Pesan Rahbar

Home » , , , » Syahid Al-Mihrab Ali bin Abi Thalib as

Syahid Al-Mihrab Ali bin Abi Thalib as

Written By Unknown on Wednesday 13 August 2014 | 00:38:00






Seseorang berkata kepadanya, “Kamu pasti mati.” Dia menjawab, “Tidak sekedar mati, tetapi sebuah tikaman di atas ini –dia menunjuk ke ubun-ubunnya- dan darah mengalir ke sini –dia menunjuk jenggotnya.” Orang ini tidak hanya yakin dirinya mati, lebih dari itu dia tahu sebab kematiannya, sebuah sebab biadab akibat dari dorongan kebodohan terhadap agama, namun laki-laki besar ini sama sekali tidak gentar, tak sebersit pun terlihat rasa takut di paras wajahnya, dia mana kenal takut atau gentar, kan ibunya telah menamakannya dengan Haedar, singa.  Nabi shallallohu ‘alaihi wa aalihi wasallam telah menyampaikan berita gembira kepadanya bahwa dia akan gugur sebagai syahid, dia tidak melupakan berita gembira tersebut selama-lamanya, dia sangat yakin bahwa dia akan terbunuh sebagai syahid sepanjang apa pun umurnya. Laki-laki itu adalah menantu Rasulullah dan suami putri beliau Fatimah, Ali bin Abu Thalib.


Dari Zaid bin Wahab berkata, Ali mendatangi suatu kaum dari Khawarij di Bashrah, di antara mereka terdapat seorang laki-laki bernama al-Ja’ad bin Ba’jah, dia berkata kepada Ali, “Bertakwalah kepada Allah, karena kamu mati.” Ali menjawab, “Tidak, akan tetapi terbunuh, sebuah tikaman di atas ini –Ali menunjuk ubun-ubunya- dan darah menetes ke ini –Ali menunjuk jenggotnya- perjanjian yang pasti terwujud, ketetapan yang pasti terlaksana dan sungguh merugi orang yang berdusta.”

Dari Abu Mijlaz berkata, seorang laki-laki dari kabilah Murad datang kepada Ali yang sedang shalat di masjid, dia berkata, “Berhati-hatilah karena beberapa orang dari Murad ingin membunuhmu.” Maka Ali menjawab, “Setiap orang didampingi oleh dua malaikat yang menjaganya dari apa yang tidak ditakdirkan kepadanya, jika takdir telah tiba maka keduanya akan membiarkannya dengan takdirnya, sesungguhnya ajal merupakan tameng yang kokoh.”

Al-Ashbagh al-Hanzhali berkata, di malam di mana Ali ditikam, dia didatangi oleh Ibnu at-Tayyah pada saat fajar terbit untuk mengajaknya shalat, pada saat itu Ali sedang berbaring bermalas-malasan, maka Ibnu at-Tayyah kembali untuk kedua kalinya sedangkan Ali masih demikian, kemudian Ibnu at-Tayyah mengulangnya ketiga kalinya, maka Ali berdiri dan berjalan sambil mengucapkan, Kuatkanlah tekadmu untuk menghadapi kematian Karena kematian pasti menjumpaimu Jangan takut kepada kematian Jika ia datang mengetuk rumahmu.

Tiga orang Khawarij berkumpul, mereka adalah Abdurrahman bin Muljam, al-Barak bin Abdullah dan Amru bin Bakr at-Taimi, mereka membicarakan keadaan kaum muslimin dan mereka mencela para pemimpin, kemudian mereka menyinggung orang-orang yang gugur dalam peristiwa an-Nahr, maka mereka mendoakan kepada Allah semoga Dia merahmati, mereka berkata, “Kita tidak melakukan apa pun terhadap kehidupan setelah mereka. Saudara-saudara kita di mana mereka adalah para penyeru manusia agar beribadah kepada Allah, mereka tidak takut karena Allah kepada celaan orang yang mencela, alangkah baikya kalau kita menjual diri kita, kita datangi para pemimpin sesat itu lalu kita membunuh mereka sehingga negera bisa beristirahat dari mereka dan kita bisa membalas dendam dari mereka untuk saudara-saudara kita.”

Ibnu Muljam berkata, “Aku yang menangani Ali bin Abu Thalib.” Al-Barak berkata, “Aku membunuh Muawiyah.” Amru bin Bakr berkata, “Aku membunuh Amru bin al-Ash.” Selanjutnya mereka berjanji dan berikrar tidak akan mundur apa pun resikonya sehingga mereka berhasil membunuh sasarannya masing-masing atau mereka yang terbunuh. Lalu mereka menyiapkan pedang mereka, mereka melumurinya dengan racun, mereka sepakat bahwa tanggal pelaksanaan rencana mereka adalah lima belas Ramadhan tahun 40 H, setiap orang harus menghabisi orang yang menjadi sasarannya, selanjutnya masing-masing dari mereka berangkat ke kota di mana sasarannya berada.

Ibnu Muljam yang mempunyai pendukung dari suku Kindah pergi ke Kufah, dia tidak mengatakan apa pun kepada saudara-saudaranya di sana karena dia khawatir rahasianya terbongkar, di Kufah terdapat sepuluh orang Taim ar-Rabab, di antara mereka terdapat seorang wanita yang dipanggil dengan Qitham binti asy-Syajnah, Ali telah membunuh bapaknya dan saudaranya pada perang an-Nahr, wanita ini sangat cantik, ketika Ibnu Muljam melihatnya maka dia terpesona dengannya sehingga dia hampir melalaikan niat yang membuatnya datang ke Kufah, Ibnu Muljam melamarnya, maka wanita itu berkata, “Aku tidak menerima lamaranmu sebelum kamu memenuhi keinginanku.” Ibnu Muljam bertanya, “Apa keinginanmu?” Dia menjawab, “Tiga ribu, seorang hamba sahaya dan seorang wanita penyanyi serta nyawa Ali bin Abu Thalib.” Ibnu Muljam menjawab, “Ia adalah mahar untukmu. Adapun Ali maka aku tidak melihatmu menyebutnya untukku sedangkan kamu menginginkanku.” Dia berkata, “Carilah kelengahannya, jika kamu berhasil membunuhnya maka dirimu dan diriku akan puas dan kamu pun bisa hidup tenang bersamaku, jika kamu terbunuh maka apa yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih kekal daripada dunia dan perhiasannya dan perhiasan penghuninya.” Ibnu Muljam berkata kepadanya, “Demi Allah, aku tidak datang ke kota ini kecuali dengan maksud itu.”

Lalu wanita ini memilihkan seorang laki-laki dari kaumnya untuk membantunya dan Ibnu Muljam juga memilih orang satu lagi untuk membantunya. Di malam Jum’at 15 Ramadhan tahun 40 H, mereka mengintai Ali, ketika Ali keluar untuk shalat Shubuh, Ibnu Muljam menikamkan pedangnya ke ubun-ubun Ali sambil berkata, “Hukum itu milik Allah, bukan milikmu dan kawan-kawanmu.” Maka orang-orang yang sedang berada di masjid terkejut.

Akhirnya Imam kita ini menghadap kepada Tuhannya karena sebuah tebasan pedang beracun, sebagaimana yang dialami sebelumnya oleh al-Faruq yang juga gugur karena tikaman pisau berujung ganda. Dalam kondisi sangat kritis ini dia masih meminta orang-orang yang membawanya dan orang-orang yang mengerumuninya agar pergi ke masjid sehingga mereka tetap mendapatkan shalat Shubuh berjamaah sebelum ia berlalu, shalat inilah yang hendak dilaksanakan Ali, namun pembunuhan keji yang penuh dosa menghalangi Ali untuk menghadirinya atau menyempurnakannya, ketika orang-orang sudah menyelesaikan shalat, mereka kembali kepadanya sebagaimana dia sendiri kembali pada saat yang sama, sebagian kaum muslimin masih memegang sang pembunuh, Abdullah bin Muljam, pada saat itu Imam kita ini membuka matanya, kedua matanya tertuju kepada Ibnu Muljam, dia menggelengkan kepadanya dengan penuh penyesalan ketika dia mengenalinya, dia berkata, “Apakah kamu pelakunya? Selama ini aku telah berbuat baik kepadamu.”

Pahlawan besar ini memandang anak-anaknya dan kawan-kawannya sekilas, dia melihat wajah-wajah yang memendam amarah, menahan balas dendam, dia melihat aroma kematian mengalir di persendiannya, dia hampir memastikan nasib yang akan menimpa Ibnu Muljam, sebuah balas dendam yang sangat mengerikan yang akan dilakukan oleh anak-anaknya dan rekan-rekannya, maka dia melangkah dengan teguh untuk memberikan perlindungan kepada pembunuhnya dari kezhaliman atau pelanggaran terhadap batasan-batasan qishash yang disyariatkan. Dia memanggil mereka kepadanya, kata-kata itu keluar dari mulutnya dengan tersendat dan terbata-bata untuk menggariskan keagungan manusiawi yang diberikan oleh al-Qur`an kepada Ali dalam sebuah lembaran yang cemerlang.

Ali berkata kepada anak-anak dan keluarganya, “Perlakukan dia dengan baik, sikapilah dengan mulia. Jika aku hidup maka aku yang lebih berhak atasnya, qishash atau maaf. Jika aku mati maka susulkanlah dia denganku, aku akan memperkarakannya di sisi Rabb alam semesta. Jangan membunuh siapa pun selainnya karenaku, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

Para ahli sejarah berkata, Abdurrahman bin Muljam menikamnya di Kufah pada hari Jum’at ketika bulan Ramadhan menyisakan tiga belas malam. Ada yang berkata, malam dua puluh satu darinya tahun empat puluh. Ali bertahan dua hari, Jum’at dan Sabtu dan meninggal di malam Ahad, dimandikan oleh kedua anaknya dan Abdullah bin Ja’far, al-Hasan menshalatkannya dan dimakamkan di waktu sahur. Allah meridhainya dan seluruh sahabat Rasulullah.

Wallahu a’lam.
Summer Ramadhan 19th@1433H
Tetap SEMANGAT Tetap SHALAWAT

~♥~اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ~♥~

__________________________


Pada waktu subuh, hari ke 19 bulan suci Ramadhan, setelah azan subuh dikumandangkan Imam Ali memasuki masjid dan suara beliau yang indah terdengar membangunkan orang-orang yang tertidut di dalamnya. “Ayuhan naas, assholah”, wahai manusia, waktu sholat telah tiba bangkitlah!
 
________________
Pada tahun ke empat puluh, sekelompok dari kaum Khawarij berkumpul di kota Makkah dan menagisi orang-orang yang terbunuh pada peperangan Nahrawan. Tiga orang dari mereka satu sama lainnya saling mengikat janji untuk membunuh Amirul mukmini Ali as, Amru bin Ash dan Muawiah, pada satu malam yang sama. 


Ibnu Muljam mendapat tugas untuk membunuh Ali as dan telah memasuki kota Kuffah. Dengan dibantu oleh seorang perempuan bernama Qutham bunti Akhdor, dan Ibnu Muljam dijanjikan akan menikah dengannya, juga dibantu oleh Syabib bin Bajrah dan Wardan bin Mujalah, rencana itupun disususn dan dilakukan. 

Pada tanggal 13 bulan Ramadhan tahun 40 H, Imam Ali as setelah menyekesaikan peperangan Nahrawan, telah mendapat berita akan kesyahidannya[1]. Pada hari itu beliau berdiri di atas mimbar, menyampaikan ajaran-ajaran islam dan setelah menjelaskan kebenaran-kebenaran akan hakekat islam, beliau bersabda kepada anak sulungnya Imam Hasan as: hingga saat ini berapa hari dari bulan Ramadhan telah lewat? 

Imam hasan berkata: telah lewat 13 hari, kemudian beliau bertanya kepada Imam Husain: kemudian berapa hari tersisa? Imam Husain berkata: Tersisa tinggal 17 hari. Ketika itu Amirul Mukminin mengusap hiasannya yang mulia (jenggotnya) dan bersabda: sudah dekat waktunya rambutku ini tersimbahkan dengan darah .

Pada malam ke 16 bulan Ramadhan tahun 40 H, Imam Ali as bermimpi bertemu dengan Rasulullah saww, dan beliau memberi kabar gembira kepada Amirul Mukminin  akan kedekatan waktunya untuk bertemu dengan beliau di surga. Kemudian beliau memberitahu kepada putrinya Ummu Kulsum. [2] Dan pada malam ke 19 ia akan berbuka puasa di rumahnya.[3] 
  
Pada malam 19 bulan Ramadhan tahun 40 H, dua orang bernama Wardan dan Syabib, keduanya bersama Ibnu Muljam ikut andil dalam mensyahadahkan Amirul Mukminin as, dan keduanya mati terbunuh dalam pertengkaran.[4]

Pada waktu subuh, hari ke 19 bulan suci Ramadhan, setelah azan subuh dikumandangkan Imam Ali memasuki masjid dan suara beliau yang indah terdengar membangunkan orang-orang yang tertidur di dalamnya. “Ayuhan naas, assholah”, wahai manusia, waktu sholat telah tiba bangkitlah!
  
Kemudian beliau memulai sholatnya. Ketika pada rakat pertama beliau mengangkat kepala dari sujudnya Syabib melancarkan serangannya kepada Ali as, namun pedangnya terpeleset dan salah keluar dari sasaran, secara sontak Ibnu Muljam (semoga laknat Allah tercurah padanya) melancarkan serangannya dan pedangnya membelah bagian tengah kepala mulia Ali as dan jenggot mulia beliau bersimbahkan darah yang keluar dari kepala yang terbelah oleh pedang, dan suara sucinya terdengar keras: “Bismillah wa billah wa ala millati Rasulillah, fuztu wa rabbil Ka’bah”.  Dengan nama Allah, dan demi Allah, dan atas agama dan ajaran Rasulullah, aku telah jaya (menang, bebas) dan demi Tuhan Ka’bah.

Inna lillah wainna ilahi rajiuun


[1]Alwaqaai’u wal hawadis jilid 1, hal. 139, Mustadrak safinatul bihar, jilid 5, Hal. 213 [2]Irsyad: jilid 2, hal. 15, Alwaqaai’u wal hawadis, jilid 1, hal. 190
[3]Alwaqaai’u wal hawadis, jilid 1, hal. 242
[4]Nafaihul allaam, hal. 41
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: