasan geopolitik Gadjah Mada dan jaringan Nusantara yang membentuk geopolitik keIndonesiaan. “Yamin, aku ingin membuat Peta dimana Asia dibuat jadi centris-nya, dimana Indonesia dengan ‘gagah’ berada di tengah-tengah bangsa di dunia”. Yamin langsung menyambar :”Coba saja panggil Pak Djamalludin, mungkin dia bisa” yang dimaksud Djamaluddin adalah Adinegoro, seorang jurnalis Indonesia terkemuka pada tahun 1920-an.

Djamaluddin yang punya nama pena Adinegoro itu, merupakan orang Indonesia pertama yang belajar soal Jurnalistik secara khusus, ia belajar langsung ke Jerman, disana ia berguru dengan Professor E. Dofivat. Ketika belajar di Jerman ini juga Adinegoro bergabung dengan perkumpulan yang bernama Asiatische Verein, persatuan Asia, sebuah embrio gerakan besar yang menyadarkan kebesaran Asia ditengah-tengah dunia yang sedang bergolak. Saat Adinegoro belajar di Jerman juga ia menekuni dengan jeli buku Karl Haushofer yang berjudul : Geopolitik Des Pasifischen Ozeans. Dalam buku Politik Lautan Teduh diramalkan bahwa bangsa Melayu (Indonesia) akan jadi bangsa Merdeka dan menjadi bangsa maritim terkuat di dunia. Kesadaran ini juga yang terus mendorong Adinegoro untuk menekuni sejarah geopolitik dan kerap menulis tentang laporang Perang Dunia yang meletus di tahun 1939 sampai dengan tahun 1945.

Rupanya pemikiran Bung Karno dan Djamaluddin Adinegoro satu ordinat, mereka terus berdiskusi soal Kartografi yang intinya meletakkan Asia ditengah-tengah. Bung Karno berkata “Pak Adinegoro, saya paham Asia akan jadi pusat dunia, dan saya akan mengarahkan Indonesia jadi bangsa terkuat di Asia, Indonesia yang menyumbangkan bagi peradaban dunia, Indonesia menjadi bangsa yang mampu menciptakan kesejahteraan dunia, pusat budaya, pusat Ilmu Pengetahuan, itu obsesiku, lalu dengan meletakkan Indonesia ke dalam titik sentral Asia, dan menjadi Asia sebagai pusat dunia adalah fase awal dalam membentuk kesadaran ‘bahwa kita ada’.

Itulah pesan Bung Karno pada Adinegoro, lalu Adinegoro mengajak kawannya Adam Bachtiar untuk menyusun Atlas dengan Asia sebagai pusatnya, pada tahun 1952 peta itu selesai dan diserahkan pada Bung Karno, penerbit Peta itu adalah Penerbitan ‘Djambatan Amsterdam’ yang kemudian namanya menjadi singkat saja ‘Penerbit Djambatan’. Bung Karno memerintahkan Peta terbitan Djambatan itu digunakan resmi di sekolah-sekolah, kantor negara dan umum. Lalu peta itu menyebar, setelah pamor Bung Karno naik di Konferensi Asia Afrika, Peta versi Djambatan ini ditiru banyak bangsa di dunia.

Sejak itulah peta yang menggunakan Asia sebagai pusatnya paling banyak digunakan diseluruh dunia, Peta versi Penerbit Djambaran. Hanya Amerika Serikat yang masih menggunakan Peta dengan menempatkan Amerika Serikat sebagai pusat dunia, lain negara menggunakan peta yang hampir persis dengan penerbit Djambatan ini.

Inilah peran Bung Karno di masa lalu, inilah mimpi bangsaku di masa lalu, dan ketika di hari-hari ini Indonesia dipertontonkan oleh para politisi maling di Pengadilan, mereka yang maling dan berdebat di televisi-televisi, betapa malunya kita kalau kita sadar sejarah, bahwa bangsa Indonesia dibentuk oleh manusia-manusia bervisi raksasa, idealisme dan besar kemudian diperintah dan dipimpin sebarisan maling yang saling berdebat memamerkan kepandaian mereka mencuri uang negara di depan mata rakyat, seraya rakyatnya kelaparan dan BBM dinaikkan tanpa pembelaan negara berjuang memberikan subsidi.

Jadi jika anda melihat TV dan mendengarkan radio bagaimana maling berdebat, palingkanlah mata anda ke Atlas dunia, disitu kita pernah punya mimpi Indonesia sebagai bangsa besar.

Tujuh Kata Piagam Jakarta yang Hilang

“… dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Tujuh kata inilah yang dulu (bahkan sampai sekarang) menjadi perdebatan di negara ini. Tujuh kata inilah yang kemudian disebut sebagai “Tujuh Perkataan Piagam Jakarta”.


Ketika para pendiri Republik ini (terutama panitia sembilan) berhasil merumuskan satu gentement agreement yang sangat luhur dan disepakati pada tanggal 22 juni 1945 kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Sesungguhnya Piagam Jakarta inilah mukaddimah UUD ’45 yang pertama. Tanggal 17 Agustus 1945 pada hari Jum’at dan bulan Ramadhan, Indonesia lahir sebagai negara dan bangsa yang merdeka. Dan hendaknya disadari oleh setiap muslim, bahwa Republik yang lahir itu adalah negara yang “berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Negeri ini pernah berdasar pada syari’at Islam, meskipun syari’at Islam yang dikompromikan, karena pada dasarnya syari’at Islam adalah rahmatan lil’alamiin, bukan hanya untuk umat Islam.

Bung Hatta
 
Namun keesokan harinya, tanggal 18 Agustus, rangkaian kalimat“berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan yang Mahaesa”. Di antara tokoh yang berjasa besar merubah rangkaian kalimat tersebut adalah Bung Hatta. Dalam buku beliau yang berjudul “Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945”, pada bab 5 “Pembentukan indonesia Merdeka oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia”, halaman 66-67, Bung Hatta menjelaskan seputar perubahan rangkaian kata tersebut.

“Pada sore harinya saya menerima telepon dari Nisyijima, pembantu Admiral Maeda menanyakan, dapatkah saya menerima seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut), karena ia mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi indonesia. Nisyijima sendiri yang akan menjadi juru bahasanya. Saya persilahkan mereka datang. Opsir itu yang saya lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan dengan sungguh-sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap golongan minoritas. Jika “diskriminasi” itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.”

Itulah sebab atau asal mula dicoretnya tujuh perkataan Piagam Jakarta. Tentang hilangnya tujuh kata tersebut, M. Roem mengatakan, “Hilangnya tujuh perkataan itu dirasakan oleh Umat Islam sebagai kerugian besar dan tidak jarang yang menyayangkannya. Tetapi, karena hilangnya tujuh kata itu dimaksudkan agar golongan Protestan dan Katolik jangan memisahkan diri dari Republik Indonesia, maka umat Islam memberi korban yang besar itu. Karena itu, Menteri Agama, Jendral Alamsyah Ratu Prawiranegara, menamakan Pancasila adalah hadiah terbesar yang diberikan umat Islam kepada Republik Indonesia.”


Namun, M. Roem mempunyai beberapa pertanyaan mengenai pencoretan tujuh kata tersebut, dalam kata pengantar buku “PIAGAM JAKARTA 22 Juni 1945” karya H. Endang Saifuddin Anshari, beliau menuliskan, ” Apakah opsir Jepang tersebut wakil dari Kaigun? Dari mana Kaigun mengambil wewenang untuk menjadi penyambung lidah golongan Protestan dan Katolik? Apakah ada resolusi yang diambil oleh golongan Protestan dan Katolik, bahwa mereka lebih baik di luar Republik, kalau tujuh kata tersebut ada dalam preambule Undang-Undang Dasar 1945? Bukankah dalam panitia sembilan yang merumuskan dan menandatangani Piagam Jakarta 22 Juni 1945 itu antara lain duduk Mr. A.A. Maramis yang dapat dipandang mewakili golongan Kristen? Bukankah dalam sidang pleno Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan yang menerima bulat Piagam Jakarta tanggal 11 dan 16 Juli 1945 itu terdapat pula orang-orang Kristen lainnya, antara lain Mr. Latuharhari,seorang pemimpin terkemuka?”

Rangkaian pertanyaan yang kritis dan mendalam, namun nasi telah menjadi bubur. Semua sudah terlambat dan tujuh kata telah dicoret. Kejadian yang telah menorehkan luka yang mendalam bagi umat Islam Indonesia. Menggoreskan kekecewaan yang begitu dalam. Harapan untuk diatur dengan hukum syari’at telah sirna dengan dicoretnya tujuh kata Piagam Jakarta. Piagam Jakarta telah menjadi sejarah di negeri ini.

Dalam menyikapi hal ini, M. Roem mempunyai pandangan yang bijaksana, beliau mengatakan, ”Semua itu sudah menjadi sejarah. Hal itu tidak dapat dikembalikan, tetapi semangatnya hidup dan bersemayam di hati sanubari rakyat. Bagaimana perasaan orang jika sesuatu sudah menjadi sejarah, kita setuju atau tidak, tidak pada tempatnya kita menyayangkan sesuatu, laksana menyayangkan susu sudah tertumpah.”

Ya, Piagam Jakarta telah menjadi sejarah. Tiada guna menyesali semua, semua telah berlalu. Semua telah menjadi sejarah dan Tak mungkin mungkin kembali.

Namun, yang harus terus dimiliki oleh pejuang dakwah negeri ini adalah semangat untuk menerapkan hukum Allah. Bagaimana pun keadaannya. Sebagaimana perjuangan yang telah dilakukan bapak-bapak kita saat menyusun dasar negara ini. Dengan semangat keislaman yang luar biasa, mereka berhasil memasukkan Islam dalam konstitusi dasar Indonesia. Meskipun pada akhirnya, Allah berkehendak lain. Semangat untuk menerapkan hukum Allah harus selalu ada di sanubari yang paling dalam pada setiap diri kita yang mengaku sebagai umat Islam. Semangat yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dilakukan dengan tindakan nyata. Sebagai manifestasi dari keimanan kita sebagai muslim. Tugas kita saat ini adalah berjuang untuk tegaknya Islam di bumi Allah ini. Bukan tidak mungkin, suatu saat nanti Islam akan kembali tegak, entah di generasi kita, ataupun di generasi sesudah kita. dan semoga kebangkitan Islam di dunia bermula dari sini, dari Negeri yang kita cintai. Indonesia.

Wallahu a’lam.

Referensi :
Majalah Islam “SABILI” Edisi Khusus No. 9 Th. X 2003, Halaman 83-84
Anshari, M.A, H. Endang Saifuddin. 1997. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 : Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1956-1949). Jakarta : Gema Insani Press.

Manusia yang Bersumber Daya


Oleh: Jusman Syafii Djamal

Lima tahun lalu , seorang sahabat sekaligus guru saya Prof.Mardi Hartanto Guru Besar Teknik Industri ITB, menulis buku tentang “human Resorces Development”, Pengembangan Sumber Daya Manusia. Dalam buku itu beliau menolak thesis klasik yang menyatakan bahwa manusia itu asset perusahaan, yang nilai nya bisa mulur mungkret, bisa naik turun karena harga pasar. Sebab melalui pendekatan karyawan atau manusia ayang bekerja dikategorikan sebagai asset yang  nilainya naik turun, maka biaya pengembangan SDM selalu dipandang sebagai Cost, atau Biaya.


Karena itu beliau merekomendasikan agar istilah Sumber Daya Manusia diganti menjadi Manusia Yang Bersumber Daya. Dengan istilah ini karyawan atau manusia selalui dipandang sebagai “center of excellence” atau pusat keunggulan perusahaan. Sehingga jika ada biaya yang dikeluarkan untuk meningkatkan keahlian, keterampilan dan kesamaptaan dari karyawan sebuah perusahaan, maka biaya yang dikeluarkan tidak dipandang sebagai Cost melainkan sebagai Investasi.

Pada Juli 1997, sahabat debat saya sekaligus Guru Besar di ITB Prof Iskandar Alisyahbana, yang kini sudah almarhum (semoga Allah Lapangkan jalan Ke SurgaNya), menceritakan fikirannya setelah membaca buku Blind Watchmaker karya Richard Dawkins.

Beliau kurang lebih bilang begini:”Manusia itu mengalami proses evolusi dalam dua hal, yang pertama Gene dan kedua Meme.  Genes yang berasal dari bahaya Greek berarti “born” atau lahir. Dalam bahasa Inggris disebut Gen yang diartikan sebagai “something that produce something”, dan dijelaskan lebih rinci dalam kata gene yangberarti :”unit of inheritance thats is carried on a chromossome, controls transmission of hereditary characters and consist of DNA or in some vuruses RNA (Penguin, English Dictionary). Gene adalah sifat dan karakter  alamiah yang dibawa secara turun temurun dari sejak lahir dalam DNA atau dalam virus RNA.

Sedang meme adalah “geist” atau mind and spirit atau akal budi yang selalu tercerahkan dan melahirkan hasil karya cipta dan karsa manusia  sebagai unsur budaya suatu bangsa, dimana Ilmu Pengetahuan dan Teknologi termasuk didalamnya.

Gene berkembang biak dan menyebar berpindah dari satu generasi melalui sperma dan telur. Sementara meme tumbuh berkembang, menyebar luas dari otak ke otak yang lain melalui proses yang disebut sebagai proses imitasi, mutasi, variasi dan seleksi. Sebagian dari meme aka musnah dan terlupakan, karena banyak manusia tidak percaya dan tidak dapat setuju dengan buah fikiran yang terkandul dalam meme tersebut. Sejak dahulu sudah berlaku bahwa fikiran fikiran yang berguna dan berkhasiat akan diteruskan dari orang tua kepada anak cucunya. Begitu kata Prof Alisyahbana. (tulisannya pernah dipresentasikan dalam Strategic Management Workshop Teknik Industri berjudul :”Human Resources Development and Human Geist).
Proses Evolusi Meme atau Human Geist atau bahasa Jerman dari  Mind and Spirit atau akal budi manusia sebagai hasil evolusi kebudayaan dan peradaban, terjadi dalam proses interaksi saling asih, asah dan asuh yang tumbuh dari rasa cinta orang tua, guru, dan para sahabat atau bahkan lawan tanding yang muncul dalam bentuk pengalaman hidup. Karenanya evolusi meme jauh lebih cepat dibanding evolusi gene.

Seorang insinyur yang merancang mesin berupaya dengan sungguh sungguh mendapatkan karya yang paling unggul dari ide yang muncul. Ada dua cara yang ia tempuh melalui proses tinkering atau trial and error atau mengotak atik  dengan membuat banyak mesin prototype yang beraneka ragam variasinya. Kemudian diseleksi untuk mendapatkan karya optimumnya. Tapi ada juga jalan yang ditempuh melalui proses “think” berfikir melalui proses iterasi dalam simulasi komputer untuk membuat pelbagai model matematika dan model rekayasa rancang bangun untuk kemudian diiterasi mendapatkan “the best among the goods” atau primus interpares, yang terunggul dari semua yang  terbaik.

Kedua proses tinkering dan “think” ini mempercepat proses evolusi meme atau buah karya cipta manusia sebagai hasil evolusi kebudayaan. Melalui proses tinkering atau trial and error dalam eksperimentasi serta “think” berfikir dalam proses riset pengembangan secara sistimatis berjenjang dan berkelanjutan dari  ruang laboratorium , iterasi dalam simulasi model komputer, pembuatan prototype yang dibimbing oleh iptek, telah mebawa kecepatan pertumbuhan evolusi meme. Ambil contoh pelbagai jenis teknologi yang dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas manusia pada awal tahun 60an berkembang setiap sepuluh tahun sekali, tahun 1986 “daur hidup” atau “life cycle technology” adalah setiap dua tahun sekali, kini di tahun 2012 setiap enam bulan sekali kita menemukan teknologi baru. Meme bervolusi lebih cepat dari gene. Kerana potensi kreatip manusia atau meme yang merupakan produk kebudayaan dan peradaban manusia tumbuh lebih cepat dari gen.

Hal inilah yang kurang lebih disebut sebagai Manusia Bersumber Daya oleh Prof. Mardi Hartanto. Manusia memiliki Geist atau Mind and Spirit sebagai sumber daya yang selalu mengalami proses nilai tambah dan terbarukan dalam proses evolusi kebudayaan. Kebudayaan suatu Bangsa selalu cendrung berorientasi menemukan yang terbaik dari potensi yang ada dalam jati diri melalui interaksi dengan semama warga bangsa dan dengan bangsa lain didunia.

Dengan kata lain Manusia Bersumber Daya dalam lingkungan perusahaan memerlukan ekosistem dalam bentuk budaya kerja yang bertransformasi sepanjang masa sesuai dengan perubahan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasainya.

Ketika tahun 2005 saya diminta pak Rachmat Gobel untuk bertemu dengan kel Konosuke Matsushita agar dapat disetujui menjadi Chairman Yayasan Matsushita Gobel, — yayasan yang didirikan dari dana pribadi alm Drs Thayeb Mohamad Gobel dan Konosuke Matsushita founding father Panasonic– saya diikenalkan dua konsep pengembangan industri Jepang, yakni Monozukuri dan Hitozukuri. Mono berarti product, dan Hito berarti people. Zukuri bermakna “producing” or “manufacturing”.

Kedua konsep in merupakan dua sisi dari mata uang yang sama, selalu berpasangan. Tak mungkin  satu perusahaan dapat memproduksi suatu barang jadi atau barang setengah jadi atau produk akhir yang unggul di pasar, jika perusahaan tersebut tidak mampu mengembangkan ekosistem tempat kerja dimana sesama karyawan saling asih, saling asuh dan saling asah. Hanya karyawan yang unggul dapat melahirkan produk unggul.People before product Concept.

Create Atmosphere to attract and produce good quality people first, before producing a good quality product. Man behind the gun is more important than a gun itself. Melahirkan dan memproduksi tenaga kerja berkualitas unggul perlu jadi prioritas utama sebelum memproduksi barang yang baik.

Tetapi produk yang unggul tak mungkin lahir jika cita rasa dan kebutuhan utama para pembeli atau pelanggan tidak dijadikan orientasi dari rekayasa, rancang bangun produk. Dalam hal ini Cost Quality and Delivery Time menjadi kata kunci atau pilar utama. Sebab pada akhirnyapenghargaan pelanggan yang mau membeli, menyimpan dan menggunakan serta memanfaatkan produk tersebut yang membuat suatu barang menjadi berharga atau bernilai. Nilai dalam bentuk dollar, yen atau rupiah ini kemudian masuk kedalam kas perusahaan dirubah menjadi revenue stream untuk digunakan sebgai modal selanjutnya untuk melahirkan produk yang lebih baik dimasa depan dan kesejahteraan karyawan serta pemegang saham, dan tentunya pajak bagi negara.

Dengan jalan fikiran demikian membangun industri tak identik dengan membangun pabrik.Pabrik adalah lokasi kerja dimana manusia bertemu bahan baku dan mesin pengolah bahan baku menjadi produk. Pabrik berorientasi pada tatacara memproduksi barang secepat cepatnya dan sebanyak banyaknya sesuai target ditetapkan dan beroientasi pada hasil semata berdasarkan “standard operating procedure”. Dalam miliu pabrik sumber daya manusia bisa mengalami “loneliness”.

Sementara Industri adalah sebuah wahana transformasi.  To transform dalam Penguin English Dictionary diterjemahkan sebagai :” to change something radically, e.g in structure, appearance or character”, atau “to change a current in potential , e.g from high voltage to low voltage (agar listrik dapat digunakan tanpa kesetrum) atau “to subject a configuration to a mathematical transformation”.

Dengan kata lain industri sebagai wahana transformasi dapat merubah secara drastis “gaya hidup” dan “gaya bekerja” dari bersifat individual , tak mengenal arti waste dan kualitas, tak tau “time line” atau delivery time dan efsiensi biaya atau bekerja asal asalan, serampangan tak kenal agenda dan check list, tak disiplin , ngawur ditransformasikan menjadi “gaya hidup” dan gaya kerja yang mengedepankan satu set nilai budaya berbasis perbaikan terus menerus atas tingkat produktivitas, efisiensi dan competitiveness. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin menjadi kultur kerja yang melekat.

Inilah yang dimaksud dengan Hitozukuri dan Monozukuri, producing a good people before producing good product. Industri menjadi wahana transformasi untuk merubah secara radikal karakter, struktur dan tampilan sebuah bahan baku atau raw material menjadi produk jadi yang berdaya guna tinggi.

Dan itu hanya mungkin dicapai oleh Manusia yang berSumber Daya. Setiap Manusia berSumber Daya memiliki tingkat kesamaptaan atau keterampilan atau skill yang bersifat unik, otentik  dan orisinal , sebagai buah dari tradisi keluarga, pendidikan masa kecil baik formal maupun informal. Sehingga ia dapat ditempatkan pada satu “job title”, dan job value tertentu yang tepat dan sesuai dengan tingkat kesamaptaannya.

Melalui suatu eksosistem yang mengedepankan proses “continuous improvement” dalam wadah “learning organization” akan tercipta ruang kebebasan bagi tiap Manusia Bersumber Daya menjadi dirinya sendiri, sehingga tiap diri dapat  eksis menonjol dan berdaya guna tinggi dalam setiap tantangan pekerjaan yang dihadapinya, dalam satu jaringan kerja dan mata rantai nilai tambah yang eksis dalam perusahaan.

Melalui jenjang pengalaman pekerjaan yang memiliki tingkat kesulitan dari sederhana hingga paling rumit, tia Manusia ber Sumber Daya secara bertahap , bertingkat dan berlanjut mendapatkan investasi tambahan berupa proses pelatihan, seminar, workshop, debat diskusi dialog, sehingga ia mampu meningkatkan “value added” individunya. Atau seperti kata Jean Paul Sartre, proses transformasi melalui pekerjaan akan menjadi wahana dimana tiap Eksistensi melahirkan Esensi.

Eksistensi yang terwujut dalam potensi keahlian yang dimilikiya secara orisinal atau Entre en Soi (eksistensi yang ada begitu saja yang berujut potensi) dapat ditransformasikan melalui kesulitan tantangan pekerjaan yang diberikan oleh mekanisme serta struktur organisasi dan sistem tata cara kerja  dalam perusahaan, sehingga diubah menjadi Entre pour soi (eksistensi yang terwujut dalam tingkat keahlian tertentu yang memiliki value dan ruang pilihan kebebasan profesional bagi dirinya sendiri).

Begitu kurang lebih kata Prof Mardi Hartanto. Dengan menggunakan istilah Manusia Bersumber Daya, Prof Mardi seolah  ingin menjelaskan konsep Indonesia Bersumber Daya, Jawa Bersumber Daya, Kalimantan Bersumber Daya, Sumatera Bersumber Daya, demikian juga Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara , Kepulauan Maluku dan Papua yang berSumber Daya.

Demikian catatan saya, mudah2an bermanfaat.


Ada teman fb yang minta agar istilah sumber daya manusia jang diubah ke manusia bersumber daya. Bikin tambah rancu, sebab istilah ini sudah baku digunakan. Sudah banyak kantor baik swasta maupun peerintah gunakan istilah ini. Sebetulnya saya hanya ingin menggunakan istilah manusia bersumber daya untuk ikuti kaidah Bahasa Indonesia menganut hukum DM, diterangkan menerangkan. Misal, kata Bandara Internasional merujuk dari fungsi Bandara, yakni terminal pesawat terbang untuk rute Internasional.


Kata Sumberdaya Manusia , dapat bermakna Manusia merupakan hanya salah satu sumber daya. Ia menjadi objek bukan subjek. Sebab yang diterangkan adalah Sumber Daya, yang menerangkan adalah kata Manusia. Sama seperti kata Sumber Daya Mineral, Sumber Daya Alam, Sumber Daya Air dan Sumber Daya yang lain. Ada kehawtiran Prof Mardi Hartanto, penggunaan istilah sumber daya manusia sebagai terjemahan kata Human Capital atau Human Resources menyebabkan manusia atau tenaga kerja dipandang sebagai komoditi yang sama seperti air, mineral atau pepohonan. Bukan subjek melainkan objek eksplorasi dan ekpoitasi.Tidak ada keharusan untuk menempatkan manusia sebagai fokus perhatian.

Dalam perkataan Sumber Daya Mineral, fokusnya adalah Mineral, manusia tidak masuk kategori yang menjadi pusat perhatian. Demikian juga pada kata Sumber Daya Air, hanya air yang menjadi pusat unggulan. Begitu seterusnya.

Dengan pendekatan Manusia Bersumber Daya, terkandung harapan agar  manusia  Indonesia berkeahlian tinggi dalam proses eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral dapat ditonjolkan berkelas dunia. Sebab banya ahli perminyakan Indonesia yang menonjol dan berkelas internasional yang saya tau tersimpan dalam ruang sempit tanpa peran berarti, karena pertamina sudah berusia lebih  50 tahun. Yang merisaukan hingga kini, kita masih saja selalu mendengar penjelasan resmi, Indonesia ke kurangan ahli perminyakan. SDM nya masih perlu dilatih dan ditraining lagi, jika kita inginkan adanya kemampuan Bangsa Indonesia untuk mengolah sendiri secara mandiri semua potensi sumber daya mineralnya.

Akibatnya tekad Bangsa Indonesia untuk memiliki kemandirian selalu terbentur dalam dua hal : Capital dan SDM.Apa benar begitu wallahu alam. Sebab dalam bidang Manusia bersumber daya iptek perminyakan dan geologist saya lihat dan temui banyak teman yang memiliki keahlian luar biasa dan bekerja diladang ladang minyak di luar negeri. Di negara lain diapesiasi, didalam negeri sendiri tidak punya “playing field”

Dalam dunia perminyakan dan pertambangan, banyak sekali manusia Indonesia berkeahlian tinggi, kurang mendapatkan “spot light” atau titik utama perhatian pengambil kebijakan. Yang utama hanyalah bagaimana menggali dan menggali minyak sebagai komoditi yang makin hari makin langka dan harganya meningkat sehingga subsidinya menjadi persoalan. Akan tetapi yang menarik dalam tivi dan radio serta koran majalah yang mebahas soal minyak Indonesia adalahkalangan ahli ekonomi atau ahli ilmu sosial dan pengamat. Tetapi ahli perminyakan sendiri, tidak diberi ruang untuk bicara. What really happen we still do not know yet ?

Bung Karno sebetulnya pernah mengajukan konsepsi agar  Bangsa Indonesia berorientasi pada peningkatan keahlian dan kapasitas yang muncul dari dalam negeri, untuk tampil dalam arena internasional. Bung Karno seorang insinyur lulusan ITB. Ketika suatu pagi berjalan di bumi Parahyangan yang indah permai, ia bertemu seorang petani yang sejak subuh setelah shalat mencangkul tak kenal henti. Karena tertarik Bung Karno menyapa, apa yang engkau kerjakan. Mencangkul jawab petani. Apa ini sawahmu, kata Bung Karno, ya.

Berapa luasnya tanya Bung karno, kurang dari 0,3 hektar jawab petani. Apa itu cangkul mu ? ya saya pemiliki cangkul ini. Gubukitu, tunjuk bung Karno apa juga punya kamu, ya jawab petani. Kamu makan tiap hari ? Tidak kata petani, jika tidak panen aku sehari makan, sehari puasa.

Bung Karno kaget, lantas bertanya siapa namamu. Marhaen jawab petani sambil menatap matanya ke Bung Karno. Sejak itu Bung Karno mengenalkan istilah Marhaen sebagai ganti orang desa, petani dan nelayan. Bung Karno bilang Marhaen adalah Manusia Indonesia yang memiliki sumber daya terbatas. Ladang terbatas, sawah terbatas, cangkul satu gubuk satu. Jumlah kekayaan sumber daya yang dikuasainya tidak memiliki skala ekonomi untuk mencukupi kebutuhan hariannya. Ia tidak mampu berdiri diatas kakinya sendiri.

Dengan mengenalkan istilah Marhaen, sebagai pemilik kapital sangat kecil sehingga tak mampu berdiri diatas kakinya sendiri. Bung Karno merujuk pada para Petani yang hanya memiliki cangkul satu buah dan lahan kurang 0,3 hektare, jadi tak punya sumber daya untuk mengangkat harkat hidupnya dengan kekayaan yang dimilikinya. Demikian juga para Guru, para Pegawai Negeri dst, yang semuanya hanya  memiliki sumber daya yang dikuasainya sendiri tapi jumlahnya terlalu kecil untuk mampu di”leverage” menjadi kekuatan ekonomi mandiri yang menjadi sumber pemberi nafkah kehidupan pada anak isterinya. Karena itu mereka selalu kalah bersaing dengan pemiliki sumber daya yang lebih besar.

Sejak itu, Bung Karno kemudian tenggelam dalam perjuangan untuk membangun persatuan dan kesatuan Bangsa. Hanya dengan persatuan Bangsa kita bisa tegak sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa bangsa lain didunia. Kemudian Bung Karno ketemu Hatta, Sutan Syahrir, Ki Hadjar Dewantara, Wachid Hasyim, Sudirman dan semua tokoh founding father Republik Indonesia. Bung Hatta dan Bung Karno kemudian mengenalkan istilah sosio demokrasi, demokrasi politik dan demokrasi ekonomi melalui wahana Koperasi bersemangat Gotong Royong sebaai upaya untuk menyatukan kekuatan ekonomirakyat itu.

Dengan memflashback cerita Bung Karno ini, saya ingin mengatakan bahwa Manusia Bersumber Daya dari sejak Proklamasi menjadi titik sentral Proses Pembangunan Bangsa Indonesia. Melalui kemerdekaan Manusia Indonesia bersumber daya perlu diberi kesempatan untuk menguasaiIlmu Pengetahuan dan Teknologi. Mengelola alat dan peralatan utama produksi baik di bidang agraria maupun industri serta jasa.

Memiliki akses terhadap sumber daya berupa Man, Money,Machine and Management sehingga dapat dimanafaatkan sepenuh penuhnya untuk menjadi Bangsa yang mandiri. Upaya untuk membangun kemandirian Bangsa itu telah diperjuangkan sejak tahun 1945-1965 melalui Program Nation Character Building dalam Program Pembangunan Semesta. Kemudian dalam masa orde baru 1967-1998 PAk Harto melalui lima tahapan Pelita dikembangkan program sistimatis berkesinambungan, yang kemudian semuanya menjadi kadaluarsa ditelan karena KKN yang melahirkan krisis ekonomi berujung pada prosesn Reformasi tahun 1998.

Kemudian selama 12 tahun Prsiden Habibie, Presiden Gus Dur, Presiden Megawati dan Presiden SBY dengan sungguh sungguh dan kerja keras menyusun dan mengimplementasikan program untuk membalik arah pembangunan ekonomi (turn around and restructuring) dari yang tadinya bersifat terpusat atau sentralistik menjadi desentralisasi dengan otonomi daerah untuk membangkitkan kekuatan ekonomi lokal.

Beruntung ada proses konsolidasi demokratisasi dan desentralisasi yang secara bertahap dan berkesinambungan dilaksanakan secara estafeta oleh empat presiden dari kurun waktu 1998-2009. Yang kesemuanya membuka kesempatan lebih luas bagi Indonesia untuk tumbuh dan bekembang. Dibawah kepeimpinan SBY priode kedua 2009-2014 , kini Indonesia masuk dan naik kelas menjadi anggota klub elite dunia Negara G20 dan  kestabilan kebijakan ekonomi makro serta stabilitas politik , hukum dan ekamanannya telah menyebabkan Indonesia memiliki daya  tahan terhadap setiap  goncangan krisis finansial dunia.

Kita telah mampu memiliki ketahanan alamiah dan sistem recovery yang menyebabkan daya juang dan daya survival kita sebagai bangsa. telah teruji sepanjang sejarah kelahiran dan pembenutukannya.
Pertanyaanya kini dengan modal yang kuat itu, What Next ? Kemana kita hendak melangkah untuk mengembangkan Manusia Indonesia yang ber Sumber Daya IPTEK, agar masa depan Indonesia mampu tumbuh atas dasar inovasi dan proses pengolahan bahan mentah menjadi setengah jadi dan produk jadi, dalam proses transformasi nilai tambah. Baik disektor pertambangan mineral, gas dan minyak bumi. Maupun dalam sektor pertanian, perternakan dan kelautan. Atau sektor manufaktur dan industri padat teknologi lainnya.

Jika Manusia Indonesia tetap ber sumber daya dalam skala mikro.Jika Manusia Indonesia hanya Sumber Daya IPTEK terbatas dengan modal kapital yang juga pas pasan. Maka kita memiliki Keahlian dan keterampilan tapi tak punya peralatan dan laboratorium yang cukup untuk mengeksplorasi keahlian yang dimiliki. Lapangan kreatif kita menjadi ruang sempit. Petani Memiliki sawah tapi tak dapat diolah menjadi pusat produksi pangan yang baik, karena modal untuk membeli pupuk,pencegahan hama, bibit unggul tak dimiliki. Jadi semuanya berskala mikro dan tak memiliki “economic of scale” untuk mampu menjadi besar.

Karena itu sudah saatnya  kata Manusia Indonesia Bersumber Daya   ditonjolkan sebagai fokus utama kebijakan pembangunan Indonesia kedepan. Sehingga dimasa depan “formulasi kebijakan ekonomi” menjadi berorientasi pada :”People Centered Development”, Pembangunan Ekonomi dengan menempatkan Manusia Bersumber Daya sebagai aktor utama dan sekaligus tujuan utamanya. Growth with Equity. Setiap aktivitas ekononomi harus dijadikan wahana transformasi Manusia Bersumber Daya skala mikro menjadi Manusia Bersumber Daya skala Makro yang padat ilmu pengetahuan dan teknologi dan kapital.

Merubah Marhaen menjadi tuan rumah di negaranya sendiri. Kata Bung Karno. Dengan membangkitkan kembali semangat Gotong Royong seperti sering disampaikan oleh Presiden Megawati pada masa ia berkuasa.

Pendekatan Manusia Bersumber Daya kini mulai diimplementasikan dalam pembangunan enam koridor ekonomi dalam MP3EI. Tiap kawasan ekonomi pasti memiliki spesifikasi industri yang menjadi andalan dan unggulan daerahnya. Tiap industri memiliki variasi jobs title dan jobs value yang dapat diterjemahkan menjadi suatu “division of tasks and added value stream”, aliran dan diagram pembagian tugas dan nilai tambah tertentu dalam satu mata rantai proses transformasi bahan mentah menjadi barang setengah jadi dan produk akhir. Jika kita percaya bahwa ditiap daerah ada Manusia Bersumber Daya iptek dengan tingkat keahlian tertentu maka dapat dirancang proses produksi yang memanfaatkan Manusia Bersumber Daya, yang berada disekitar kawasan untuk dimasukkan kedalam proses transformasi yang tersedia.

Insya Allah melalui program yang nyata dan revitalisasi infrastruktur ekonomi yang kini sedang berlangsung Bangsa Indonesia akan mampu memiliki modal spirit dan program nyata untuk mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi yang lahir dari kebijakan dua kali kepeimpinan Presiden SBY. Di tahun 2014 momentum ini mudah mudahan akan tidak tergerus dengan proses politik selanjutnya.Kita berharap dimasa depan tercipta kondisi yang baik agar semua potensi Bangsa dapat dipusatkan pada upaya untuk membangun kekuatan inovasi dengan pembenahan dari semua kelemahan “mikro teknis” pada klaster industri yang ada saat ini. Program industrialisasi akan berjalan dengan kecepatan yang tinggi seperti terjadi di negara tetangga dan China.

*****

Terkait Berita: