|
Deskripsi |
Imam Ali bin Abi Thalib As |
Posisi |
Imam Pertama Syiah dan Khalifah Keempat Sunni |
Nama |
Ali |
Julukan |
Abu al-Hasan, Abu al-Sibthian, Abu al-Raihanatain, Abu Thurab, Abu al-Aimmah |
Gelar |
Amirul Mukminin, Yas’ub al-Din, Haidar, Murtadha, Nafs al-Rasul, Akhu al-Rasul, Zauj al-Bathul, Qasim al-Jannah wa al-Nar |
Tanggal Lahir |
13 Rajab Tahun 30 Tahun Gajah |
Tempat Lahir |
Mekkah, Ka’bah |
Tanggal Wafat |
21 Ramadhan 40 H |
Nama Ayah |
Abu Thalib |
Nama Ibu |
Fatimah binti Asad |
Masa Hidup |
63 Tahun |
Tempat Dikuburkan |
Najaf, Irak |
Istri-istri |
Fatimah, Ummul Banin, Laila, Ummu Said, Khulah, Ummu Habib |
Anak-anak |
Hasan, Husain, Zainab, Ummu Kultsum, Muhsin, Muhammad Hanafiyah, Abbas, Umar, Ruqayyah, Ja’far, Abdullah, Usman, Muhammad Asghar, Ubaidillah, Yahya, Ummu al-Hasan, Ramlah, Nafsiyah, Ummu Hani |
Ali bin Abi Thalib (
Bahasa Arab:
علي بن أبي طالب) (lahir pada 23 tahun sebelum
Hijriah – tahun 40 H) adalah imam pertama seluruh mazhab
Syiah dan
khalifah keempat dari empat
Khulafa al-Rāsyidin di kalangan
Ahlusunnah.
Ia adalah salah seorang penulis wahyu yang terkemuka. Sesuai dengan
tuturan para sejarawan Syiah dan kebanyakan ulama Ahlusunnah, ia
terlahir di dalam
Ka’bah. Ia adalah orang yang pertama beriman kepada Rasulullah Saw dan tujuh tahun sebelum satu orang pun dari kalangan umat
Rasulullah Saw yang menyembah
Tuhan, ia bersama Rasulullah Saw menghabiskan waktunya untuk beribadah dan menyembah
Allah Swt.
[1]
Dalam pandangan Syiah, ia adalah seorang khalifah segera
(belā fashl) Rasulullah Saw berdasarkan firman Allah Swt dan penegasan Rasulullah Saw.
[2] Terdapat banyak ayat al-Quran yang berbicara tentang
kemaksumannya dan kesuciannya dari segala jenis kekotoran dan kenistaan.
[3] Di samping itu, terdapat kurang-lebih 300 ayat yang diturunkan berkenaan dengan keutamaannya.
[4] Ia adalah suami
Fatimah Sa dan ayah dari sebelas
Imam Syiah. Tatkala suku
Quraisy hendak membunuh
Nabi Saw,
ia rela tidur di pembaringan Rasulullah Saw untuk mengelabui pihak
musuh sehingga dengan demikian Rasulullah Saw dapat secara diam-diam
melakukan hijrah.
[5] Rasulullah Saw mengikat tali persaudaraan dengannya.
[6] Ia ikut serta pada seluruh perang
Nabi Muhammad Saw
kecuali perang Tabuk itu pun atas perintah Rasulullah Saw untuk tinggal
di Madinah. Oleh itu, Imam Ali As adalah panglima Islam yang paling
banyak menggondol keutamaan dan kehormatan.
Berbeda dengan nash Rasulullah Saw paska wafatnya, sekelompok orang di
Saqifah membaiat
Abu Bakar sebagai khalifah yang membuat Imam Ali As harus berdiam diri selama 25 tahun. Setelah pembunuhan
Usman, atas desakan kaum Muslimin, ia mengambil alih tampuk pemerintahan.
[7] Ia dalam masa singkat pemerintahannya, menghadapi tiga perang saudara yang berat dan pada akhirnya di mihrab
masjid Kufah, selagi ia menunaikan salat, gugur sebagai syahid mihrab di tangan salah seorang
Khawarij dan dikuburkan secara diam-diam di
Najaf.
[8]
Pada masa tiga khilafah pendahulunya, Imam Ali As tidak pernah
segan-segan memberikan bimbingan dan musyawarah kepada mereka. Sebagai
contoh, ia mengusulkan untuk menjadikan
hijrah
Rasulullah Saw sebagai tonggak pertama penanggalan sejarah kaum
Muslimin. Musuh-musuhnya banyak merekayasa hadis-hadis untuk mencela dan
menghabisinya. Pada masa yang cukup panjang pemerintahan
Bani Umayah, atas titah
Muawiyah,
ia dilaknat di atas mimbar-mimbar dan orang-orang yang memujinya tidak
hanya diancam untuk dipenjara bahkan dibunuh dan mereka dilarang untuk
menamai anak-anaknya dengan nama Ali.
[9] Kebanyakan silsilah disiplin ilmu kaum Muslimin di antaranya
Sastra Arab,
Teologi,
Fikih,
Tafsir berujung padanya dan beragam firkah menyampaikan mata rantai sanadnya kepada
Imam Ali As.
Ia memiliki tenaga yang sangat kuat, berani pada saat yang sama sangat
sabar, rendah hati, mudah memafkan, berlaku santun dan penuh wibawa. Ia
bertindak tegas dalam menghadapi para penjilat dan mengingatkan kepada
masyarakat tentanga persamaan hak-hak warga dan pemerintah.
[10] Ia sangat getol dan bekerja keras dalam mengimplementasikan keadilan. Kitab
Nahj al-Balāghah merupakan kitab yang memuat tulisan-tulisan dan tuturan-tuturannya.
Nasab, Julukan dan Gelar
Gelar-gelar Imam Ali As
Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthhalib bin Hasyim bin Abdumanaf bin Qusai bin Kilab,
Hasyimi Qarasyi adalah Imam Pertama seluruh
Syiah dan Khalifah Keempat dari para khalifah bagi Ahlusunnah.
Ayah Imam Ali As,
Abu Thalib
adalah seorang yang sangat dermawan dan menjunjung tinggi keadilan. Ia
mendapakan penghormatan dari seluruh suku Arab. Ia adalah paman dan
pelindung Rasulullah Saw serta merupakan salah seorang pembesar
Quraisy.
[11]
Setelah puluhan tahun melindungi dan mendukung dakwah Rasulullah Saw
Abu Thalib wafat dengan iman pada tahun kesepuluh bi’tsat.
[12] Ibunya bernama
Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdumanaf.
[13] Saudara-saudaranya adalah antara lain, Thalib, Aqil, Ja’far. Saudari-saudarinya di antaranya,
Hindun atau Ummu Hani,
Jamanah, Ritha atau Ummu Thalib dan
Asma.
[14]
Julukannya:
Abu al-Hasan, Abu al-Husain, Abu al-Sibthain, Abu al-Raihanatain, Abu Turab dan
Abu al-Aimmah.
Gelar:
Amir al-Mukminin, Ya’sub al-Din wa al-Muslimin, Mubir
al-Syirk wa al-Musyrikin, Qatil al-Nakitsin wa al-Qasithin wa
al-Mariqin, Maula al-Mu’minin, Syabih Harun, Haidar, Murtadha, Nafs
al-Rasul, Akhu al-Rasul, Zauj al-Batul, Saifullah al-Maslul, Amir
al-Barārah, Qātil al-Fajārah, Qasim al-Jannah wa al-Nar, Shahib al-Liwā,
Sayid al-‘Arab, Kassyāf al-Kurub, al-Shiddiq al-Akbār, Dzu al-Qarnain,
Hādi, Fāruq, Dāi’, Syahid, Bāb al-Madinah, Wali, Washi, Qādhi Din
Rasulullah, Munjiz Wa’dah, al-Nabā al-‘Azhim, al-Shirat al-Mustaqim, dan
al-Anza’ al-Bathin.
[15]
Hari Lahir dan Wafat
Imam Ali As lahir pada hari
Jumat 13
Rajab pada tahun 30 tahun Gajah di
Mekah di dalam
Ka’bah.
[16] Riwayat tentang kelahirannya di dalam Ka’bah adalah riwayat yang mutawatir
[17]
dalam pandangan ulama Syiah seperti Sayid Radhi, Syaikh Mufid, Quthb
Rawandi, Ibnu Syahr Asyub dan banyak ulama Sunni semisal Hakim
Naisyaburi, Hafiz Ganji Syafi’i, Ibnu Jauzi Hanafi, Ibnu Shabbagh
Maliki, Halabi, Mas’udi.
Ia terluka akibat tebasan pedang di kepalanya pada subuh hari tanggal 19
Ramadhan tahun 40 Hijriah yang dilakukan oleh salah seorang Khawarij di
Masjid Kufah dan pada tanggal 21 Ramadhan gugur sebagai syahid kemudian
dikebumikan secara diam-diam.
[18]
Masa Kanak-kanak
Ketika Imam Ali As berusia 6 tahun, di Mekah terjadi kekeringan. Abu
Thalib, seorang lelaki paruh baya mengalami kesulitan ekonomi ketika
harus menafkahi keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang banyak.
Oleh itu, Nabi Muhammad Saw, Hamzah dan dan Abbas, kedua paman Nabi Saw
memutuskan untuk menolong Abu Thalib dalam menghadapi masalah ini.
Karenanya,
Abbas membawa
Ja’far dan
Hamzah membawa Thalib ke rumahnya. Adapun Nabi Muhammad membawa Ali As ke rumahnya.
[19]
Begini Imam Ali As mengenang masa itu, “Ketika aku masih kecil, (Nabi
Muhammad Saw) meletakkanku di sampingnya dan mendekapku ke dadanya dan
ia menidurkanku di pembaringannya, menempelkanku ke badannya.
Kadang-kadang Nabi Muhammad Saw mengunyah makanan kemudian kunyahan itu
diberikan kepadaku. Beliau tidak pernah mendengar bicara dusta dariku
dan juga tidak pernah melihat kesalahan pada tingkah lakuku.
[20]
Ciri-ciri Fisik
Ali As adalah seorang dengan perawakan sedang, antara pendek dan
gemuk. Matanya hitam dan lebar. Pandangan matanya memancarkan kasih
sayang yang tiada tara. Alis matanya tebal dan menyatu. Wajahnya tampan
dan merupakan pantulan kebaikan terelok dari masyarakat. Aura wajahnya
menampakkan keceriaan dan kebahagiaan. Rambutnya tumbuh di pinggir
kepalanya. Kepalanya botak. Lehernya memancarkan cahaya berwarna putih
bagai sebuah guci perak. Jenggotnya tebal dan di atasnya indah. Bahunya
lebar seperti bahu singa yang ganas. Jari-jemarinya ramping, tangannya
kokoh. Begitu kokohnya sehingga apabila ia memegang tangan seseorang, ia
akan menang dan lawan yang dihadapinya akan kehilangan nafasnya.
Perutnya besar dan punggungnya kuat. Dadanya bidang dan berbulu.
Tulang-tulang sendinya yang bertautan antara yang satu dengan yang
lainnya berukuran besar. Otot-ototnya berliku dan betisnya panjang dan
kecil. Otot lengan dan kakinya seimbang dan ketika berjalan agak condong
ke depan.
[21]
Kekuatan Fisik
Ibnu Qutaibah mencatat, “Ia tidak melawan siapa pun kecuali lawannya akan tersungkur ke bumi.”
[22]
Ibn al-Hadid berkata, “Kemampuan fisik Imam Ali As telah menjadi
perlambang ksatria. Ia-lah yang menaklukkan benteng Khaibar, sementara
sekelompok orang lain ingin mengembalikannya (atau mengangkatnya), namun
gagal. Ia juga yang menurunkan berhala hubal, berhala yang berukuran
raksasa dari atas Ka’bah dan melemparkannya ke bumi. Ia yang memindahkan
batu raksasa dari tempat duduknya dengan tangannya pada hari
kekhlalifahannya kemudian dari bawah batu itu mengalir air yang
mendidih, sementara semua pasukan yang ada tidak mampu untuk melakukan
hal itu.
[23]
Istri-istri dan Anak-anak
Istri pertama Imam Ali As adalah
Sayidah Fatimah Sa binti Muhammad Saw.
[24]
Sebelum Ali As, sejumlah orang-orang seperti: Abu Bakar, Umar bin
Khatab, Abdur Rahman bin Auf telah datang meminang putri Nabi itu.
Ketika itu Nabi Muhammad Saw bersabda, “Aku menunggu wahyu Ilahi terkait
dengan pernikahan Zahra.”
[25]
Para sejarawan berbeda pendapat tentang tanggal pernikahan Imam Ali dan
Sayidah Fatimah Zahra: Sebagian berpendapat mereka menikah pada awal
Dzul Hijjah tahun ke-2 Hijriah,
[26] sebagian yang lainnya pada bulan
Syawal dan kelompok yang lainnya mengatakan pada 21 Muharam.
[27]
Buah pernikahan Imam Ali As dan Sayidah Zahra Sa dikaruniai lima putra yang nama-namanya adalah
Hasan,
Husain,
Muhsin ,
[28] Zainab Kubra dan
Ummu Kultsum Kubra.
Setelah wafatnya Sayidah Zahra, Imam Ali menikah dengan Umamah binti Abi
Al-Ash bin Rabi’ bin Abdul Azi bin Abd Syams. Ibu Umamah adalah Zainab,
putri
Nabi Muhammad Saw.
Ummu Banin binti Hizam bin Daram Kalabiyah adalah wanita lain yang dinikahi oleh Imam Ali As. Buah pernikahan ini adalah
Hadrat Abbas, Usman, Ja’far dan Abdullah yang semuanya gugur syahid di
Karbala.
Setelah menikah dengan Ummu Banin, Imam Ali menikah dengan Laila binti
Mas’ud bin Khalid Nahsyaliyah Tamimah Darmiyah. Kemudian menikah dengan
Asma binti Umais Khat’mi di mana Yahya dan Aun adalah buah pernikahan
itu. Salah satu istrinya yang lain adalah Ummu Habib binti Rabi’ah
Taghlabiyah yang terkenal dengan Syabhba. Istri Imam Ali As yang lain
adalah Haulah binti Ja’far bin Qais bin Maslamah Hanafiyah atau menurut
pendapat yang lain Haulah Ayas. Imam Ali As juga menikah dengan Ummu
Sa’id binti Urwah bin Mas’ud Tsaqafi dan juga Muhayyah binti Amri
al-Qais bin ‘Adi Kalbi.
[29]
Secara umum,
Syaikh Mufid
menyebutkan bahwa putra dan putri Imam Ali As berjumlah 27 orang dan
sebagian dari pengikut Syiah, satu orang lagi juga merupakan putra Imam
Ali As dan ia adalah Sayid Muhsin, putra Sayidah Zahra Sa di mana Nabi
Muhammad memberi namanya dengan Muhsin dan ia meninggal ketika masih
berada di dalam kandungan, setelah
Nabi Muhammad Saw wafat. Dengan perhitungan ini, maka jumlah putra Imam Ali As adalah 28 orang:
- Hasan
- Husain
- Zainab Kubra
- Zainab Sughra yang memiliki kunyah Ummu Kultsum
- Muhsin. (Ibu dari lima orang ini adalah Zahra SA)
- Muhammad yang memiliki julukan Abul Qasim. Ibunya adalah Haulah binti Ja’far Qais binti Hanafiyah
- Umar
- Ruqayah (Ibu dua saudara kembar ini Ummu Habib binti Rabi’ah)
- Abbas
- Ja’far
- Usman
- Abdullah (Keempat orang ini semuanya syahid di Karbala. Ibu dari
empat orang ini adalah Ummu Banin binti Hazm bin Khalid bin Daram)
- Muhammad Asghar yang memiliki julukan Abu Bakar
- Abdullah (Kedua orang ini syahid di Karbala. Ibu dari dua orang ini adalah Laila binti Mas’ud Darmiyah)
- Yahya (Ibunya adalah Asma binti Umais Khutsaimah)
- Ummu Hasan
- Ramlah (Ibu ke dua orang ini adalah Ummu Sa’id binti Urwah bin Mas’ud Tsaqafi)
- Nafisah
- Zainab Sughra
- Ruqayah Sughra
- Ummu Hani
- Ummul Kiram
- Jamanah yang mempunyai julukan Ja’far
- Amamah
- Ummu Salamah
- Maimunah
- Khadijah
- Fatimah (Syaikh Mufid tidak menerangkan nama ibu dari kelima orang
ini dan hanya menuliskan bahwa ibu dari kelima orang ini adalah beberapa
ibu yang berbeda-beda).[30]
Peperangan Nabi Muhamad Saw
Peranan Imam Ali As dalam beberapa serangan
ghazawāt (turun langsung dalam peperangan) dan
sariyah
(perang yang tidak diikuti oleh nabi Muhammad Saw) pada masa-masa
permulaan Islam sangat besar. Imam Ali As turut dalam semua peperangan
bersama Rasulullah Saw kecuali dalam perang
Tabuk.
[31] Ia dinilai sebagai tokoh militer kedua setelah Rasulullah Saw yang sangat berpengaruh.
Perang Badar
Perang Badar adalah perang yang terjadi antara kaum Muslimin dan kaum Kafir pada hari Jumat, 17
Ramadhan 32 H. Perang
Badar meletus di samping sungai-sungai Badar.
[32]Dalam
perang ini, Kaum Muslimin berhasil membunuh 72 orang dari kaum
musyrikin di mana sebagian dari mereka adalah pembesar-pembesar kaum
kafir seperti Abu Jahal, Utbah, Syaibah dan Umayah.
Menurut tradisi yang berlaku di tengah kaum Arab, sebelum dimulai
penyerangan secara umum, akan diadu secara duel masing-masing utusan
dari dua kekuatan itu. Oleh itu, Utbah bin Rabi’ah, Walid, saudaranya,
Syaibah meminta Rasulullah Saw untuk mengirimkan lawan tanding mereka.
Nabi Muhammad mengirim Ali As, Hamzah, Ubaidah bin Harits. Ali tidak
memberi kesempatan sedikit pun kepada Walid. Hamzah kepada Utbah.
Keduanya dijatuhkan. Kemudian Ubaidah juga berhasil membunuh Syaibah.
[33]
Hanzhalah, Ash bin Sa’id, Thai’imah bin ‘Adi dan kira-kira 20 orang dari kaum musyrikin tewas di tangan Imam Ali As.
[34]
Perang Uhud
Sebelumnya pada barisan pasukan Islam pada
Perang Uhud
terdapat nama-nama seperti Ali As, Hamzah, Abu Dujanah dan beberapa
prajurit lain yang berhasil melemahkan barisan musuh. Nabi Muhammad Saw
menjadi target serangan pasukan Quraisy dari berbagai penjuru. Setiap
pasukan melancarkan serangan kepada Nabi Muhammad Saw. Dari mana saja
Rasul diserang, beliau memerintahkan Imam Ali As untuk menyerang mereka.
Atas pengabdian yang luar biasa ini, Malaikat Jibril turun kepada Nabi
Muhammad Saw dan berkata, pengabdian ini adalah hal luar biasa yang
telah ditunjukkan olehnya. Rasulullah Saw pun membenarkan perkataan
Malaikat Jibril dan berkata: Aku berasal dari Ali dan Ali berasal
dariku. Kemudian terdengar suara dari langit, “Tidak ada pedang selain
Dzulfiqar dan tidak ada pemuda selain Ali.”
[35]
Perang Khandaq
Dalam perang
Khandaq,
setelah Nabi Muhammad Saw mengadakan musyawarah dengan para sahabatnya,
Salman mengusulkan untuk menggali parit disekitar Madinah sehingga akan
ada jarak dengan pihak penyerang.
[36]
Beberapa hari lamanya ke dua pasukan berhadap-hadapan di sekitar parit
itu dan kadang-kadang terjadi saling lempar anak panah dan batu di
antara kedua kubu. Akhirnya Amru bin Abd Wud, salah seorang tentara
kafir dengan beberapa orang dari pasukan musuh dapat melewati parit yang
lebih sempit dari tempat yang lain. Ali As meminta ijin dari Nabi
Muhammad Saw untuk melawan Amru bin Abdu Wud, Nabi pun menginjinkannya.
Setelah terjadi duel sengit antar keduanya pun, Imam Ali As membuat Amr
terjungkal ke tanah dan Amr pun tewas.
[37]
Ketika melihat kepala Amr ada berada di tangan Imam Ali As, Rasulullah
Saw bersabda, “Pukulan Ali pada perang Khandaq lebih utama dari pada
ibadah seluruh jin dan manusia.”
[38]
Perang Khaibar
Perang Khaibar terjadi pada
Jumadil Ula tahun 7 H dimana Nabi Muhammad mengeluarkan perintah untuk menyerang benteng pertahanan kaum
Yahudi.
[39] Setelah Rasulullah Saw mengutus beberapa orang di antaranya: Abu Bakar, Umar dan Usman untuk menaklukkan benteng
Khaibar
dan orang-orang itu tidak berhasil, beliau bersabda, “Besok aku akan
memberikan bendera kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya,
dan Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya.”
[40] Keesokan harinya, Nabi memanggil Ali As dan beliau pun memberikan bendera itu kepadanya. Ali memegang pedang
Dzulfiqar
dan pergi ke medan perang ketika perisainya hilang, ia mengambil salah
satu pintu benteng dan menggunakan pintu itu sampai selesai pertempuran
sebagai ganti dari perisainya.
[41]
Fathu Makah
Pada permulaan bulan Ramadhan tahun ke-8 H dengan maksud untuk
menaklukkan Mekah, kaum Muslimin keluar dari kota Madinah. Nabi Muhammad
Saw yang pada mulanya menyerahkan bendera kepada
Sa’ad bin Ubadah namun karena ia berbicara tentang perang dan balas dendam akhirnya beliau memberikan bendera itu kepada Ali As.
[42]
Paska Fathu Mekah (Penaklukan Kota Mekah), Nabi Muhammad Saw usai
menghancurkan berhala-berhala, memerintahkan Ali As untuk menaiki
punggungnya guna menurunkan patung khuza’ah dari atas Ka’bah.
[43]
Perang Hunain
Perang Hunain terjadi pada tahun 8 H. Pada perang ini Imam Ali memegang panji
Kaum Muhajirin.
[44]
Perang Tabuk
Hanya dalam perang Tabuk, Imam Ali As tidak ikut serta berperang
bersama Rasulullah Saw. Atas dasar perintah Nabi, ia tinggal di Madinah
sehingga dalam ketidakhadiran Nabi Muhammad Saw, ia dapat mengawasi tipu
muslihat kaum munafik.
Setelah Ali tinggal di Madinah, kaum munafik pun menyebarkan isu dan
guna meredamkan fitnah itu, Imam Ali As segera mengangkat senjata dan
dengan sigap menemui Nabi Muhammad Saw di luar Madinah untuk
memberitahukan hal ini.
Pada kesempatan ini Rasulullah Saw membacakan hadis manzilah. Beliau
bersabda, “Saudaraku Ali, kembalilah ke Madinah karena Madinah tidak
layak dipimpin kecuali oleh Aku dan engkau. Oleh itu, engkau adalah
khalifahku dari Ahlulbait, kediaman dan kaumku. Wahai Ali! Apakah engkau
tidak rela jika kedudukanmu di sisiku sebagaimana kedudukan Harun di
sisi Musa hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku.”
[45]
Bukti-bukti Imamah
Ayat-ayat yang berkenaan dengan
imamah Imam Ali As setelah Nabi Muhammad Saw sangat banyak. Di sini hanya akan diisyaratkan sebagian darinya:
Ayat Ithā’at
Allah Swt berfirman:
"يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّـهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ"
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah) di antara kamu.” [46]
Menurut kesepakatan ulama Syiah dan Sunni, ayat ini turun dalam
kaitannya dengan kedudukan Imam Ali As dan para imam yang lain serta
dalil atas ketaatan kepada mereka.
[47]
Ayat Wilāyah
Ilustrasi Pewahyuan Ayat Wilayah
Allah Swt berfirman:
"إِنَّما وَلِيُّكُمُ اللهُ وَ رَسُولُهُ وَ الَّذينَ آمَنُوا
الَّذينَ يُقيمُونَ الصَّلاةَ وَ يُؤْتُونَ الزَّكاةَ وَ هُمْ راكِعُونَ"
“Sesungguhnya wali dan pemimpin kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya
dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat
dalam keadaan ruku." [48]
Ayat ini mengukuhkan
wilāyah Imam Ali dan para imam As yang lain.
Para mufassir berkeyakinan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Imam
Ali As dan cincin yang beliau berikan kepada seorang fakir dalam keadaan
ruku.
[49]
Hadis Manzilah
Rasulullah bersabda kepada Ali, “Kedudukanmu di sisiku seperti
kedudukan Harun di sisi Musa. Hanya saja tidak ada nabi lagi
sepeninggalku.”
[50]
Hadis Yaum Indzār
Ketika Rasulullah Saw menyampaikan risalahnya kepada kaumnya, hanya
Ali As yang menerima ajakan Rasul. Nabi pun bersabda, “Engkau adalah
saudaraku, wazirku, washiku dan khalifahku sepeninggalku.”
[51]
Peristiwa Al-Ghadir
Ilustrasi Peristiwa Ghadir Khum
Nabi Muhammad Saw pada tahun ke-10 H guna melaksanakan kewajiban dan
pengajaran ritual haji pergi ke Mekah. Ritual ini pun akhirnya selesai
sementara itu banyak kelompok yang pamitan dari beliau dan bertolak
menuju Madinah.
Pada tanggal 18 Dzulhijah, ketika rombongan sampai pada suatu daerah
bernama
Ghadir Khum di dekat
Juhfah,
turun wahyu kepada Nabi Muhammad Saw untuk menyampaikan kabar
kekhilafahan Imam Ali bin Abi Thalib As kepada masyarakat. Oleh itu,
Nabi menyuruh supaya semua rombongan yang di depan berhenti sehingga
rombongan yang masih di belakang pun sampai. Kemudian Nabi Muhammad Saw
menyampaikan perintah Tuhan (ayat tabligh).
[52]
Allah Swt berfirman:
"يا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ ما أُنْزِلَ إِلَيْكَ
مِنْ رَبِّكَ وَ إِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَما بَلَّغْتَ رِسالَتَهُ وَ اللهُ
يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكافِرينَ"
“Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan
risalah-Nya. Allah menjagamu dari bahaya manusia, sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” [53]
Setelah turunnya ayat ini, Nabi Muhammad Saw bersabda kepada orang-orang
yang hadir di tempat itu, “Bukankah aku lebih utama atas kalian dari
pada kalian sendiri? Masyarakat pun menjawab, ‘iya’ Nabi kembali
bersabda, Barang siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya, maka Ali
adalah pemimpinnya. Ya Allah. Cintailah orang yang mencintainya dan
musuhilah orang yang memusuhinya. Bantulah mereka yang membantunya dan
tinggalkanlah mereka yang meninggalkannya.”
[54]
Wafat Nabi Muhammad Saw dan Peristiwa Saqifah
Pada saat-saat akhir kehidupan Nabi Muhammad Saw, Imam Ali As
mendekati Rasulullah Saw dan beliau pun membuka rahasia kepadanya.
Setelah itu sakit beliau semakin parah dan kepada Ali bersabda,
“Letakkan kepalaku pada pangkuanmu karena perintah Tuhan telah tiba.
Bilamana ruh terpisah dari badanku, maka tahanlah ia dengan tanganku dan
usapkan di mukaku kemudian hadapkan wajahku ke arah kiblat lalu kafani
aku, salatlah atasku sebelum semua masyarakat mensalatiku. Jangan
berpisah dariku sebelum engkau menguburkan jasadku di liang lahat, dan
mohonlah pertolongan dari Allah Swt.”
[55]
Seteleh meninggalnya Nabi Muhammad, pada saat Ali As dan Bani Hasyim
sibuk mengafani dan menguburkan jasad Nabi Muhammad Saw, sebagian dari
kaum Muhajirin dan Anshar seperti Abu Bakar, Abu Ubaidah, Abdur Rahman
bin Auf, Sa’d bin Ubadah, Tsabit bin Sa’d bin Ubadah, Usman bin Affan
berkumpul di suatu tempat bernama Saqifah Bani Sa’idah sehingga akan
menjadi jelas urusan kekhlalifahan kaum Muslimin. Setelah persengketaan
sengit diantara mereka dan tanpa mengindahkan peristiwa Ghadir Ghum
akhirnya terpilih Abu Bakar sebagai khalifah.
[56]
Masa Pemerintahan Ketiga Khalifah
Dengan bermulanya kekhalifahan Abu Bakar, terjadi peristiwa yang
menyakitkan bagi Ahlulbait seperti penyerangan terhadap rumah Ali As,
pemberian baiat kepada Abu Bakar,
[57] penggunaan dan pengambilan secara paksa
Tanah Fadak [58]
dan kesyahidan Sayidah Fatimah Sa.
Selama masa pemerintahan tiga khalifah yang berlangsung selama 25 tahun,
Imam Ali As berhasil dalam melakukan aktivitas-aktivitas keilmuan dan
kemasyarakatan, seperti mengumpulkan Al-Quran, memberikan
masukan-masukan kepada para khalifah dalam permasalahan pemerintahan,
penaklukan, pengaturan pemerintahan, infak kepada fakir miskin dan anak
yatim, membebaskan budak kira-kira sebanyak 1000 budak dengan cara
membelinya, pertanian, penanaman pohon, menggali saluran-saluran,
membangun masjid, sebuah masjid yang terletak di dekat pusara
Hamzah,
di Miqat, masjid di Kufah dan masjid di Basrah, mewakafkan
tempat-tempat dan kawasan hunian yang mempunyai pendapatan pertahun
40.000 dinar.
[59] Pada pembahasan selanjutnya akan dijelaskan tentang beberapa permasalahan penting yang terjadi pada masa periode ini.
Baiat yang Dipaksakan
“Anda menarik tangan saya kepada Anda untuk baiat tetapi
saya menahannya kembali, dan Anda mengulurkannya tetapi saya
menariknya. Kemudian Anda berkerubut pada saya seperti unta-unta haus
mengerubuti air pada genangan air ketika mereka dibawa ke sana,
sedemikian rupa sehingga sepatu-sepatu robek, sandang bahu jatuh dan
orang-orang lemah terpijak-pijak, dan kebahagiaan manusia atas baiat
mereka kepada saya begitu nyata sehingga anak-anak merasa riang gembira,
yang tua-tua berhuyung-huyung (sampai kepada saya) untuk itu,
orang-orang sakit pun menjangkau kepada hal itu dengan kacau balau dan
gadis-gadis muda lari tanpa cadar.”
Imam Ali, Nahj al-Balāghah, Khutbah 229
Ketidaksediaan Imam Ali As untuk membaiat kepada Abu Bakar dan
langkah-langkah yang ditempuh beberapa sahabat yang menentang
kekhalifahan Abu Bakar merupakan ancaman serius bagi Abu Bakar dan Umar.
Oleh itu, Abu Bakar dan Umar memutuskan untuk mengakhiri ancaman ini
dengan cara memaksa Imam Ali As untuk membaiat kepadanya.
[60]
Setelah beberapa kali Abu Bakar mengirim Qunfudz ke rumah Ali As
untuk mengambil baiat dari Imam Ali As, namun Imam Ali menolak, Umar
berkata kepada Abu Bakar, bangunlah dan pergilah engkau sendiri ke sana.
Dengan demikian, Abu Bakar, Umar, Usman, Khalid bin Walid, Mughairah
bin Sya’bah, Abu Ubaidah Jarah dan Qunfudz pergi ke rumah Ali As.
Ketika rombongan itu tiba di pintu rumah Ali As, setelah menghina
Hadrat Fatimah Sa, mereka mendorong pintu rumahnya padahal Hadrat
Fatimah Sa berada diantara pintu dan dinding, mereka juga mencambuknya.
[61]
Kemudian mereka menyerang Imam Ali As dan melilit pakaiannya di
lehernya lalu menyeret Imam Ali As keluar rumah dan membawanya ke
Saqifah.
Ketika mereka memaksa supaya Imam Ali memberikan baiatnya kepada
Abu Bakar, Imam menjawab, “Aku lebih berhak akan kekhalifahan ini dari
pada kalian dan aku tidak akan berbaiat kepadamu. Kamu lebih layak untuk
berbaiat kepadaku karena kamu hanya dengan berdalih sebagai keluarga
Nabi, telah mengambil khilafah dari kaum Anshar dan sekarang kamu
mengambilnya dariku.”
[62]
Pengumpulan Al-Quran
Ulama Syiah dan Sunni mengakui bahwa Imam Ali yang memulai
menyusun Al-Quran atas wasiat Nabi Muhammad Saw setelah wafatnya beliau.
[63]
Sebagaimana yang telah dinukilkan dari riwayat, Ali As bersumpah bahwa
ia tidak akan mengenakan jubah kecuali jika Al-Quran sudah ada.
[64] Dan juga dalam riwayat telah dinukilkan bahwa, “Ali, pasca wafatnya Nabi mengumpulkan al-Quran selama 6 bulan.”
[65]
Dalam Perang dengan Roma
Selepas meninggalnya Raululullah Saw dan ketika Abu Bakar
memegang tampuk kekuasaan, ia tidak berhasil melaksanakan perintah Nabi
Muhammad Saw terkait dengan Roma. Oleh itu ia bermusyawarah dengan
beberpa sahabat. Semua sahabat melontarkan pendapatnya masing-masing,
namun Abu Bakar tetap tidak yakin akan usulan mereka. Akhirnya ia
bermusyawarah dengan Ali As dan Imam Ali AS mendorongnya supaya
melakukan perintah Rasulullah Saw. Imam Ali bersabda, Jika engkau
memilih pernag, pasti akan menang. Abu Bakar bersuka cita atas usulan
yang diberikan oleh Imam Ali dan berkata engkau telah memberi kabar
gembira kepadaku lalu Abu Bakar pun memerintahkan masyarakat untuk
bersiap-siap menuju Roma.
[66]
Sumber (Patokan) Penanggalan Islam
Atas usulan Imam Ali As, Umar menjadikan permulaan hijrah Nabi
dari Mekah ke Madinah sebagai awal penanggalan dan kalender kaum
Muslimin.
[67]
Masa Pemerintahan
Setelah Usman terbunuh, sejumlah sahabat mendatangi Imam Ali dan
berkata, “Kami tidak mengenal orang yang layak untuk menjabat
kekhalifahan selain engkau.” Imam Ali bersabda, “Aku lebih baik menjadi
wazirmu dari pada amirmu.” Mereka berkata, “Kami tidak menerima kecuali
membaiatmu.” Imam berkata bahwa baiat mereka tidak boleh dilakukan
secara rahasia dan harus di lakukan Masjid.
[68]
Semua kaum Anshar kecuali beberapa orang memberikan baiat kepada Ali As.
Orang-orang yang menentang diantaranya: Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin
Malik, Musallamah bin Mukhallad, Muhammad Musallamah dan beberapa orang
yang berasal dari Usmaniyah. Penentang yang tidak berasal dari Anshar di
antaranya Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit dan Usamah bin Zaid di
mana semua orang ini adalah orang-orang yang dekat dengan keluarga
Usman.
[69]
Terkait dengan hal bahwa, mengapa Imam Ali As tidak mau menerima baiat
yang diberikan oleh masyarakat harus dikatakan bahwa Imam Ali As menilai
keadaan masyarakat yang ada sangat tidak kondusif sehingga tidak
mendukung imam untuk memimpin mereka dan program-programnya dapat
dijalankan.
[70]
Hak dan Kewajiban Rakyat-Penguasa
Menurut Imam Ali hak penguasa atas rakyat dan hak rakyat atas
penguasa merupakan hak terbesar yang diberikan oleh Tuhan secara timbal
balik. Imam Ali As bersabda, “Sebagaimana seseorang mempunyai hak-hak
atas orang lain, maka orang lain pun mempunyai hak atasnya. Satu-satunya
sosok yang mempunyai hak atas semua orang dan tidak ada seseorang yang
mempunyai hak atasnya adalah Tuhan, bukan salah seorang hamba-hamba-Nya.
Menurut Imam Ali As, memelihara hak dan kewajiban antara penguasa dan
rakyat akan membawa dampak positif yang banyak.
Apabila rakyat melaksanakan hak penguasa, dan penguasa juga menunaikan
hak-hak rakyatnya, maka hak di antara mereka akan terjunjung tinggi dan
dasar pondasi keagamaan mereka akan kuat, tanda-tanda keadilan akan
nampak dan sunah-sunah Nabi akan terlaksana pada jalannya.
Kemudian Imam Ali As melanjutkan sabdanya, “Tetapi, apabila rakyat
menguasai si penguasa, atau penguasa menindas rakyat, maka perselisihan
muncul pada setiap kata, tanda-tanda penindasan muncul, bencana memasuki
agama, dan jalan sunah ditinggalkan. Kemudian orang bertindak
berdasarkan hawa nafsu, perintah (agama) disingkirkan, penyakit rohani
menjadi banyak, dan tak ada ragu-ragu dalam mengabaikan hak-hak besar
sekalipun, tidak pula dalam melakukan kesalahan-kesalahan besar. Dalam
keadaan semacam itu, orang bajik dihinakan sementara orang jahat
dihormati, dan ada azab yang pedih dari Allah Yang Mahasuci kepada
manusia.”
[71]
Imam Ali As sangat menghargai dan menjunjung tinggi hak-hak masyarakat
dan hal itu terekam jelas dalam bagian surat yang dikirimkan bagi
penanggung jawab (pejabat) pemerintah. Dalam bagian surat yang
diperuntukkan bagi penanggung jawab pengumpul dana, beliau menulis,
“Berlakulah secara adil dan berilah hak kepada rakyatmu sebagaimana
engkau memberi hak kepadamu, bersemangatlah, bersabarlah dalam
menunaikan kebutuhan-kebutuhan rakyat dan berhati-hatilah dalam
menggunakan anggaran keuangan karena engkau adalah akuntan rakyat, wakil
rakyat dan duta pemerintah.”
[72]
Juga nasehat beliau kepada pengumpul zakat (amil):
“Janganlah bersikap sedemikian sehingga masyarakat tidak menghormatimu.
Jangan lebih banyak mengambil harta mereka melebihi hak Tuhan atasnya.
Kemudian katakann kepada mereka, ‘Wahai hamba-hamba Tuhan, Aku adalah
wali Tuhan yang diutus atas kalian untuk mengambil hak-hak Tuhan yang
ada pada harta-harta Anda. Apakah ada hak-hak Tuhan diantara harta-harta
Anda sehingga akan Anda bayarkan kepada perwakilan Anda? Apabila
seseorang berkata: tidak, maka janganlah kalian mendatanginya lagi. Dan
apabila seseorang memberi jawaban iya, maka datanglah kepadanya tanpa
menakut-nakutinya dan mengancanya.”
[73]
Ketika Imam Ali As mengangkat
Malik Asytar
sebagai gubernur Mesir, pada saat melantiknya Imam bersabda, “Berkasih
sayanglah, berperangailah yang baik dan berilah tempat wargamu di hatimu
jangan sampai engkau bersikap seperti binatang buas kepada rakyatmu,
perhatikan makanan mereka karena mereka terbagi menjadi dua, mereka
adalah saudara agamamu atau mereka dalam penciptaan seperti engkau.”
[74]
Keadilan
Imam Ali As pada hari-hari pertama pemerintahannya tidak setuju
dengan pembagian baitul mal berdasarkan tradisi keliru yang ditempuh
oleh para khalifah sebelumnya di mana pembagian baitul mal itu
berdasarkan masa lalu seseorang pada permulaan peperangan Islam dan
keadaan keimanan mereka pada masa lalu. Imam Ali bersabda, “Lakukan
pembagian baitul mal secara rata dan sama, seseorang tidak lebih utama
dibanding dengan orang lain. Artinya semenjak awal tidak aku temukan
adanya keutaman bagi anak-anak Ismail yaitu kaum Arab Mekah dibanding
dengan anak-anak Ishak.
[75]
Imam Ali As memerintahkan Ammar bin Yasir dan Abul Haitam bin Tihan
untuk mengelola baitul mal dan kepada mereka (Ammar bin Yasir dan Abul
Haitam bin Tihan) menulis perintah bahwa antara arab dan non Arab (Ajam)
dan kepada setiap kaum Muslimin dari setiap suku dan keturunan
mempunyai hak yang sama dalam menerima pembagian dari baitul mal.
[76]
Imam Ali As ketika menjabat khalifah memerintahkan untuk mengambil semua
tanah yang diserahkan oleh Usman kepada seseorang tertentu dan
mengembalikan kembali tanah itu ke baitul mal.
[77]
Sikap Imam Ali As kepada Kawan dan Keluarganya terkait dengan Baitul Mal
Ali As sangat ketat. Ketika salah seorang putrinya meminjam
kalung berlian dari juru kunci baitul mal, ketika itu pula Imam Ali
melakukan pemeriksaan yang sangat ketat terhadap putrinya dan Ali bin
Abi Rafi’.
[78]
Dalam peristiwa lain yang berkaitan dengan cerita salah seorang
penolongnya yang menginginkan bantuan keuangan dari Imam Ali As, beliau
bersabda, “Harta ini bukan milikku, dan bukan pula milikmmu namun
kekayaan yang diperoleh oleh kaum Muslimin melalui kemenangan dalam
peperangan. Jika kamu ikut serta dalam peperangan itu, maka ada bagian
untukmu sebagaimana orang lain mendapatkan harta itu, dan apabila tidak,
maka tidak sepantasnya sesuatu yang diperoleh mereka diberikan kepada
orang lain yang tidak berhak.
[79]
Tegas dalam Melaksanakan Ajaran-ajaran Agama dan Hukum
Imam Ali As dalam menegakkan ajaran-ajaran agama tidak mengenal
toleransi. Oleh itu, hal ini menyebabkan sebagian kelompok tidak
bersabar atasnya. Dua kisah ini menjadi bukti atasnya:
Suatu hari Imam Ali As memerintahkan Qanbar untuk mencambuk seseorang.
Karena Qanbar terpengaruh oleh emosinya, ia menambahkan 3 kali cambukan.
Oleh itu, Imam Ali As memaksa orang itu untuk mencambuk
Qanbar sebanyak tiga kali.
[80]
Salah seorang konglomerat di Basrah, pada suatu malam mengundang Usman
bin Hanif (Gubernur Basrah) untuk bertamu dan mengadakan pesta untuknya.
Laporan pesta ini sampai ke telinga Imam Ali As. Beliau langsung
menulis surat kepada Usman bin Hanif, “Wahai putra Hanif! Aku mendengar
Anda diundang oleh seorang konglomerat dari Basrah dan Anda juga
menerima undangannya sementara pesta yang diadakan itu penuh dengan
bejana-bejana besar yang berisi makanan beraneka ragam yang disajikannya
secara terus menerus. Ketahuilah! Setiap pengikut mempunyai pemimpin
yang akan mengikutinya dan akan menerima cahaya pengetahuannya.
Ketahuilah bahwa pemimpin kalian hanya mengenakan dua pakaian lama dan
makanannya hanya mencukupkan dengan dua potong roti.”
[81]
Tidak Suka Disanjung
Imam Ali As sangat tidak suka disanjung dan ia melarang kaum
Muslimin untuk melakukan hal ini. Kisah berikut ini menggambarkan hal
tersebut:
Ketika Imam Ali As kembali dari perang Shifin di Kufah terdapat
seseorang bernama Harb bin Syar Habil Syayani. Ia dengan berjalan kaki
menyertai Imam Ali yang menunggang kuda. Imam Ali As berdiri dihadapan
Harb dan berkata, “Kembalilah” Karena Harb menolak kembali, Imam Ali As
mengulangi perkataannya itu sebanyak dua kali. Imam Ali As berkata,
“Kembalilah karena berjalan bagimu dan naik kuda bagiku akan menimbulkan
fitnah bagi penguasa sepertiku dan bagi Mukmin merupakan kehinaan.”
[82]
Suatu hari salah seorang sahabat Imam Ali As memuji beliau. Imam sangat
melarang pekerjaan ini dan bersabda, “….Ketahuilah keadaan yang paling
buruk bagi seorang penguasa di hadapan pengikutnya adalah ketika mereka
tertipu dan bangga dan mereka seolah-olah telah bekerja dengan cara yang
sebaik-baiknya. Aku tersiksa walaupun hanya ada pada pikiran kalian
bahwa aku menyukai pujian dan senang mendengar pujian. Jangan
berkata-kata kepadaku sebagaimana kalian bekata-kata kepada penguasa
yang zalim, jangan gunakan julukan yang penuh dengan retorika kosong.
[83]
Ketika pasukan Imam Ali As bergerak menuju Syam (Suriah), para petani
kota tengah antri di gudang dan ketika Imam Ali As sudah dekat, mereka
berlari-lari hendak menyambut Imam Ali As. Dengan riang gembira, mereka
hendak menyambut Imam Ali As. Ketika itu, Imam Ali berkata, “Apa yang
kalian lakukan?” Mereka menjawab, “Ini adalah kebiasaan kami untuk
menyambut dan menghormati seorang tokoh besar”, jawab mereka. Namun
dengan nada kecewa Imam Ali AS berkata, “Demi Allah, apa yang kalian
lakukan itu tidak akan menguntungkan kalian sedikit pun. Apa yang kalian
lakukan itu sia-sia, justru mendatangkan azab akhirat. Betapa ruginya
kalian menyibukkan diri sementara kesibukan itu justru mendatangkan azab
yang abadi bagi kalian.”
[84]
Struktur Militer
Menurut Imam Ali, militer adalah pelindung rakyat yang kuat,
kehormatan negara, kekuatan negara dan penjamin keamanan negara di mana
keadaannya tergantung kepada keadaan ekonomi negara, pengeluaran, rakyat
dan pegawai pemerintah, pengusaha, pemilik industri. Keabadian dan
kekuatan militer untuk menjaga negara tergantung kepada struktur global
negara.
[85]
Imam Ali As terkait dengan permasalahan pengangkatan seorang pejabat
militer menulis, “Militer harus dipilih dari orang-ornag yang
berkepribadian, berasal dari keluarga yang baik-baik dan mempunyai
pengalaman kerja, mempunyai hubungan yang erat di antara mereka dan
pemimpin masyarakat, dan harus dicukupi kebutuhan hidupnya.
[86]
Menurut Imam Ali As, masyarakat adalah kekuatan asli dari persediaan
pertahanan negara dimana jika tidak ada dukungan mereka maka kekuatan
resmi militer boleh jadi berada dalam keadaan peperangan berlarut yang
membebani dan akan meruntuhkan negara, sebagaimana sabdanya, “Golongan
bangsawan selalu memberi beban berat kepada negara karena pada saat-saat
susah, mereka hanya sedikit menolong, tidak terla pada pelaksanaan
keadilan dari kalangan masyarakat yang lainnya dan lemah dalam
menghadapi suatu permasalahan. Padahal tiang-tiang yang kuat dari agama
dan kemasyarakatan kaum Muslimin dan masyarakat Islami adalah masyarakat
kebanyakan.”
[87]
Para Wali (Gubernur)
Selama masa pemerintahannya, Imam Ali As mengangkat para gubernur di
berbagai kota diantaranya Muhammad bin Abi Khudzaifah sebagai gubernur
di Mesir, Qais bin Sa’ Ubadah sebagai gubernur di Mesir, Malik Asytar
Nakha’i, Abu Ayub Anshari sebagai gubernur di Madinah, Abu Musa Asy’ari
sebagai gubernur di Kufah dari sisi Usman sesuai dengan usulan dari
Malik Asytar. Imam Ali, mengangkatnya sebagai gubernur untuk beberapa
waktu namun akhirnya menonaktifkan kemudian memecatnya setelah berbuat
makar. Khurait bin Rasyid sebagai gubernur di Ahwaz, Khudzaifah bin
Yaman sebagai gubernur di Madain yang diangkat oleh Usman dan Imam Ali
As mencopotnya, Kumail bin Yizad sebagai gubernur di Hait, Makhnaf bin
Sulaim sebagai gubernur di Isfahan, Rei dan Hamedan, dan Sulaiman bin
Surad sebagai gubernur di Jabbul.
Di antara gubernur yang diangkat oleh Imam Ali As yang terbunuh oleh
musuh-musuh adalah Malik Asytar, Muhammad bin Abu Bakar, Abdullah bin
Jabbar Art, Muhammad Khudzaifah, Abu Hasan bin Hasan Bakri, Khulu bin
‘Auf.
Beberapa gubernur meninggal pada zaman pemerintahan Imam Ali As karena
sudah memasuki usia yang tua, seperti Sahal bin Hanif, Abu Qatadah dan
Khudzaifah bin Yaman.
Beberapa gubernur menyelesaikan tugas itu sampai akhir hayat mereka
seperti Qais bin Sa’d, Usman bin Hanif, Kumail, Sa’d bin Mas’ud,
Sulaiman bin Sharad.
Sebagian dari mereka tidak bersungguh-sungguh dalam mengerjakan
kewajiban dan tanggung jawab mereka seperti Ubaidillah bin Abbas, Sa’id
bin Namran sehingga Imam Ali menegurnya atas perbuatan ini.
Imam Ali mencopot jabatan beberapa gubernur karena khianat yang mereka
lakukan seperti Mundzir bin Jarud dan Aqabah bin Amru.
[88]
Peperangan
Perang Jamal (Nākitsin)
“Mereka (yang memulai perang Jamal) mengguntur seperti
awan dan bersinar seperti kilat. Tetapi, walaupun adanya kedua hal ini,
mereka menunjukkan sifat pengecut. Sedang kami tidak mengguntur sampai
kami menyerbu musuh dan tidak pula kami menunjukkan mengalirnya
(kata-kata) sampai kami benar-benar menghujani.”
Imam Ali, Nahj al-Balāghah, Khutbah 9
Perang Jamal adalah perang yang pertama kali terjadi antara Imam Ali
As dan nākitsin (nākits bermakna orang-orang yang melanggar janji).
Kelompok ini disebut sebagai nākitsin karena Thalhah dan Zubair serta
pengikutnya dikarenakan pada mulanya berbaiat kepada Imam Ali As namun
pada akhirnya mereka melanggar janji pada perang Jamal.
[89]Perang ini terjadi pada bulan Jumadi Tsani tahun ke-36 H.
[90]
Thalhah dan Zubair yang pada awalnya menginginkan jabatan khalifah
[91]
dikarenakan gagal memperolehnya dan khalifah jatuh ke tangan Imam Ali
As, maka kedua orang ini berharap bahwa mereka juga diberi jabatan dalam
kekhalifahan di Basrah dan Kufah. Keduanya ingin pemerintahan di
Basrah dan Kufah diberikan kepada mereka, namun Imam Ali As menilai
bahwa keduanya tidak mempunyai kelayakan untuk menerima jabatan itu.
[92]Oleh
itu, walaupun mereka adalah orang yang terlibat dalam pembunuhan
terhadap khalifah Usman, mereka menuntut balas atas darah Usman.
[93]
Demi memuluskan langkahnya, ia masuk ke dalam barisan Aisyah. Padahal
Aisyah sendiri ketika Usman terkepung, tidak hanya tidak menolongnya,
namun menilai orang-orang yang protes terhadap Umar dinilai sebagai
orang-orang yang mencari kebenaran!
Namun karena Aisyah mendengar bahwa masyarakat telah membaiat Imam Ali
As, ia menggunakan isu pembunuhan tehadap Usman dan demi membalas darah
atas pembunuh Usman.
[94] Aisyah sangat menaruh benci dan dendam kepada Imam Ali As. Oleh karenanya ia bekerja sama dengan Thalhah dan Zubair.
[95]Oleh itu, mereka membentuk pasukan 3000 orang dan bergerak menuju Basrah.
[96] Dalam perang ini Aisyah naik unta bernama Askar dan oleh itu, perang ini dibut sebagai perang Jamal (unta).
[97]
Atas perintah Imam Ali As, Usman bin Hanif (Gubernur Basrah),
berkewajiban untuk mengajak para pemberontak ke jalan yang benar dan
jika mereka tidak menerima, supaya bertahan, sambil menunggu Imam Ali
sampai (di Basrah).
[98]
Begitu Imam Ali As sampai Basrah, Imam Ali As memberi nasehat kepada
para pelanggar janji dan berusaha untuk mencegah terjadinya perang.
Namun usaha itu tidak membuahkan hasil dan mereka mengawali perang itu
dengan membunuh salah seorang sahabat Imam Ali As.
[99]
Dalam perang Jamal, Zubair menyingkir dari pasukan itu sebelum perang
dimulai karena adanya hadis dimana Imam Ali mengingatkannya akan sabda
Nabi Muhammad Saw ketika pada suatu hari kepada Zubair bersabda, “Kamu
akan berperang melawan Ali,” dan di luar Basrah ia dibunuh oleh Amru bin
Jurmuz.
[100]
Pemberontak perang Jamal kalah setelah beberapa jam berperang dan
setelah pasukannya banyak yang terbunuh. Dalam perang ini Thalhah tewas.
[101] Setelah perang selesai, Aisyah dengan penghormatan yang baik kembali ke Madinah.
[102]
Perang Shifin (Qāsithin)
Surat Imam Ali kepada Muawiyah
“Apa yang akan Anda lakukan apabila pakaian duniawi di
mana Anda terbungkus ini disingkirkan dari Anda? Dunia menarik Anda
dengan perhiasannya dan menipu Anda dengan kesenangannya. la memanggil
Anda dan Anda menyambutnya. la menumpin Anda dan Anda mengikutinya. la
memerintah Anda dan Anda menaatinya. Tak lama lagi pemberitahu akan
memberitahukan kepada Anda tentang hal-hal yang terhadapnya tak akan ada
perisai (untuk melindungi Anda).”
Imam Ali, Nahj al-Balāghah, Surat 10
Perang Shiffin adalah perang yang terjadi antara Imam Ali As dan Qāsithin (Muawiyah dan pasukannya)
[103]pada
bulan Shafar tahun 37 H. Perang ini terjadi di Syam, di dekat sungai
Furat pada suatu daerah bernama Shifin. Perang ini selesai dengan suatu
hikmah yang terjadi pada bulan Ramadhan 38 H.
[104]
Muawiyah, ketika Usman terkepung, walaupun ia dapat menolongnya, ia
tidak melakukan tindakan apa pun dan bahkan ingin membawanya ke Damaskus
sehingga di sana ia mengambil alih urusan Usman. Setelah Usman
terbunuh, Muawiyah berusaha sedemikian sehingga menurut warga Syam bahwa
Alilah yang membunuh Usman. Pada awal kekhlalifahannya, Imam Ali
menulis surat agar Muawiyah membaiatnya.
Muawiyah beralasan bahwa pembunuh Usman harus dibawa kehadapannya dan
diserahkan kepadanya sehingga ia akan mengkisasnya. Agar Imam Ali As
melakukan hal ini, ia akan membaiatnya. Imam Ali setelah menulis surat
dan mengutus wakilnya untuk menemui Muawiyah, menggerakkan pasukannya
menuju Syam karena mengetahui bahwa Muawiyah sudah dalam kondisi siaga
untuk berperang. Muawiyah pun menggerakkan pasukannya. Kedua pasukan itu
bertemu di daerah Shiffin. Imam Ali As berusaha sekuat tenaga untuk
mencegah supaya perang tidak meletus. Oleh itu, Imam Ali As kembali
menulis surat namun usaha itu tidak berhasil dan perang pun berkobar
pada tahun 36 H.
[105]
Pada serangan yang terakhir, jika saja perang itu masih berlanjut,
pasukan Imam Ali As yang akan menang. Muawiyah dengan berunding dengan
Amr bin Ash dan memerintahkan untuk meletakkan beberapa al-Quran yang
ada di perkemahan kemudian ditancapkan di ujung tombak dan untuk
sementara waktu pasukan Ali As pergi dan mereka diajak untuk
melaksanakan hukum dengan al-Quran (Hakamain Quran). Tipu daya ini
berhasil dan sekelompok dari pasukan Ali As yang merupakan pembaca
(qāri) al-Quran pergi ke hadapan Imam Ali As dan berkata, “Kami tidak
sanggup untuk berperang melawan masyarakat dan apa-apa yang mereka
katakan harus kita terima!” Walaupun Imam Ali As telah menjelaskan bahwa
hal ini adalah sebuah makar yang diinginkan oleh pihak musuh sehingga
mereka memenangkan peperangan ini, namun penjelasan Imam Ali tidak
digubris.
[106]
Imam Ali As terpaksa menerima arbitrase al-Quran dan dengan tetap
mengingatkan bahwa kami mengetahui jikalau kalian tidak bersama
al-Quran.
[107]
Telah disepakati bahwa salah seorang dari kalangan pasukan Syam dan
salah seorang dari pasukan Irak mengadakan perundingan dan memberikan
pendapatnya terkait dengan al-Quran. Orang-orang memilih Amr bin Ash.
Asy’ats dan Shumari, dua orang yang kemudian merupakan kelompok Khawarij
mengusulkan Abu Musa Asy’ari. Namun Imam Ali mengusulkan Ibnu Abbas
atau Malik Asytar meskipun tidak disetujui oleh Asy’ats dan pengikutnya
dengan alasan Malik Astar lebih memilih perang dan Ibnu Abbas tidak
diperbolehkan karena Amr bin Ash berasal dari Mesir oleh itu, pihak yang
lain harus berasal dari Yaman.
[108]
Pada akhirnya, Amr bin Ash menipu Abu Musa Asy’ari dan arbitrase menguntungkan pihak Muawiyah.
[109]
Perang Nahrawan
Peristiwa arbitrase pada Perang Shiffin berbuah dengan kritikan
dan perlawanan sebagian pengikut Imam Ali As yang menyatakan mengapa
Anda turut campur dalam urusan Tuhan. Padahal Imam Ali As semenjak awal
sudah menentang hal ini dan mereka sendiri yang menginginkan adanya
arbitrase. Pada akhirnya, mereka mengkafirkan dan melaknat Imam Ali As.
[110]
Kelompok ini yang dikenal dengan Māriqin atau Khawarij akhirnya
membunuhi masyarakat. Abdullah bin Khabab yang merupakan ayah dari
sahabat Rasulullah Saw terbunuh dan perut istrinya yang tengah hamil pun
dirobek.
[111]
Dengan demikian, Imam Ali As terpaksa memerangi mereka.
Sebelumnya Imam Ali As mengajak Abdullah bin Abbas untuk melakukan
pembicaraan dengan mereka namun tidak membuahkan hasil. Akhirnya Imam
Ali As menemui mereka dan berdialog dengan mereka.
Sangat banyak dari mereka yang menyesal namun banyak juga yang tetap
dengan keyakinannya yang keliru itu. Akhirnya perangpun meletus dan dari
pihak tersisa 9 orang sedangkan dari pasukan Imam Ali As 7 atau 9 orang
terbunuh.
[112]
Panorama Haram Imam Ali di Najaf
Syahadah
Setelah meletusnya perang Nahrawan, Imam Ali As berusaha untuk
mengkoordinir masyarakat Irak guna berperang kembali dengan tentara
Syam. Namun hanya beberapa orang saja yang bersedia menyertainya. Dari
sisi lain, Muawiyah dengan mengetahui keadaan yang tengah terjadi di
Irak dan kelemahan dan ketidaksemangatan masyarakat Irak, menginvasi
daerah kekuasaan Imam Ali As di Jazirah Arab bahkan sampai ke Irak, dan
menggembosi kekuatan mereka sehingga terbuka jalan untuk memperluas
Irak.
[113]
Bertepatan dengan ketika Imam Ali As menyiapkan pasukannya untuk perang
Shiffin pada subuh 19 Ramadhan 40 H, beliau mengalami luka karena
tebasan pedang Abdurrahman Muljam Muradi dan pada 21 Ramadhan sehingga
menemui kesyahidannya. Berbagai literatur menyebutkan tentang kerjasama
tiga orang Khawarij untuk menghabisi nyawa 3 orang yaitu Imam Ali As,
Muawiyah dan Amr bin Ash dan membeberkan tentang peranan seorang
perempuan bernama Qatham di mana permasalahan ini lebih berbentuk kisah
(fiktif).
[114]
Putra-putra Imam Ali As: Imam Hasan AS, Imam Husain AS, dan Muhammad bin
Hanafiyah dengan disertai oleh Abdullah bin Ja’far menguburkan Imam Ali
As pada suatu malam di suatu daerah bernama Gharin (sekarang Najaf) dan
menyembunyikan kuburannya.
[115]
Karena jika Bani Umayah dan Khawarij mengetahui hal itu, mereka akan
menggali dan membongkar kuburan itu dan tidak menaruh hormat atasnya.
[116]
Wasiat
Terdapat riwayat yang berasal dari Imam Ali As tentang pesan beliau
terkait dengan pemandian, pengkafanan, salat jenazah atasnya dan
penguburan beliau.
[117]Beliau berpesan kepada putranya untuk menyembunyikan kuburannya.
[118]
Setelah beliau ditebas pedang oleh Ibnu Muljan, beliau berpesan kepada Imam Hasan dan Imam Husain As:
Saya nasihati Anda (berdua) untuk bertakwa kepada Allah dan bahwa
Anda tak boleh menghasratkan (kesenangan) dunia (ini), sekalipun
mungkin dunia mengejar Anda. Jangan menyesali apa pun dari dunia ini
yang telah ditolak dari Anda. Berkatalah benar dan berbuatlah (dalam
mengharapkan) pahala. Tetapi jadilah musuh penindas dan penolong yang
tertindas.
Saya nasihati Anda dan semua anak saya serta anggota keluarga
saya dan setiap orang yang tercapai oleh tulisan saya, untuk bertakwa
kepada Allah, untuk mengurus urusan Anda secara tertib, dan untuk
menjaga hubungan baik di antara Anda, karena saya telah mendengar kakek
Anda (Nabi saw) berkata, "Memperbaiki perselisihan lebih baik dari
salatjamak dan puasa."
(Bertakwalah kepada) Allah (dan) ingatlah Allah berkenaan dengan
urusan yatim piatu. Jangan biarkan mereka kelaparan, dan mereka tak
boleh hancur dalam kehadiran Anda.
(Bertakwalah kepada) Allah berkenaan dengan urusan para tetangga
Anda, karena mereka merupakan pokok nasihat Nabi. Beliau terus
bernasihat bagi kebaikan mereka sehingga kami berpikir bahwa beliau akan
memberikan bagian warisan kepada mereka.
(Bertakwalah kepada) Allah berkenaan dengan urusan Al-Quran. Tak ada orang harus melebihi Anda dalam beramal menurutnya.
(Bertakwalah kepadaj Allah berkenaan dengan urusan salat, karena (salatj itu adalah tiang agama Anda.
(Bertakwalah kepada) Allah berkenaan dengan urusan Rumah Tuhan
Anda (Ka'bah). Jangan tinggalkan itu selama Anda hidup, karena apabila
(Ka'bah) itu ditinggalkan, Anda tak akan selamat.
(Bertakwalah kepada) Allah berkenaan dengan urusan jihad, dengan
pertolongn harta Anda, nyawa Anda dan lidah Anda, di jalan Allah.
Anda harus selalu menghormati kekerabatan dan menafkahkan untuk orang
lain. Jauhkan (sikap) saling menjauh antara sesama dan pemutusan
hubungan. Jangan berhenti menyuruh kepada kebajikan dan menegah
kemungkaran agar jangan para pembuat bencana mendapatkan kedudukan atas
Anda, dan kemudian apabila Anda hendak berdoa, doa itu tak akan
dikabulkan.
Lalu ia berkata:
"Wahai, putra-putra 'Abdul Muththalib, sesungguhnya saya tidak ingin
melihat Anda teijun dengan kasar ke dalam darah kaum Muslim sambil
berteriak-teriak "Amirul Mnkminin telah dibunuh!" Ingatlah, jangan
mem-bunuh karena saya, kecuali (atas) pembunuh saya.
Tunggulah hingga saya mati oleh pukulannya (Ibnu Muljam) yang
ada. Kemudian pukullah ia dengan satu pukulan dan jangan rusakkan
anggota-anggota badannya, karena saya telah mendengar Rasulullah (saw)
berkata, "Jauhkan memotong-motong anggota (badan) sekalipun ia anjing
gila".
[119]
Tersembunyinya Kuburan Imam Ali As
Haram Imam Ali As
Penyebab Imam Ali As berwasiat supaya menyembunyikan pusaranya adalah
supaya kaum Khawarij jangan sampai membongkar dan menggali kuburan Imam
Ali As kemudian mengeluarkan jenazah beliau lalu menghinakannya.
[120]
Hanya putra-putra dan sahabat setia Imam Ali As saja yang mengetahui
letak pusara Imam Ali As sampai suatu ketika Imam Shadiq As pada zaman
khalifah Mansur Abbasi pada tahun 135 H mengungkap letak pusara itu di
Najaf.
[121]
Fadhilah dan Keutamaan
Ayat Al-Quran
Ayat-ayat yang turun berkaitan dengan keutamaan Imam Ali As sangat
banyak sedemikian sehingga Ibnu Abbas meriwayatkan sebanyak 300 ayat
berkenaan dengan beliau.
[122] Pada kesempatan ini kami hanya akan menyebutkan beberapa saja dari ayat-ayat yang dimaksud:
Ayat Mubāhalah
“فَمَنْ حَاجَّكَ فيهِ مِنْ بَعْدِ ما جاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ
فَقُلْ تَعالَوْا نَدْعُ أَبْناءَنا وَ أَبْناءَكُمْ وَ نِساءَنا وَ
نِساءَكُمْ وَ أَنْفُسَنا وَ أَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ
لَعْنَتَ اللهِ عَلَى الْكاذِبينَ”
“Katakanlah (kepada mereka):" Marilah kita memanggil anak- anak
kami dan anak- anak kamu, istri- istri kami dan istri- istri kamu, diri
kami dan diri kamu; ; kemudian marilah kita bermubahalah, kemudian kita
minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang- orang yang dusta.” [123]
Hari
Mubāhalah terjadi pada tahun ke 10 H ketika antara kaum
Muslimin dan Nasrani Najran saling mengutuk sehingga Allah Swt akan
mengazab siapa di antara mereka yang berbohong. Demi maksud ini,
Rasulullah Saw membawa Ali As, Fatimah Sa, Hasan As dan Husain As ke
padang sahara. Nasrani Najran dengan menyaksikan bahwa Rasulullah Saw
hanya membawa orang-orang terdekatnya langsung ketakutan dan menerima
untuk membayar jizyah.
[124]
Ayat Tathir
“إِنَّما يُريدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَ يُطَهِّرَكُمْ تَطْهيراً”
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan menyucikan kamu sesuci-sucinya.” [125]
Menurut pendapat ulama Syiah, ayat ini turun di rumah Ummu Salamah,
salah seorang istri Nabi Muhammad Saw. Pada saat itu, Ali As, Fatimah
Sa, Hasan As dan Husain As juga ada di rumah Ummu Salamah. Setelah
turunnya ayat tathir, Rasullullah Saw mengambil kain yang digunakan
sebagai alas untuk duduk, untuk kemudian meletakkan kain itu diatas ahli
kisa yaitu, Nabi Muhammad Saw sendiri, Ali As, Fatimah Sa, Hasan As dan
Husain As. Kemudian Nabi Muhammad Saw mengangkat tangannya ke arah
langit dan berdoa, “Ya Allah, 4 orang ini adalah Ahlulbaitku, sucikanlah
mereka dari segala dosa dan noda.”
[126]
Ayat Mawaddah
قُلْ لا أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْراً إِلاَّ الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبى
“Katakanlah (Wahai Rasulullah):"bahwa aku tidak meminta upah
apapun dari kalian (atas risalah yang dibawa), kecuali kecintaan
terhadap kerabatku.” [127]
Ibnu Abbas berkata, “Ketika ayat ini turun, aku bertanya kepada
Rasulullah Saw siapakah yang dimaksud dengan kerabatku?” Rasulullah Saw
menjawab, “Ali As, Fatimah. Hasan As dan Husain As. Rasulullah pun
mengulang perkataan ini sebanyak tiga kali.
[128]
Orang yang Pertama Masuk Islam
Telah masyhur dalam literatur hadis bahkan telah sampai pada
derajat mutawatir disebutkan bahwa Ali As adalah orang yang pertama kali
masuk Islam.
[129]
Sebagaimana yang diisyaratkan oleh Nabi Muhammad Saw, “Orang yang
pertama kali akan bertemu denganku di antara kalian di telaga Kautsar
adalah Ali.”
[130]
Nabi Muhammad Saw juga bersabda kepada putrinya, Sayidah Zahra Sa,
“Apakah engkau tidak akan menerima seseorang diantara umatku bahwa
diantara semua orang yang paling awal memeluk Islam adalah orang yang
paling pintar dan paling sabar diantara mereka?
[131]
Lailatul al-Mabit
Setelah kaum Quraisy mengganggu dan mengintimidasi kaum Muslimin,
Nabi Muhammad Saw memerintahkan kepada pengikutnya untuk berhijrah ke
Madinah. Oleh itu pengikut Nabi pun melakukan hijrah ke Madinah dalam
beberapa tahapan.
[132]
Setelah pembesar kaum Quraisy berkumpul dan bersidang untuk bertukar
pikiran di Darun Nadwah, mereka mengambil keputusan bahwa setiap kabilah
menunjuk satu orang pemuda pemberani dan kuat perkasa untuk membunuh
Rasulullah Saw. Jibril pun menyampaikan wahyu dan menjelasaskan kejadian
yang tengah berlangsung. Kemudian malaikat Jibril memerintahkan Nabi
Muhammad Saw untuk tidak tidur diranjang beliau melainkan untuk pergi
hijrah. Nabi Muhammad Saw melibatkan Ali As dalam rencana keji kaum
Quraisy ini dan memerintahkan Ali AS untuk tidur di pembaringan
Rasulullah Saw.
[133]
Pandangan Mufassir tentang Asbab Nuzul Ayat:
“وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِيْ نَفْسَهُ ابْتِغَاء مَرْضَاتِ اللهِ وَ اللهُ رَؤُوْفٌ بِالْعِبَادِ “
“Dan di antara manusia ada orang yang rela menjual (mengorbankan)
dirinya karena mencari keridaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada
hamba-hamba-Nya.”
[134]
Mufassir meyakini peristiwa lailatul mabit sebagai ayat yang berkenaan dengan Imam Ali.
[135]
Akad Persaudaraan dengan Rasulullah Saw
Nabi Muhammad Saw setelah memasuki kota Madinah, di antara kaum
Muhajirin membacakan akad persaudaraan. Kemudian beliau membacakan akad
persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Beliau pada dua
kesempatan bersabda, “Engkau (Ali) adalah saudaraku di dunia dan di
akhirat.” Kemudian Rasulullah Saw membacakan akad persaudaraan antara
beliau dan Ali As.
[136]
Radd al-Syams
Suatu hari pada tahun 7 H, Nabi Muhammad Saw dan Ali As telah
melaksanakan salat Dhuhur. Kemudian beliau mengutus Ali untuk
mengerjakan sesuatu padahal waktu itu Ali As belum mengerjakan salat
Asar. Ketika Ali As kembali, Nabi meletakkan kepala beliau di pangkuan
Ali dan ketiduran hingga matahari pun tenggelam. Ketika Nabi Saw bangun,
beliau berdoa, “Tuhan, hamba-Mu Ali, menahan dirinya karena nabinya,
maka terbitanlah kembali matahari baginya.” Pada saat itu, matahari pun
terbit kembali, kemudian Ali As pun berdiri, berwudhu dan mengerjakan
salat Asar. Setelah itu matahari pun kembali tenggelam.
[137]
Menyampaikan Surat Barāah
Beberapa ayat pada permulaan surat
al-Taubah,
turun ketika Nabi Muhammad mengambil keputusan untuk tidak pergi haji.
Ayat-ayat itu menjelaskan tentang kaum musyrikin mempunyai kesempatan
selama 4 bulan untuk mengikuti ajaran tauhid dan berada pada barisan
kaum Muslimin namun jika tetap keras kepala pada keyakinan sebelumnya,
maka harus bersiap untuk berperang dan ketahuilah di mana saja mereka
tertangkap pasti akan terbunuh. Oleh itu, sesuai dengan perintah Tuhan,
“Pesan ini harus Nabi sendiri yang menyampaikan kepada kaum muslimin
atau seseorang yang mewakili Nabi dan selain kedua orang ini, tidak ada
orang yang layak untuk mengerjakan hal ini.”
[138]
Nabi Muhammad Saw, menginginkan Ali As dan memerintahkan Imam Ali As
untuk pergi ke Mekah dan di Mina pada hari raya Idul Qurban untuk
menyampaikan ayat-ayat surat Barā’ah kepada kaum musyrikin.
[139]
Hadis al-Hak
Nabi Muhammad Saw bersabda, “Ali bersama kebenaran (al-hak) dan kebenaran (al-hak) selalu bersama Ali.”
[140]
Sadd al-Bāb
Yaitu semua pintu ke arah Masjid Nabi ditutup atas perintah Nabi
Saw kecuali pintu rumah Ali As. Ketika ditanyakan kepada Rasul sebab hal
ini, beliau menjawab, “Aku bertanggung jawab untuk menutup semua pintu
kecuali pintu rumah Ali. Tapi atas peristiwa hal ini, banyak kericuhan
terjadi. Sungguh aku tidak menutup satu pintu pun dan tidak membuka
pintu itu kecuali hanya menjalankan tugas (dan hanya menaati
perintah-Nya).”
[141]
Sumber Ilmu Kaum Muslimin
Ibnu Abil Hadid seorang tokoh terkemuka pada abad 7 H, bermazhab Sunni dalam mukaddimah syarah
Nahj al-Balāghah
menulis, “Apa yang harus kukatakan tentang seorang laki-laki yang
musuhnya juga tidak mengenalnya kecuali dengan keutamaannya dan mereka
tidak dapat mengingkari dan menyembunyikan kebaikan itu. Semua
mengetahui bahwa Bani Umayah menjarah bagian Timur dan Barat
negara-negara Islam. Dengan kelicikan dan kekuasaannya berhasil
mematikan kebesaran cahaya Islam dan membuat hadis yang banyak untuk
menjelekkan Imam Ali As dan melaknatnya di semua mimbar. Muawiyah tidak
hanya memenjarakan siapa saja yang memuji bahkan membunuhnya. Ia juga
melarang membawakan riwayat yang berisi tentang keutamaan Imam Ali As
bahkan melarang penggunaan nama Ali. Namun semua ini tidak membuahkan
hasil kecuali justru semakin membawa nama baik bagi Imam Ali As. Ia
laksana kesturi semakin ditutupi aromanya semakin semerbak mewangi.
[142]
Ibnu Abil Hadid dalam lanjutan tulisannya berkata, “Apa yang harus
kukatakan tentang seseorang yang merupakan sumber keutamaan dan sumber
setiap kistimewaan bagi setiap manusia dan setiap madzab dan kelompok.
Semua sumber keutamaan bermuara kepadanya dan ia paling cepat dari semua
orang dan terkemuka dari yang lainnya.
Ilmu Kalam
Ibnu Abil Hadid berkata, “Penjelasan tentang ilmu Kalam dan
pengenalan sifat-sifat menjulang Allah Swt yang merupakan ilmu yang
paling tinggi dijelaskan dengan elegan oleh Imam Ali As. Para ulama dan
ahli kalam adalah murid-muridnya. Muktazilah yang berpegang pada
keyakinan tauhid dan keadilan adalah murid-murid dan sahabat-sahabatnya.
Karena silsilah mereka berujung kepada Washil bin ‘Atha’ dan dia adalah
murid Abu Hasyim Abdullah bin Hanafiyah. Abu Hasyim adalah murid
ayahnya, dan ayahnya adalah murid Ali As. Asy’ariyah juga berujung
kepada Imam Ali As di mana pendiri firqah ini adalah Abul Hasan Ali bin
(Ismail bin) Abi Basyir Asy’ari. Oleh itu, pada akhirnya Asya’ariyah
berguru sampai kepada
Muktazilah dan guru Muktazilah adalah Imam Ali As. Adapun penisbatan ilmu Kalam Imamiyah dan
Zaidiyah kepada Ali As merupakan perkara yang sudah terang dan tidak perlu dijelaskan lagi.
[143]
Ilmu Fikih
Ibnu Abil Hadid berkata, “Imam Ali As dasar dan asas ilmu fikih
dan setiap fakih dalam Islam menggunakan pengajaran darinya sampai pada
hal-hal yang detail. Bersandarnya fikih Syiah kepada Imam Ali As
sangatlah terang dan tidak perlu dijelaskan.
Sahabat Abu Hanifah seperti Abu Yusuf, Muhammad dan sebagian dari mereka
mempelajari fikih dari Abu Hanifah. Ahmad bin Hanbal adalah murid
Syafi’i.
Syafi’i belajar fikih dari
Abu Hanifah.
Dan Abu Hanifah sendiri belajar fikih dari murid Imam Shadiq As.
Kemudian Imam Shadiq As dari ayahnya, Imam Baqir AS dan Imam Baqir As
dari ayahnya dan demikian seterusnya sampai berujung kepada Imam Ali As.
Malik bin Anas belajar fikih dari Rabi’ah al-Ra’yu dan Rabi’ah adalah
murid ‘Ikrimah sedangkan ‘Ikrimah adalah murid Abdullah bin Abas dan
Abdullah bin Abbas adalah murid Imam Ali As. Fikih Syafi’i dengan
memperhatikan bahwa ia adalah murid Malik, pada akhirnya juga berujung
kepada Imam Ali As. Dengan demikian, fuqaha empat mazhab Sunni berujung
dan bermuara kepada Imam Ali As.
Fukaha yang berasal dari kalangan sahabat, seperti Umar bin Khtab dan
Abdullah bin Abbas adalah diantara ahli fikih yang belajar dari Imam Ali
As. Bahwa Ibn Abbas adalah murid Imam Ali tiada yang meragukan dan
tidak lagi memerlukan saksi. Dalam kaitan dengan Umar, semua mengetahui
bahwa dalam menyelesaikan problema dan kesulitan, di banyak kesempatan,
ia merujuk kepada Ali. Dalam kaitan ini, Umar berkata, "Seandainya tidak
ada Ali, Umar pasti celaka." Ia juga berkata, "Aku tidak akan dapat
tenang jika tidak ada Abul Hasan." Ia juga berkata, "Tidak seorang pun
memberikan fatwa di masjid sementara Ali berada di situ." Maka, adalah
jelas fikih berujung kepada Ali As.
Baik kalangan Syiah maupun Sunni menukil dari Rasulullah Saw yang
bersabda, "Aqdhākum Ali” (Orang yang paling pandai mengadili adalah
Ali). Dengan memperhatikan bahwa ilmu Peradilan (qadha) termasuk ilmu
fikih, oleh itu, Imam Ali As merupakan orang yang paling paham atas
fikih di antara sahabat yang lain.
[144]
Tafsir
Ibnu Abil Hadi berkata, “Imam Ali pendiri ilmu tafsir. Apabila
merujuk kepada kitab-kitab tafsir, akan menjadi jelas bahwa sebagian
besar ayat-ayat dinukil secara langsung dari Imam Ali As ataukah dari
Ibnu Abbas karena Ibnu Abbas juga mengambil dari Imam Ali As. Ditanyakan
kepada Ibnu Abbas bagaimana perbandingan ilmumu dengan anak pamanmu
(Imam Ali As)? Ia menjawab, “Perbandingannya bagaikan setetes air hujan
di hadapan samudra yang tiada batasnya.”
Ilmu Tarekat
Ibnu Abil Hadid berkata, “Pemilik ilmu tarekat, hakikat dan irfan
juga berujung kepada Imam Ali As. Ajaran-ajaran yang sampai sekarang
menjadi semboyan kaum sufi menunjukkan akan hal ini.”
[145]
Ilmu Nahwu
Ibnu Abil Hadid berkata, “Semua tahu bahwa Imam Ali As dalah
penemu dan pembaharu ilmu Nahwu. Beliau mengajarkan kaidah-kaidah umum
ilmu ini kepada Abu al-Aswad Duali. Di antaranya beliau mengatakan
kepada Abu al-Aswad mengenai mengenai 'kata' terbagi menjadi tiga:
ism (nomina),
fi'il (verba), dan
harf (preposisi) dan beliau juga mengatakan mengenai
ism makrifah (definitive) atau
nakirah (indefinitif). Selain itu, beliau mengatakan bahwa i'rāb (tanda baca) ada empat jenis:
rafa', nashab, jar, dan
jazam.
[146]
Kefasihan Bicara dan Kepandaian Beretorika
Ibnu Abil Hadid berkata, “Dari sisi kefasihan, ia adalah penghulu
orang fasih dan orator yang ulung dan sebagaimana yang telah
dikatakannya tentang tuturan-tuturan Imam Ali: Di bawah firman-firman
Sang Pencipta dan di atas kata-kata manusia. Bukti yang paling jelas
akan hal ini adalah kitab Nahjul Balaghah. Abdul Majid bin Yahya
berkata: 70 khutbah dari khutbah-khutbahnya penuh dengan nilai-nilai
sastra yang tinggi. Ibn Nabatah berkata khutbah-khutbahnya adalah harta
karun dimana setiap kali aku mengambil darinya tidak akan pernah
berkurang justru akan bertambah. Aku menghafal 100 bagian dari nasehat
dari Ali bin Abi Thalib.”
[147]
Tipologi Akhlak
Abul Yatama
Ibnu Abil Hadid berkata, “Ia hidup dalam kemurahan hati yang luar
biasa dan keadannya yang sangat sederhana. Ketika ia berpuasa, ia
memberikan makanan buka puasanya kepada anak yatim sehingga ayat,
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.”(QS
Al-Insan [76]: 8) turun berkenaan dengannya. Mufassir berkata suatu
ketika Ali As hanya memiliki 4 dirham lalu beliau menyedekahkan 1 Dirham
di malam hari, 1 Dirham yang lain di siang hari, 1 Dirham dengan
rahasia, dan 1 Dirham lagi beliau sedekahkan dengan terang-terangan.
Oleh itu ayat,
“Orang-orang yang menginfakkan hartanya pada malam dan
siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat
pahala di sisi Tuhan-nya. Tiada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak
(pula) mereka bersedih hati.” (QS Al-Baqarah [2]: 274) turun
berkenaan dengan peristiwa ini. Mereka berkata: Imam Ali As mengairi
kurma orang Yahudi Madinah sedemikian sehingga tangannya keras dan
upahnya beliau sedekahkan dan ia sendiri mengganjal perutnya dengan
batu. Mereka berkata: “Tidak pernah sekalipun berkata tidak kepada
orang yang membutuhkan bantuan.”
Pada suatu hari, Mahfan bin Abi Mahfan menghadap Muawiyah. Muawiyah
bertanya kepadanya, “Dari mana engkau?” Ia dengan maksud ingin
membahagiakan Muawiyah berkata, Aku baru saja datang dari orang yang
paling pelit di antara seluruh manusia. Maksudnya adalah Imam Ali.
Celakalah engkau! Bagaimana mungkin tentang seseorang yang jika
mempunyai gudang emas dan jerami maka akan ia gunakan untuk menolong
orang-orang yang miskin!”
[148]
"Ali
adalah jiwa universal yang telah menggemakan senandung keabadian di
cakrawala Jazirah Arab. Namun karena figurnya lebih besar dari masanya,
maka masyarakat saat itu tidak tahu siapa dia dan tidak bisa mencerna
kata-katanya.... Ali telah meninggalkan dunia, sementara dunia
menyaksikan keagungannya."
Khalil Gibran
Mudah Memaafkan dan Bertoleransi
Ibn Abil Hadid berkata: “Imam Ali As mempunyai kesabaran, mudah
memaafkan, murah hati dan mengabaikan orang lain yang berbuat tidak baik
kepadanya dibandingkan dengan yang lainnya. Sebagaimana yang terjadi
pada perang Jamal yang merupakan bukti akan hal ini. Ketika Marwan bin
Hakam yang merupakan musuh yang paling nyata tertangkap, Imam
membebaskannya dan dari peristiwa ini membawa pengaruh yang luar biasa.
Abdullah bin Zubair mengucapkan perkataan keji kepada Imam Ali didepan
khalayak ramai dan ketika Abdullah dengan pasukan Aisyah datang ke
Basrah membaca khutbah dan Abdullah dalam khutbah itu mengatakan segala
sesuatu yang mau ia ucapkan bahkan dengan mengatakan sekarang paling
hinanya orang dan paling dina di antara manusia, yaitu Ali As akan
datang ke kota Anda. Namun Imam Ali As memaafkannya dan Imam hanya
berkata, “Menjauhlah dari sini sehingga aku tidak akan melihatmu!” Imam
juga berkata demikian kepada Said bin Ash yang merupakan musuh beliau
dan setelah kejadian perang Jamal di Mekah tertangkap namun kepada Amr
bin Ash.
Perlakuan Imam Ali As terhadap Aisyah sangat terkenal. Walaupun
Imam menjadi pemenang, namun Imam menyampaikan ucapan selamat
kepadanya. Imam pun menyuruh 20 wanita dari kabilah Abad Qais yang
semuanya mengenakan pakaian laki-laki dengan perlengkapan pedang untuk
menyertai Aisyah untuk kembali ke Madinah padahal selama dalam
perjalanan Aisyah tidak henti-hentinya mengucapkan perkataan keji kepada
Imam Ali As dengan mengatakan bahwa Imam Ali merusak kehormatannya dan
ia mengirimkan laki-laki dari sahabatnya untuk menyertai perjalanannya.
Setelah rombongan itu sampai Madinah, wanita-wanita itu pun berkata:
“Lihatlah kami semua adalah wanita yang telah menyertai Anda!”
Pasca perang selesai, masyarakat Basrah yang berdiri di barisan
Aisyah dan sebagian dari pasukannya yang tertawan, semuanya dibebaskan
dan Imam berkata kepada pasukannya bahwa jangan sampai ada seorang pun
yang melawan keputusan ini. Mereka dinyatakan bebas dengan catatan
mereka meletakkan senjatanya. Imam Ali tidak menjadikan mereka sebagai
tawanan perang, tidak juga mengambil harta mereka sebagai harta rampasan
perang sebagaimana perlakuan Rasulullah Saw memperlakukan masyarakat
Mekah dalam peristiwa Fathu Mekah.
Pasukan Muawiyah pada perang Shifin menutup air bagi pasukan Imam
Ali As dan pasukannya. Mereka membuat pembatas di sungat Furat.
Pemimpin pasukan Muawiyah berkata: “Ali dan pasukannya harus merasakan
kehausan yang sangat, sebagaimana ia telah membunuh Usman dalam keadaan
haus.” Kemudian kedua pasukan itu berperang dan pasukan Imam Ali As
berhasil merebut air itu. Pada kesempatan itu, pasukan Imam Ali juga
melarang pasukan Muawiyah untuk meminum air walaupun setetes sehingga
semuanya akan mati kehausan, namun Imam Ali berkata, “Tidak, selamanya
jangan lakukan hal ini, biarlah mereka menggunakan sebagian air Furat.”
[149]
Berperangai Luhur
Ibn Abil Hadid berkata, “Adapun dari sisi kebaikan perangai, Ia
telah menjadi pepatah sebagaimana musuh-musuhnya menganggap aib baginya.
Sha’sha’ah bin Suhan dan sahabat setia Imam Ali berkata, “Ali As di
antara kami seperti salah satu di antara kami, tidak menilai adanya
keistimewaan bagi dirinya bahkan tawadhu dan rendah hati sangat takut
sehingga kami di hadapannya bagaikan tawanan dengan kaki terbelenggu di
bawah seorang laki-laki yang sedang terhunus pedangnya.”
[150]
Jihad fi Sabilillah
Ibn Abil Hadid berkata: Kawan dan lawan Imam Ali As menyatakan
bahwa ia seorang pemimpin mujahid dan tidak ada seorang pun yang pantas
menyandang predikat ini. Semua mengetahui peperangan yang paling seru
dan sengit dalam Islam adalah perang Badar dimana sebanyak 70 orang
kafir terbunuh. Setengah dari jumlah itu terbunuh di tangan Imam Ali As
dan setengahnya lagi tewas di tangan kaum Muslimin atas pertolongan
malaikat. Posisi dan peranan Imam Ali As pada pererangan Uhud, Ahzab,
Khaibar, Hunain dan peperangan yang lainnnya telah diakui sejarah dan
tidak perlu dijelaskan. Imam Ali juga pandai dalam memahami
permasalahan-permasalahan penting seperti ilmu Geografi tentang Mekah,
Mesir dan lainnnya.
Keberanian
Ibnu Abil Hadid berkata, “Ia adalah seorang satu-satunya jawara
yang akan selalu diingat yang menghapus kenangan orang-orang terdahulu
dan melenyapkan pada dirinya orang-orang setelahnya.”
Keberhasilan Ali As dalam medan pertempuran sangat dikenal dalam sejarah
sehingga sampai hari kiamat pun akan selalu menjadi contoh. Ksatria
yang tidak pernah lari dari medan peperangan dan tidak takut dengan
jumlah musuh yang besar. Ia tidak berperang kecuali membinasakan
musuhnya dan ia adalah sosok orang yang pukulannya sedemikian ampuh
sehingga tidak pernah berulang pukulannya.
Ketika menantang Muawiyah untuk berduel sehingga salah satunya dari
keduanya mati, orang-orang pun yakin dan percaya diri. Amr bin Ash
kepada Muawiyah berkata: “Ali bukan tandinganmu. Muawiyah berkata kepada
Amr bin Ash: Semenjak kau bersamaku, tidak pernah sekalipun kamu
berlaku licik kepadaku! Kau menyuruhku untuk melawan seseorang yang
tidak akan pernah pernah melepaskan orang lain dari cengkeramannya! Aku
sangat yakin bahwa setelahku, kau sangat terpikat dengan pemerintahan
Syam. Orang-orang Arab selalu bangga jika pada suatu hari berhadapan
dengannya atau kaki tanganku terbunuh oleh Ali As.”
Pada suatu hari, Muawiyah tengah tertidur pulas di singgasananya,
tiba-tiba matanya terbuka. Ia melihat Abdullah bin Zubair di dekatnya.
Ia pun duduk di dekatnya dan dengan bercanda berkata kepada Muawiyah:
“Wahai Amirul Mukminin! Jika Anda setuju mari kita beradu gulat.”
Muawiyah berkata: “Celakalah engkau Abdullah! Aku lihat kamu berbicara
tentang seseorang yang berani dan tangguh! Abdullah berkata: Memangnya
engkau mengingkari akan keberanianku? Aku adalah seseorang yang melawan
Ali As di medan peperangan.” Muawiyah berkata: ‘Sama sekali tidaklah
demikian. Apabila engkau sebentar saja di hadapan Ali berdiri maka
engkau dan ayahmu akan terbunuh dengan tangan kirinya sementara tangan
kanannya tetap siap sedia untuk berperang.’”
[151]
Ibadah
Ibnu Abil Hadid berkata, “Ali As adalah seorang abid (ahli
ibadah) yang paling taat. Puasa dan salatnya paling banyak dari pada
yang lainnya. Orang-orang belajar darinya dalam mengerjakan salat malam
dan berterusan mengerjakan salat sunnat. Dan bagaimana penilaian Anda
terhadap seorang laki-laki yang menjaga salat-salat sunnatnya sedemikian
sehingga pada Perang Shiffin pada Lailatul Harir (malam terakhir Perang
Shiffin) di antara dua barisan, sajadah di gelar untuknya padahal anak
panah melintas di antara kedua belah tangan dan di antara kedua daun
telinganya tanpa rasa takut ia tetap sibuk melanjutkan salatnya. Dahinya
bagaikan lutut unta karena banyaknya sujud. Setiap kali orang yang
mendengarkan doa dan munajatnya akan menyadari bagaimana pengagungannya
kepada Allah, kebersahajaannya di hadapan kebesaran-Nya, sujudnya di
hadapan Allah serta ketulusan dalam dirinya. Orang-orang akan mengetahui
dari mana gerangan datangnya doa-doa ini dan melalui lisan apa ia
mengalir.
[152]
Zuhud
Ali As adalah pemimpin orang-orang yang zuhud. Siapa yang akan
menempuh jalan ini, maka ia harus mengikuti jalan Imam Ali As. Ali As
tidak pernah sekalipun mengenyangkan perutnya. Ali As mengkonsumsi
makanan dan berpakaian kasar. Abdullah bin Abi Rafi’ berkata, “Aku
menemui Imam Ali As pada hari raya raya. Saya melihatnya memiliki
kantung yang tersegel. Ketika aku membuka kain penutup itu, aku
melihatnya roti kasar yang tidak tersentuh. Beliau tengah makan makanan
itu. Aku pun berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Mengapa engkau
menyegelnya? Imam Ali berkata, “Saya takut anak-anakku akan mengolesinya
dengan mentega atau dengan minyak zaitun.”
Pakaian yang ia kenakan kadang-kadang berasal dari kulit binatang dan
kadang-kadang berasal dari daun kurma. Alas kakinya terbuat dari pelepah
kurma. Dan mengenakan pakaian berbahan sangat kasar. Jika ingin memakan
sesuatu selain roti maka makanan pendampingnya adalah cuka dan garam.
Dan jika lebih baik dari ini maka sebagian bercampur dengan
tumbuh-tumbuhan atau susu unta. Beliau tidak memakan daging kecuali
sedikit dan bersabda, “Janganlah perutmu kalian jadikan sebagai gudang
hewan.” Namun, beliau adalah orang yang paling kuat dan kelaparan yang
ada padanya tidak mengurangi kekuatannya sedikit pun. Ia meninggalkan
kehidupan dunia padahal kekayaannya membentang di seluruh dunia Islam
kecuali Syam bahkan ia membagi kekayaannya kepada rakyatnya.
[153]
Karya-karya
Kitab Nahj al-Balaghah Syarah Ibnu Abil Hadid
Nahj al-Balāghah
Karya monumental yang telah dibukukan dari ucapan dan
tulisan-tulisan Imam Ali As adalah Nahj al-Balāghah yang dikumpulkan
oleh Sayid Radhi, seorang ulama terkemuka pada abad ke-4 H. Setelah
al-Quran, Nahj al-Balāghah adalah teks paling suci bagi penganut Syiah
(setelah al-Quran) dan merupakan teks agama paling tinggi nilai
sastranya dalam bahasa Arab. Kitab ini terdiri dari tiga bagian utama:
Kumpulan khutbah-khutbah, surat-surat dan hikmah-hikmah singkat Imam Ali
As dalam berbagai situasi atau yang ditulis oleh Sang Imam untuk
ditujukan kepada orang-orang tertentu.
Khutbah-khutbah dalam Nahj al-Balāghah terdiri dari 239 khutbah dan dari
tinjauan waktu dibagi menjadi tiga: sebelum masa pemerintahan, dalam
masa pemerintahan dan pasca pemerintahan.
Surat-surat dalam
Nahj al-Balāghah terdiri dari 79 surat dan hampir semuanya ditulis dalam masa pemerintahan beliau.
Kalimat-kalimat pendek dalam
Nahj al-Balāghah terdiri dari 480 tuturan hikmah.
Sebagian syarah-syarah
Nahj al-Balāghah adalah
Syarh Ibn Maitsam Bahrani,
Syarh Ibn Abi al-Hadid Mu’tazili, Syarh Muhammad Abduh, Syarah Muhammad Taqi Ja’fari,
Darshāi az Nahj al-Balāghah karya Husainali Muntazheri, Syarah Fakhr al-Razi,
Minhaj al Barā’ah karya Qutb al-Din Rawandi,
Syarh Nahj al-Balāghah karya Muhammad Baqir Nawab Lahijani.
[154]
Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kalim
Kitab Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kalim
Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kalim dikumpulkan oleh Abdul Wahid
Muhammad Tamimi Amudi, seorang ulama pada abad ke-5.
Dalam kitab Ghurar al-Hikam kira-kira terdapat 10760 perkataan Imam Ali
As yang disusun secara berurut berdasarkan alphabet dalam beragam tema:
tentang akidah, ibadah, akhlak, politik, ekonomi, dan kemasyarakatan.
[155]
Dastur Ma’ālim Hukm wa Ma’tsur Makārim Al-Syiyam
Kitab Dastur Ma’ālim Hukm wa Ma’tsur Makārim Al-Syiyam
Kitab
Dastur Ma’ālim Hukm wa Ma’tsur Makārim Al-Syiyam
dikumpulkan oleh Qadhi Qadha’i. Ia adalah seorang ulama bermadzab
Syafi’i pada abad ke-4 H. Ia adalah orang yang diakui di kalangan ahli
hadits. Namun ada kelompok yang berpendapat bahwa Qadhi Qadha’i
bermazhab Syiah.
[156]
Kitab
Dastur Ma’ālim Hukm wa Ma’tsur Makārim Al-Syiyam ditulis
dalam 9 bab: Tuturan-tuturan hikmah yang diucapkan oleh Imam Ali As,
tidak pentingnya dunia dan keengganan Imam Ali atasnya,
nasehat-nasehatnya, wasiat-wasiat dan larangannya, jawaban Imam Ali As
terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, dalam ilmu kalam, tentang
keterasingan beliau, tentang doa-doa dan munajat-munajat Imam Ali As,
serta puisi-puisi Imam Ali As.
[157]
Sebagian kitab yang memuat perkataan Imam Ali As:
- Natsr al-Lāli oleh Abu Ali Fadhl bin Hasan Thabarsi.
- Matlub Kull Thālib min Kalām Amiril Mukminin ‘Ali bin Abi Thālib As, oleh Jahizh, pensyarah Rasyid Watawath.
- Qalāid al-Hukm wa Farāid al-Kalim yang dikumpulkan oleh Qadhi abu Yusuf Ya’kub bin Sulaiman Asfaraini.
- Amtsāl Imām ‘Ali bin Abi Thalib, perkataan dan surat-surat Imam Ali As dalam kitab Shifin oleh Nashr bin Muzahim.
Sahabat-sahabat
Salman Farsi
adalah salah seorang sahabat yang paling utama Nabi Muhammad Saw dan
Imam Ali As.Terdapat banyak hadis dari para Imam Maksum As tentang hal
ini.
[158] Di antaranya Rasulullah Saw bersabda, “Salman adalah bagian dari kami, Ahlulbait.”
[159]
Malik Asytar Nakha’i,
Malik bin Harits Abd Yaghuts Nakha’i yang terkenal dengan Malik Asytar
lahir di Yaman. Ia adalah orang yang pertama kali berbaiat kepada Imam
Ali As. Malik Asytar menjadi komandan perang pada perang Jamal, Shifin
dan Nahrawan.
[160]
Abu Dzar Ghifari, (Jundab bin Junadah) yang dikenal dengan nama Abu Dzar adalah orang keempat yang beriman kepada Nabi Muhammad Saw.
[161]Setelah Nabi Muhammad wafat, ia adalah orang yang termasuk berdiri di barisan Imam Ali dan tidak berbaiat kepada Abu Bakar.
[162]
Miqdad bin Amr
(Miqdad bin Aswad Kandi) merupakan salah seorang dari tujuh sahabat
yang beriman kepada Nabi Muhammad Saw dan memeluk agama Islam. Setelah
Nabi Muhammad Saw wafat, Miqdad adalah salah seorang yang tidak berbaiat
kepada Abu Bakar dan ia selalu setia menyertai Imam Ali As ketika
beliau menjalani masa diam selama 25 tahun.
[163]
Kumail bin Ziyad,
Kumail bin Ziyad al-Nakha’i termasuk salah seorang tabiin sahabat
Rasulullah Saw dan sahabat setia Imam Ali As dan Imam Hasan As.
[164]
Ia adalah termasuk salah seorang penganut Syiah yang berbaiat kepada
Imam Ali As pada masa-masa awal kekhalifahan Imam Ali As. Ia juga turut
berperang dalam peperangan melawan musuh.
[165]
Ammar Yasir merupakan salah seorang yang pertama kali menyatakan
keislamannya kepada Nabi Muhammad Saw dan termasuk salah satu kelompok
yang pertama kali dari kaum Muslimin yang berhijrah ke Habasyah. Ia
berhijrah ke Habasyah dan setelah Rasulullah Saw berhijrah ke Madinah,
ia menggabungkan diri dengan Rasulullah Saw. Setelah Rasulullah Saw
meninggal, ia tetap setia dan komitmen di jalan Ahlulbait dan Imam Ali
As. Selama masa pemerintahan Umar bin Khatab untuk beberapa lama ia
menjabat sebagai Gubernur di Kufah, namun karena ia adalah seorang yang
adil dan hidup sederhana, beberapa orang menyiapkan kelengserannya.
Kemudian ia kembali ke Madinah dan berada di samping Imam Ali As lalu
mengambil ilmu dari beliau.
[166]
Ibnu Abbas
(Abdullah bin Abbas) adalah putra paman Nabi Muhammad Saw dan Imam Ali.
Ibnu Abbas sangat banyak menukil hadis dari Nabi Muhammad Saw.
[167]
Ibnu Abbas selama masa pemerintahan para khalifah, berkeyakinan bahwa
Imam Ali As mempunyai kelayakan akan kedudukan khilafah itu. Ia selama
masa pemerintahan Imam Ali As turut serta dalam peperangan Jamal, Shifin
dan Nahrawan dan menjadi gubernur Basrah atas perintah Imam Ali As.
[168]
Muhammad bin Abu Bakar
(putra Khalifah pertama). Ia lahir pada tahun ke-10 Hijriah. Ia
berkeyakinan bahwa para khalifah sebelum Imam Ali As sejatinya telah
melanggar hak kekhilafahan Imam Ali dan berkata bahwa tidak ada orang
yang layak untuk menempati kedudukan khalifah kecuali Imam Ali As.
[169]
Ia turut ikut serta dan menolong Imam Ali dalam peperangan yang terjadi
pada masa kekhlalifahannya: perang Jamal, perang Shiffin. Pada bulan
Ramadhan tahun ke-36 H menjadi Gubernur di Mesir. Dan ia terbunuh
ditangan pasukan Muawiyah pada bulan Shafar 38 H.
[170]
Maitsam Tammar, Maitsam Tamar Asadi Kufi, merupakan sahabat setia Imam Ali As dan Imam Husain As. Ia termasuk anggota
Syurtah al-Khamis
(Lasykar Pembela Ali dan Keluarganya). Kelompok ini merupakan golongan
yang bersumpah dengan Imam Ali sedemikian sehingga sampai titik akhir
penghabisan akan menyertai dan menolong Imam Ali As.
[171]
Uwais Qarni, Uwais bin Amir Muradi Qarni yang terkenal sangat zuhud. Ia beriman pada masa
Nabi Muhammad Saw.
[172]
Uwais merupakan sahabat setia Imam Ali As dan berbaiat kepada beliau
untuk setia selama hayat dikandung badan. Ia adalah penolong setia dan
pembela Imam Ali As yang selalu hadir dalam peperangan yang terjadi.
[173]
Zaid bin Shauhan
adalah penolong setia Imam Ali yang selalu turut serta dalam peperangan
yang terjadi pada masa kekhlaifahan Imam Ali As. Ia gugur syahid dalam
perang Jamal oleh pasukan Nakitsin.
[174]
Sa’sha’at bin Shauhan Abdi adalah sahabat Imam Ali yang ikut serta dalam peperangan yang terjadi pada masa kekhlaifahan Imam Ali As.
[175] Ia termasuk orang-orang yang membaiat Imam Ali As segera setelah Umar meninggal.
[176]
Telaah Lebih Jauh
Nahj al Balāgha, Terjemah Sayid Ja’far Syahidi, Teheran, Ilmi wa Farhanggi, 1378
Syahidi, Sayyid Ja’far,
Ali az Zabān Ali, atau
Zendegāni Amir al Mukminin Ali As, Teheran, Nasyar Farhang Islami, 1379
Catatan Kaki
- Jump up ↑ Al-Nasai,
Al-Sunan al-Kubra, jld. 5, hlm. 107; Ibn Abil Hadid, Syarh Nahj
al-Balāgha, jld. 1, hlm. 15; Muhammad Ibrahim, Tārikh Payāmbar Islām,
revisi dan tambahan oleh Abul Qasim Garji, Teheran: Universitas Teheran,
1378, hlm. 65, foot note no. 2
- Jump up ↑ (QS Al-Maidah [5]: 67)
- Jump up ↑ (QS Al-Ahzab [33]: 33)
- Jump up ↑ Ibn Abil Futuh, hlm. 93; Suyuthi, Jalaluddin, Tārikh Khulafā, Lajnah min al-Udaba, Dar al Ta’awun Abbas Ahman al-Baz,Makkah al Mukarramah, hlm. 189.
- Jump up ↑ Majlisi, jld. 19, hlm. 59.
- Jump up ↑ Hakim Naisyaburi, jld. 19, hlm. 59.
- Jump up ↑ Ibn Abil Hadid, jld. 6, hlm. 8.
- Jump up ↑ Majlisi, jld. 42, hlm.290
- Jump up ↑ Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāgha, jld. 1, hlm. 16-17
- Jump up ↑ Nahj al-Balāgha, Terjemah Sayid Ja’far Syahidi, Khutbah 216, hlm. 248-250
- Jump up ↑ Ibn Atsir, Usd al-Ghabah, jld. 1, hlm. 15
- Jump up ↑ Thusi, Mishbāh al-Mutahajjid, hlm. 812
- Jump up ↑ Mufid, Irsyād, jld. 1, hlm. 2.
- Jump up ↑ Majlisi, jld. 19, hlm. 57.
- Jump up ↑ Ibn Syahr Asyub, jld. 3, hlm. 321-334.
- Jump up ↑
Al-Mufid, Al-Irsyād, jld. 1, hlm. 5, Software Maktabah Ahlulbait, CD 2.
Ungkapan Syaikh Mufid tentang kelahirannya: Lahir di Mekah di Baitul
Haram (Ka’bah),
Mas’udi (w. 346 H) terkait dengan kelahiran Imam Ali As menulis: Ia
lahir di Ka’bah, Mas’udi, Muruj al-Dzahab wa Ma’adin al Juhar, jld. 2,
Qum, Mansyurat Dar al Hijrah, 1363/1404/1984, hlm. 349.
- Jump up ↑ Amini, jld. 6, hlm. 21-23.
- Jump up ↑ Al-Mufid, Al-Irsyād, jld. 1, hlm. 9, Software Maktabah Ahlulbait CD 2.
- Jump up ↑ Ibnu Hisyam, jld. 1, hlm. 236, Majlisi, jld. 35, hlm. 118.
- Jump up ↑ Nahj al-Balāgha, Terjemah Sayid Ja’far Syahidi, Khutbah 192, hlm. 222.
- Jump up ↑ Amin, jld. 2, hlm. 13.
- Jump up ↑ Ibn Qutaibah, Al-Ma’ārif, Beirut, Dar al Kitab al ‘Alamiyah, 1507/1978, hlm. 121.
- Jump up ↑ Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāgha, jld. 1, hlm. 21.
- Jump up ↑ Al-Mufid, Al-Irsyād, hlm. 5, Software Maktabah Ahlulbait, CD 2.
- Jump up ↑ Majlisi, jld. 43, hlm. 125.
- Jump up ↑ Mufid, Masār al-Syiah, hlm. 17.
- Jump up ↑ Sayid Ibnu Thawus, hlm. 584.
- Jump up ↑ Mas’udi, Itsbāt al-Washiyah, hlm. 153.
- Jump up ↑ Rei Syahri, jld. 1, hlm. 108.
- Jump up ↑ Al-Mufid, Al-Irsyād, Qum, Sa’id bin Jubair, 1428 H, hlm. 270-271.
- Jump up ↑ Ibnu Sa’ad, jld. 3, hlm. 24.
- Jump up ↑ Baladzuri, jld. 1, hlm. 2883.
- Jump up ↑ Thabari, jld. 2, hlm. 148.
- Jump up ↑ Ibnu Hisyam, jld. 1, hlm. 708-713.
- Jump up ↑ Ibnu Atsir, Al-Kāmil fi al-Tārikh, jld. 2, hlm. 107.
- Jump up ↑ Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 235.
- Jump up ↑ Thabari, jld. 2, hlm. 573-574.
- Jump up ↑ Majlisi, jld. 2, hlm. 216.
- Jump up ↑ Ibnu Hisyam, jld. 2, hlm. 328.
- Jump up ↑ Muslim, jld. 15, hlm. 178-179.
- Jump up ↑ Mufid, Irsyād, hlm. 590.
- Jump up ↑ Ayati, Tārikh Payāmbar Islām, hlm. 459.
- Jump up ↑ Al-Zamakhsyari, Al-Kasyāf, jld. 3, hlm. 689.
- Jump up ↑ Ayati, Tārikh Payāmbar Islām, hlm. 481.
- Jump up ↑ Mufid, Irsyād, jld. 1, hlm. 156, Ibnu Hisyam, jld. 4, hlm. 163.
- Jump up ↑ (QS Al-Nisa [4]: 59)
- Jump up ↑ Kulaini, jld. 1, hlm. 189, Shaduq, Al-Hidāyah, hlm 31, Shaduq, Kamāl al-Din, hlm. 24, Hilli, jld. 1, hlm. 453, Majlisi, jld. 23, hlm. 89, Faidh Kasyani, Al-Haq al-Mubin, hlm. 4, Thabarsi, Jawāmi’ al-Jāmi’, jld. 1, hlm. 410, Huwaizi, jld. 2, hlm. 158, Thabathaba’i, jld. 4, hlm. 411.
- Jump up ↑ (QS.Al- Maidah [5]: 55)
- Jump up ↑ Qurthubi, jld. 6, hlm. 208, Thabathaba’i, jld. 6, hlm. 25, Fakhr Razi, jld. 12, hlm. 30, Suyuthi, Al-Durr Al-Mantsur, jld. 3, hlm. 98.
- Jump up ↑ Qunduzi, hlm. 50.
- Jump up ↑ Ganji, Syafi’i, hlm. 205.
- Jump up ↑
Ibnu Maghazali, hlm. 16, Kulaini, jld. 1, hlm. 290, Thabarsi, Ihtijāj,
jld. 1, hlm. 73, Ali bin Ibrahim, jld. 1, hlm. 173, Rasyid Ridha, jld.
6, hlm. 464-465.
- Jump up ↑ (QS Al-Maidah [5]: 67)
- Jump up ↑ Ibnu Maghazali, hlm. 24.
- Jump up ↑ Mufid, Irsyād, jld. 6, hlm. 8.
- Jump up ↑ Ibnu Abil Hadid, jld. 6, hlm. 8.
- Jump up ↑ Thusi, Talkhis al-Shāfi, Syahrastani, jld. 2, hlm. 95, Ibnu Qutaibah, jld. 2, hlm. 12.
- Jump up ↑ Halabi, jld. 3, hlm. 400, Ibnu Abil Hadid, jld. 16, hlm. 316.
- Jump up ↑ Ibnu Syahr Asyhub, jld. 1, hlm. 388.
- Jump up ↑ Pisywai, jld. 2, hlm. 191.
- Jump up ↑ Ibnu Qutaibah, jld. 1, hlm. 29-30, Majlisi, jld. 43, hlm. 70, Mir’āt al-Uqul, jld. 5, hlm. 320, Syahristani, jld. 1, hlm. 57.
- Jump up ↑ Ibnu Qutaibah, jld. 1, hlm. 28.
- Jump up ↑ Suyuthi, Al-Itqān, jld. 1, hlm. 99, Ibnu Nadim, hlm. 41-42, Sulaiman, hlm. 97, Faidh Kasyani, Tafsir Shāfi, jld. 1, hlm. 24.
- Jump up ↑ Ibnu Nadim, hlm. 41-42.
- Jump up ↑ Majlisi, jld. 89, hlm. 52.
- Jump up ↑ Ya’qubi, jld, 2, hlm. 11.
- Jump up ↑ Hakim Nisyaburi, Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, jld. 3, hlm. 14.
- Jump up ↑ Thabari, jld. 4, hlm. 429.
- Jump up ↑ Thabari, jld. 4, hlm. 427-431.
- Jump up ↑ Nahj al-Balāgha, Surat 53.
- Jump up ↑ Nahj al-Balāgha, khutbah 207.
- Jump up ↑ Nahj al-Balāgha, surat 51.
- Jump up ↑ Nahj al-Balāgha, surat 25.
- Jump up ↑ Nahj al-Balāgha, surat 53.
- Jump up ↑ Mahmudi, jld. 1, hlm. 224, Mufid, Ikhtishāsh. hlm. 151.
- Jump up ↑ Husaini, Dasyti, Sayid Musthafa, Maārif wa Ma’ārif, jld. 7, Teheran: Muasasah Farhanggi Arāyeh, 1379, hlm 457.
- Jump up ↑ Mas’udi, Itsbāt al-Wāshiyah, hlm. 185.
- Jump up ↑ Thabari, jld. 3, bag. 6, hlm. 90.
- Jump up ↑ Ibrahim bin Muhammad, jld. 2, hlm. 45.
- Jump up ↑ Qumi, jld. 2, hlm. 167.
- Jump up ↑ Nahj al-Balāgha, surat 45.
- Jump up ↑ Nahj al-Balāgha, hikmah 37.
- Jump up ↑ Ibnu Atsir, Al-Kāmil fi al-Tārikh, jld. 3, hlm. 318.
- Jump up ↑ Nahj al-Balāgha, hikmah 37.
- Jump up ↑ Nahj al-Balāgha, surat 53, hlm. 587.
- Jump up ↑ Nahj al-Balāgha, surat 53, hlm. 575.
- Jump up ↑ Nahj al-Balāgha, surat 53, hlm. 569.
- Jump up ↑ Dzakiri, hlm. 67.
- Jump up ↑ Zubaidi, jld, 3, hlm. 273.
- Jump up ↑ Thabari, jld. 4, hlm. 543.
- Jump up ↑ Nahj al-Balāgha, terjemahan Syahidi, hlm. 144-148.
- Jump up ↑ Thabari, jld. 4, hlm. 453.
- Jump up ↑ Nahj al-Balāghah , terjemah Sayid Ja’far Syahidi, khutbah 175, hlm. 180.
- Jump up ↑ Thabari, jld. 4, hlm. 3096, sesuai yang disampaikan oleh Syahidi, Ali az Zabāne Ali, hlm. 84-85.
- Jump up ↑ Thabari, jld. 4, hlm. 451 dan 544; jld. 5, hlm. 150; Syahidi, Ali az Zabāne Ali, hlm. 82-83 dan 108.
- Jump up ↑ Thabari, jld. 4, hlm. 454.
- Jump up ↑ Thabari, jld. 4, hlm. 507.
- Jump up ↑ Iskafi, jld 1, hlm. 6.
- Jump up ↑ Thabari, jld. 4, hlm. 511, Syahidi, Ali az Zabāne Ali, hlm. 104.
- Jump up ↑ Syahidi, Ali az Zabāne Ali, hlm. 104.
- Jump up ↑ Syahidi, Ali az Zabāne Ali, hlm. 108.
- Jump up ↑ Ibid.
- Jump up ↑ Jauhari, jld. 3, hlm. 1152.
- Jump up ↑ Ya’qubi, jld. 2, hlm. 188, Khalifah, hlm. 191.
- Jump up ↑ Talkhish dari Syahidi, Ali az Zabāne Ali, hlm. 113-121.
- Jump up ↑ Al-Mi’yār wa al Mawāzanah, hlm. 162, menukil dari Syahidi, Ali az Zabān Ali, hlm. 122.
- Jump up ↑ Ibnu Muzahim, hlm. 490.
- Jump up ↑ Ibnu A’tsam, jld. 3, hlm. 163.
- Jump up ↑ Syahidi, Ali az Zabāne Ali, hlm. 129.
- Jump up ↑
Al-Syahristani, Al Milal wa al Nihal, Riset oleh: Muhammad bin
Fathullah Badran, Qahirah, Al-Thaba’ah al Tsaniyah, jld. 1, hlm.
106-107.
- Jump up ↑ Syahidi, Ali az Zabāne Ali, hlm. 132.
- Jump up ↑ Syahidi, Ali az Zabāne Ali, hlm. 133-134.
- Jump up ↑ Ja’fariyan, Guzideh Hayāt Siyāsi wa Fikri Imāmān Syi’ah, Qum, Daftar Nasyar Ma’arif. 1391, hlm. 53-54.
- Jump up ↑ Ja’fariyan, Rasul, Guzideh Hayāt Siyāsi wa Fikri Imāmān Syi’ah, hlm. 55.
- Jump up ↑ Al-Mufid, Muhammad bin Muhammad Nu’man, Al-Irsyād, Qum, Sa’id bin Jabir, 1428, hlm. 27-28.
- Jump up ↑ Abdu Karim Ahmad Thawus, Farhah al-Ghura, hlm. 93, Majlisi, Bihār, jld. 42, hlm. 222, dinukil dari Muqadasi, Yadullah, Bāzpazuhi Tārikh Wilādat wa Syahādat Ma’shumān (As), Qum, Pazyuhisygah Ulum Farhang Islami, 1391, hlm. 239-240.
- Jump up ↑ Majlisi, jld. 36, hlm. 5.
- Jump up ↑ Majlisi, jld, 42, hlm. 290.
- Jump up ↑ Majlisi, jld, 42, hlm. 290.
- Jump up ↑ Majlisi, jld, 42, hlm. 338, Qutb Rawandi, Al Kharāj wa al Kharāih, jld. 1, hlm. 234, Mufid, Irsyād, jld. 1, hlm. 10.
- Jump up ↑ Mufid, Irsyād, hlm. 13.
- Jump up ↑ Ganji, Syafi’i, hlm. 231, Haitsami, hlm. 76, Qunduzi, hlm. 126.
- Jump up ↑ (QS. Ali Imran [3]: 61 )
- Jump up ↑
Suyuthi, Al-Durr al-Mantsur, pembahasan terkait dengan ayat 61, surat
Ali Imran, Zamakhsyari, pembahasan terkait dengan ayat 61 surat Ali
Imran, Thabarsi, Majma’ al-Bāyan, pembahasan terkait dengan ayat 61 Ali Imran, Thabathabai, pembahasan terkait dengan ayat 61 surat Ali Imran.
- Jump up ↑ (QS. Al-Ahzab [33]:33)
- Jump up ↑ Ibnu Babawaih, jld. 2, hlm. 403, Sayid Qutb, jld. 6m hlm. 586, Thabarsi, Majma al Bāyan, jld. 8, hlm. 559.
- Jump up ↑ (QS Al-Syura [42]: 23)
- Jump up ↑ Majlisi, jld. 23, hlm. 233.
- Jump up ↑ Amini, jld. 3, hlm. 191-213.
- Jump up ↑ Hakim Naisyaburi, jld. 3, hlm. 136.
- Jump up ↑ Ahmad Hanbal, jld. 5, hlm. 26.
- Jump up ↑ Ibnu Hisyam, jld. 1, hlm. 480.
- Jump up ↑ Ibnu Atsir, Al-Kāmil fi al-Tārikh, jld. 2, hlm. 72, Majlisi, jld, 19, dan 59.
- Jump up ↑ (QS Al-Baqarah [2]: 207)
- Jump up ↑ Fakhr al-Razi, jld. 5, hlm. 223, Hakim Huskani, jld. 1, hlm. 96, Ali bin Ibrahim, hlm. 61, Thabathabai, jld. 2, hlm. 150.
- Jump up ↑ Ibnu Abd Barr, Al-Isti’āb, menukil dari Amin, A’yān al-Syi’ah, Berut, Dar al Ta’arif lil Mathbu’at, 1418/1998, jld. 2, hlm. 27.
- Jump up ↑ Amini, jld. 3, hlm. 140, Susytari, Ihqāq al-Haq, jld. 5, hlm. 522.
- Jump up ↑ Ibnu Hisyam, jld. 4, hlm. 545.
- Jump up ↑ Thabari, jld. 6, bag. 10, Ibnu Hisyam, jld. 4, hlm. 188-190.
- Jump up ↑ Bahrani, bab 360.
- Jump up ↑ Muttaqi Hindi, jld. 6, hlm. 155.
- Jump up ↑ Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj Balāghah, jld. 1, hlm. 16-17, yang dinukil dari terjemah ibarat Ibnu Abil Hadid dari kitab Ma’ārif wa Maārif karya Sayid Musthafa Husaini Dasyti, pada pembahasan tentang Ali bin Abi Thalib.
- Jump up ↑ Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj Balāghah, jld. 1, hlm. 17.
- Jump up ↑ Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāgha, jld. 1, hlm. 18.
- Jump up ↑ Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāgha, jld. 1, hlm. 19.
- Jump up ↑ Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāgha, jld. 1, hlm. 20.
- Jump up ↑ Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāgha, jld. 1, hlm. 24.
- Jump up ↑ Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāgha, jld. 1, hlm. 21-22.
- Jump up ↑ Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāghah, jld. 1, hlm. 22-24.
- Jump up ↑ Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāgha, jld. 1, hlm. 25.
- Jump up ↑ Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāgha, jld. 1, hlm. 20-21.
- Jump up ↑ Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāgha, jld. 1, hlm. 27.
- Jump up ↑ Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāgha, jld. 1, hlm. 26.
- Jump up ↑ Dhamiri, hlm. 365-367
- Jump up ↑ Dhamiri, hlm. 375.
- Jump up ↑ Nuri, jld. 3, hlm 367.
- Jump up ↑ Qadhi Qadha’i, Mukaddimah Kitab.
- Jump up ↑ Majlisi, jld. 22, hlm. 343.
- Jump up ↑ Shaduq, Uyun Akhbār al Ridhā, jld. 1, hlm. 70.
- Jump up ↑ Nahj al-Balāgha, terjemah Muh, Dasyti, hlm. 565.
- Jump up ↑ Ibnu Sa’d, jld. 4, hlm. 224.
- Jump up ↑ Dāirah al-Māarif Tasyayu’, jld. 1, pembahasan tentang Abu Dzar.
- Jump up ↑ Ya’qubi, jld. 1, hlm. 524.
- Jump up ↑ Qutbuddin Rawandi, Minhāj al-Barā’ah, jld. 21, hlm. 219, Mufid, Ikhtishāsh, hlm. 6.
- Jump up ↑ Mufid, Ikhtishāsh,hlm. 108.
- Jump up ↑ Kumpani, hlm. 108.
- Jump up ↑ Mufid, Amāli, hlm. 140.
- Jump up ↑ Mufid, Jamal, hlm. 265, Ibnu Muzahim, hlm. 410, Ibnu Abil Hadid, jld, 2, hlm. 273.
- Jump up ↑ Susytari, Qāmus Rijāl, jld. 7, hlm. 495 dan jld, 6 hlm 293.
- Jump up ↑ Ibrahim Muhammad, jld, 1, hlm. 224 dan 285; Zirkili, jld. 6, hlm. 220.
- Jump up ↑ Barki, hlm.3.
- Jump up ↑ Ibnu Atsir, Usd al-Ghābah, jld. 1, hlm. 179.
- Jump up ↑ Ibnu Atsir, Usd al-Ghābah, jld. 1, hlm. 179.
- Jump up ↑ Mufid, Jamal, hlm. 59.
- Jump up ↑ Ibnu Atsir, Usd al-Ghabah, jld. 1, 289.
- Jump up ↑ Ya’qubi, jld. 2, hlm. 179.
Daftar Pustaka
- Al-Quran Karim
- Nahjul Balāgha, terjemah Sayid Ja’far Syahidi, Ilmi wa Farhanggi, 1378
- Ayati, Muhammad Ibrahim, Tārikh Payāmbar Islām, Revisi Abul Qasim Karaji, Teheran: Universitas Tehetan, 1378
- Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Bālagha, Muhammad Abul Fadhil
Ibrahim, Dar Ahya al-Kitab al-‘Arabiyah, Qum, Mansyurat Maktabah
Ayatullah Uzhma Mar’asyi Najafi, 1404 (yang ada pada software Maktabah
Ahlulbait CD 2)
- Ibnu Abil Futuh Arbeli, Kasyf al-Ghummah, Dar al Adhwa’, Beirut.
- Ibnu Atsir, Usd al-Ghābah, Riset oleh Muhammad Ibrahim Bina, al-Syu’ab, Kairo.
- Ibnu Atsir, Al-Kāmil fi al-Tārikh, Dar Shadir, Beirut.
- Ahman Hanbal Syaibani, Musnad Ahmad bin Hanbal, Dar Ahya Al-Turats al-Arabi, Beirut
- Ibnu Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyah, Tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Majid, Maktab Muhammad Ali Shahih, Kairo.
- Ibnu Abd Al-Bar, Al-Isti’āb, Riset oleh Ali Muhammad Bajawi, Beirut
- Ibnu Babawaihi, Al-Khishāl, Ali Akbar Ghifari, Jami’ Mudarisin, Qum
- Amin, Sirah Ma’shumān, terjemah Ali Hujati, Intisyarat Syurusy, Kairo
- Ahmad bin Abdullah Thabari, Dakhāir al-‘Uqba, Makthabah Ilamiyah, Teheran
- Ibnu Maghazali, Manāqib Ali bin Abi Thālib, Maktabah Islamiyah, Teheran
- Ibnu Syahr Asyub, Syarh Nahj al-Balāgha, Riset oleh Muhammad ABul Fadzl Ibrahim, Dar Ahya Kitab al-Arabiyah, Kairo.
- Ibn Faqih Hamedani, Akhbār al-Buldān, Riset oleh Yusuf al-Hadi, Alim al-Kitab, Beirut
- Ibrahim bin Muhammad Tsaqafi, Alghārāt, Riset oleh Armi.
- Iskafi, Al-Mi’yār wa al-Mawāzinah fi Fadhāil Amir al-Mukminin ‘Ali bin Abi Thālib, Muhammad Baqir Mahmudi, Beirut.
- Ibnu A’tsam, Al-Futuh, Dar al Nudwah, Beirut.
- Ibnu Muzahim, Waq’at Shiffin, Intisyarat Bashirati, Qum.
- Abi Abu Sa’ad, Wizārah al-Tsaqafah, Suriah, Damaskus.
- Asy’ari, Maqālāt al-Islāmiyyin, Dar al Nasyr, Beirut.
- Abul Faraj Isfahani, Maqātil al-Thālibin, Riset oleh Kadhim Mudzafar, Maktabah Haidariyah, Najaf.
- Ibnu Shabagh Maliki, Al-Fushul al-Muhimmah, Riset oleh Sami al-Ghuraizi, Dar al Hadits, Qum.
- Ibnu Sa’d, Thabaqāt al-Kubra, Dar Shadir, Beirut.
- Ibnu Qutaibah Dinwari, al-Imāmah wa-al-Siyāsah, Riset oleh Ali Syiri, Qum. Syarif Radhi, 1413/1371.
- Al-Amin, Sayid Hasan, A’yān al-Syi’ah, jld. 2,Riset oleh Sayid Hasan Al-Amin, Beirut, Dar al Ta’arif wa al-Mathbu’at, 1418/1998.
- Al-Nasai, Al-Sunan al-Kubra, jld. 5, Thakik Dr ‘Abdul Ghafar Sulaiman al-Bandari dan Sarid Kusrui Hasan, Beirut, Dar al Kitab al-Ilmiyah, 1411/1991.
- Bahrani, Ghāyah al-Marām, Riset oleh Sayid Ali ‘Asyur, Muasasah Tarikh al-Arabi Beirut.
- Burqi, Rijāl Burqi, Riset oleh , Muhadits Urmui, Universitas Teheran, Teheran.
- Al-Baladzuri, Ahmad bin Yahya bin Jabir, Ansāb al-Asyraf, Riset oleh Muhammad Baqir Mahmudi, Beirut, Muasasah Al A’lami lil Mathbu’at, 1974/1394.
- Pisywai, Sirah Pisywāyān, Intisyarat Tauhid, Qum.
- Jauhari, Al-Shihāh, Riset oleh Ahmad ‘Abdul Ghafur, Dar al-Ilmi lil Malamin, Beirut.
- Ja’fariyan, Tārikh Khulafā, Intisyarat Dalil Ma, Qum.
- Hakim Naisyaburi, Al-Mustadrak, Riset oleh Yusuf Abdul Rahman Ma’asyli
- Hakim Huskani, Syawāhid al-Tanzil, Riset oleh Muhammad Baqir Mahmudi, Wezarat Irsyad Islami, Teheran
- Hilli, Tadzkirah al-Fuqaha, Muasasah Ali al Bait, Qum
- Khamuni, Juwaini, Farāidh al-Simthain, Riset oleh Muhammad Baqir Mahmudi, Muasasah Mahmudi, Beirut.
- Halabi, Al-Sirah al-Halabiyah, Dar al-Ma’rifah, Beirut
- Huwaizi, Tafsir Nur al-Tsaqalain, Riset oleh Rasul Mahalati, Muasasah Isma’iliyan, Qum
- Khalifah bin Hayath al-‘Ashfari, Tārikh Khalifah bin Hayāth, Riset oleh Sahil Zakar, Dar al-Fikr, Beirut
- Dzakiri, Simāi Karguzārān Imām Ali As, Intisyarat Daftar Tablighat, Qum
- Rey Syahri, Mausu’ah al-Imām Ali bin Abi Thalib, Dar al-Hadits, Qum
- Rasyid Ridha, Tafsir al-Manār, Dar al-Ma’rifah, Beirut
- Zamakhsyari, Al-Kassyāf ‘an Haqāiq al-Tanzil, Maktabah al-Babi Halabi, Kairo
- Thabari, Tārikh Thabari, Muasasah A’lami, Beirut
- Zubaidi, Tāj al-‘Ārus, Riset oleh Ali Syiri, Dar al-Fikri, Beirut
- Zarkili, Al-I’lām, Dar l ‘Ilm lil Malamin. Beirut
- Sayid Ibn Thawus, Iqbāl al-A’māl, Riset oleh Jawad Quyumi, Maktab I’lam al-Islami
- Sayid Qutb, Fi Zhilāl al-Qur’an, Dar al Syuruq, Beirut
- Suyuthi, Al-Durr al-Mantsur, Dar Ma’rifah, Beirut
- Suyuthi, Al-Itqān fi 'Ulum al-Qur’ān, Riset oleh Sa’id Mandub, Dar al-Fikr, Beirut
- Sulaiman bin Abdul Wahab, Fashl al-Khitāb, Nukhbah al-Akhbar, Bombai.
- Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, Riset oleh Muhammad Sayid Kilani, Dar al-Ma’rifah, Beirut.
- Susytari, Ihqāq al-Haq, Maktabah, Ayatullah Mar’asyi, Qum.
- Susytari, Majālis al-Mukminin, Kitab Furusyi Islamiyah, Teheran.
- Syahidi, Sayid Ja’far, Ali az Zabān Ali, atau Zendegi Amirul Mukminin Ali As, Teheran, Nasyar Farhang Islami, 1379.
- Shaduq, Al-Hidāyah, Al-Hadi, Qum.
- Shaduq, ‘Uyun Akhbār al-Ridhā, Intanisyar A’lami, Teheran.
- Shaduq, Kamāl al-Din, Riset oleh Ali Akbar Ghifari, Jamiah Mudarisin, Qum.
- Dhamiri, Kitābsyenāsi Tafshili Madzāhib Islami, Muasasah Amuzesy Pazuhesyi Madzahib Islami, Qum.
- Thabarsi, Ihtijāj, Nasyar Murthadha, Masyhad.
- Thabarsi, Majma al-Bāyan, Muasasah A’lami, Beirut.
- Thabarsi, Jawāmi’ al Jāmi’, Riset oleh Muasasah Nasyar Islami, Jamiah Mudarisin, Qum.
- Thabari, Tārikh Thabari, Muasasah A’lami, Beirut.
- Thabathabai, Al-Mizān, Jamiah Mudarisin, Qum.
- Thusi, Mishbāh al-Mutahajjid, Muasasah Fiqh Syi’ah, Beirut.
- Thusi, Talkhish al-Shāfi, Riset oleh Sayid Husain Bahrul Ulu, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Teheran.
- Al-Qumi, Ali bin Ibrahim, Tafsir al-Qummi, Riset oleh Sayid Thaib Musawi, Dar al Kitab, Qum.
- Al-Qumi, Faidz Kasyani, Al-Haq al-Mubin, Riset oleh Sayid Thaib Musawi, Dar al Kitab, Qum.
- Faidh Kasyani, Tafsir al-Shāfi, Muasasah al-Hadi, Qum.
- Fahr al-Razi, Tafsir al-Rāzi, Dar Ihya al-Tarats, Beirut.
- Qadhi Qadha’i, Dastur Ma’ālim al-Hukm, Terjemah Firuz Harichi, Universitas Ulumul Hadist, Qum.
- Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Riset oleh Ahmad Abdul ‘Alim, Dar Ihya al-Tarats, Beirut.
- Qunduzi,Yanābi’ al-Mawaddah, Riset oleh Sayid Ali Jamal Asyraf, Dar al-Aswah, Teheran.
- Qumi, Safinah al-Bihār, Kitabkhaneh Shanai, Teheran.
- Kulaini, Al-Kāfi, Riset oleh Ali Akbar Ghifari, Dar al-Kutub Islamiyah, Teheran
- Kumpani, Ali Kist?, Dar al-Kutub Islamiyah, Teheran
- Ganji Syafi’i, Kifāyah al-Thālib, Dar al-Thalib al-Tarats, Beirut.
- Muttaqi Hindi, Kanz al-’Ummal, Muasasah al-Risalah, Beirut.
- Mahmudi, Nahj al-Sa’ādah fi Mustadrak Nahj al-Balāgha, Muasasah A’lami, Beirut.
- Mas’udi, Itsbāt al Washayah lil Imam Ali bin Abi Thalib, Dar al Adhwa, Beirut.
- Muslim Naisyaburi, Shahih Muslim, Dar al Fikri, Beirut
- Mahmudi, Nahj al-Sa’ādah fi Mustadrak Nahj al-Balāgha, Muasasah A’lami, Beirut.
- Majlisi, Mir'āt al-Uqul, Dar al Kitab Islamiyah, Teheran.
- Majlisi, Bihār al-Anwār, Muasasah al Wafa, Beirut.
- Mas’udi, Muruj al-Dzahab wa Ma’ādin al-Jawāhir, Terjemah Abul Qasim Paibandih, Intisyarat Ilmi wa Farhanggi, Teheran.
- Mufid, Jamal, Terjemah Mahdawi Damghani, Nasyar Nei, Teheran.
- Mufid, Āmāli, Riset oleh Ali Akbar Ghaffari, Dar al-Mufid, Beirut.
- Mufid, Ikhtishāsh, Riset oleh Ali Akbar Ghaffari, Dar al-Mufid, Beirut.
- Mufid, Irsyād, Muasasah Ali al-Bait, Qum.
- Nuri, Mustadrak al-Wasāil, Muasasah Alu al-Bait, Beirut.
- Nahj al-Balāgha, Subhi Salehi.
- Waqidi, Al-Maghāzi, Alim al-Kitab, Beirut.
- Haitsami, Al-Shawāiq al-Muhriqah, al-Maktab al-‘Ashriyah, Beirut.
- Ya’qubi (Ibn Wadhih), Ahmad bin Abi Ya’qubi, Tārikh Ya’qubi, Terjemah Muhammad Ibrahim Ayati, Banggah Tarjumeh wa Nasyar Kitab, 1378 S.