Para sejarawan menyebut pengerahan pasukan Eropa
yang dikomandoi oleh paus dan gereja Katolik pada tahun 1096 hingga 1291
M ke Timur dan dunia Islam secara terminologis sebagai perang-perang
Salib (
Crusade Wars)
[1] yang meletus antara pengikut dua agama besar dan kuat pada beberapa kawasan geografis yang sangat luas.
Orang-orang Kristen meyakini bahwa agama dan mazhablah yang menjadi
motivator utama meletusnya peperangan. Namun kaum Muslimin menolak klaim
ini dan memandang bahwa agama hanyalah sebuah dalih dan alat saja bagi
sebagian manusia untuk meraih kekuasaan, kedudukan religius dan dominasi
pemerintahan Barat.
Sebuah terma yang dewasa ini umum digunakan untuk menyebut peperangan ini adalah
Crusade Wars (perang-perang Salib).
[2] Terma baru ini tidak dipakai pada abad pertengahan dan mulai digunakan hanya pada abad ketujuhbelas.
[3]
Sejarawan Kristen untuk menyebut bahwa
tujuan peperangan ini dimotori oleh agama menggunakan istilah-istilah
seperti perjalanan ke tanah suci, perjalanan kudus, perjalanan suci,
proyek Isa al-Masih dan ribuan istilah lainnya yang mengandung makna
religius dan kudus di dalamnya. Dengan demikian, hingga beberapa lama
orang-orang yang ikut serta dalam peperangan ini disebut sebagai haji
(orang yang melakukan perjalanan ke tanah suci).”
[4]
Sebagai bandingan, sejarawan Muslim menggunakan terma seperti
Faranji (Eropa) yang menengarai pada bangsa dan tempat tinggal mereka
[5]
supaya memahamkan bahwa agama dan keyakinan-keyakinan beragama hanyalah
alat dan dalih untuk peperangan ini. Tujuan aslinya adalah invasi dan
ekspansi ke negara-negara lain dan memperoleh rampasan perang di
dalamnya yang juga terdapat pada masa sebelum kedatangan Islam antara
dua kutub Timur dan Barat.
Istilah perang-perang
Salib digunakan karena peran tanda lahir salib yang dipasang pada bahu,
lencana dan panji-panji mereka, mengingat salib (palang) memiliki
signifikansi dan kekudusan yang tinggi dalam kebudayaan orang Kristen.
Karena itu salib ini banyak digunakan oleh para pendakwah dan serdadu
sebagai simbol mereka.
Perang-perang Salib (Crusade Wars)
merupakan sebuah fenomena besar sosial-politik-keagamaan yang melibatkan
jutaan orang dalam beberapa dasawarsa. Perang-perang ini menimbulkan
banyak pengaruh positif dan negatif, dan tentu saja yang disebabkan
oleh banyak faktor yang merupakan sebuah keharusan untuk mengetahui
peristiwa bersejarah ini. Di sini kita akan mengakaji beberapa faktor
tersebut sebagaimana berikut ini:
Faktor-faktor Penyebab Meletusnya Perang Salib.
Pada dasawarsa pertama, dunia Kristen
terbagi menjadi dua bagian besar yang masing-masing membentuk sekte
dalam Kristen. Belahan dunia Timur dianut oleh kaum Ortodoks dan Barat
didominasi oleh sekte Katolik.
Emperium Kristen Timur yang menjadikan
Konstantinopel sebagai pusat pemerintahanya. Kerajaan Kristen ini telah
sangat lemah akibat peperangan selama bertahun-tahun melawan kaum
Muslimin dan non-Muslimin. Akibatnya, mereka tidak memiliki kekuatan
militer yang memadai. Di hadapan mereka, pemerintahan Muslim yang
bermazhab Sunni yang dipimpin oleh Kesultanan Saljuk bernama Malik Syah
menjelma menjadi ancaman serius bagi Konstantinopel dan orang-orang
Kristen Timur.
Demikian juga, pada peperangan yang dikenal
sebagai Manzikert yang berkecamuk di antara dua kelompok ini, pasukan
Saljuk berhasil mengalahkan Emperium Byzantium. Hasil dari peperangan
ini yang terjadi di jantung kota Armenia adalah bahwa hingga sepuluh
tahun ke depan, tiga perempat Asia Kecil jatuh di tangan kesultanan
Saljuk.
[6]
Sebagai hasil dari peristiwa ini,
Konstaninopel berada dalam ancaman serius Kesultanan Saljuk. Karena itu,
ia memohon bantuan dari Paus untuk berhadapan dengan kaum Muslimin.
Permohonan bantuan ini tentu sangat berat bagi Konstantinopel karena
Paus juga merupakan musuhnya. Karena terdapat permusuhan sengit antara
dua kelompok ini. Ancaman terhadap Konstantinopel dinilai sebagai
ancaman serius bagi orang-orang Kristen dan adanya ancaman inilah yang
menjadi salah satu faktor pemicu meletusnya perang-perang Salib.
[7]
Dari satu sisi, di kalangan orang-orang
Kristen tersiar berita bahwa kaum Muslimin tidak memperlakukan dengan
baik orang-orang Kristen yang banyak pergi berziarah ke Baitul Muqaddas
dan mereka juga tidak menghormati keyakinan orang-orang Kristen. Bahkan
santer berita bahwa mereka telah mengepung sejumlah besar tempat-tempat
ibadah mereka.
[8]
Karena itu, pemimpin orang-orang Kristen di Baitul Muqaddas mengirimkan
kawat berita ke Paus untuk merebut Baitul Muqaddas dari kaum Muslimin.
[9] Kesemua ini merupakan sekumpulan faktor eksternal yang menjadi dalih pengerahan pasukan Paus dan Barat.
Di samping faktor-faktor eksternal ini, juga
terdapat faktor-faktor internal umat Kristiani yang mengobarkan api
peperangan. Pada abad kesebelas, musim kering dan kemarau panjang telah
menyebabkan kemiskinan dan kolapsnya kehidupan masyarakat Eropa. Mereka
hidup dalam kemiskinan; dan sedemikian kerusakan terjadi di mana-mana
sehingga mereka ingin mencari jalan keluar untuk dapat selamat dari
kondisi seperti ini. Para pemberi nasihat, juga menggambarkan dunia
Timur sebagai negeri yang penuh dengan kenikmatan dan kemakmuran. Mereka
membisikkan kepada masyarakat bahwa apabila kalian bersegera ke sana
maka kalian akan selamat dari kefakiran dan penderitaan; kalian akan
memperoleh harta rampasan perang yang melimpah. Provokasi ini telah
menyebabkan banyak rakyat yang turut serta dalam peperangan ini.
[10]
Di samping itu, para pemimpin Gereja dan
raja-raja besar Eropa, mereka tamak terhadap negeri-negeri Islam yang
pasti penuh dengan kenikmatan bagi mereka dan mereka dapat memerintah
pada negeri-negeri yang dipenuhi dengan sumber daya alam melimpah.
Bermulanya Perang-perang Salib.
Paus Urbanus II adalah orang yang pertama kali memulai perang-perang Salib.
[11] Namun sebelumnya juga Paus Gregori VII telah berniat meletuskan perang-perang Salib.
[12]
Namun pada masanya, orang-orang Saljuk sangat kuat dan bersatu dan Paus
Gregori VII sendiri tidak memiliki kekuatan untuk memulai sebuah perang
Kristen. Sebagai hasilnya: Ia tidak mampu memulai perang melawan
Kesultanan Saljuk namun Paus Urbanus II yang sangat setia dan loyal
terhadap Paus Gregori VII (Paus sebelumnya) menggelorakan semangat
perang Salib dan mengobarkan api peperangan kaum Kristen melawan kaum
Muslimin. Ia membentuk sebuah pertemuan besar di Prancis yang melibatkan
para pembesar dari pelbagai strata masyarakat seperti para penguasa,
feudal-feudal besar, para ksatria dan para pemangku jabatan Gereja
Perancis pada pertemuan besar itu. Pertemuan besar ini berlansung pada
tahun 1095 M di Clermont Perancis yang dikenal sebagai Konsili Clermont.
[13]
Paus Urbanus II pada hari-hari pertama
pertemuan ini menyampaikan khutbah yang sangat penting yang dapat
dinilai sebagai khutbah dan orasi yang memprovokasi perang. Ia dalam
pidato ini menyampaikan pernyataan berupa kebencian terhadap kaum
Muslimin dan menyebutkan tindakan-tindakan kaum Muslimin terhadap
orang-orang Kristen Timur yang menimbulkan reaksi orang-orang Kristen
Barat.
[14]
Yang lebih penting dari semua adalah
kerisauan tentang Baitul Muqaddas kembali hidup. Ia menjelaskan bahwa
Baitul Muqaddas jatuh di tangan kaum Muslimin dan mereka memerintah di
kota itu. Penjelasan ini dengan memperhatikan signifikansi yang sangat
tinggi Baitul Muqaddas bagi orang-orang Kristen pada masa itu, telah
menimbulkan gelombang kebencian dan kusumat terhadap kaum Muslimin.
Orang-orang Kristen juga pada perang ini menyebutnya sebagai perang suci (
holy war)
dan mengira bahwa kebaikan melimpah yang akan mereka peroleh pada
perang ini sehingga memutuskan untuk terlibat dalam perang ini. Para
pendeta Kristen berdakwah pada pasukan-pasukan Kristen di setiap kota
dan desa yang mereka lalui. Hal ini telah menyebabkan jumlah pasukan
mereka semakin bertambah banyak khususnya dari kaum fakir dan miskin.
[15]
Di samping hal itu, banyak keuntungan material yang dapat diperoleh
dari perang ini yang semakin menajamkan ketamakan mereka dan pada
akhirnya telah mengundang raja-raja feudal dan penguasa-penguasa
bergabung dengan pasukan ini.
Pada titik yang berseberangan, negara-negara
Islam juga mengalami perpecahan dan perang saudara banyak berkecamuk
sesama kaum Muslmin.
Singkat cerita, meletuslah
perang yang berlangsung kurang lebih selama dua ratus tahun. Para
sejarawan membagi perang ini menjadi delapan periode dan periode yang
paling penting dan berpengaruh adalah serangan pertama orang-orang
Kristen yang berhasil merebut Baitul Muqaddas dari tangan kaum MUslimin.
[16]
Baitul Muqaddas selama 83 tahun berada di
bawah kekuasaan orang-orang Kristen hingga Salahuddin al-Ayyubi
(532-599), dengan mengumpulkan dan mengomandoi pasukan Muslimin,
berhasil merebut kembali Baitul Muqaddas dari cengkeraman orang-orang
Kristen.
[17]
Namun perebutan ini bukanlah akhir peperangan. Orang-orang Kristen
hingga tahun 1291 melancarkan serangan kepada kaum Muslimin namun mereka
tidak pernah berhasil merebut Baitul Muqaddas dari tangan kaum
Muslimin. Namun sebagian orang mengira bahwa pada tahun 1291 H yang
terjadi adalah gencatan senjata perang antara orang-orang Kristen dan
kaum Muslimin, namun perang sama sekali tidak berhenti bahkan hingga
terus berlanjut hingga hari ini. Serangan ke Bosnia Herzegovina,
Libanon, Irak, Afghanistan juga pada tataran melanjutkan tujuan
perang-perang Salib dan menghancurkan kaum Muslimin serta menjarah harta
benda mereka.
Hasil Perang-perang Salib.
Perang yang berlangsung selama kurang lebih
dua ratus tahun tentu saja menelan banyak korban jiwa. Hal ini tentu
saja merupakan hasil terburuk dan terpenting bagi kedua belah pihak.
Memahami hasil-hasil negatif dan sangat merugikan ini dapat dengan mudah
dipahami oleh setiap orang.
Namun di samping hasil-hasil negatif, perang
ini juga memberikan pengaruh positif khususnya bagi orang-orang Eropa.
Hal ini perlu dijelaskan dan menyebutkan beberapa pengaruh positif
perang ini yang didapatkan oleh orang-orang Kristen:
- Reformasi mentalitas
orang-orang Eropa terhadap Islam dan kaum Muslimin dan memahami
kebesaran peradaban Islam dan ajaran-ajaran kemanusiaannya.
- Penentangan secara resmi
orang-orang Kristen terhadap gereja Katolik dan timbulnya suara-suara
reformasi dalam agama Kristen yang tidak dimiliki oleh kaum gereja
Katolik.
Salah satu pengaruh
terpenting perang-perang ini bagi orang-orang Kristen adalah hilangnya
kepercayaan mereka terhadap paus dan gereja Katolik. Orang-orang merasa
lelah dari perang yang keuntungannya hanya didapatkan oleh Gereja
Katolik. Sebagai hasilnya fondasi penentangan agama di Eropa terbentuk
dan mereka yang masih mencintai agama Kristen namun memiliki banyak
kritikan terhadap Gereja, mencoba menciptakan reformasi dalam agama
Kristen.
Reformasi-reformasi ini meski tercipta
pada abad-abad setelahnya oleh Martin Luther dan semisalnya, namun tentu
saja bermulanya cikal-bakal reformasi-reformasi ini karena mereka telah
melihat peradaban Islam dan penerimaan mereka terhadap peradaban Islam.
- Terbentuknya peradaban Barat
Dapat dikatakan
bahwa perang-perang Salib merupakan salah satu sebab utama terbentuknya
peradaban Barat. Perang ini telah membuat orang-orang Eropa mengenal
peradaban Islam dan pada akhirnya menjadi cikal-bakal lahirnya sebuah
peradaban baru di belahan bumi Eropa. Cikal bakal lahirnya peradaban ini
dapat ditelusuri pada dua bagian:
Pertama,
berseminya ilmu pengetahuan: Pengaruh yang jelas dan terang kebudayaan
dan peradaban Islam dalam ilmu-ilmu humaniora Barat yang dalam hal ini
kita dapat menyebutkan adanya penerjemahan pelbagai dispilin ilmu islami
ke dalam bahasa Barat, pendirian universitas-universitas buah dari
pengaruh berkenalan dengan peradaban Islam. Pengaruh terpenting dari
disiplin ilmu ini adalah ilmu kedokteran.
Penyebaran dan kemajuan ilmu Fisika, pendirian rumah sakit-rumah sakit
di Eropa dan munculnya perubahan yang sangat menakjubkan dalam ilmu
Fisika dengan memanfaatkan pengalaman-pengalaman dan karya-karya yang
telah diterjemahkan dari para fisikiawan Muslim. Pada masa itu,
buku-buku para ilmuan Muslim dalam bidang Kedokteran juga diajarkan
selama bertahun-tahun melalui orang-orang Spanyol khususnya setelah
perang-perang Salib ke Eropa dan bertahun-tahun diajarkan di
universitas-universitas Eropa; di antaranya adalah buku
Qanun karya Ibnu Sina (Avicenna) yang diajarkan selama berabad lamanya di universitas-universitas Eropa.
[18]
Para pemikir
abad pertengahan dengan mengenal pemikiran para cendekiawan Muslim,
filsafat dan tauhid yang merupakan dua proses spiritual yang bersamaan
dibawa ke Eropa dan berhasilnya orang-orang Eropa mengenal
pemikiran-pemikiran baru ini berujung pada berakhirnya masa kegelapan
dan bermulanya masa pencerahan ilmu pengetahuan. Gerakan-gerakan
reformasi, pemberantasan segala supertisi (khurafat) dan berseminya akal
mencapai puncaknya selama dua sampai tiga abad setelah meletusnya
perang Salib; tentu hal ini berhubungan dengan rasionalisme dan filsafat
Islam yang menekankan pada agama. Ibnu Rusyd salah seorang pemikir abad
keenam Hijriyah, adalah salah seorang pemikir yang sangat berpengaruh
pada masa itu.
Pada abad pertengahan, para dosen
dan mahasiswa Kristen Eropa banyak terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran
Ibnu Rusyd dan filsafatnya mendominasi pemikiran di belahan dunia Eropa
semenjak akhir abad ketigabelas hingga akhir abad keenambelas. Ia adalah
salah seorang penyokong akal dan meyakini bahwa segala sesuatu harus
berdasarkan akal. Buku-buku Ibnu Rusyd, sebelum dinyatakan terlarang
oleh para gerejawan, termasuk dari buku-buku yang diajarkan di
Universitas Paris.
[19] Kedua: Pengaruh Sosial.
Pengaruh sosial
yang cukup besar seperti tersebarnya musik, mengenal pelbagai jenis
masakan, pakaian, make-up wajah, estetika rumah, dan sebagian tradisi
masyarakayt Timur yang masuk dalam kehidupan masyarakat Eropa buah dari
perang ini.
[20]
Eropa pada masa
itu tidak memiliki peradaban, selain Roma yang merupakan ibu kota
Romawi Barat, selebihnya sentral-sentral hunian masyarakat Eropa, tidak
memiliki kota-kota besar dan sentra-sentra peradaban dan berbentuk
unit-unit feodal.
Dalam melakukan
perubahan-perubahan sosial, pemikiran feodalisme (sistem sosial dan
politik yang memberikan kekuasan besar kepada bangsawan dan kaum
ningrat) memberikan tempatnya pada pemikiran borguisme. Pemikiran feudal
artinya kepemilikian hanya pada raja, orang-orang ningrat dan tuan
tanah. Dalam jenis kepemilikian ini, para petani bergantung pada tanah
dan transaksi jual-beli tanah senantiasa terjadi. Namun pemikiran
borjuis berseberangan dengan pemikiran feudalis. Dalam pemikiran borjuis
kehidupan adalah kehidupan perkotaan dan yang berlaku adalah penanaman
modal dengan mengaktifkan pasar dan pemisahan pelbagai industri.
Peperangan feudalisme an borjuisme ini menjadi sebab berubahnya
pemerintahan feodalis menjadi borguis.
[21]
Industri dan
teknologi Barat juga – khususnya pada perang-perang Salib – meniru
industri dan teknologi Timur. Dalam bidang persenjataan, pakaian dan
perumahan khususnya, pada abad duabelas dan tigabelas pengaruh adaptasi
ini dengan baik dapat disaksikan. Dengan adanya kemajuan secara kualitas
dan kuantitas pelbagai fasilitas hidup, industry kemudian perniagaan
semakin banyak diminati. Industri, perniagaan, pembuatan emas, pembuatan
keramik dan pembuatan kaca adalah industri-industri yang diadaptasi
orang-orang Eropa dari kaum Muslimin dan seiring perjalanan waktu,
industri ini kemudian menjamur di Eropa. Orang-orang Venesia belajar
bagaimana membuat kaca dari orang-orang Sur (Oman).
[22]
Bangsa-bangsa
Timur dalam pelbagai bidang seni banyak berpengaruh bagi Eropa,
orang-orang Kristen dengan melihat pelbagai jenis industri mahir ini
dari Konstantinopel hingga Mesir seluruhnya menyebar di mana-mana,
belajar kemahiran ini dan merubah cita rasanya. Seni arsitektur juga
berubah total di Eropa. Model arsitektur klasik Eropa memiliki tiga
karakteristik: Dinding-dinding yang tebal. Atap yang rendah. Tidak
menggunakan cahaya.
Mereka dengan
melihat masjid-masjid dan istana-istana para sultan, mengadaptasi model
arsitektur Islam yang memiliki banyak karakterstik seperti,
dinding-dinding yang tipis, atap menjulang tinggi, pemanfaatan cahaya,
penggunaan ornamen-ornamen dalam bangunan dan pemanfaatan kaca-kaca
berwarna. [iQuest]
[1]. Hasan Khairi,
Târâj Tamaddun Syarq, hal. 51, Majalah Ma’rifat, Paiz (Autumn), 72.
[2]. Thomas Madden,
Negâhi Nu wa Fesyurdeh be Târikhk Jang-hâ-ye Shalibi, (
The New Concise History of the Crusades) hal. 12, penerjemah, Nasiri Tahiri, Abdullah, Karami, Akram, Nasyr Ilm, Teheran, 1389 S.
[3]. Sattar Audi,
Târikh Fesyurdeh Jang-hâ-ye Shalibi, hal. 26, Pazyuhesgah-e Farhangg, Hunar wa Irtibathat, Teheran, 1387 S.
[5]. Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Ibnu Khaldun
,Kitab al-‘Ibar wa Diwân al-Mubtadâ wa al-Khabar fi Târikh al-‘Arab wa al-Barbâr wa man ‘Ashârahum min Dzawi al-Sya’n al-Akbâr,
Riset oleh: Khalil Syahadat, jil. 5, hal. 242, Dar al-Fikr, Beirut,
1408 H. Izzudin Abul Hasan Ali bin Abi al-Karim, Ibnu al-Atsir,
al-Kâmil fi al-Târikh, jil. 10, hal. 498, Beirut, Dar Shadir-Dar Beirut, 1385 H.
[6]. Rene Grousset,
Tarikh Jang-ha-ye Shalibi (Crusader Studies), Pendahuluan Penerjemah (Waliyullah Syadan), hal. 5, Intisyarat-e Furuzan, Teheran, 1377 S.
[8].
Târikh Fesyurdeh Jang-hâ-ye Shalibi, hal. 33.
[10].
Târâj Tamaddun Syarq, hal. 53.
[11]. Rene Grousset,
Tarikh Jang-ha-ye Shalibi (Crusader Studies), hal. 55.
[12].
Târikh Fesyurdeh Jang-hâ-ye Shalibi, hal. 58.
[13].
Negâhi Nu wa Fesyurdeh be Târikhk Jang-hâ-ye Shalibi, hal. 26.
[14].
Sehubungan dengan khutbah Paus Urbanus II, terdapat beberapa hal yang
telah dinukil pada sebagian buku. Untuk penjelasan lebih jauh, silahkan
lihat,
Târikh Fesyurdeh Jang-hâ-ye Shalibi, hal. 61-67.
[15].
Târikh Fesyurdeh Jang-hâ-ye Shalibi, hal. 51.
[19].
Târikh Fesyurdeh Jang-hâ-ye Shalibi, hal. 40-44.
[20].
Târâj Tamaddun Syarq, hal. 54.
[22].
Ibid.
Sumber: Islam Quest