“… dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Tujuh
kata inilah yang dulu (bahkan sampai sekarang) menjadi perdebatan di
negara ini. Tujuh kata inilah yang kemudian disebut sebagai “Tujuh
Perkataan Piagam Jakarta”.
Ketika para pendiri Republik ini (terutama panitia sembilan) berhasil merumuskan satu gentement agreement yang sangat luhur dan disepakati pada tanggal 22 juni 1945 kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Sesungguhnya Piagam Jakarta inilah mukaddimah UUD ’45 yang pertama. Tanggal 17 Agustus 1945 pada hari Jum’at dan bulan Ramadhan, Indonesia lahir sebagai negara dan bangsa yang merdeka. Dan hendaknya disadari oleh setiap muslim, bahwa Republik yang lahir itu adalah negara yang “berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Negeri ini pernah berdasar pada syari’at Islam, meskipun syari’at Islam yang dikompromikan, karena pada dasarnya syari’at Islam adalah rahmatan lil’alamiin, bukan hanya untuk umat Islam.
Namun keesokan harinya, tanggal 18 Agustus, rangkaian kalimat“berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan yang Mahaesa”.
Di antara tokoh yang berjasa besar merubah rangkaian kalimat tersebut
adalah Bung Hatta. Dalam buku beliau yang berjudul “Sekitar Proklamasi
17 Agustus 1945”, pada bab 5 “Pembentukan indonesia Merdeka oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia”, halaman 66-67, Bung Hatta menjelaskan
seputar perubahan rangkaian kata tersebut.
“Pada sore harinya saya menerima telepon dari Nisyijima, pembantu Admiral Maeda menanyakan, dapatkah saya menerima seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut), karena ia mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi indonesia. Nisyijima sendiri yang akan menjadi juru bahasanya. Saya persilahkan mereka datang. Opsir itu yang saya lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan dengan sungguh-sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap golongan minoritas. Jika “diskriminasi” itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.”
Itulah sebab atau asal mula dicoretnya tujuh perkataan Piagam Jakarta. Tentang hilangnya tujuh kata tersebut, M. Roem mengatakan, “Hilangnya tujuh perkataan itu dirasakan oleh Umat Islam sebagai kerugian besar dan tidak jarang yang menyayangkannya. Tetapi, karena hilangnya tujuh kata itu dimaksudkan agar golongan Protestan dan Katolik jangan memisahkan diri dari Republik Indonesia, maka umat Islam memberi korban yang besar itu. Karena itu, Menteri Agama, Jendral Alamsyah Ratu Prawiranegara, menamakan Pancasila adalah hadiah terbesar yang diberikan umat Islam kepada Republik Indonesia.”
Namun, M. Roem mempunyai beberapa pertanyaan mengenai pencoretan tujuh kata tersebut, dalam kata pengantar buku “PIAGAM JAKARTA 22 Juni 1945” karya H. Endang Saifuddin Anshari, beliau menuliskan, ” Apakah opsir Jepang tersebut wakil dari Kaigun? Dari mana Kaigun mengambil wewenang untuk menjadi penyambung lidah golongan Protestan dan Katolik? Apakah ada resolusi yang diambil oleh golongan Protestan dan Katolik, bahwa mereka lebih baik di luar Republik, kalau tujuh kata tersebut ada dalam preambule Undang-Undang Dasar 1945? Bukankah dalam panitia sembilan yang merumuskan dan menandatangani Piagam Jakarta 22 Juni 1945 itu antara lain duduk Mr. A.A. Maramis yang dapat dipandang mewakili golongan Kristen? Bukankah dalam sidang pleno Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan yang menerima bulat Piagam Jakarta tanggal 11 dan 16 Juli 1945 itu terdapat pula orang-orang Kristen lainnya, antara lain Mr. Latuharhari,seorang pemimpin terkemuka?”
Rangkaian pertanyaan yang kritis dan mendalam, namun nasi telah menjadi bubur. Semua sudah terlambat dan tujuh kata telah dicoret. Kejadian yang telah menorehkan luka yang mendalam bagi umat Islam Indonesia. Menggoreskan kekecewaan yang begitu dalam. Harapan untuk diatur dengan hukum syari’at telah sirna dengan dicoretnya tujuh kata Piagam Jakarta. Piagam Jakarta telah menjadi sejarah di negeri ini.
Dalam menyikapi hal ini, M. Roem mempunyai pandangan yang bijaksana, beliau mengatakan, ”Semua itu sudah menjadi sejarah. Hal itu tidak dapat dikembalikan, tetapi semangatnya hidup dan bersemayam di hati sanubari rakyat. Bagaimana perasaan orang jika sesuatu sudah menjadi sejarah, kita setuju atau tidak, tidak pada tempatnya kita menyayangkan sesuatu, laksana menyayangkan susu sudah tertumpah.”
Ya, Piagam Jakarta telah menjadi sejarah. Tiada guna menyesali semua, semua telah berlalu. Semua telah menjadi sejarah dan Tak mungkin mungkin kembali.
Namun, yang harus terus dimiliki oleh pejuang dakwah negeri ini adalah semangat untuk menerapkan hukum Allah. Bagaimana pun keadaannya. Sebagaimana perjuangan yang telah dilakukan bapak-bapak kita saat menyusun dasar negara ini. Dengan semangat keislaman yang luar biasa, mereka berhasil memasukkan Islam dalam konstitusi dasar Indonesia. Meskipun pada akhirnya, Allah berkehendak lain. Semangat untuk menerapkan hukum Allah harus selalu ada di sanubari yang paling dalam pada setiap diri kita yang mengaku sebagai umat Islam. Semangat yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dilakukan dengan tindakan nyata. Sebagai manifestasi dari keimanan kita sebagai muslim. Tugas kita saat ini adalah berjuang untuk tegaknya Islam di bumi Allah ini. Bukan tidak mungkin, suatu saat nanti Islam akan kembali tegak, entah di generasi kita, ataupun di generasi sesudah kita. dan semoga kebangkitan Islam di dunia bermula dari sini, dari Negeri yang kita cintai. Indonesia.
Wallahu a’lam.
Referensi :
Majalah Islam “SABILI” Edisi Khusus No. 9 Th. X 2003, Halaman 83-84
Anshari, M.A, H. Endang Saifuddin. 1997. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 : Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1956-1949). Jakarta : Gema Insani Press.
Ketika para pendiri Republik ini (terutama panitia sembilan) berhasil merumuskan satu gentement agreement yang sangat luhur dan disepakati pada tanggal 22 juni 1945 kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Sesungguhnya Piagam Jakarta inilah mukaddimah UUD ’45 yang pertama. Tanggal 17 Agustus 1945 pada hari Jum’at dan bulan Ramadhan, Indonesia lahir sebagai negara dan bangsa yang merdeka. Dan hendaknya disadari oleh setiap muslim, bahwa Republik yang lahir itu adalah negara yang “berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Negeri ini pernah berdasar pada syari’at Islam, meskipun syari’at Islam yang dikompromikan, karena pada dasarnya syari’at Islam adalah rahmatan lil’alamiin, bukan hanya untuk umat Islam.
Bung Hatta
“Pada sore harinya saya menerima telepon dari Nisyijima, pembantu Admiral Maeda menanyakan, dapatkah saya menerima seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut), karena ia mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi indonesia. Nisyijima sendiri yang akan menjadi juru bahasanya. Saya persilahkan mereka datang. Opsir itu yang saya lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan dengan sungguh-sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap golongan minoritas. Jika “diskriminasi” itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.”
Itulah sebab atau asal mula dicoretnya tujuh perkataan Piagam Jakarta. Tentang hilangnya tujuh kata tersebut, M. Roem mengatakan, “Hilangnya tujuh perkataan itu dirasakan oleh Umat Islam sebagai kerugian besar dan tidak jarang yang menyayangkannya. Tetapi, karena hilangnya tujuh kata itu dimaksudkan agar golongan Protestan dan Katolik jangan memisahkan diri dari Republik Indonesia, maka umat Islam memberi korban yang besar itu. Karena itu, Menteri Agama, Jendral Alamsyah Ratu Prawiranegara, menamakan Pancasila adalah hadiah terbesar yang diberikan umat Islam kepada Republik Indonesia.”
Namun, M. Roem mempunyai beberapa pertanyaan mengenai pencoretan tujuh kata tersebut, dalam kata pengantar buku “PIAGAM JAKARTA 22 Juni 1945” karya H. Endang Saifuddin Anshari, beliau menuliskan, ” Apakah opsir Jepang tersebut wakil dari Kaigun? Dari mana Kaigun mengambil wewenang untuk menjadi penyambung lidah golongan Protestan dan Katolik? Apakah ada resolusi yang diambil oleh golongan Protestan dan Katolik, bahwa mereka lebih baik di luar Republik, kalau tujuh kata tersebut ada dalam preambule Undang-Undang Dasar 1945? Bukankah dalam panitia sembilan yang merumuskan dan menandatangani Piagam Jakarta 22 Juni 1945 itu antara lain duduk Mr. A.A. Maramis yang dapat dipandang mewakili golongan Kristen? Bukankah dalam sidang pleno Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan yang menerima bulat Piagam Jakarta tanggal 11 dan 16 Juli 1945 itu terdapat pula orang-orang Kristen lainnya, antara lain Mr. Latuharhari,seorang pemimpin terkemuka?”
Rangkaian pertanyaan yang kritis dan mendalam, namun nasi telah menjadi bubur. Semua sudah terlambat dan tujuh kata telah dicoret. Kejadian yang telah menorehkan luka yang mendalam bagi umat Islam Indonesia. Menggoreskan kekecewaan yang begitu dalam. Harapan untuk diatur dengan hukum syari’at telah sirna dengan dicoretnya tujuh kata Piagam Jakarta. Piagam Jakarta telah menjadi sejarah di negeri ini.
Dalam menyikapi hal ini, M. Roem mempunyai pandangan yang bijaksana, beliau mengatakan, ”Semua itu sudah menjadi sejarah. Hal itu tidak dapat dikembalikan, tetapi semangatnya hidup dan bersemayam di hati sanubari rakyat. Bagaimana perasaan orang jika sesuatu sudah menjadi sejarah, kita setuju atau tidak, tidak pada tempatnya kita menyayangkan sesuatu, laksana menyayangkan susu sudah tertumpah.”
Ya, Piagam Jakarta telah menjadi sejarah. Tiada guna menyesali semua, semua telah berlalu. Semua telah menjadi sejarah dan Tak mungkin mungkin kembali.
Namun, yang harus terus dimiliki oleh pejuang dakwah negeri ini adalah semangat untuk menerapkan hukum Allah. Bagaimana pun keadaannya. Sebagaimana perjuangan yang telah dilakukan bapak-bapak kita saat menyusun dasar negara ini. Dengan semangat keislaman yang luar biasa, mereka berhasil memasukkan Islam dalam konstitusi dasar Indonesia. Meskipun pada akhirnya, Allah berkehendak lain. Semangat untuk menerapkan hukum Allah harus selalu ada di sanubari yang paling dalam pada setiap diri kita yang mengaku sebagai umat Islam. Semangat yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dilakukan dengan tindakan nyata. Sebagai manifestasi dari keimanan kita sebagai muslim. Tugas kita saat ini adalah berjuang untuk tegaknya Islam di bumi Allah ini. Bukan tidak mungkin, suatu saat nanti Islam akan kembali tegak, entah di generasi kita, ataupun di generasi sesudah kita. dan semoga kebangkitan Islam di dunia bermula dari sini, dari Negeri yang kita cintai. Indonesia.
Wallahu a’lam.
Referensi :
Majalah Islam “SABILI” Edisi Khusus No. 9 Th. X 2003, Halaman 83-84
Anshari, M.A, H. Endang Saifuddin. 1997. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 : Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1956-1949). Jakarta : Gema Insani Press.