Dikutip dari buku “Aliran Syiah di Nusantara” karangan
Prof Dr Aboebakar Atjeh* terbitan Islamic Research Institute, Jakarta, 1977.
==
Beberapa pendapat penulis-penulis Barat
dan Timur tentang masuk agama Islam ke Nusantara, menyatakan bahwa di
kalangan Mubaligh-mubaligh yang menyebarkan Islam di nusantara terdapat
Ahlil Bait atau orang Syi’ah.
Persoalan ini sudah saya kupas waktu diadakan “Seminar mengenai
sejarah masuknya Islam ke Indonesia”, yang diadakan pada tanggal 17
sampai 20 Maret 1963 di Medan, dan pidato saya mengenai persoalan
tersebut, yang berjudul “Berita tentang Perlak dan Pasai” dimuat dalam
sebuah risalah besar yang diterbitkan oleh panitia Seminar, terutama
dibawah pimpinan M . Said.
Selain dari saya bicarakan tentang
mubaligh-mubaligh Islam dizaman purbakala itu, yang terdiri dari pada
orang-orang Arab, Persia dan India saya jelaskan, bahwa kebanyakan dari
pada mubaligh-mubaligh itu pada waktu tersebut memang berasal dari pada
orang-orang, yang mengunjungi Aceh, dan Malaka, memasuki Nusantara dari
Persia dan India, meskipun banyak diantaranya telah menggunakan
nama-nama negeri-negeri tempat lahirnya di Persia dan di India itu.
Dalam uraian saya itu saya telah mengambil beberapa kesimpulan, yaitu :
1. Islam ke Indonesia mula pertama di Aceh, tidak mungkin di daerah lain,
2. Penyiar Islam pertama di Indonesia tidak hanya terdiri dari saudagar
India dan Gujarat, tetapi juga terdiri dari mubaligh-mubaligh Islam dari
bangsa Arab,
3. Diantara mazhab pertama dipeluk di Aceh ialah Syi’ah dan Syafi’i,
4. Pemeriksaan yang teliti dan jujut akan dapat menghasilkan tahun yang
lebih tua untuk sejarah masuknya agama Islam ke Indonesia.
Sebagai keterangan ad 1. ialah karena
Aceh itu merupakan pelabuhan yang pertama disinggahi kapal-kapal layar
yang masuk ke Nusantara dari Hadramaut dan Gujarat. dan kemudian
meneruskan pelayarannya ke Malaka, diantaranya ada yang berlayar ke
Cina, seperti Marcopolo, Ibn Batuthah, dan Soelaiman, seorang Arab
pelancong yang terkenal, dan sebaliknya kapal-kapal ini mengangkut
orang-orang dari Nusantara dari Aceh ke Mekkah, sehingga oleh karena itu
Aceh itu dinamakan “Aceh Serambi Mekkah”(“Sejarah perkembangan Islam di
Timur Jauh”, karangan Sayydd Alwi bin Thahir Al-Haddad, (Jakarta, 1957;
hal. 9 dst.) (Nama “Aceh tanah rencong” adalah nama yang diberikan pada
daerah ini dalam masa peperangan dengan Belanda). Begitu juga jemaah
Haji yang datang dari Jawa atau dari daerah Indonesia Timur, berkumpul
dulu di Aceh, dan dari sana barulah berangkat dengan kapal-kapal Gujarat
itu ke Arab. Di Kuala Aceh masih terdapat sebuah kampung yang bernama
“Kampong Jawa”, yang didalamnya tidak terdapat seorangpun, yang berasal
dari Jawa.
ad. 2. Mengenai keadaan mubaligh-mubaligh
dari Arab ke Indonesia, diantara kitab-kitab sejarah yang dikarangkan
oleh Nabi ketimuran Belanda, banyak juga diceritakan dalam kitab “De
Hadramieten in Ned. — Indie”, karangan S.A. Al-Attas, dan kitab-kitab
lain, yang saya ceriterakan kembali secara ringkas dalam kitab “Sejarah
Hidup A.W Hasyim”, pada waktu saya membahas gerakan “Ar-Rabithah
Al-Alawiyah” dan gerakan “Al-Irsyad”. Keterangan yang lebih tua mengenai
kedatangan mubaligh dari Persia dan India ke Nusantara, dapat kita baca
dalam penyelidikan, yang dilakukan oleh dua ahli sejarah, yaitu Sayyid
Moestafa At-Thabathaba’I dan Sayyid Dhiya’ Shahab yang terjadi sekitar
bulan November 1960, berjudul “Hubungan Kebudajaan Indonesia — Iran”
(Haulal ‘Alaqatith Thaqafiyah Baina Iran wa Indonesia), yang diterbitkan
dalam th. 1339 oleh “The Iranian Cultural Office Jalan Budi Kemuliaan 4
A Jakarta — Indonesia”.
Diantara lain ia berkata :
“Dekat Surabaya terdapat sebuah kota Gresik namanya, sebuah kota yang
bersejarah di Jawa Timur. Di kota itu kami lihat bekasbekas yang sudah
tidak terurus dan kuburan lama dari penyebar penyebar Islam dan Alim
Ulama, diantaranya kuburan Maulana Malik Ibrahim, yang wafat dalam th.
822 H. atau 1419 M. Beliau adalah boleh jadi seorang Iran asal dari
Kashan.
Dr. H.J de Graaf dalam bukunya
“Geschiedenis van Indonesia”, hal. S7, menulis a.1. : Malik Ibrahim
dalam mulut rakyat disebut “Orang Barat” ia ternyata masih dipandang
sebagai seorang asing sangat boleh jadi seorang pedagang Persia asal
dari Gujarat, yang masih belum begitu menjadi kaula negara di Jawa,
sehingga masih perlu didatangkan batu nesan dari negara asalnya seperti
yang telah terjadi dengan raja-raja kecil di Sumatera Pantai Utara.
Ketika saya melihat-lihat dan jalan-jalan
diantara kuburan- kuburan itu, sedang matahari akan masuk ke
peraduannya disebelah Barat teringatlah saya akan kata-kata Imam Zainul
Abidin, yang dalam bahasa Indonesianya kurang lebih seperti berikut
“Tangan malaikat telah mencabut beberapa nyawa -dari abad ke-abad dan
merobah dunia ini dan membenamkan dalam tanah dari’ mereka yang saya
kenal.
Bermacam-macam orang itu semua diantarkannya kedalam tanah. Hai
jiwa, sampai kapankah kau bersandar atas kehidupan dan atas dunia ini
dan kau perhaiikau kemakmurannya saya ? Apakah engkau tidak menarik
pclajaran dari masa yang lalu dan ingat akan beribu-ribu orang yang;
sudah tertutup oleh tanah dan sahabat-sahabatmu yang telah dipindahkan
kedunia baka ? Lihatlah ummat-ummat yang lalu, zaman-zaman yang lampau»
rajaraja yang kejam, dihancurkan oleh zaman, dihapus oleh mati, tanpa
bekas didunia, dan hanya diceritanya saja yang masih ada. Mereka semua
menjadi tulang, hancur lebur dalam tanah, rumah-rumah dan
istana-istananya menjadi kosong….. “
Di kota Gresik kami bertemu dengan salah
seorang yang terkenal, yaitu Sayyid Hasyim Asegaff. Dengan beliau kami
banyak berbicara tentang soal-soal Syi’ah dan buku-bukunya.
Kuburan-kuburan penyebar Islam yang dulu dan ulama-ulama yang banyak
terdapat di Indonesia. Di Sumatera Utara umpamanya dulu ada kuburan
raja-raja dan penyebar Islam dll., tetapi banyak yang sudah hilang.
Suatu pandangan yang menyedihkan.
Diantara ulama-ulama Iran yang ada
kuburannya ialah Sayyid Syarif Khair bin Amir Ali Istrabadi, yang wafat
dalam th. 833 H. dan Na’ina Husain al-Din. Diatas kuburan Na’ina Husain
al-Din ini terdapat tulisan Persia, syair Muslihuddin Sa’id.
Setelah saya kembali dari Surabaya saya
berniat untuk mempelajari soal-soal ini. Saya cari keterangan-keterangan
di perpustakaan-perpustakaan dan dimuseum-museum dan saya mendapat
tulisan Dr. H.K.J. Cowan tentang kuburan ini, yang membuktikan
bekas-bekas kebudayaan Iran dan bahasa Iran dikepulauan ini. Karangan
Dr. K.H.J. Cowan yang dimaksud oleh kedua penyelidik Islam
Ath-Thabathaba’i dan Dhiya Shahab ini berjudul “A Persian Inscription in
North Sumatra”, yang dimuat dalam Majalah “Tijdschrift voor Taal-, Land
en Volkendunde, Deel LXXX, 1940″.
Pedagang-pedagang Iran dan India sering
kali datang kenegeri Indonesia. Ahli sejarah juga menyebutkan bahwa
dipasar-pasar Banten Lama banyak terdapat pedagang Iran dan Khorasan
(bangsa Iran juga), yang mendagangkan batu-batu berharga dan obat-obat.
Orang-orang Arab dan Iran melintasi lautan kepulau-pulau ini dalam abad
ke-X untuk berdagang dan menyiarkan agama Islam. Pelayaran itu bertambah
banyak ke Tiongkok pada zaman raja Chu Tsang, dan dipasar-pasar Pasai
di Sumatra banyak terdapat pedagang-pedagang asing. diantaranya
orang-orang Iran. Dalam sejarah disebutkan bahwa kapal-kapal dari Timur
Jauh telah mengunjungi teluk Persia dan sudah tentu kapal-kapal itu
menyinggahi kota-kota kedua pesisir pantai teluk itu.
RAJA-RAJA DARI KETURUNAN AHLIL BAIT DI NUSANTARA.
L.W.C van den Burg, dalam bukunya, “Le Hadramaut et les Arabs et India”,
mengatakan : “Adapun hasil yang nyata dalam penyiaran agama Islam
adalah dari orang-orang golongan Sayyid dan Syarif. Dengan perantaraan
mereka, agama Islam tersiar diantara raja raja Hindu di Jawa dan
suku-suku yang belum beragama. Selain dari mereka ini, ada juga
penyiar-penyiar Islam itu datang dari Arab Hadramaut……”.
Sayed Alwi bin Tahir Al-Haddad, memberi
komentar atas keterangan ini dalam kitabnya “Sejarah Perkembangan Islam
di Timur Jauh” (Jakarta, 1957), bahwa agama Islam tersiar dan berkembang
di Sumatera sedikit demi sedikit, sebagaimana tersiarnya Islam di
Malabar dan Koromandel, dan diantara penyiar-penyiar agama Islam yang
terkenal, banyak sekali diantara mereka adalah suku Sayid (Alawi).
Pengarang ini mengemukakan, bahwa An-“Nihyatul Arab Fi Fununil Adab” dan
Al-Dimasyqi, dalam kitabnya “Nuchbatuddahr Fi Ajaib el bar war bahr”,
pernah menyebut tempat-tempatnya tersyiar agama Islam pada hari-hari
pertama itu, yaitu dipulau-pulau “Hindia Timur” sampai ke India, dipulau
Surandib (Sailan), antara Saribazah (Sri Wijaya) di Sumatera, dan Kelah
(Kedah) di Semenanjung Melayu dan terus kepulau Zabaj atau Ranj
(Kalimantan).
Ditempat-tempat tersebut berakarlah agama
Islam itu, dan sebagai akibatnya tegaklah kerajaan-kerajaan kecil yang
merupakan pemerintahan. Menurut sejarah keturunan sultan2 Brunai yang
dimuat dalam the Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic
Society di Singapore No. 1 sampai 5 thn. 1878 — 1880, yang disimpan di
Raffles Library, dikatakan bahwa penyiar-penyiar agama Islam disana
terdiri dari suku Sayid Syarif yang terikat dengan keluarga
sultan-sultan di pulau-pulau Filipina.
Dalam sejarah Serawak juga dikatakan
bahwa Sultan Barakat berasal dari keturunan Sayidina Hussein bin Ali (“A
History of Serawak under two whit Rajabhs” S. Baring Gould, Raffles
Library, Singapore). Demikianlah terdapat riwayat raja-raja disekitar
Mindanau, di- Manila, dan di Sulu. Di Pontianak sampai sekarang masih
terdapat keturunan raja-raja dari suku Al-Gadri. dalam silsilah, bahwa
nenek moyang Sultan-sultan Brunei, Sulu dan Mindanau adalah kakak
beradik dari pada keturunan Syarif Ali Zainal Abidin, keturunan Nabi
Muhammad yang pindah dari Hadramaut, Arab Selatan ke Johor, Malaya
Selatan dan berkembang disekitar daerah ini.
Diatas sudah diterangkan raja-raja di
Aceh, yang nisannya menyebut gelar Al-Malik atau Raja, misalnya ada
nisan yang terdapat di Blang Me, pada kuburan Al-Malik Al-Kamil (mgl. 7
Jumadil Awal 607 H/1210 M). Disampingnya terdapat kuburan Ya’cub,
saudara misannya, yaitu seorang Panglima yang meng-Islamkan orang-orang
Gayo dan beberapa suku di Sumatera Barat (mgl. 15 Muharram 630H/1237,
M.)- Kemudian terdapat disana kuburan Al-Malik As-Salih, yang sudah
dibicarakan diatas oleh Thabathaba’i dan Dr. Cowan, dengan nama Na’ina
Husamuddin atau Husainnuddin (saya juga pernah melihat kuburan ini, dan
saya tidak membaca “Naina”, tetapi huruf yang sudah rusak ini saya lebih
yakin membaca “Maulana”, (mgl. 8 Ramaddan 696 H./1296 M). Maulana atau Malfi biasa digunakan di India untuk
sahib-sahib atau orang-orang istimewa pengetahuan Islamnya atau
kekuasaannya.
Al-Haddad, dan dalam terjemah Indonesia
Dhiya Shahab, mengatakan dalam karangannya tersebut diatas, bahwa
sesudah Sultan A l -Malik As-Salih ini memerintah pula anaknya Sultan
Muhammad Al-Zahir (mgl. 12 Julhiyyah 726 H /1325 M ). Sesudah sultan ini
memerintah pula anaknya bernama Sultan Ahmad bin Muhammad Al-Zahir.
Kuburannya terdapat di Meunasah Meucet didesa Blang Me, yang pada waktu
hidupnya bergelar Abi Zainal Abidin (mgl. 4 Jumadil akhir 809 H /1406
M.), dan kemudian anaknya pula yang bergelar A l i Zainal Abidin (mgl.
811 H/1408 M.), yang sesudah mangkat digantikan oleh Abdullah Salahuddin
dan isterinya Buhaya binti Zainal Abidin. Kuburan-kuburan di Aceh
terdapat bertabur pada beberapa tempat sekitar Gedung dan Baju, Meunasah Mancang, Blang Me, Pase, Samudra, dll.
Al-Haddad berpendapat, bahwa
keluarga-keluarga inilah merupakan asal-usul raja-raja Brunei, Cermin
Lama, Serawak dan negeri negeri yang takluk padanya, juga raja-raja
Sulu, Sibuh (Sabah), Mindanau dan Kanawi yaitu pulau yang boleh jadi
yang dinamakan dalam kitab-kitab lama dalam bahasa Arab “Al-Alawiyah”
dan menurut paham kami dari karangan Dr. Nageeb Saliby dalam bahagian
tentang kepulauan-kepulauan yang banyaknya kira-kira seribu tujuh ratus
pulau dimana disebut negeri-negeri. Ia berkata : “Jajahan yang terbesar
ialah pulau Kanawi dimana berdiam seorang Syarif Alawi yang terkuat
dipulau itu”. Nama Al-Alawiyah dipulau itu disebut oleh pengarang
“Nuchbatuddahr”.
Selain di Aceh, yang raja-rajanya dalam
susunan sejarah Pemerintah Aceh terdapat juga, gelar-gelar Sayyid dan
Syarif, seperti Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin (1699/1702 ML).
Syarif Lam Tui (1702 – 1903 M), Syarif Syaiful Alam (1815 – 1820 M),
juga terdapat didaerah-daerah lain di Sumatera golongan Ahlil Bait ini
turut memerintah, misalnya di Palembang dengan silsilah yang panjang,
seperti Tuan Fakih Jamaluddin yang bermakam di Talang Sura (1161 M.),
yang ternyata, bahwa nama-namanya yang lengkap adalah Syayid Jamaluddin
Agung bin Ahmad bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad, seterusnya sampai
kepada Syaidina Husain. Dalam silsilah ini disebut bahwa Jamaluddin
Akbar. itu mempunyai tujuh orang anak, tetapi yang disebut keturunannya
ialah dari Zainul Akbar, yang menurunkan raja-raja Palembang,
Pangeran-pangeran dan raden-raden di Palembang, Sunan Giri dan Sunan
Ampel. Ada orang berpendapat bahwa raden itu berasal dari perkataan Arab
“ruhuddin” (jiwa agama) yang kemudian menjadi gelar bangsawan dari
orang Jawa.
Sebuah silsilah yang terdapat di
Banyuwangi, Jawa, juga bersamaan dengan silsilah yang terdapat di
Palembang. Dengan demikian, melalui penyiaran agama kita dapati darah
darah Ahlil Bait ini bertabur dan bercampur dengan darah raja-raja
Nusantara, baik diseluruh daerah Malaysia, termasuk yang terpenting
Malaya, maupun di kepulauan Indonesia, baik di Ambon, dimana sampai
sekarang terdengar nama Sayid Parintah, yang mengatur pemberontakan
Patimura terhadap Belanda, maupun di Borneo dan Sulawesi, Halmahera,
bahkan sampai ke Irian Barat, Terutama di Jawa, dalam masa da’wah Wali
Sembilan (Wali songo), banyak sekali campuran darah Ahlil Bait ini
dengan anak negeri dan sultan-sultan dan rajaraja dari zaman, Mataram
Islam.
===
Riwayat hidupnya dikutip dari website NU (www.nu.or.id).
Cendekiawan terkenal dari Aceh, dan juga
penulis buku-buku keagamaan, filsafat dan kebudayaan. Di antaranya telah
menghasilkan karya magnum opus berjudul Sedjarah H.H.A. Wachid Hasjim
dan Karangan Tersiar, terdiri dari 975 halaman, terbit pada tahun 1957,
khusus untuk memperingati empat tahun wafatnya Kiai Wahid Hasyim.
Lahir dengan nama Abu Bakar pada 18 April
1909 di Peureumeu, Kabupaten Aceh Barat, dari pasangan ulama. Ayahnya
adalah Teungku Haji Syekh Abdurahman. Ibunya bernama Teungku Hajjah
Naim. Wafat pada 18 Desember 1979 di Jakarta, dan dimakamkan di
Pemakaman Karet Jakarta. Tambahan “Aceh” di belakang namanya merupakan
pemberian Presiden Sukarno yang kagum akan keluasan ilmu putra Aceh ini.
“Ensiklopedia Berjalan” adalah sebutan teman-temannya tentang hakikat
ilmu pengetahuannya.
Beberapa karya Abu Bakar Aceh lainnya:
Sejarah Al-Qur’an, Tekhnik Khutbah, Sejarah Ka’bah, Perjuangan Wanita
Islam, Kemerdekaan Beragama, Sejarah Mesjid, Pengantara Sejarah Sufi dan
Tasawuf, Pengantar Ilmu Tharikat, Perbandingan Mazhab Ahlussunnah
Waljamaah.