Oleh: Ust. Idrus Ramli.
WAHABI: “Sering kita
dapati sebagian ustadz atau kiyai yang mengatakan, “Tahlilan kok
dilarang?, tahlilan kan artinya Laa ilaah illallahh?”. Tentunya tidak
seorang muslimpun yang melarang tahlilan, bahkan yang melarang tahlilan
adalah orang yang tidak diragukan kekafirannya. Akan tetapi yang
dimaksud dengan istilah “Tahlilan” di sini adalah acara yang dikenal
oleh masyarakat yaitu acara kumpul-kumpul di rumah kematian sambil
makan-makan disertai mendoakan sang mayit agar dirahmati oleh Allah.
Lebih aneh lagi jika ada yang melarang tahlilan langsung dikatakan “Dasar wahabi”..!!!
Seakan-akan pelarangan melakukan acara tahlilan adalah bid’ah yang dicetus oleh kaum wahabi !!?”
SUNNI: “Kenyataan di lapangan, yang sangat ngotot memerangi Tahlilan adalah kaum Wahabi, bukan selain Wahabi. Terus mau apalagi?”
WAHABI: “Sementara para pelaku acara tahlilan
mengaku-ngaku bahwa mereka bermadzhab syafi’i !!!. Ternyata para ulama
besar dari madzhab Syafi’iyah telah mengingkari acara tahlilan, dan
menganggap acara tersebut sebagai bid’ah yang mungkar, atau minimal
bid’ah yang makruh. Kalau begitu para ulama syafi’yah seperti Al-Imam
Asy-Syafii dan Al-Imam An-Nawawi dan yang lainnya adalah wahabi??!!”
SUNNI: “Sudah kami katakan berulang kali, bahwa para
ulama Syafi’iyah hanya memakruhkan selamatan/kenduri kematian. Dan
makruhnya masih makruh tanzih, bukan tahrim. Para ulama Salaf, dan
madzahibul arba’ah (madzhab empat), tidak ada yang mengharamkan kenduri
kematian dan Tahlilan. Jadi mereka sepakat tidak mengharamkan.
Imam al-Syafi’i dan Imam al-Nawawi, dengan pendapatnya tersebut bukan
Wahabi. Beliau berdua sepakat membagi bid’ah menjadi dua, hasanah dan
sayyi’ah, bertabaruk, bertawasul dan beristighatsah dan lain-lain yang
dikafirkan dan disyirikkan oleh kaum Wahabi.
Anda perlu mempelajari teori bermadzhab. Agar mengerti hakikat
bermadzhab, dan tidak dengan mudah menyalahkan orang karena tidak
konsisten dalam bermadzhab. Sehingga tulisan Anda menjadi bahan
tertawaan kalangan berilmu.”
WAHABI: “Ijmak Ulama bahwa Nabi, para sahabat, dan para imam madzhab tidak pernah tahlilan.
Tentu sangat tidak diragukan bahwa acara tahlilan –sebagaimana acara
maulid Nabi dan bid’ah-bid’ah yang lainnya- tidaklah pernah dilakukan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak juga para sahabatnya,
tidak juga para tabi’in, dan bahkan tidak juga pernah dilakukan oleh 4
imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafii, dan Ahmad
rahimahumullah).”
SUNNI: “Anda mengatakan hal tersebut sebagai ijma’, pertanyaan kami,
kitab apa yang menjadi dasar rujukan Anda??? Jelasnya, Nabi SAW, sahabat
dan ulama Salaf telah berijma’ tidak mengharamkan kenduri kematian dan
Tahlilan, bahkan sebagian menganjurkan sebagaimana kami tulis dalam
catatan sebelumnya.”
WAHABI: “Istri Nabi SAW yang sangat beliau cintai Khodijah
radhiallahu ‘anhaa juga meninggal di masa hidup beliau, akan tetapi sama
sekali tidak beliau tahlilkan. Jangankan hari ke-3, ke-7, ke-40,
ke-100, ke-1000 bahkan sehari saja tidak beliau tahlilkan. Demikian juga
kerabat-kerabat beliau yang beliau cintai meninggal di masa hidup
beliau, seperti paman beliau Hamzah bin Abdil Muthholib, sepupu beliau
Ja’far bin Abi Thoolib, dan juga sekian banyak sahabat-sahabat beliau
yang meninggal di medan pertempuran, tidak seorangpun dari mereka yang
ditahlilkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
SUNNI: “Anda selalu berdalil dengan teori tarku, Nabi SAW tidak
mengerjakan ini dan itu. Sekarang kami bertanya kepada Anda, apakah Nabi
SAW pernah melarang kenduri kematian dan Tahlilan, hari ke 3, 7, 40,
100, 1000??? Kalau Nabi SAW tidak melarang, bukankah larangan Anda juga
termasuk bid’ah????”
WAHABI: “Sungguh indah perkataan Al-Imam Malik (gurunya Al-Imam Asy-Syaafi’i rahimahumallahu)
فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا لاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا
“Maka perkara apa saja yang pada hari itu (pada hari disempurnakan
Agama kepada Nabi, yaitu masa Nabi dan para sahabat-pen) bukan merupakan
perkara agama maka pada hari ini juga bukan merupakan perkara
agama.”(Al-Ihkam, karya Ibnu Hazm 6/255)”
SUNNI: “Lebih indah lagi adalah sabda Rasulullah SAW yang membenarkan bid’ah hasanah:
قَالَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ
سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ
مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى
الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ
شَىْءٌ ».
“Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang memulai dalam Islam
perbuatan yang baik, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang
mengerjakannya sesudahnya tanpa terkurangi sedikitpun dari pahala
mereka. Dan barangsiapa yang memulai dalam Islam perbuatan yang buruk,
maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang mengerjakan
sesudahnya tanpa terkurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka.” (HR
Muslim).
Hadits di atas menjadi Dalil Bid’ah Hasanah, sebagaimana seringkali
kami jelaskan dengan mengutip pernyataan al-Imam al-Nawawi dalam Syarh
Shahih Muslim.
Kalau Anda menggugat kami sebagai pengikut Imam al-Syafii, harus Anda ketahui bahwa Imam al-Syafii berkata:
اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ
سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلالَةِ وَمَا أُحْدِثَ فِي
الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ
مَذْمُوْمَةٍ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩).
“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang
menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah
dhalalah (tersesat). Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak
menyalahi al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak
tercela”. (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, 1/469).
Anda juga harus tahu, bahwa Syaikh Ibnu Taimiyah, ulama yang paling
Anda kagumi melebihi seluruh ulama salaf, para sahabat dan tabi’in, juga
mengakui bid’ah hasanah, dan berkata :
وَمِنْ هُنَا يُعْرَفُ ضَلاَلُ مَنِ ابْتَدَعَ طَرِيْقًا أَوِ
اعْتِقَادًا زَعَمَ أَنَّ اْلاِيْمَانَ لاَ يَتِمُّ اِلاَّ بِهِ مَعَ
الْعِلْمِ بِأَنَّ الرَّسُوْلَ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَذْكُرْهُ، وَمَا
خَالَفَ النُّصُوْصَ فَهُوَ بِدْعَةٌ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِيْنَ، وَمَا
لَمْ يُعْلَمْ أَنَّهُ خَالَفَهَا فَقَدْ لاَ يُسَمَّى بِدْعَةً، قَالَ
الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ البِدْعَةُ بِدْعَتَانِ بِدْعَةٌ خَالَفَتْ
كِتَابًا وَسُنَّةً وَإِجْمَاعًا وَأَثَرًا عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ رَسُوْلِ
اللهِ صلى الله عليه وسلم فَهَذِهِ بِدْعَةُ ضَلاَلَةٍ وَبِدْعَةٌ لَمْ
تُخَالِفْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ قَدْ تَكُوْنُ حَسَنَةً لِقَوْلِ
عُمَرَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ هَذَا الْكَلاَمُ أَوْ نَحْوُهُ
رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ بِاِسْنَادِهِ الصَّحِيْحِ فِي الْمَدْخَلِ. (الشيخ
ابن تيمية، مجموع الفتاوى ۲٠/١٦٣).
“Dari sini dapat diketahui kesesatan orang yang membuat-buat cara
atau keyakinan baru, dan ia berasumsi bahwa keimanan tidak akan sempurna
tanpa jalan atau keyakinan tersebut, padahal ia mengetahui bahwa
Rasulullah SAW tidak pernah menyebutnya. Pandangan yang menyalahi nash
adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin. Sedangkan pandangan
yang tidak diketahui menyalahinya, terkadang tidak dinamakan bid’ah.
Al-Imam al-Syafi’i RA berkata, “Bid’ah itu ada dua. Pertama, bid’ah yang
menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan atsar sebagian sahabat
Rasulullah SAW. Ini disebut bid’ah dhalalah. Kedua, bid’ah yang tidak
menyalahi hal tersebut. Ini terkadang disebut bid’ah hasanah,
berdasarkan perkataan Umar, “Inilah sebaik-baik bid’ah”. Pernyataan
al-Syafi’i ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal
dengan sanad yang shahih.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, juz
20, hal. 163).
WAHABI: “Bagaimana bisa suatu perkara yang jangankan merupakan
perkara agama, bahkan tidak dikenal sama sekali di zaman para sahabat,
kemudian lantas sekarang menjadi bagian dari agama !!!”
SUNNI: “Guru-guru Anda kaum Wahabi telah sepakat dan berijma’
bolehnya menggelar hari nasional Kerajaan Saudi Arabia, dan menggelar
acara Usbu’ Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab an-Najdi (pekan pendiri
Wahabi), setiap tahun yang digelar di Riyadh. Tolong Anda tanyakan
kepada guru-guru Anda yang masih hidup. Apa bedanya hal tersebut dengan
Tahlilan, Maulid Nabi SAW, Haul dan lain-lain???””
WAHABI: “B. Yang Sunnah adalah meringankan beban keluarga mayat bukan malah memberatkan
Yang lebih tragis lagi acara tahlilan ini ternyata terasa berat bagi
sebagian kaum muslimin yang rendah tingkat ekonominya. Yang seharusnya
keluarga yang ditinggal mati dibantu, ternyata kenyataannya malah
dibebani dengan acara yang berkepanjangan…biaya terus dikeluarkan untuk
tahlilan…hari ke-3, hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100, hari ke-1000…
Tatkala datang kabar tentang meninggalnya Ja’far radhiallahu ‘anhu maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
اِصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ
“Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena sesungguhnya telah
datang kepada mereka perkara yang menyibukan mereka” (HR Abu Dawud no
3132.
Al-Imam Asy-Syafi’I rahimahullah berkata :
وَأُحِبُّ لِجِيرَانِ الْمَيِّتِ أو ذِي قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا
لِأَهْلِ الْمَيِّتِ في يَوْمِ يَمُوتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ
فإن ذلك سُنَّةٌ وَذِكْرٌ كَرِيمٌ وهو من فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ
قَبْلَنَا وَبَعْدَنَا لِأَنَّهُ لَمَّا جاء نَعْيُ جَعْفَرٍ قال رسول
اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم اجْعَلُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فإنه قد
جَاءَهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ
“Dan aku menyukai jika para tetangga mayat atau para kerabatnya untuk
membuat makanan bagi keluarga mayat yang mengenyangkan mereka pada
siang dan malam hari kematian sang mayat. Karena hal ini adalah sunnah
dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan perbuatan orang-orang baik
sebelum kami dan sesudah kami, karena tatkala datang kabar tentang
kematian Ja’far maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’afar, karena telah datang kepada
mereka perkara yang menyibukkan mereka” (Kitab Al-Umm 1/278)”.
SUNNI: “Ada beberapa tanggapan terhadap pernyataan Anda di atas:
Pertama, Anda berarti tidak tahu kondisi riil di masyarakat. Umat Islam
Indonesia, dalam kenduri kematian tidak meninggalkan Sunnah. Justru
mereka telah melakukannya, dengan berbondong-bondong menyumbangkan
beras, kebutuhan pokok dan uang untuk keluarga duka cita.
Kedua, Kesunnahan membantu keluarga duka cita, itu adalah mafhum, bukan
manthuq, dari hadits di atas. Nah, karena hal tersebut bersifat mafhum,
tentu adanya hukum sunnah dan makruh itu karena ada ‘illat, yaitu
meringankan atau memberatkan keluarga duka cita. Ketika ‘illat tersebut
hilang, maka hukumnya juga berubah, sebagai banyak sekali dikemukakan
oleh para ulama, alhukmu yaduuru ma’a ‘illatihi wujuudan wa ‘adaman.
Oleh karena itu, sebagian ulama Syafi’iyah berfatwa, bahwa ketika jamuan
makanan itu hasil sumbangan dari tetangga atau kerabat jauh, maka hal
tersebut tidak dihukumi makruh. Fahham ya duktuur Firanda Andirja. Oleh
karena kutipan Anda dari kitab-kitab fiqih Syafi’iyah, tidak begitu
penting untuk dibahas di sini, karena Anda tidak memahaminya dari
perspektif ilmu fiqih.”.
WAHABI: “Mereka yang masih bersikeras melaksanakan acara tahlilan
mengaku bermadzhab syafi’iyah, akan tetapi ternyata para ulama
syafi’iyah membid’ahkan acara tahlilan !!. Lantas madzhab syafi’iyah
yang manakah yang mereka ikuti ??”
SUNNI: “Sebaiknya Anda mempelajari terlebih dahulu teori bermadzhab,
dan mendalami kaitan agama, dakwah dan tradisi, agar Anda tidak bertanya
seperti di atas, yang sama sekali tidak berbobot.”
WAHABI: “Kedua : Para ulama telah ijmak bahwasanya mendoakan mayat
yang telah meninggal bermanfaat bagi sang mayat. Demikian pula para
ulama telah berijmak bahwa sedekah atas nama sang mayat akan sampai
pahalanya bagi sang mayat. Akan tetapi kesepakatan para ulama ini tidak
bisa dijadikan dalil untuk melegalisasi acara tahlilan, karena meskipun
mendoakan mayat disyari’atkan dan bersedakah (dengan memberi makanan)
atas nama mayat disyari’atkan, akan tetapi kaifiyat (tata cara) tahlilan
inilah yang bid’ah yang diada-adakan yang tidak dikenal oleh Nabi dan
para sahabatnya. Kreasi tata cara inilah yang diingkari oleh para ulama
syafi’iyah, selain merupakan perkara yang muhdats juga bertentangan
dengan nas (dalil) yang tegas.”
SUNNI: “Kreasi Tahlilan, yaitu bacaan campuran antara ayat al-Qur’an,
shalawat, kalimah Thayyibah dan lain-lain, tidak pernah dibid’ahkan
oleh ulama manapun, kecuali kaum Wahabi seperti Anda. Bahkan Syaikh Ibnu
Taimiyah membenarkannya dan berkata dalam Majmu’ Fatawa-nya:
وَسُئِلَ: عَنْ رَجُلٍ يُنْكِرُ عَلَى أَهْلِ الذِّكْرِ يَقُولُ لَهُمْ :
هَذَا الذِّكْرُ بِدْعَةٌ وَجَهْرُكُمْ فِي الذِّكْرِ بِدْعَةٌ وَهُمْ
يَفْتَتِحُونَ بِالْقُرْآنِ وَيَخْتَتِمُونَ ثُمَّ يَدْعُونَ
لِلْمُسْلِمِينَ الْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ وَيَجْمَعُونَ التَّسْبِيحَ
وَالتَّحْمِيدَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّكْبِيرَ وَالْحَوْقَلَةَ
وَيُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم” فَأَجَابَ :
الِاجْتِمَاعُ لِذِكْرِ اللهِ وَاسْتِمَاعِ كِتَابِهِ وَالدُّعَاءِ عَمَلٌ
صَالِحٌ وَهُوَ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَالْعِبَادَاتِ فِي
الْأَوْقَاتِ فَفِي الصَّحِيحِ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ
قَالَ : ( إنَّ للهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِينَ فِي الْأَرْضِ فَإِذَا
مَرُّوا بِقَوْمِ يَذْكُرُونَ اللهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إلَى حَاجَتِكُمْ
) وَذَكَرَ الْحَدِيثَ وَفِيهِ ( وَجَدْنَاهُمْ يُسَبِّحُونَك
وَيَحْمَدُونَك )… وَأَمَّا مُحَافَظَةُ الْإِنْسَانِ عَلَى أَوْرَادٍ لَهُ
مِنْ الصَّلَاةِ أَوْ الْقِرَاءَةِ أَوْ الذِّكْرِ أَوْ الدُّعَاءِ
طَرَفَيْ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنْ اللَّيْلِ وَغَيْرُ ذَلِكَ : فَهَذَا
سُنَّةُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِ
اللهِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا. (مجموع فتاوى ابن تيمية، ٢٢/٥٢٠).
“Ibn Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli dzikir
(berjamaah) dengan berkata kepada mereka, “Dzikir kalian ini bid’ah,
mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid’ah”. Mereka memulai dan
menutup dzikirnya dengan al-Qur’an, lalu mendoakan kaum Muslimin yang
masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara
tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata illaa
billaah) dan shalawat kepada Nabi SAW.?” Lalu Ibn Taimiyah menjawab:
“Berjamaah dalam berdzikir, mendengarkan al-Qur’an dan berdoa adalah
amal shaleh, termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap
waktu. Dalam Shahih al-Bukhari, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah
memiliki banyak Malaikat yang selalu bepergian di muka bumi. Apabila
mereka bertemu dengan sekumpulan orang yang berdzikir kepada Allah, maka
mereka memanggil, “Silahkan sampaikan hajat kalian”, lanjutan hadits
tersebut terdapat redaksi, “Kami menemukan mereka bertasbih dan
bertahmid kepada-Mu”… Adapun memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan
wirid) seperti shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir atau berdoa, setiap
pagi dan sore serta pada sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini
merupakan tradisi Rasulullah SAW dan hamba-hamba Allah yang saleh, zaman
dulu dan sekarang.” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz 22, hal. 520).”
WAHABI: “Dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu : “Kami memandang
berkumpul di rumah keluarga mayat dan membuat makanan setelah
dikuburkannya mayat termasuk niyaahah”. Diriwayatkan oleh Ahmad bin
Hambal dan Ibnu Maajah dengan sanad yang shahih”.
SUNNI: “Pernyataan Jarir bin Abdullah, bukan kesepakatan semua
sahabat, terbukti dengan atsar dari Khalifah Umar dan Sayyidah ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana kami paparkan sebelumnya. Silahkan
Anda mengikuti Jarir, dan biarkan umat Islam mengikuti atsar Umar dan
‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum.”.
WAHABI: “Demikian juga bahwasanya membaca ayat al-kursiy bisa
mengusir syaitan, akan tetapi jika ada seseorang lantas setiap kali
keluar dari masjid selalu membaca ayat al-kursiy dengan dalih untuk
mengusir syaitan karena di luar masjid banyak syaitan, maka kita katakan
hal ini adalah bid’ah. Kenapa?, karena kaifiyyah dan tata cara seperti
ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.”
SUNNI: “Pernyataan Anda telah ditolak oleh guru kaum Wahabi, yaitu
Syaikh Ibnu Baz yang berfatwa, menganjurkan membaca surah al-Ikhlash dan
Mu’awwidzatain setiap selesai shalat secara rutin, dan setiap selesai
shalat shubuh dan maghrib tiga kali secara rutin. Demikian ini
dianjurkan untuk menolak sihir dan aneka keburukan. Hal tersebut juga
tidak ada dasar seperti yang Anda gugatkan kepada kami Ustadz Firanda.
Silahkan Anda baca dalam, Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, karya Syaikh
Ibnu Baz, juz 8, hal. 115, dan juz 8 hal. 88. Fatwa tersebut juga banyak
disampaikan dalam fatwa-fatwa dan rosail beliau.”
WAHABI: “Ketiga : Kalau kita boleh menganalogikan lebih jauh maka
bisa kita katakan bahwasanya orang yang nekat untuk mengadakan tahlilan
dengan alasan untuk mendoakan mayat dan menyedekahkan makanan,
kondisinya sama seperti orang yang nekat sholat sunnah di waktu-waktu
terlarang. Meskipun ibadah sholat sangat dicintai oleh Allah, akan
tetapi Allah telah melarang melaksanakan sholat pada waktu-waktu
terlarang.”
SUNNI: “Qiyas Anda sungguh Qiyas yang bathil. Menyamakan shalat
dengan Tahlilan. Anda gugat saja guru-guru Anda, kaum Wahabi yang telah
berijma’ membolehkan menggelar syukuran hari raya Nasional Kerajaan
Saudi Arabia dan Pekan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab setiap tahun.
Anda gugat dengan cara Qiyas Anda di atas, pasti mereka akan
menertawakan Anda karena Qiyas Anda tidak nyambung.”
WAHABI: “Keempat : Untuk berbuat baik kepada sang mayat maka kita
bisa menempuh cara-cara yang disyari’atkan, sebagaimana telah lalu.
Diantaranya adalah mendoakannya kapan saja –tanpa harus acara khusus
tahlilan-, dan juga bersedakah kapan saja, berkurban atas nama mayat,
menghajikan dan mengumrohkan sang mayat, dll.”
SUNNI: “Anda melarang doa selama 7 hari, padahal ada atsar dari
Thawus, ‘Ubaid bin ‘Umair dan Mujahid. Berarti menurut Anda, Tahlilan
itu boleh selama tidak dibatasi dengan hari-hari tertentu seperti 3, 7,
40, 100 dan 1000??? Mana dalil khusus yang menerangkan hal ini????
WAHABI: “Adapun mengirimkan pahala bacaan Al-Qur’an maka hal ini
diperselisihkan oleh para ulama. Dan pendapat yang dipilih oleh Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah bahwasanya mengirimkan pahala bacaan al-Qur’an
tidak akan sampai bagi sang mayat.”
SUNNI: “Kalau pengiriman pahala bacaan al-Qur’an masih
diperselisihkan oleh ulama, mengapa Anda mempersoalkan???? Ini kan
masalah khilafiyah klasik. Bukankah dalam kaedah fiqih terdapat kaedah,
laa yunkarul mukhtalafu fiih wainnamaa yunkarul mujma’u ‘alaih (tidak
perlu mengingkari persoalan khilafiyah, akan tetapi yang perlu diingkari
adalah persoalan yang disepakati oleh seluruh ulama). Ini kaedah dalam
madzhab Syafii. Seandainya Imam al-Syafii, masih hidup pasti akan
menegur Anda, yang membesarkan persoalan khilafiyah.”
WAHABI: “Kelima : Kalaupun kita memilih pendapat ulama yang
menyatakan bahwa mengirim bacaan al-qur’an akan sampai kepada mayat,
maka kita berusaha agar kita atau keluarga yang mengirimkannya, ataupun
orang lain adalah orang-orang yang amanah.”
SUNNI: “Ini ijtihad Anda sendiri, tidak ada ulama yang memberikan
persyaratan yang mengirim pahala al-Qur’an itu harus orang yang amanah.
Anda mengqiyaskan hal ini dengan tukang wesel pos atau pengantar surat.
Qiyas macam apa ini wahai duktur Firanda?”
WAHABI: “Adapun menyewa para pembaca al-Qur’an yang sudah siap siaga
di pekuburan menanti kedatangan para peziarah kuburan untuk membacakan
al-quran dan mengirim pahalanya maka hendaknya dihindari karena :
- Tidak disyari’atkan membaca al-Qur’an di kuburan, karena kuburan bukanlah tempat ibadah sholat dan membaca al-Qur’an.”
SUNNI: “Pernyataan Anda sangat lucu, dan membuktikan bahwa Anda
kurang banyak membaca kitab-kitab para ulama, termasuk para ulama
panutan Wahabi yang menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan. Syaikh
Ibnu Qayyimil Jauziyyah, murid terkemuka Ibnu Taimiyah, panutan kaum
Wahabi berkata:
وَقَدْ ذُكِرَ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ السَّلَفِ أَنَّهُمْ أَوْصَوْا أَنْ
يُقْرَأَ عِنْدَ قُبُوْرِهِمْ وَقْتَ الدَّفْنِ قَالَ عَبْدُ الْحَقِّ
يُرْوَى أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ أَمَرَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ
قَبْرِهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ وَمِمَّنْ رَأَى ذَلِكَ الْمُعَلَّى بْنُ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ الْخَلاَّلُ وَأَخْبَرَنِيْ الْحَسَنُ بْنُ
أَحْمَدَ الْوَرَّاقُ حَدَّثَنِىْ عَلِى بْنِ مُوْسَى الْحَدَّادُ وَكَانَ
صَدُوْقاً قَالَ كُنْتُ مَعَ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَمُحَمَّد بْنِ
قُدَامَةَ الْجَوْهَرِىِّ فِيْ جَنَازَةٍ فَلَمَّا دُفِنَ الْمَيِّتُ
جَلَسَ رَجُلٌ ضَرِيْرٌ يَقْرَأُ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ
يَا هَذَا إِنَّ الْقِرَاءَةَ عِنْدَ الْقَبْرِ بِدْعَةٌ فَلَمَّا
خَرَجْنَا مِنَ الْمَقَابِرِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنِ قُدَامَةَ لأَحْمَدِ
بْنِ حَنْبَلٍ يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ مَا تَقُوْلُ فِيْ مُبَشِّرٍ
الْحَلَبِيِّ قَالَ ثِقَةٌ قَالَ كَتَبْتَ عَنْهُ شَيْئًا قَالَ نَعَمْ
فَأَخْبَرَنِيْ مُبَشِّرٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْعَلاَءِ
اللَّجْلاَجِ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّهُ أَوْصَى إِذَا دُفِنَ أَنْ يُقْرَأَ
عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا وَقَالَ سَمِعْتُ
ابْنَ عُمَرَ يُوْصِيْ بِذَلِكَ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ فَارْجِعْ وَقُلْ
لِلرَّجُلِ يَقْرَأُ. وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَاحِ الزَّعْفَرَانِيُّ
سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ الْقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لاَ
بَأْسَ بِهَا وَذَكَرَ الْخَلاَّلُ عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ كَانَتِ
اْلأَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ اخْتَلَفُوْا إِلَى قَبْرِهِ
يَقْرَءُوْنَ عِنْدَهُ الْقُرْآنَ. (ابن قيم الجوزية، الروح، ص/١٨٦-١٨٧).
“Telah disebutkan dari sekelompok ulama salaf, bahwa mereka berwasiat
agar dibacakan al-Qur’an di sisi makam mereka ketika pemakaman. Imam
Abdul Haqq berkata, diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa beliau berwasiat
agar dibacakan surat al-Baqarah di sisi makamnya. Di antara yang
berpendapat demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahman. Al-Khallal
berkata, “al-Hasan bin Ahmad al-Warraq mengabarkan kepadaku, “Ali bin
Musa al-Haddad mengabarkan kepadaku, dan dia seorang yang dipercaya. Ia
berkata, “Aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah
al-Jauhari, ketika mengantar jenazah. Setelah mayit dimakamkan, seorang
laki-laki tuna netra membaca al-Qur’an di samping makam itu. Lalu Ahmad
berkata kepadanya, “Hai laki-laki, sesungguhnya membaca al-Qur’an di
samping makam itu bid’ah.” Setelah kami keluar dari makam, Muhammad bin
Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hanbal, “Wahai Abu Abdillah, bagaimana
pendapat Anda tentang Mubasysyir al-Halabi?” Ia menjawab, “Dia perawi
yang tsiqah (dapat dipercaya)”. Muhammad bin Qudamah berkata, “Anda
menulis riwayat darinya?” Ahmad menjawab, “Ya.” Muhammad bin Qudamah
berkata, “Mubasysyir mengabarkan kepadaku, dari Abdurrahman bin al-‘Ala’
al-Lajlaj, dari ayahnya, bahwasanya ia berwasiat, apabila ia
dimakamkan, agar dibacakan permulaan dan penutup surat al-Baqarah di
sebelah kepalanya. Ia berkata, “Aku mendengar Ibn Umar berwasiat
demikian.” Lalu Ahmad berkata kepada Muhammad bin Qudamah, “Kembalilah,
dan katakan kepada laki-laki tadi, agar membaca al-Qur’an di samping
makam itu.” Al-Hasan bin al-Shabah al-Za’farani berkata, “Aku bertanya
kepada al-Syafi’i tentang membaca al-Qur’an di samping kuburan, lalu ia
menjawab, tidak apa-apa.” Al-Khallal meriwayatkan dari al-Sya’bi yang
berkata, “Kaum Anshar apabila keluarga mereka ada yang meninggal, maka
mereka selalu mendatangi makamnya untuk membacakan al-Qur’an di
sampingnya.” (Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Ruh, hal. 186-187).
WAHABI: “Jika ternyata terjadi tawar menawar harga dengan para tukang
baca tersebut, maka hal ini merupakan indikasi akan ketidak ikhlasan
para pembaca tersebut. Dan jika keikhlasan mereka dalam membaca
al-qur’an sangat-sangat diragukan, maka kelazimannya pahala mereka juga
sangatlah diragukan. Jika pahalanya diragukan lantas apa yang mau
dikirimkan kepada sang mayat??!!”
SUNNI: “Anda tidak berhak mengurus hati orang lain. Itu urusan dia dengan Allah.”
WAHABI: “Para pembaca sewaan tersebut biasanya membaca al-Qur’an
dengan sangat cepat karena mengejar dan memburu korban penziarah
berikutnya. Jika bacaan mereka terlalu cepat tanpa memperhatikan tajwid,
apalagi merenungkan maknanya, maka tentu pahala yang diharapkan
sangatlah minim. Terus apa yang mau dikirimkan kepada sang mayat ??!!”
SUNNI: “Owh berarti Anda juga membenarkan menyewa orang membaca
al-Qur’an di kuburan, asal dia fasih membacanya dan sesuai dengan
Tajwid. Kan begitu. Terima kasih kalau pendapat Anda begitu. Tetapi
mengapa Anda sangat marah dengan baca al-Qur’an di kuburan???? Terakhir,
kami akan memberi hadiah kepada Anda, pernyataan Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab, pendiri aliran jahat Wahabi, yang menganjurkan membaca
al-Qur’an di kuburan, dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut, terbitan
Saudi Arabia,
وَأَخْرَجَ سَعْدٌ الزَّنْجَانِيُّ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ مَرْفُوْعًا:
مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ، وَقُلْ هُوَ
اللهُ أَحَدٌ، وَأَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ، ثُمَّ قَالَ: إِنِّيْ جَعَلْتُ
ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ لأَهْلِ الْمَقَابِرِ مِنَ
الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، كَانُوْا شُفَعَاءَ لَهُ إِلَى اللهِ
تَعَالَى. وَأَخْرَجَ عَبْدُ الْعَزِيْزِ صَاحِبُ الْخَلاَّلِ بِسَنَدِهِ
عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ، فَقَرَأَ سُوْرَةَ يس،
خَفَّفَ اللهُ عَنْهُمْ، وَكَانَ لَهُ بِعَدَدِ مَنْ فِيْهَا حَسَناَتٌ.
(الشيخ محمد بن عبد الوهاب النجدي، أحكام تمني الموت (ص/٧٥).
“Sa’ad al-Zanjani meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah secara
marfu’: “Barangsiapa mendatangi kuburan lalu membaca surah al-Fatihah,
Qul huwallahu ahad dan alhakumuttakatsur, kemudian mengatakan: “Ya
Allah, aku hadiahkan pahala bacaan al-Qur’an ini bagi kaum beriman
laki-laki dan perempuan di kuburan ini,” maka mereka akan menjadi
penolongnya kepada Allah.” Abdul Aziz –murid al-Imam al-Khallal–,
meriwayatkan hadits dengan sanadnya dari Anas bin Malik secara marfu’:
“Barangsiapa mendatangi kuburan, lalu membaca surah Yasin, maka Allah
akan meringankan siksaan mereka, dan ia akan memperoleh pahala sebanyak
orang-orang yang ada di kuburan itu.” (Muhammad bin Abdul Wahhab, Ahkam
Tamanni al-Maut, hal. 75).
Ustadz Firanda, kitab Ahkam Tamannil Maut tersebut, diterbitkan
pemerintahan Saudi Arabia, dan ditahqiq oleh dua ulama Wahabi senior,
yaitu Abdurrahman bin Muhammad al-Sadhan dan Abdullah bin Jibrin.
Wallahu a’lam.
Sumber:
www.idrusramli.com