Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label tahlil. Show all posts
Showing posts with label tahlil. Show all posts

Benarkah Tahlil dari Tradisi Hindu?


Jakarta, NU Online
Selama ini terdapat keyakinan bahwa tradisi tahlilan bagi orang yang sudah meninggal yang dilakukan pada hari-hari tertentu seperti 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari sampai dengan haul yang diadakan untuk memperingati setiap tanggal kematian merupakan tradisi Hindu atau Budha yang kemudian substansinya dirubah oleh para wali songo dengan mengisi bacaan dan doa dari tradisi Islam, termasuk bacaan tahlil sehingga akhirnya disebut tahlil

Pendapat berbeda diungkapkan oleh Agus Sunyoto, penulis buku Syeikh Siti Jenar tersebut berpendapat bahwa tradisi tahlil sebenarnya merupakan tradisi Syiah yang kemudian dibawa oleh para musyafir yang menyebarkan Islam di Indonesia.

”Dalam tradisi Hindu, tidak ada peringatan 7 hari sampai dengan 1000 hari. Yang ada peringatan 12 tahun sekali,” tandasnya saat berdiskusi di kantor NU Online Selasa malam dengan sejumlah budayawan dan aktivis Lembaga Seni dan Budaya Nahdlatul Ulama (Lesbumi).

Pertanyaan tersebut muncul dalam dirinya ketika diajak salah satu temannya yang beraliran Syiah untuk tahlil diajak tahlil. ”Lho ini tradisinya kok sama dengan NU,” fikirnya dalam hati. Selanjutnya ia melakukan penelitian tentang asal usul tradisi ini.

Para musyafir yang berasal dari kerajaan Campa yang kebanyakan beragama Islam dan memiliki tradisi tasawuf beraliran Syiah lah yang mengembangkan tradisi ini. Makanya tak heran ketika Imam Khumeini meninggal, juga diadakan tahlil untuk mendoakannya.

Tradisi lain yang berasal dari Syiah adalah adanya bulan baik atau buruk untuk mengadakan suatu acara. ”Orang Jawa dha berani mengadakan hajatan pada bulan Muharram atau lebih dikenal dengan bulan Suro karena bisa membawa sial. Ini merupakan tradisi Syiah karena pada bulan tersebut Sayyidina Husein, anak Ali bin Abi Tholib meninggal dibunuh,” tuturnya.

Tentang mengapa wali yang disebut berjumlah sembilan atau lebih dikenal sebagai wali songo, padahal wali sebenarnya lebih dari itu, Agus berpendapat ini berkaitan dengan adopsi kepercayaan Hindu yang berkeyakinan adanya delapan arah mata angin dan satu dipusatnya sehingga jumlahnya menjadi sembilan.(mkf)

Source: http://www.nu.or.id/
Rabu, 14 Desember 2005 14:13

Dialog Sunni vs Wahabi Tentang Tahlilan


Oleh: Ust. Idrus Ramli.

WAHABI: “Sering kita dapati sebagian ustadz atau kiyai yang mengatakan, “Tahlilan kok dilarang?, tahlilan kan artinya Laa ilaah illallahh?”. Tentunya tidak seorang muslimpun yang melarang tahlilan, bahkan yang melarang tahlilan adalah orang yang tidak diragukan kekafirannya. Akan tetapi yang dimaksud dengan istilah “Tahlilan” di sini adalah acara yang dikenal oleh masyarakat yaitu acara kumpul-kumpul di rumah kematian sambil makan-makan disertai mendoakan sang mayit agar dirahmati oleh Allah.
Lebih aneh lagi jika ada yang melarang tahlilan langsung dikatakan “Dasar wahabi”..!!!
Seakan-akan pelarangan melakukan acara tahlilan adalah bid’ah yang dicetus oleh kaum wahabi !!?”

SUNNI: “Kenyataan di lapangan, yang sangat ngotot memerangi Tahlilan adalah kaum Wahabi, bukan selain Wahabi. Terus mau apalagi?”

WAHABI: “Sementara para pelaku acara tahlilan mengaku-ngaku bahwa mereka bermadzhab syafi’i !!!. Ternyata para ulama besar dari madzhab Syafi’iyah telah mengingkari acara tahlilan, dan menganggap acara tersebut sebagai bid’ah yang mungkar, atau minimal bid’ah yang makruh. Kalau begitu para ulama syafi’yah seperti Al-Imam Asy-Syafii dan Al-Imam An-Nawawi dan yang lainnya adalah wahabi??!!”

SUNNI: “Sudah kami katakan berulang kali, bahwa para ulama Syafi’iyah hanya memakruhkan selamatan/kenduri kematian. Dan makruhnya masih makruh tanzih, bukan tahrim. Para ulama Salaf, dan madzahibul arba’ah (madzhab empat), tidak ada yang mengharamkan kenduri kematian dan Tahlilan. Jadi mereka sepakat tidak mengharamkan.

Imam al-Syafi’i dan Imam al-Nawawi, dengan pendapatnya tersebut bukan Wahabi. Beliau berdua sepakat membagi bid’ah menjadi dua, hasanah dan sayyi’ah, bertabaruk, bertawasul dan beristighatsah dan lain-lain yang dikafirkan dan disyirikkan oleh kaum Wahabi.

Anda perlu mempelajari teori bermadzhab. Agar mengerti hakikat bermadzhab, dan tidak dengan mudah menyalahkan orang karena tidak konsisten dalam bermadzhab. Sehingga tulisan Anda menjadi bahan tertawaan kalangan berilmu.”

WAHABI: “Ijmak Ulama bahwa Nabi, para sahabat, dan para imam madzhab tidak pernah tahlilan.
Tentu sangat tidak diragukan bahwa acara tahlilan –sebagaimana acara maulid Nabi dan bid’ah-bid’ah yang lainnya- tidaklah pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak juga para sahabatnya, tidak juga para tabi’in, dan bahkan tidak juga pernah dilakukan oleh 4 imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafii, dan Ahmad rahimahumullah).”

SUNNI: “Anda mengatakan hal tersebut sebagai ijma’, pertanyaan kami, kitab apa yang menjadi dasar rujukan Anda??? Jelasnya, Nabi SAW, sahabat dan ulama Salaf telah berijma’ tidak mengharamkan kenduri kematian dan Tahlilan, bahkan sebagian menganjurkan sebagaimana kami tulis dalam catatan sebelumnya.”

WAHABI: “Istri Nabi SAW yang sangat beliau cintai Khodijah radhiallahu ‘anhaa juga meninggal di masa hidup beliau, akan tetapi sama sekali tidak beliau tahlilkan. Jangankan hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000 bahkan sehari saja tidak beliau tahlilkan. Demikian juga kerabat-kerabat beliau yang beliau cintai meninggal di masa hidup beliau, seperti paman beliau Hamzah bin Abdil Muthholib, sepupu beliau Ja’far bin Abi Thoolib, dan juga sekian banyak sahabat-sahabat beliau yang meninggal di medan pertempuran, tidak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

SUNNI: “Anda selalu berdalil dengan teori tarku, Nabi SAW tidak mengerjakan ini dan itu. Sekarang kami bertanya kepada Anda, apakah Nabi SAW pernah melarang kenduri kematian dan Tahlilan, hari ke 3, 7, 40, 100, 1000??? Kalau Nabi SAW tidak melarang, bukankah larangan Anda juga termasuk bid’ah????”

WAHABI: “Sungguh indah perkataan Al-Imam Malik (gurunya Al-Imam Asy-Syaafi’i rahimahumallahu)

فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا لاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا

“Maka perkara apa saja yang pada hari itu (pada hari disempurnakan Agama kepada Nabi, yaitu masa Nabi dan para sahabat-pen) bukan merupakan perkara agama maka pada hari ini juga bukan merupakan perkara agama.”(Al-Ihkam, karya Ibnu Hazm 6/255)”

SUNNI: “Lebih indah lagi adalah sabda Rasulullah SAW yang membenarkan bid’ah hasanah:

قَالَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ ».

“Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang memulai dalam Islam perbuatan yang baik, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa terkurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai dalam Islam perbuatan yang buruk, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang mengerjakan sesudahnya tanpa terkurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka.” (HR Muslim).

Hadits di atas menjadi Dalil Bid’ah Hasanah, sebagaimana seringkali kami jelaskan dengan mengutip pernyataan al-Imam al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.
Kalau Anda menggugat kami sebagai pengikut Imam al-Syafii, harus Anda ketahui bahwa Imam al-Syafii berkata:

اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلالَةِ وَمَا أُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩).

“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, 1/469).

Anda juga harus tahu, bahwa Syaikh Ibnu Taimiyah, ulama yang paling Anda kagumi melebihi seluruh ulama salaf, para sahabat dan tabi’in, juga mengakui bid’ah hasanah, dan berkata :

وَمِنْ هُنَا يُعْرَفُ ضَلاَلُ مَنِ ابْتَدَعَ طَرِيْقًا أَوِ اعْتِقَادًا زَعَمَ أَنَّ اْلاِيْمَانَ لاَ يَتِمُّ اِلاَّ بِهِ مَعَ الْعِلْمِ بِأَنَّ الرَّسُوْلَ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَذْكُرْهُ، وَمَا خَالَفَ النُّصُوْصَ فَهُوَ بِدْعَةٌ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِيْنَ، وَمَا لَمْ يُعْلَمْ أَنَّهُ خَالَفَهَا فَقَدْ لاَ يُسَمَّى بِدْعَةً، قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ البِدْعَةُ بِدْعَتَانِ بِدْعَةٌ خَالَفَتْ كِتَابًا وَسُنَّةً وَإِجْمَاعًا وَأَثَرًا عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَهَذِهِ بِدْعَةُ ضَلاَلَةٍ وَبِدْعَةٌ لَمْ تُخَالِفْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ قَدْ تَكُوْنُ حَسَنَةً لِقَوْلِ عُمَرَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ هَذَا الْكَلاَمُ أَوْ نَحْوُهُ رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ بِاِسْنَادِهِ الصَّحِيْحِ فِي الْمَدْخَلِ. (الشيخ ابن تيمية، مجموع الفتاوى ۲٠/١٦٣).

“Dari sini dapat diketahui kesesatan orang yang membuat-buat cara atau keyakinan baru, dan ia berasumsi bahwa keimanan tidak akan sempurna tanpa jalan atau keyakinan tersebut, padahal ia mengetahui bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menyebutnya. Pandangan yang menyalahi nash adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin. Sedangkan pandangan yang tidak diketahui menyalahinya, terkadang tidak dinamakan bid’ah. Al-Imam al-Syafi’i RA berkata, “Bid’ah itu ada dua. Pertama, bid’ah yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan atsar sebagian sahabat Rasulullah SAW. Ini disebut bid’ah dhalalah. Kedua, bid’ah yang tidak menyalahi hal tersebut. Ini terkadang disebut bid’ah hasanah, berdasarkan perkataan Umar, “Inilah sebaik-baik bid’ah”. Pernyataan al-Syafi’i ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal dengan sanad yang shahih.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, juz 20, hal. 163).

WAHABI: “Bagaimana bisa suatu perkara yang jangankan merupakan perkara agama, bahkan tidak dikenal sama sekali di zaman para sahabat, kemudian lantas sekarang menjadi bagian dari agama !!!”

SUNNI: “Guru-guru Anda kaum Wahabi telah sepakat dan berijma’ bolehnya menggelar hari nasional Kerajaan Saudi Arabia, dan menggelar acara Usbu’ Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab an-Najdi (pekan pendiri Wahabi), setiap tahun yang digelar di Riyadh. Tolong Anda tanyakan kepada guru-guru Anda yang masih hidup. Apa bedanya hal tersebut dengan Tahlilan, Maulid Nabi SAW, Haul dan lain-lain???””

WAHABI: “B. Yang Sunnah adalah meringankan beban keluarga mayat bukan malah memberatkan
Yang lebih tragis lagi acara tahlilan ini ternyata terasa berat bagi sebagian kaum muslimin yang rendah tingkat ekonominya. Yang seharusnya keluarga yang ditinggal mati dibantu, ternyata kenyataannya malah dibebani dengan acara yang berkepanjangan…biaya terus dikeluarkan untuk tahlilan…hari ke-3, hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100, hari ke-1000…

Tatkala datang kabar tentang meninggalnya Ja’far radhiallahu ‘anhu maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :

اِصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ

“Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukan mereka” (HR Abu Dawud no 3132.

Al-Imam Asy-Syafi’I rahimahullah berkata :

وَأُحِبُّ لِجِيرَانِ الْمَيِّتِ أو ذِي قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ في يَوْمِ يَمُوتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فإن ذلك سُنَّةٌ وَذِكْرٌ كَرِيمٌ وهو من فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا وَبَعْدَنَا لِأَنَّهُ لَمَّا جاء نَعْيُ جَعْفَرٍ قال رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم اجْعَلُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فإنه قد جَاءَهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ

“Dan aku menyukai jika para tetangga mayat atau para kerabatnya untuk membuat makanan bagi keluarga mayat yang mengenyangkan mereka pada siang dan malam hari kematian sang mayat. Karena hal ini adalah sunnah dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan perbuatan orang-orang baik sebelum kami dan sesudah kami, karena tatkala datang kabar tentang kematian Ja’far maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’afar, karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka” (Kitab Al-Umm 1/278)”.

SUNNI: “Ada beberapa tanggapan terhadap pernyataan Anda di atas:
Pertama, Anda berarti tidak tahu kondisi riil di masyarakat. Umat Islam Indonesia, dalam kenduri kematian tidak meninggalkan Sunnah. Justru mereka telah melakukannya, dengan berbondong-bondong menyumbangkan beras, kebutuhan pokok dan uang untuk keluarga duka cita.

Kedua, Kesunnahan membantu keluarga duka cita, itu adalah mafhum, bukan manthuq, dari hadits di atas. Nah, karena hal tersebut bersifat mafhum, tentu adanya hukum sunnah dan makruh itu karena ada ‘illat, yaitu meringankan atau memberatkan keluarga duka cita. Ketika ‘illat tersebut hilang, maka hukumnya juga berubah, sebagai banyak sekali dikemukakan oleh para ulama, alhukmu yaduuru ma’a ‘illatihi wujuudan wa ‘adaman. Oleh karena itu, sebagian ulama Syafi’iyah berfatwa, bahwa ketika jamuan makanan itu hasil sumbangan dari tetangga atau kerabat jauh, maka hal tersebut tidak dihukumi makruh. Fahham ya duktuur Firanda Andirja. Oleh karena kutipan Anda dari kitab-kitab fiqih Syafi’iyah, tidak begitu penting untuk dibahas di sini, karena Anda tidak memahaminya dari perspektif ilmu fiqih.”.

WAHABI: “Mereka yang masih bersikeras melaksanakan acara tahlilan mengaku bermadzhab syafi’iyah, akan tetapi ternyata para ulama syafi’iyah membid’ahkan acara tahlilan !!. Lantas madzhab syafi’iyah yang manakah yang mereka ikuti ??”

SUNNI: “Sebaiknya Anda mempelajari terlebih dahulu teori bermadzhab, dan mendalami kaitan agama, dakwah dan tradisi, agar Anda tidak bertanya seperti di atas, yang sama sekali tidak berbobot.”

WAHABI: “Kedua : Para ulama telah ijmak bahwasanya mendoakan mayat yang telah meninggal bermanfaat bagi sang mayat. Demikian pula para ulama telah berijmak bahwa sedekah atas nama sang mayat akan sampai pahalanya bagi sang mayat. Akan tetapi kesepakatan para ulama ini tidak bisa dijadikan dalil untuk melegalisasi acara tahlilan, karena meskipun mendoakan mayat disyari’atkan dan bersedakah (dengan memberi makanan) atas nama mayat disyari’atkan, akan tetapi kaifiyat (tata cara) tahlilan inilah yang bid’ah yang diada-adakan yang tidak dikenal oleh Nabi dan para sahabatnya. Kreasi tata cara inilah yang diingkari oleh para ulama syafi’iyah, selain merupakan perkara yang muhdats juga bertentangan dengan nas (dalil) yang tegas.”

SUNNI: “Kreasi Tahlilan, yaitu bacaan campuran antara ayat al-Qur’an, shalawat, kalimah Thayyibah dan lain-lain, tidak pernah dibid’ahkan oleh ulama manapun, kecuali kaum Wahabi seperti Anda. Bahkan Syaikh Ibnu Taimiyah membenarkannya dan berkata dalam Majmu’ Fatawa-nya:

وَسُئِلَ: عَنْ رَجُلٍ يُنْكِرُ عَلَى أَهْلِ الذِّكْرِ يَقُولُ لَهُمْ : هَذَا الذِّكْرُ بِدْعَةٌ وَجَهْرُكُمْ فِي الذِّكْرِ بِدْعَةٌ وَهُمْ يَفْتَتِحُونَ بِالْقُرْآنِ وَيَخْتَتِمُونَ ثُمَّ يَدْعُونَ لِلْمُسْلِمِينَ الْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ وَيَجْمَعُونَ التَّسْبِيحَ وَالتَّحْمِيدَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّكْبِيرَ وَالْحَوْقَلَةَ وَيُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم” فَأَجَابَ : الِاجْتِمَاعُ لِذِكْرِ اللهِ وَاسْتِمَاعِ كِتَابِهِ وَالدُّعَاءِ عَمَلٌ صَالِحٌ وَهُوَ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَالْعِبَادَاتِ فِي الْأَوْقَاتِ فَفِي الصَّحِيحِ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ : ( إنَّ للهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِينَ فِي الْأَرْضِ فَإِذَا مَرُّوا بِقَوْمِ يَذْكُرُونَ اللهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إلَى حَاجَتِكُمْ ) وَذَكَرَ الْحَدِيثَ وَفِيهِ ( وَجَدْنَاهُمْ يُسَبِّحُونَك وَيَحْمَدُونَك )… وَأَمَّا مُحَافَظَةُ الْإِنْسَانِ عَلَى أَوْرَادٍ لَهُ مِنْ الصَّلَاةِ أَوْ الْقِرَاءَةِ أَوْ الذِّكْرِ أَوْ الدُّعَاءِ طَرَفَيْ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنْ اللَّيْلِ وَغَيْرُ ذَلِكَ : فَهَذَا سُنَّةُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِ اللهِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا. (مجموع فتاوى ابن تيمية، ٢٢/٥٢٠).

“Ibn Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada mereka, “Dzikir kalian ini bid’ah, mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid’ah”. Mereka memulai dan menutup dzikirnya dengan al-Qur’an, lalu mendoakan kaum Muslimin yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata illaa billaah) dan shalawat kepada Nabi SAW.?” Lalu Ibn Taimiyah menjawab: “Berjamaah dalam berdzikir, mendengarkan al-Qur’an dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu. Dalam Shahih al-Bukhari, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki banyak Malaikat yang selalu bepergian di muka bumi. Apabila mereka bertemu dengan sekumpulan orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka memanggil, “Silahkan sampaikan hajat kalian”, lanjutan hadits tersebut terdapat redaksi, “Kami menemukan mereka bertasbih dan bertahmid kepada-Mu”… Adapun memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan wirid) seperti shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta pada sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah SAW dan hamba-hamba Allah yang saleh, zaman dulu dan sekarang.” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz 22, hal. 520).”

WAHABI: “Dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu : “Kami memandang berkumpul di rumah keluarga mayat dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah”. Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Maajah dengan sanad yang shahih”.

SUNNI: “Pernyataan Jarir bin Abdullah, bukan kesepakatan semua sahabat, terbukti dengan atsar dari Khalifah Umar dan Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana kami paparkan sebelumnya. Silahkan Anda mengikuti Jarir, dan biarkan umat Islam mengikuti atsar Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum.”.

WAHABI: “Demikian juga bahwasanya membaca ayat al-kursiy bisa mengusir syaitan, akan tetapi jika ada seseorang lantas setiap kali keluar dari masjid selalu membaca ayat al-kursiy dengan dalih untuk mengusir syaitan karena di luar masjid banyak syaitan, maka kita katakan hal ini adalah bid’ah. Kenapa?, karena kaifiyyah dan tata cara seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.”

SUNNI: “Pernyataan Anda telah ditolak oleh guru kaum Wahabi, yaitu Syaikh Ibnu Baz yang berfatwa, menganjurkan membaca surah al-Ikhlash dan Mu’awwidzatain setiap selesai shalat secara rutin, dan setiap selesai shalat shubuh dan maghrib tiga kali secara rutin. Demikian ini dianjurkan untuk menolak sihir dan aneka keburukan. Hal tersebut juga tidak ada dasar seperti yang Anda gugatkan kepada kami Ustadz Firanda. Silahkan Anda baca dalam, Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, karya Syaikh Ibnu Baz, juz 8, hal. 115, dan juz 8 hal. 88. Fatwa tersebut juga banyak disampaikan dalam fatwa-fatwa dan rosail beliau.”

WAHABI: “Ketiga : Kalau kita boleh menganalogikan lebih jauh maka bisa kita katakan bahwasanya orang yang nekat untuk mengadakan tahlilan dengan alasan untuk mendoakan mayat dan menyedekahkan makanan, kondisinya sama seperti orang yang nekat sholat sunnah di waktu-waktu terlarang. Meskipun ibadah sholat sangat dicintai oleh Allah, akan tetapi Allah telah melarang melaksanakan sholat pada waktu-waktu terlarang.”

SUNNI: “Qiyas Anda sungguh Qiyas yang bathil. Menyamakan shalat dengan Tahlilan. Anda gugat saja guru-guru Anda, kaum Wahabi yang telah berijma’ membolehkan menggelar syukuran hari raya Nasional Kerajaan Saudi Arabia dan Pekan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab setiap tahun. Anda gugat dengan cara Qiyas Anda di atas, pasti mereka akan menertawakan Anda karena Qiyas Anda tidak nyambung.”

WAHABI: “Keempat : Untuk berbuat baik kepada sang mayat maka kita bisa menempuh cara-cara yang disyari’atkan, sebagaimana telah lalu. Diantaranya adalah mendoakannya kapan saja –tanpa harus acara khusus tahlilan-, dan juga bersedakah kapan saja, berkurban atas nama mayat, menghajikan dan mengumrohkan sang mayat, dll.”

SUNNI: “Anda melarang doa selama 7 hari, padahal ada atsar dari Thawus, ‘Ubaid bin ‘Umair dan Mujahid. Berarti menurut Anda, Tahlilan itu boleh selama tidak dibatasi dengan hari-hari tertentu seperti 3, 7, 40, 100 dan 1000??? Mana dalil khusus yang menerangkan hal ini????

WAHABI: “Adapun mengirimkan pahala bacaan Al-Qur’an maka hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Dan pendapat yang dipilih oleh Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah bahwasanya mengirimkan pahala bacaan al-Qur’an tidak akan sampai bagi sang mayat.”

SUNNI: “Kalau pengiriman pahala bacaan al-Qur’an masih diperselisihkan oleh ulama, mengapa Anda mempersoalkan???? Ini kan masalah khilafiyah klasik. Bukankah dalam kaedah fiqih terdapat kaedah, laa yunkarul mukhtalafu fiih wainnamaa yunkarul mujma’u ‘alaih (tidak perlu mengingkari persoalan khilafiyah, akan tetapi yang perlu diingkari adalah persoalan yang disepakati oleh seluruh ulama). Ini kaedah dalam madzhab Syafii. Seandainya Imam al-Syafii, masih hidup pasti akan menegur Anda, yang membesarkan persoalan khilafiyah.”

WAHABI: “Kelima : Kalaupun kita memilih pendapat ulama yang menyatakan bahwa mengirim bacaan al-qur’an akan sampai kepada mayat, maka kita berusaha agar kita atau keluarga yang mengirimkannya, ataupun orang lain adalah orang-orang yang amanah.”

SUNNI: “Ini ijtihad Anda sendiri, tidak ada ulama yang memberikan persyaratan yang mengirim pahala al-Qur’an itu harus orang yang amanah. Anda mengqiyaskan hal ini dengan tukang wesel pos atau pengantar surat. Qiyas macam apa ini wahai duktur Firanda?”

WAHABI: “Adapun menyewa para pembaca al-Qur’an yang sudah siap siaga di pekuburan menanti kedatangan para peziarah kuburan untuk membacakan al-quran dan mengirim pahalanya maka hendaknya dihindari karena :

- Tidak disyari’atkan membaca al-Qur’an di kuburan, karena kuburan bukanlah tempat ibadah sholat dan membaca al-Qur’an.”

SUNNI: “Pernyataan Anda sangat lucu, dan membuktikan bahwa Anda kurang banyak membaca kitab-kitab para ulama, termasuk para ulama panutan Wahabi yang menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan. Syaikh Ibnu Qayyimil Jauziyyah, murid terkemuka Ibnu Taimiyah, panutan kaum Wahabi berkata:

وَقَدْ ذُكِرَ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ السَّلَفِ أَنَّهُمْ أَوْصَوْا أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ قُبُوْرِهِمْ وَقْتَ الدَّفْنِ قَالَ عَبْدُ الْحَقِّ يُرْوَى أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ أَمَرَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ قَبْرِهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ وَمِمَّنْ رَأَى ذَلِكَ الْمُعَلَّى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ الْخَلاَّلُ وَأَخْبَرَنِيْ الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ الْوَرَّاقُ حَدَّثَنِىْ عَلِى بْنِ مُوْسَى الْحَدَّادُ وَكَانَ صَدُوْقاً قَالَ كُنْتُ مَعَ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَمُحَمَّد بْنِ قُدَامَةَ الْجَوْهَرِىِّ فِيْ جَنَازَةٍ فَلَمَّا دُفِنَ الْمَيِّتُ جَلَسَ رَجُلٌ ضَرِيْرٌ يَقْرَأُ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ يَا هَذَا إِنَّ الْقِرَاءَةَ عِنْدَ الْقَبْرِ بِدْعَةٌ فَلَمَّا خَرَجْنَا مِنَ الْمَقَابِرِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنِ قُدَامَةَ لأَحْمَدِ بْنِ حَنْبَلٍ يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ مَا تَقُوْلُ فِيْ مُبَشِّرٍ الْحَلَبِيِّ قَالَ ثِقَةٌ قَالَ كَتَبْتَ عَنْهُ شَيْئًا قَالَ نَعَمْ فَأَخْبَرَنِيْ مُبَشِّرٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْعَلاَءِ اللَّجْلاَجِ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّهُ أَوْصَى إِذَا دُفِنَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا وَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يُوْصِيْ بِذَلِكَ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ فَارْجِعْ وَقُلْ لِلرَّجُلِ يَقْرَأُ. وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَاحِ الزَّعْفَرَانِيُّ سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ الْقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ بِهَا وَذَكَرَ الْخَلاَّلُ عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ كَانَتِ اْلأَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ اخْتَلَفُوْا إِلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ عِنْدَهُ الْقُرْآنَ. (ابن قيم الجوزية، الروح، ص/١٨٦-١٨٧).

“Telah disebutkan dari sekelompok ulama salaf, bahwa mereka berwasiat agar dibacakan al-Qur’an di sisi makam mereka ketika pemakaman. Imam Abdul Haqq berkata, diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa beliau berwasiat agar dibacakan surat al-Baqarah di sisi makamnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahman. Al-Khallal berkata, “al-Hasan bin Ahmad al-Warraq mengabarkan kepadaku, “Ali bin Musa al-Haddad mengabarkan kepadaku, dan dia seorang yang dipercaya. Ia berkata, “Aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah al-Jauhari, ketika mengantar jenazah. Setelah mayit dimakamkan, seorang laki-laki tuna netra membaca al-Qur’an di samping makam itu. Lalu Ahmad berkata kepadanya, “Hai laki-laki, sesungguhnya membaca al-Qur’an di samping makam itu bid’ah.” Setelah kami keluar dari makam, Muhammad bin Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hanbal, “Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapat Anda tentang Mubasysyir al-Halabi?” Ia menjawab, “Dia perawi yang tsiqah (dapat dipercaya)”. Muhammad bin Qudamah berkata, “Anda menulis riwayat darinya?” Ahmad menjawab, “Ya.” Muhammad bin Qudamah berkata, “Mubasysyir mengabarkan kepadaku, dari Abdurrahman bin al-‘Ala’ al-Lajlaj, dari ayahnya, bahwasanya ia berwasiat, apabila ia dimakamkan, agar dibacakan permulaan dan penutup surat al-Baqarah di sebelah kepalanya. Ia berkata, “Aku mendengar Ibn Umar berwasiat demikian.” Lalu Ahmad berkata kepada Muhammad bin Qudamah, “Kembalilah, dan katakan kepada laki-laki tadi, agar membaca al-Qur’an di samping makam itu.” Al-Hasan bin al-Shabah al-Za’farani berkata, “Aku bertanya kepada al-Syafi’i tentang membaca al-Qur’an di samping kuburan, lalu ia menjawab, tidak apa-apa.” Al-Khallal meriwayatkan dari al-Sya’bi yang berkata, “Kaum Anshar apabila keluarga mereka ada yang meninggal, maka mereka selalu mendatangi makamnya untuk membacakan al-Qur’an di sampingnya.” (Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Ruh, hal. 186-187).

WAHABI: “Jika ternyata terjadi tawar menawar harga dengan para tukang baca tersebut, maka hal ini merupakan indikasi akan ketidak ikhlasan para pembaca tersebut. Dan jika keikhlasan mereka dalam membaca al-qur’an sangat-sangat diragukan, maka kelazimannya pahala mereka juga sangatlah diragukan. Jika pahalanya diragukan lantas apa yang mau dikirimkan kepada sang mayat??!!”

SUNNI: “Anda tidak berhak mengurus hati orang lain. Itu urusan dia dengan Allah.”

WAHABI: “Para pembaca sewaan tersebut biasanya membaca al-Qur’an dengan sangat cepat karena mengejar dan memburu korban penziarah berikutnya. Jika bacaan mereka terlalu cepat tanpa memperhatikan tajwid, apalagi merenungkan maknanya, maka tentu pahala yang diharapkan sangatlah minim. Terus apa yang mau dikirimkan kepada sang mayat ??!!”

SUNNI: “Owh berarti Anda juga membenarkan menyewa orang membaca al-Qur’an di kuburan, asal dia fasih membacanya dan sesuai dengan Tajwid. Kan begitu. Terima kasih kalau pendapat Anda begitu. Tetapi mengapa Anda sangat marah dengan baca al-Qur’an di kuburan???? Terakhir, kami akan memberi hadiah kepada Anda, pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri aliran jahat Wahabi, yang menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan, dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut, terbitan Saudi Arabia,

وَأَخْرَجَ سَعْدٌ الزَّنْجَانِيُّ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ، وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَأَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ، ثُمَّ قَالَ: إِنِّيْ جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ لأَهْلِ الْمَقَابِرِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، كَانُوْا شُفَعَاءَ لَهُ إِلَى اللهِ تَعَالَى. وَأَخْرَجَ عَبْدُ الْعَزِيْزِ صَاحِبُ الْخَلاَّلِ بِسَنَدِهِ عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ، فَقَرَأَ سُوْرَةَ يس، خَفَّفَ اللهُ عَنْهُمْ، وَكَانَ لَهُ بِعَدَدِ مَنْ فِيْهَا حَسَناَتٌ. (الشيخ محمد بن عبد الوهاب النجدي، أحكام تمني الموت (ص/٧٥).

“Sa’ad al-Zanjani meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah secara marfu’: “Barangsiapa mendatangi kuburan lalu membaca surah al-Fatihah, Qul huwallahu ahad dan alhakumuttakatsur, kemudian mengatakan: “Ya Allah, aku hadiahkan pahala bacaan al-Qur’an ini bagi kaum beriman laki-laki dan perempuan di kuburan ini,” maka mereka akan menjadi penolongnya kepada Allah.” Abdul Aziz –murid al-Imam al-Khallal–, meriwayatkan hadits dengan sanadnya dari Anas bin Malik secara marfu’: “Barangsiapa mendatangi kuburan, lalu membaca surah Yasin, maka Allah akan meringankan siksaan mereka, dan ia akan memperoleh pahala sebanyak orang-orang yang ada di kuburan itu.” (Muhammad bin Abdul Wahhab, Ahkam Tamanni al-Maut, hal. 75).

Ustadz Firanda, kitab Ahkam Tamannil Maut tersebut, diterbitkan pemerintahan Saudi Arabia, dan ditahqiq oleh dua ulama Wahabi senior, yaitu Abdurrahman bin Muhammad al-Sadhan dan Abdullah bin Jibrin.

Wallahu a’lam.

Sumber: www.idrusramli.com

Supaya Doa Kita dikabulkan


Kata doa bermakna membaca dan meminta hajat serta pertolongan. Dan terkadang yang dimaksud adalah ‘membaca’ secara mutlak. Doa menurut istilah adalah: “memohon hajat atau keperluan kepada Allah Swt”. Kata doa dan kata-kata jadiannya (musytaq) dalam Al-Qur’an digunakan sebanyak 13 makna.

Doa merupakan sebuah bentuk ibadah, karena itu ia juga memiliki syarat-syarat positif dan negatif seperti ibadah-ibadah lainnya dimana. Dengan memperhatikan syarat-syaratnya, dapat mendekatkan diri serta terijabahnya doa. “Terijabahnya doa” tidaklah berarti bahwa doa tersebut diijabah dan berefek di luar secepat mungkin. Karena itu, terkadang setelah 40 tahun kemudian barulah nampak terijabahnya doa tersebut. Dan pada hari kiamat nanti, Allah Swt akan memberikan imbalan doa tersebut dengan beberapa kali lipat yang jika orang tersebut melihatnya (imbalan) pasti akan tergiur dan mengharapnya sambil berbisik:”seandainya tak ada satupun doa dan hajat saya yang terkabul di dunia”.

Para ilmuan dan ulama Islam –dengan berdasar pada ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat dari para Imam Maksum As– menyebutkan beberapa adab dan syarat-syarat berdoa yang jika hal tersebut betul-betul direalisasikan, maka doanya pasti akan dikabulkan. Di antara syarat-syarat tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan Al-marhum Faidh Kasyani; 10 syarat dan 10 syarat lainnya dinukil dari kitab ‘iddatu ad daa’i. Pemilik buku “du’ahaa wa tahliilaat qur’an” (doa-doa dan tahlil-tahlil Al-Qur’an) itu menyebutkan 17 syarat.

Dengan memperhatikan pelbagai redaksi yang umumnya digunakan dalam riwayat, maka dapat disebutkan beberapa syarat yang secara pasti punya peran dalam terijabahnya doa, di antaranya adalah: Berdoa jangan sampai bertentangan dengan sistem terbaik (nizham ahsan) alam dan ketentuan (qadha) pasti Allah Swt. Dan jika bertentangan, maka pasti tidak akan terijabah. Doa harus dimulai dan ditutup dengan bacaan shalawat atas Nabi Saw dan Ahlulbait As. Orang yang berdoa harus memiliki makrifat dan pengetahuan hati yang sempurna tentang Allah Swt; jadi, harapannya hanya kepada Allah Swt semata dan jangan bersandar kepada siapapun selain-Nya. Harus ikhlas dan merasa perlu sekali (darurat). Lisan dan hatinya harus sejalan. Melaksanakan hal-hal yang wajib dan meninggalkan yang haram dan memohon ampun dari segala dosanya. Memiliki tekad yang kuat untuk berdoa dan dengan yakin berharap kepada Allah Swt serta tidak putus asa. Mengucapkan: “wahai Tuhan-ku, sebagaimana engkau mengetahui apa yang maslahat dan baik untuk saya maka ijabahlah” dan yakinlah bahwa pasti Allah Swt akan mengabulkannya, kendatipun hasilnya itu akan nampak kemudian.

Jawaban Detil:
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kami akan jelaskan secara sederhana tentang makna dan pentingnya doa menurut Al-Qur’an. Masalah perlunya doa tidak hanya agama Islam yang menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat serius. Tetapi juga pada agama nabi-nabi dan rasul-rasul sebelumnya,. Berdoa merupakan sebuah perkara yang pasti dan para pemimpin Ilahi telah menyampaikan dan mengajarkan hal ini kepada umatnya. Selain itu mereka sendiri telah berdoa dalam banyak hal, di antaranya adalah doa Nabi Ibrahim As serta proses terijabahnya. Hal ini disebutkan dalam surat Ibrahim ayat 37,[1] dan juga doa Nabi Musa As[2] dan nabi-nabi lainnya. Di dalam beberapa ayat, Allah Swt menyeru hamba-hamba-Nya untuk berdoa, di antaranya adalah surat al- Baqarah ayat 186 dan surat al Ghafir ayat 60.

Makna leksikal dan teknikal doa.
Doa (dalam bahasa Arab) berarti membaca, meminta hajat dan memohon pertolongan. Terkadang juga diartikan secara mutlak; yakni membaca.[3] Doa menurut istilah adalah memohon hajat kepada Allah Swt. Dalam Al-Qur’an, kata doa dan kata-kata jadiannya (musytaq) itu digunakan sebanyak 13 makna yang berbeda-beda, di antaranya adalah membaca, berdoa, meminta kepada Allah Swt, menyeru, memanggil, mengajak kepada sesuatu atau kepada seseorang, memohon pertolongan dan bantuan; beribadah dan lain sebagainya.[4]

Dari sebagian ayat dan riwayat Islam dapat disinyalir bahwa doa merupakan ibadah dan penyembahan atas Allah Swt. Selain itu, pada sebagian redaksi riwayat dikatakan bahwa “ad du’aa mukhkhul ‘ibadah” (doa itu adalah otaknya ibadah), Dari sini doa juga sama seperti ibadah-ibadah lain yang memiliki syarat-syarat positif dan negatif. Dengan kata lain, supaya doa dapat dilakukan dengan benar dan sempurna serta bisa dikabulkan dan bisa mendekatkan diri (kepada Allah Swt), maka orang yang berdoa harus memenuhi beberapa syarat dan adab. Dan juga harus meninggalkan hal-hal yang dapat menghalangi terijabahnya doa. Dengan ini jelas bahwa sebab tidak diijabahnya sebagian doa karena Allah Swt adalah Maha Bijak lagi Maha Tahu dan seluruh perbuatan-perbuatan-Nya itu berdasar pada hikmah dan maslahat, dan terkabulnya doa itu tergantung pada kemaslahatan. Demikian pula janji dikabulkannya doa itu bergantung kepada maslahat. Apabila ada seseorang yang terhormat lagi mulia mengumumkan; barangsiapa yang menginginkan sesuatu dariku maka aku akan memenuhi permintaannya. Lalu seseorang datang dan meminta sesuatu –dengan berkhayal bisa bermanfaat untuknya– yang pada hakikatnya berbahaya dan bahkan bisa merusak dirinya. Pada kondisi seperti ini, hal yang patut dilakukan oleh orang terpandang lagi mulia tersebut adalah ‘tidak memberi’ dan ‘tidak memenuhi’ permintaan orang tersebut. Jika ia tetap memberi dan memenuhi permintaannya, maka sikap ini bisa digolongkan sebagai perbuatan aniaya dan zalim. Mayoritas permintaan serta permohonan hamba-hamba-Nya itu mengandung hal-hal yang membahayakan diri mereka sendiri, dan mereka tidak menyadari hal ini.[5]

Dalam sebuah hadis Qudsi disebutkan: Sebagian hamba-hamba-Ku tidak bisa berubah menjadi baik dan tidak bisa menjaga imannya kecuali jika mereka itu kaya dan memiliki harta benda. Dan jika terjadi sebaliknya maka (iman) mereka akan hancur lebur dan sebagian hamba lainnya, kefakiran dan kemiskinan itu lebih baik dan lebih bagi mereka. Jika ditakdirkan kondisi lain kepada mereka, maka mereka akan menjadi binasa dan hancur.[6] Mungkin saja terlintas sebuah syubhat dalam benak kita bahwa: Allah Swt lebih tahu hal yang maslahat bagi diri kita dan apa yang Ia kehendaki, itulah yang ditakdirkan untuk kita dan pasti akan terjadi dan tidak perlu lagi kita berdoa dan memohon kepada Allah Swt? Untuk menjawab pertanyaan ini cukup dikatakan bahwa: Terealisasinya sebagian takdir Ilahi itu dengan doa hamba berantung pada doanya; artinya bahwa apabila seorang hamba berdoa dan meminta, maslahat Ilahi itu punya hubungan erat dengan pemberian atau pemenuhan tersebut dan kalau ia tidak berdoa maka tak akan ditemukan satu pun maslahat dan tidak akan ditakdirkan baginya.[7]

Berasaskan hal ini, Allah Swt akan menolak doa-doanya yang bertentangan serta bertolak belakang dengan sistem terbaik alam semesta dan qadha (ketentuan) pasti Ilahi. Misalnya seseorang memohon kepada Allah Swt supaya ia bisa hidup selamanya dan tidak pernah mati, karena doa seperti ini bertentangan dengan ketetapan Ilahi yang telah dijelaskan dalam surat Ali ‘Imran ayat 185 (kullu nafsin dzaiqatul maut; setiap yang hidup pasti akan merasakan kematian) atau ia meminta kepada Allah Swt supaya ia tidak lagi membutuhkan orang lain, maka doa seperti ini tidak akan pernah diijabah. Dalam beberapa riwayat dikatakan bahwa Imam Ali As mendengar seseorang mendoakan temannya dengan mengatakan: “Semoga Allah Swt tidak menimpakan kepadamu hal-hal yang tidak disukai dan tidak disenangi”, Imam Ali As bersabda: Anda ini telah memohon kepada Allah Swt akan kematian dan kebinasaan sahabat sendiri.[8] Yakni pada hakikatnya selama manusia itu hidup maka ia, sesuai dengan sistem tabiat dan alam cipta, akan selalu berhadapan dengan hal-hal yang tidak disukai dan bala serta malapetaka, kecuali ia tidak berada di dunia ini.

Terkait dengan masalah “tidak diijabahnya doa” , Allamah Majlisi –dalam menafsirkan sebuah riwayat– menyebutkan beberapa poin sebagai sebuah jawaban, yaitu:
Pertama: Janji Ilahi untuk mengabulkan doa itu tergantung pada kehendak Allah Swt, apabila Dia menghendaki, maka pasti akan diijabah sebagaimana firman-Nya dalam surat al An’am ayat 41 yang artinya adalah: ”maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepada-Nya jika Dia menghendaki...”

Kedua: Maksud “ijabah” dalam riwayat itu adalah didengarkan dan diperhatikannya doa tersebut, karena Allah Swt mengabulkan doa orang mukmin itu sekarang juga. Akan tetapi Dia menunda untuk memberikan apa yang diinginkannya itu sehingga ia terus menerus melantunkan doa dan Allah Swt sentiasa mendengarkan bisikan suara kekasih-Nya tersebut.

Ketiga: Dalam mengabulkan doa, Allah Swt telah menyaratkan adanya maslahat dan kebaikan untuk hamba yang berdoa tersebut, karena Allah Swt adalah Maha Bijak dan Ia tidak akan pernah meninggalkan sesuatu hal yang maslahat dan membahagiakan hamba-hamba-Nya hanya karena sesuatu yang tidak bermanfaat. Jadi jelas bahwa seyogyanyalah kita mengakui bahwa janji-janji seperti ini yang datang dari Yang Maha Bijak memiliki persyaratan berupa unsur “maslahat”.[9]

Dalam kitab Ushul al-Kâfi disebutkan empat makna “ijâbah”, yaitu:
1. Allah Swt segera memberikan apa yang diinginkan orang yang berdoa.
2. Allah Swt mengijabah dan mengabulkan keinginannya, namun karena Allah Swt suka mendengar suara orang yang berdoa itu maka Dia menundanya dulu.
3. Allah Swt mengabulkan dan mengijabah doanya, namun hasilnya itu berupa pembersihan dan penebusan atas dosa-dosa yang dilakukannya.
4. Allah Swt mengabulkan doanya dan menyimpannya untuk di akhirat kelak.[10]        

Dari objek kajian diatas dapat dipahami bahwa makna “diijabahnya doa” itu bukan berarti bahwa ia dikabulkan secepat mungkin dan hasilnya nampak secara spontanitas dan yang berdoa pun mendapatkan apa yang dikehendakinya. karena sebagaimana diisyarahkan dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat 89 Allah Swt mengijabah doa Nabi Musa As, dan karena demi beberapa kemaslahatan maka hasilnya itu berupa kehancuran dan kebinasaan Fir’aun, baru nampak 40 tahun kemudian.

Dan terkadang bukti diijabahnya doa itu berbentuk seperti ini dimana Allah Swt melipat-gandakan imbalan apa yang diinginkan orang yang berdoa itu pada hari kiamat –kepada orang yang ia sendiri tidak tahu bagaimana baik dan maslahatnya– sebegitu rupa dimana ketika ia menyaksikan imbalan dari keinginannya itu (yang demikian banyak) hingga berbisik sambil berharap bahwa seandainya tak ada satu pun hajat saya yang diijabah di dunia. (ia membenarkan bahwa doanya terkabul dengan sempurna).[11]

Sampai saat ini kita telah menjelaskan tentang makna doa, pentingnya doa dan syarat-syaratnya. Juga kita telah menjelaskan kenapa sebagian doa itu tidak dikabulkan serta apa maksud dari “diijabahnya doa”. Nah, sekarang gilirannya kita menjawab pertanyaan tentang kondisi yang bagaimana doa itu diijabah dan dikabulkan? Para ulama dan mufassir Islam –berdasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat para Imam Ma’shum As– telah menyusun dan menyebutkan syarat-syarat dan adab-adab doa dan orang yang berdoa dimana dengan memenuhinya maka doa tersebut pasti akan dikabulkan. Dalam buku “Du’ahâ wa Tahlilât Qur’ân” disebutkan sebanyak 17 syarat dan adab doa, seperti: Makrifatullah, kesesuaian antara lisan dan hati orang yang berdoa, melaksanakan hal yang diwajibkan dan meninggalkan hal yang diharamkan, beristigfar dan membaca shalawat atas Nabi Saw dan Ahlulbait As, dan lain-lain.[12] Dan juga almarhum Faidh Kasyani dalam kitab “Mahajjatul Baidhâ” menyebutkan 10 syarat dan ia juga menyebutkan 10 syarat lain yang dinukil dari kitab “Iddatuddaa’ii” (Allamah Hillii Ra), dimana sebagian di antara syarat-syarat tersebut adalah: niat dalam berdoa, berkumpul dalam berdoa, menghadap dengan hati kepada Allah Swt, tidak menyandarkan segala hajat dan keinginan kepada selain Allah Swt, dan lain sebagainya.[13]

Terkait dengan riwayat-riwayat tentang masalah terkabulnya doa secara pasti terdapat ungkapan yang tidak ada salahnya kita sebutkan di sini. Imam Shadiq As bersabda:”Doa-doa tersebut selalu berada di balik tirai; yakni ia tidak akan bisa bebas menembus jalan menuju keharibaan Ilahi selama doa tersebut tidak diiringi dengan bacaan shalawat atas Nabi Saw”.[14] Ada riwayat lain yang dinukil dari Imam Shadiq As yang artinya adalah: “Ketika seseorang meminta Anda untuk berdoa, maka pertama anda membaca shalawat untuk Nabi Saw karena shalawat atas Nabi Saw itu pasti dikabulkan Allah Swt dan Allah Swt tidak akan melakukan hal dimana sebagian doa itu diijabah dan sebagiannya lagi tidak diijabah.[15] Dan dalam riwayat lain, beliau bersabda:”Selain membaca shalawat pada permulaan doa, maka hendaknya pula membaca shalawat ketika selesai berdoa”.[16]

Imam Hasan As bersabda:”Jika ada seseorang yang senantiasa menjaga hatinya sehingga tak ada satupun bisikan berupa hal-hal yang tidak diridhai Allah Swt terlintas di dalamnya, maka saya menjadi jaminan bahwa doanya pasti diijabah”.[17]

Imam Shadiq As bersabda:”Janganlah tumpukan harapan kalian kepada selain Allah Swt sehingga hati kalian pun tidak bersandar kepada suatu kekuatan selain kepada kekuatan Allah Swt, dan pada saat itu kalian berdoa, maka pasti doanya dikabulkan”.[18]

Juga diriwayatkan bahwa: “Seorang yang teraniaya yang tidak punya tempat berlindung selain Allah Swt, doanya pasti diijabah dan dikabulkan”.[19]
Oleh karena itu, apabila doa telah dilantunkan maka tidak ada lagi kata ditolak dan doanya akan dikabulkan. Karena sang pelaku dan orang yang memenuhi keinginan tersebut, Sempurna dan Maha Sempurna dan rahmat-Nya sempurna lagi Maha sempurna dan jika limpahan rahmat itu tidak punya penampakan dan tidak dilimpahkan, maka dianggap sebagai sebuah kecacadan potensi. Jadi apabila orang yang menerima itu punya potensi untuk menerima limpahan rahmat tersebut, maka akan dilimpahkan kepadanya rahmat Ilahi yang merupakan khazanah yang tidak akan habis, tidak punya kekurangan dan tidak terbatas serta tidak akan pernah berkurang.[20] Dari sini dapat dikatakan bahwa perkara itu dibagi tiga: pertama: adalah tanpa doa, maslahat dalam pemberian atau pengabulan itu tetap akan ada. Dalam kondisi seperti ini, baik mereka berdoa atau pun tidak berdoa, Allah Swt tetap akan bersikap dermawan. Kedua: adalah bahwa doa juga tidak maslahat. Dalam kondisi ini, mereka berdoa pun tetap tidak dikabulkan. Ketiga: dengan berdoa ada maslahat dalam mengabulkannya dan tidak berdoa, tidaklah maslahat.

Dalam kondisi ini, pengabulan itu bergantung pada berdoa. Mengingat bahwa manusia tidak punya kemampuan untuk memilih dan memilah mana yang baik dan yang tidak baik dalam seluruh perkara, maka ia jangan sampai menyepelekan doa dan kalaupun tidak diijabah janganlah merasa putus asa dan anggaplah bahwa hal itu tidak ada maslahatnya. Terlepas dari hal ini, seperti yang telah diisyarahkan sebelumnya, doa itu merupakan sebuah ibadah dan bahkan dianggap sebagai ibadah terbaik dimana ia dapat “mendekatkan diri” kepada Yang Maha Hak (Allah Swt) dan “mendekatkan diri” (taqarrub) itu sendiri merupakan manfaat terbaik untuk setiap ibadah.[21] Ketika seseorang selesai berdoa maka –sesuai riwayat-riwayat serta sunnah para maksum As–dianjurkan mengusapkan kedua tangannya itu ke kepala dan wajah; karena taufik Allah Swt telah memberikan jawaban kepada tangan ini, sebuah tangan yang dijulurkan keharibaan Allah Swt pasti tidak akan kembali dengan tangan kosong dan tangan yang menerima pemberian Allah Swt itu dianggap mulia. Oleh itu alangkah baiknya jika diusapkan ke wajah atau ke kepala.[22] []

[1] . Muhammad Taqi Falsafi, Syarh-e Du’â-e Makarim Akhlâq, jilid 1, halaman 2.
[2] . Qs. Thaaha ayat 25 – 28.
[3] . Sayid Ali Akbar Qursyi, Qâmuus Qur’ân, kata do’a.
[4] . Bahauddini Khurramshahi, Dânesh Nâme-e Qur’ân wa Qur’an Pazhuhi, jilid 1, halaman 1054.
[5] . Sayid Muhammad Baqir Syahidi dan Rahbatuddin Syahrastani, Du’âhâ wa Tahlilât Qur’ân, halaman 43.
[6] . Mulla Hadi Sabzawari, Syarh Asmâ al-Husnâ (cetakan Maktabah Bashiirati – Qom), halaman 32.
[7] . dinukil dari Muhammad Baqir Syahidi, Du’âhâ wa Tahlilât qur’an, halaman 43.
[8] . Muhammad Taqi Falsafi, Syarh-e Du’â-e Makârim Akhlâq, jilid 1, halaman 7.
[9] . Muhammad Baqir Majlisi, Mir’âtul ‘Uqûl, jilid 12, halaman 19 – 20.
[10] . Kulaini, al-Kâfi, dan al-Raudhâh, halaman 330.
[11] . Muhammad Baqir Majlisi, Mir’âtul ‘Uqûl, jilid 12, halaman 1 – 5.
[12] . Sayid Muhammad Baqir Syahidi dan Rahbatuddin Syahrastani, Du’ahâa wa Tahlilât Qur’ân, halaman 15.
[13]. Faidh Kasyani, Mahajjatul Baidhâ, jilid 1, halaman 301 – 380.
[14] . Kulaini, al-Kâfi, jilid 2, halaman 491.
[15] . Syaikh Thusii, Âmâli, jilid 1, halaman 157.
[16] . Muhammad Taqi Falsafi, Syarh-e Du’â-e Makârim Akhlâq, jilid 1, halaman 9.
[17] . Kulaini, al-Kâfi, jilid 2, halaman 67, hadits 11.
[18] . Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 72, halaman 107, hadits 7.
[19] . Abdullah Jawadi Amuli, Hikmat-e Ibâdat, halaman 220 – 234.
[20] . Imam Khomeini Ra, Syarh-e Du’â-e Sahar, terjemahan Sayid Ahmad Fahri, halaman 38.
[21] . Sayid Muhammad Baqir Syahidi dan Rahbatuddin Syahrastani, Du’ahâ wa Tahliilâat Qur’ân, halaman 45.
[22] . Abdullah Jawadi Amuli, Hikmat-e Ibâdat, halaman 215.

Site Islam Quest.

Terkait Berita: