Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Syahid. Show all posts
Showing posts with label Syahid. Show all posts

Apa yang menjadi sebab Rasulullah Saw mati diracun?


Pada masa belia, saya mendengar bahwa Rasulullah Saw mati diracun (syahid). Belakangan saya membaca sebuah artikel yang menegaskan masalah ini. Namun hal ini tidak membuat saya puas. Saya ingin mencari tahu benar tidaknya masalah ini?

Jawaban Global:
Banyak dalil yang termaktub dalam kitab-kitab hadis dan sejarah, baik Syiah atau pun Sunni yang menegaskan ihwal kesyahidan Nabi Saw akibat diracun. Namun poin berikut ini juga harus diperhatikan bahwa apabila kesyahidan kita definisikan yang bermakna terbunuh di jalan Allah dan rasul sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur'an, maka akan menjadi jelas bahwa kedudukan dan derajat pribadi Rasulullah Saw yang terbunuh di jalan ketaatan adalah kesyahidan, dimana derajat ini tentu akan lebih tinggi dari derajat dan kedudukan para syuhada. Meski insan Ilahi ini wafat dengan kematian yang wajar.

Jawaban Detil:
Pertanyaan Anda dapat ditelisik dalam dua pandangan:
1. Apakah dapat dijumpai dalil yang dapat diandalkan dalam kitab Syiah dan Sunni yang menyatakan kesyahidan Nabi Saw? Di samping itu, kalau memang dinyatakan bahwa Nabi Saw syahid lalu bagaimana beliau syahid?
2. Apakah asumsi yang menyatakan bahwa Nabi Saw tidak syahid, akan mengurangi kedekatan dan ketinggian derajat beliau di sisi Allah?!

Atas alasan ini, kita akan mengkaji dua permasalahan ini sebagai berikut:
1. Dalam kaitannya dengan bagian pertama, harus dikatakan bahwa terdapat banyak dalil yang menegaskan kesyahidan Nabi Saw akibat diracun. Dalil-dalil dan riwayat-riwayat ini memiliki makna tawatur di dalamnya. Artinya kendati lafaz-lafaz dan sifat-sifat dalil dan riwayat tersebut sama sekali tidak serupa dengan yang lain, namun secara keseluruhan, permasalahan yang menjadi obyek pembahasan dapat ditetapkan. Di sini kita akan menyebutkan sebagian riwayat ini dengan bersandar pada kitab-kitab dua mazhab:
a. Kitab-kitab Syiah:
Riwayat pertama: Imam Shadiq bersabda: "Karena Nabi Saw menyukai bagian kaki depan kambing, seorang wanita Yahudi dengan berbekal informasi ini, membubuhkan racun pada bagian kambing tersebut."[1] 
Dalam riwayat ini, ditegaskan bahwa Nabi Saw diracun, namun tidak disebutkan bahwa apakah Rasulullah Saw syahid lantaran racun ini?

Riwayat kedua: Imam Shadiq As bersabda: "Nabi Saw dalam perang Khaibar keracunan dan tatkala beliau wafat bersabda bahwa potongan daging yang beliau santap tatkala di Khaibar, kini mengoyak badanku dan tiada nabi dan khalifah nabi kecuali mereka syahid meninggalkan dunia ini."[2] 

Dalam riwayat ini di samping ditegaskan bahwa Nabi Saw keracunan dan kesyahidan beliau akibat racun, juga menyebutkan kaidah universal bahwa kematian seluruh nabi dan para washi (baca: khalifah) diakhiri dengan syahadah. Dan tidak satu pun dari mereka meninggalkan dunia ini dengan wajar! Terdapat riwayat-riwayat lain yang menguatkan kaidah universal ini.[3] 

Kebanyakan ulama Syiah dengan memanfaatkan kaidah universal ini, sehingga tidak merasa perlu lagi mencari dan menelusuri satu demi satu riwayat yang berkaitan dengan syahadah para maksum As.[4] Atas dasar ini, kendati tidak ditunjukkan dalil kokoh atas kesyahidan Nabi Saw, namun kita kembali dapat meyakini bahwa wafatnya Rasulullah Saw bukanlah kematian yang wajar!

b. Kitab-kitab Sunni:
Dalam masalah ini, tidak hanya Syiah yang meyakini ihwal kesyahidan Rasulullah Saw, namun terdapat banyak riwayat dalam kitab-kitab Sihah Sunni dan kitab lainnya yang menegaskan masalah ini. Dimana sebagai contoh kami akan menyebutkan dua riwayat di sini sebagai contoh:
Riwayat pertama: Dari kitab paling standar Sunni dinukil bahwa Rasulullah Saw dalam sakitnya berujung pada wafatnya beliau, bersabda kepada istrinya Aisya: "Aku senantiasa merasakan sakit pada badanku akibat makanan beracun yang aku santap di Khabiar dan kini nampaknya tiba saatnya racun tersebut mengakhiri hidupku."[5]

Masalah ini juga dijelaskan pada Sunan Dairami, di samping itu dalam kitab ini disebutkan kesyahidan sebagian sahabat Nabi Saw akibat santapan makanan beracun tersebut."[6]

Riwayat kedua: Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya mengisahkan sebuah peristiwa dimana sebagai kelanjutan dari peristiwa ini seorang wanita bernama Ummu Mubasyir dimana putranya syahid karena menyantap makanan beracun di samping Rasulullah Saw. Pada hari-hari sakit Rasulullah Saw sang ibu datang membesuknya dan mengungkapkan bahwa kemungkinan besar penyakit Anda bersumber dari makanan beracun yang membuat putra saya syahid lantaran meyantap makanan tersebut! 
Rasulullah Saw bersabda bahwa saya tidak melihat alasan lain dari sakitku kecuali karena keracunan dan nampaknya racun tersebut yang akan mengakhiri hidupku."[7]

Allamah Majlisi dengan menukil sebuah riwayat; kurang-lebihnya serupa dengan riwayat ini bahwa atas alasan ini kaum Muslimin meyakininya, di samping keutamaan kenabian yang menuntun mereka kepada Nabi Saw, mereka juga meyakini bahwa Rasulullah Saw meraih kemenangan dengan syahadah."[8]

Riwayat ketiga: Muhammad bin Sa'ad yang merupakan salah seorang sejarawan tertua kaum Muslimin menuturkan peristiwa keracunannya Rasulullah Saw: Tatkala Rasulullah Saw menaklukkan Khaibar dan kondisi kembali kepada kondisi normal, seorang wanita Yahudi bernama Zainab yang merupakan kemenakan Mirhab yang tewas pada peperangan Khaibar. Wanita tersebut di sana-sini mencari tahu bahwa bagian kambing yang mana yang paling digemari Nabi Saw? 
Dan wanita tersebut mendengar jawaban bahwa Nabi Saw paling menyukai kedua paha bagian depan. Kemudian wanita tersebut memotong seekor kambing dan memotong-motongnya. Setelah bermusyawarah dengan orang-orang Yahudi tentang jenis racun, mereka memilih racun yang diyakini sebagai racun mematikan dan tiada seorang pun yang akan selamat dari racun mematikan tersebut.

Kemudian potongan daging tersebut ia berikan racun dan potongan terbesarnya yaitu bagian paha depan (kambing tersebut) yang paling banyak dibubuhi racun. Tatkala matahari tenggelam Nabi Saw menunaikan shalat secara berjamaah. Ketika pulang Nabi Saw melihat wanita Yahudi tersebut sedang duduk! 
Nabi Saw bertanya mengapa ia duduk di tempat itu dan wanita tersebut berkata bahwa ia membawa sebuah hadiah untuk Nabi Saw! Nabi Saw menerima hadiah tersebut dan duduk di atas suprah disertai beberapa orang sahabat kemudian menyantap makanan tersebut. Tidak lama berselang, Rasulullah Saw berseru, "Tahan!" 
Nampaknya kambing ini telah dibubuhi racun! 
Kemudian pengarang kitab menyimpulkan bahwa kesyahidan Nabi Saw lantaran makanan beracun ini![9]

Dengan demikian dari keseluruhan riwayat yang dinukil dari kitab Syiah dan Sunni, menguatkan teori tentang kesyahidan Nabi Saw akibat keracunan dimana hampir seluruh riwayat ini, masa keracunan dijelaskan bersamaan dengan perang Khaibar dan dilakukan oleh seorang wanita Yahudi.

Namun tentu saja terdapat sebagian riwayat lemah lainnya menjelaskan bagaimana Nabi Saw syahid dan faktor kesyahidan beliau. Riwayat-riwayat semacam ini tidak tersedia dalam kitab-kitab standar. Dan atas alasan ini, riwayat-riwayat tersebut tidak dapat dijadikan sandaran.

2. Namun dengan adanya riwayat semacam ini, harus kita ketahui bahwa masalah kesyahidan Nabi Saw bukan merupakan ushuluddin atau hal-hal yang gamblang tentangnya sehingga harus diyakini dan diimani. Dan pengingkaran terhadapnya tidak akan menyebabkan keluarnya seseorang dari agama Islam alias murtad. Atas alasan ini juga, sebagian kecil kaum Muslimin meragukan kesyahidan Rasulullah Saw dan berpandangan bahwa wafatnya Nabi Saw dikarenakan faktor natural. Seperti mengidap penyakit radang selaput dada (dzat al-janb) atau panas tinggi.[10] 
Meski Nabi Saw menegaskan bahwa sekali-kali beliau tidak akan pernah mengidap penyakit semacam ini![11]

Bagaimanapun; apakah insan agung Ilahi ini syahid atau wafat secara wajar kita harus tahu bahwa kedudukan dan derajatnya, sangat tinggi dan unggul dari para syahid biasa. Karena Allah Swt dalam al-Qur'an, 
Pertama, "Menjelaskan kedudukan para nabi lebih tinggi dari kedudukan para syuhada.[12] 
Kedua, syuhada mengorbankan jiwanya di jalan ketaatan kepada Allah Swt dan Rasulullah Saw, mereka meraih kedudukan dan kedekatan di sisi Allah Swt. Adalah jelas bahwa apabila Tuhan menganugerahkan rahmat tak-terbatas kepada para syuhada lantaran kepatuhan mereka kepada Rasulullah Saw. Maka tentu saja Nabi Saw sendiri memiliki kedudukan dan derajat yang sangat tinggi melebihi mereka. Karena itu, nabi kita (yang menghabiskan seluruh hidupnya di jalan Allah sehingga para muridnya memiliki kedudukan sedemikian tinggi di sisi Allah Swt), bukan hanya tidak mendapatkan kedudukan namun beliau meraih derajat dan kedudukan yang sangat tinggi melebihi para syuhada.[]

Rujukan:
[1]. Muhammad Ya'qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 6, hal. 315, hadits ke-3, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
[2]. Muhammad bin Hasan bin Furukh Shafar, Bashâir al-Darâjât, jil. 1, hal. 503, Kitab Khane Ayatullah Mar'asyi, Qum, 1404 H.
[3]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 27, hal. 216, hadits ke-18, dan jil. 44, hal. 271, riwayat ke-4, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
[4]. Ibid.
[5]. Shahih Bukhâri, jil. 5, hal. 137, Dar al-Fikr, Beirut, 1401 H.
[6]. Sunan Dairami, jil. 1, hal. 33, Mathbaqat al-I'tidal, Damsyq.
[7]. Musnad Ahmad bin Hanbal, jil. 6, hal. 18, Dar Shadir, Beirut.
[8]. Bihâr al-Anwâr, jil. 21, hal. 7
[9]. Muhammad bin Sa'ad, al-Thabaqât al-Kubrâ, jil. 2, hal. 201-202, Dar Shadir, Beirut. [9]
[10]. Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balâgha, jil. 10, hal. 266, Kitab Khane Ayatullah Mar'asyi, Qum, 1404.
[11]. Ibid.
[12]. "Dan barang siapa yang menaati Allah dan rasul-(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddîqîn, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." (Qs. Al-Nisa [4]:69). Silahkan lihat, terjemahan al-Mizan, jil. 4, hal. 652. Tafsir Nemune, jil. 3, hal. 460.

Syahid Al-Mihrab Ali bin Abi Thalib as






Seseorang berkata kepadanya, “Kamu pasti mati.” Dia menjawab, “Tidak sekedar mati, tetapi sebuah tikaman di atas ini –dia menunjuk ke ubun-ubunnya- dan darah mengalir ke sini –dia menunjuk jenggotnya.” Orang ini tidak hanya yakin dirinya mati, lebih dari itu dia tahu sebab kematiannya, sebuah sebab biadab akibat dari dorongan kebodohan terhadap agama, namun laki-laki besar ini sama sekali tidak gentar, tak sebersit pun terlihat rasa takut di paras wajahnya, dia mana kenal takut atau gentar, kan ibunya telah menamakannya dengan Haedar, singa.  Nabi shallallohu ‘alaihi wa aalihi wasallam telah menyampaikan berita gembira kepadanya bahwa dia akan gugur sebagai syahid, dia tidak melupakan berita gembira tersebut selama-lamanya, dia sangat yakin bahwa dia akan terbunuh sebagai syahid sepanjang apa pun umurnya. Laki-laki itu adalah menantu Rasulullah dan suami putri beliau Fatimah, Ali bin Abu Thalib.


Dari Zaid bin Wahab berkata, Ali mendatangi suatu kaum dari Khawarij di Bashrah, di antara mereka terdapat seorang laki-laki bernama al-Ja’ad bin Ba’jah, dia berkata kepada Ali, “Bertakwalah kepada Allah, karena kamu mati.” Ali menjawab, “Tidak, akan tetapi terbunuh, sebuah tikaman di atas ini –Ali menunjuk ubun-ubunya- dan darah menetes ke ini –Ali menunjuk jenggotnya- perjanjian yang pasti terwujud, ketetapan yang pasti terlaksana dan sungguh merugi orang yang berdusta.”

Dari Abu Mijlaz berkata, seorang laki-laki dari kabilah Murad datang kepada Ali yang sedang shalat di masjid, dia berkata, “Berhati-hatilah karena beberapa orang dari Murad ingin membunuhmu.” Maka Ali menjawab, “Setiap orang didampingi oleh dua malaikat yang menjaganya dari apa yang tidak ditakdirkan kepadanya, jika takdir telah tiba maka keduanya akan membiarkannya dengan takdirnya, sesungguhnya ajal merupakan tameng yang kokoh.”

Al-Ashbagh al-Hanzhali berkata, di malam di mana Ali ditikam, dia didatangi oleh Ibnu at-Tayyah pada saat fajar terbit untuk mengajaknya shalat, pada saat itu Ali sedang berbaring bermalas-malasan, maka Ibnu at-Tayyah kembali untuk kedua kalinya sedangkan Ali masih demikian, kemudian Ibnu at-Tayyah mengulangnya ketiga kalinya, maka Ali berdiri dan berjalan sambil mengucapkan, Kuatkanlah tekadmu untuk menghadapi kematian Karena kematian pasti menjumpaimu Jangan takut kepada kematian Jika ia datang mengetuk rumahmu.

Tiga orang Khawarij berkumpul, mereka adalah Abdurrahman bin Muljam, al-Barak bin Abdullah dan Amru bin Bakr at-Taimi, mereka membicarakan keadaan kaum muslimin dan mereka mencela para pemimpin, kemudian mereka menyinggung orang-orang yang gugur dalam peristiwa an-Nahr, maka mereka mendoakan kepada Allah semoga Dia merahmati, mereka berkata, “Kita tidak melakukan apa pun terhadap kehidupan setelah mereka. Saudara-saudara kita di mana mereka adalah para penyeru manusia agar beribadah kepada Allah, mereka tidak takut karena Allah kepada celaan orang yang mencela, alangkah baikya kalau kita menjual diri kita, kita datangi para pemimpin sesat itu lalu kita membunuh mereka sehingga negera bisa beristirahat dari mereka dan kita bisa membalas dendam dari mereka untuk saudara-saudara kita.”

Ibnu Muljam berkata, “Aku yang menangani Ali bin Abu Thalib.” Al-Barak berkata, “Aku membunuh Muawiyah.” Amru bin Bakr berkata, “Aku membunuh Amru bin al-Ash.” Selanjutnya mereka berjanji dan berikrar tidak akan mundur apa pun resikonya sehingga mereka berhasil membunuh sasarannya masing-masing atau mereka yang terbunuh. Lalu mereka menyiapkan pedang mereka, mereka melumurinya dengan racun, mereka sepakat bahwa tanggal pelaksanaan rencana mereka adalah lima belas Ramadhan tahun 40 H, setiap orang harus menghabisi orang yang menjadi sasarannya, selanjutnya masing-masing dari mereka berangkat ke kota di mana sasarannya berada.

Ibnu Muljam yang mempunyai pendukung dari suku Kindah pergi ke Kufah, dia tidak mengatakan apa pun kepada saudara-saudaranya di sana karena dia khawatir rahasianya terbongkar, di Kufah terdapat sepuluh orang Taim ar-Rabab, di antara mereka terdapat seorang wanita yang dipanggil dengan Qitham binti asy-Syajnah, Ali telah membunuh bapaknya dan saudaranya pada perang an-Nahr, wanita ini sangat cantik, ketika Ibnu Muljam melihatnya maka dia terpesona dengannya sehingga dia hampir melalaikan niat yang membuatnya datang ke Kufah, Ibnu Muljam melamarnya, maka wanita itu berkata, “Aku tidak menerima lamaranmu sebelum kamu memenuhi keinginanku.” Ibnu Muljam bertanya, “Apa keinginanmu?” Dia menjawab, “Tiga ribu, seorang hamba sahaya dan seorang wanita penyanyi serta nyawa Ali bin Abu Thalib.” Ibnu Muljam menjawab, “Ia adalah mahar untukmu. Adapun Ali maka aku tidak melihatmu menyebutnya untukku sedangkan kamu menginginkanku.” Dia berkata, “Carilah kelengahannya, jika kamu berhasil membunuhnya maka dirimu dan diriku akan puas dan kamu pun bisa hidup tenang bersamaku, jika kamu terbunuh maka apa yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih kekal daripada dunia dan perhiasannya dan perhiasan penghuninya.” Ibnu Muljam berkata kepadanya, “Demi Allah, aku tidak datang ke kota ini kecuali dengan maksud itu.”

Lalu wanita ini memilihkan seorang laki-laki dari kaumnya untuk membantunya dan Ibnu Muljam juga memilih orang satu lagi untuk membantunya. Di malam Jum’at 15 Ramadhan tahun 40 H, mereka mengintai Ali, ketika Ali keluar untuk shalat Shubuh, Ibnu Muljam menikamkan pedangnya ke ubun-ubun Ali sambil berkata, “Hukum itu milik Allah, bukan milikmu dan kawan-kawanmu.” Maka orang-orang yang sedang berada di masjid terkejut.

Akhirnya Imam kita ini menghadap kepada Tuhannya karena sebuah tebasan pedang beracun, sebagaimana yang dialami sebelumnya oleh al-Faruq yang juga gugur karena tikaman pisau berujung ganda. Dalam kondisi sangat kritis ini dia masih meminta orang-orang yang membawanya dan orang-orang yang mengerumuninya agar pergi ke masjid sehingga mereka tetap mendapatkan shalat Shubuh berjamaah sebelum ia berlalu, shalat inilah yang hendak dilaksanakan Ali, namun pembunuhan keji yang penuh dosa menghalangi Ali untuk menghadirinya atau menyempurnakannya, ketika orang-orang sudah menyelesaikan shalat, mereka kembali kepadanya sebagaimana dia sendiri kembali pada saat yang sama, sebagian kaum muslimin masih memegang sang pembunuh, Abdullah bin Muljam, pada saat itu Imam kita ini membuka matanya, kedua matanya tertuju kepada Ibnu Muljam, dia menggelengkan kepadanya dengan penuh penyesalan ketika dia mengenalinya, dia berkata, “Apakah kamu pelakunya? Selama ini aku telah berbuat baik kepadamu.”

Pahlawan besar ini memandang anak-anaknya dan kawan-kawannya sekilas, dia melihat wajah-wajah yang memendam amarah, menahan balas dendam, dia melihat aroma kematian mengalir di persendiannya, dia hampir memastikan nasib yang akan menimpa Ibnu Muljam, sebuah balas dendam yang sangat mengerikan yang akan dilakukan oleh anak-anaknya dan rekan-rekannya, maka dia melangkah dengan teguh untuk memberikan perlindungan kepada pembunuhnya dari kezhaliman atau pelanggaran terhadap batasan-batasan qishash yang disyariatkan. Dia memanggil mereka kepadanya, kata-kata itu keluar dari mulutnya dengan tersendat dan terbata-bata untuk menggariskan keagungan manusiawi yang diberikan oleh al-Qur`an kepada Ali dalam sebuah lembaran yang cemerlang.

Ali berkata kepada anak-anak dan keluarganya, “Perlakukan dia dengan baik, sikapilah dengan mulia. Jika aku hidup maka aku yang lebih berhak atasnya, qishash atau maaf. Jika aku mati maka susulkanlah dia denganku, aku akan memperkarakannya di sisi Rabb alam semesta. Jangan membunuh siapa pun selainnya karenaku, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

Para ahli sejarah berkata, Abdurrahman bin Muljam menikamnya di Kufah pada hari Jum’at ketika bulan Ramadhan menyisakan tiga belas malam. Ada yang berkata, malam dua puluh satu darinya tahun empat puluh. Ali bertahan dua hari, Jum’at dan Sabtu dan meninggal di malam Ahad, dimandikan oleh kedua anaknya dan Abdullah bin Ja’far, al-Hasan menshalatkannya dan dimakamkan di waktu sahur. Allah meridhainya dan seluruh sahabat Rasulullah.

Wallahu a’lam.
Summer Ramadhan 19th@1433H
Tetap SEMANGAT Tetap SHALAWAT

~♥~اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ~♥~

__________________________


Pada waktu subuh, hari ke 19 bulan suci Ramadhan, setelah azan subuh dikumandangkan Imam Ali memasuki masjid dan suara beliau yang indah terdengar membangunkan orang-orang yang tertidut di dalamnya. “Ayuhan naas, assholah”, wahai manusia, waktu sholat telah tiba bangkitlah!
 
________________
Pada tahun ke empat puluh, sekelompok dari kaum Khawarij berkumpul di kota Makkah dan menagisi orang-orang yang terbunuh pada peperangan Nahrawan. Tiga orang dari mereka satu sama lainnya saling mengikat janji untuk membunuh Amirul mukmini Ali as, Amru bin Ash dan Muawiah, pada satu malam yang sama. 


Ibnu Muljam mendapat tugas untuk membunuh Ali as dan telah memasuki kota Kuffah. Dengan dibantu oleh seorang perempuan bernama Qutham bunti Akhdor, dan Ibnu Muljam dijanjikan akan menikah dengannya, juga dibantu oleh Syabib bin Bajrah dan Wardan bin Mujalah, rencana itupun disususn dan dilakukan. 

Pada tanggal 13 bulan Ramadhan tahun 40 H, Imam Ali as setelah menyekesaikan peperangan Nahrawan, telah mendapat berita akan kesyahidannya[1]. Pada hari itu beliau berdiri di atas mimbar, menyampaikan ajaran-ajaran islam dan setelah menjelaskan kebenaran-kebenaran akan hakekat islam, beliau bersabda kepada anak sulungnya Imam Hasan as: hingga saat ini berapa hari dari bulan Ramadhan telah lewat? 

Imam hasan berkata: telah lewat 13 hari, kemudian beliau bertanya kepada Imam Husain: kemudian berapa hari tersisa? Imam Husain berkata: Tersisa tinggal 17 hari. Ketika itu Amirul Mukminin mengusap hiasannya yang mulia (jenggotnya) dan bersabda: sudah dekat waktunya rambutku ini tersimbahkan dengan darah .

Pada malam ke 16 bulan Ramadhan tahun 40 H, Imam Ali as bermimpi bertemu dengan Rasulullah saww, dan beliau memberi kabar gembira kepada Amirul Mukminin  akan kedekatan waktunya untuk bertemu dengan beliau di surga. Kemudian beliau memberitahu kepada putrinya Ummu Kulsum. [2] Dan pada malam ke 19 ia akan berbuka puasa di rumahnya.[3] 
  
Pada malam 19 bulan Ramadhan tahun 40 H, dua orang bernama Wardan dan Syabib, keduanya bersama Ibnu Muljam ikut andil dalam mensyahadahkan Amirul Mukminin as, dan keduanya mati terbunuh dalam pertengkaran.[4]

Pada waktu subuh, hari ke 19 bulan suci Ramadhan, setelah azan subuh dikumandangkan Imam Ali memasuki masjid dan suara beliau yang indah terdengar membangunkan orang-orang yang tertidur di dalamnya. “Ayuhan naas, assholah”, wahai manusia, waktu sholat telah tiba bangkitlah!
  
Kemudian beliau memulai sholatnya. Ketika pada rakat pertama beliau mengangkat kepala dari sujudnya Syabib melancarkan serangannya kepada Ali as, namun pedangnya terpeleset dan salah keluar dari sasaran, secara sontak Ibnu Muljam (semoga laknat Allah tercurah padanya) melancarkan serangannya dan pedangnya membelah bagian tengah kepala mulia Ali as dan jenggot mulia beliau bersimbahkan darah yang keluar dari kepala yang terbelah oleh pedang, dan suara sucinya terdengar keras: “Bismillah wa billah wa ala millati Rasulillah, fuztu wa rabbil Ka’bah”.  Dengan nama Allah, dan demi Allah, dan atas agama dan ajaran Rasulullah, aku telah jaya (menang, bebas) dan demi Tuhan Ka’bah.

Inna lillah wainna ilahi rajiuun


[1]Alwaqaai’u wal hawadis jilid 1, hal. 139, Mustadrak safinatul bihar, jilid 5, Hal. 213 [2]Irsyad: jilid 2, hal. 15, Alwaqaai’u wal hawadis, jilid 1, hal. 190
[3]Alwaqaai’u wal hawadis, jilid 1, hal. 242
[4]Nafaihul allaam, hal. 41

Tiga Pesan Seorang Syahid di Alam Mimpi yang Menjadi Nyata

Berjumpa dengan orang yang sudah meninggal dunia di alam mimpi sudah banyak kita dengar. Jika orang yang telah meninggal dunia itu adalah seorang yang gugur syahid di medan perang, maka tentu ini akan bermakna lain.


Adalah seorang bernama Muhammad Reza Sanggari. Ia adalah penulis buku Lahzeh-haye Asemani. Pada sebuah halaman di buku ini, ia berkisah berikut ini:

Pada suatu hari di bulan Muharam, saya berziarah kepada makam syuhada di pekuburan Behesht Ali. Salah satu syahid yang saya ziarahi adalah Syahid Hamid Mahmudnejad komandan Brigade Bilal bin Rabah. Saya duduk beberapa menit sembari mengomat-kamitkan mulut membacakan surah al-Fatihah.

Pada malam itu, saya bermimpin berjumpa dengan Syahid Mahmudnejad tersebut. Ia berkata, “Hai Polan! Saya minta kamu mengerjakan tiga hal.” “Silakan,” jawabku ringkas.

Pertama, katakan kepada teman-teman di daerah kita (daerah Ali Malik di kawasan Dizful) supaya tahun ini digelar peringatan duka (aza) Imam Husain as.

Kedua, sampaikanlah salamku kepada seseorang yang sekarang sedang bekerja di kantor walikota.
Ketiga, sampaikanlah pesanku ini kepadanya bahwa tidak lama lagi ia akan diserahi sebuah posisi penting. Ia harus tegar menerimanya.

Setelah bangun tidur di pagi hari, saya berangkat untuk melaksanakan permintaan syahid itu. Berkenaan dengan permintaan pertama, seluruh penghuni daerah merasa heran karena mereka memang sedang membahas untuk menggelar aza Imam Husain as.

Permintaan kedua dan ketiga pun saya sampaikan kepada orang yang sedang bekerja di kantor walikota itu. Setelah beberapa hari, ia memang diserahi posisi penting itu.

Sumber: Shabestan 

Terkait Berita: